muthialaqilahAvatar border
TS
muthialaqilah
I Was Perfectionist. And Now I Realize It's Not Right At All.


Pengalaman berharga seorang remaja yang taat aturan.


Aku terlahir sebagai seorang yang memiliki kendali. Begitu pun dengan Anda. Ini disebut dengan pengendalian diri.

Bertahun-tahun yang lalu, ketika aku masih berada di sekolah menengah pertama, aku sangat terkendali. Untuk apa pun itu. Saking terkendalinya, aku menjadi seorang yang perfeksionis. Menginginkan semuanya sempurna, tanpa kurang sedikit pun.

Kau tahu. Perfeksionis memanglah bagus, namun bisa sangat jelek dimata orang lain. Waktu itu, dimataku sikap perfeksionis itu adalah penunjang sebagai seseorang yang tidak akan pernah gagal. Ya, bisa jadi. Pada masa itu, aku berhasil meraih nilai akademik sesuai yang aku harapkan--berkat sikap perfeksionis disertai bumbu ambisi yang besar.


Bukan hanya pada tugas sekolah, namun juga pada peraturan dan tata tertib sekolah.
"Peraturan itu ada untuk dipatuhi." Itu adalah visi besar bagi hidupku. Dan asal kau tahu, peraturan sekolahku semua masuk akal. Tidak bisa ada yang sok idealis dengan itu atau berani terang-terangan protes dengan pembenaran yang salah. Walau satu dua melanggarnya, merasa terbebani dengan itu karena mereka belum memiliki sifat disiplin yang kuat atau memiliki gagasannya sendiri.

Kepada teman-teman sebaya, aku sering ambil andil dalam berperan sebagai pemimpin dan pemandu di angkatanku. Tidak sampai beratus-ratus banyaknya, memang. Tapi jumlah partisipan yang aku terima cukup untuk membuat kwalahan jika saja sebagian dari mereka bermain-main soal kewajiban di sekolah.

Aku dulu pernah perfeksionis.
Merasa jengkel dan harus meluruskan sesuatu yang terlihat belok. Sikapku yang tegas dan tatapan yang seringkali mengerikan itu sangat mendukungku untuk menjadi seorang komisi disiplin yang ketat.

Dulu, masa SMP bisa menjadi ladang untuk bebas berekspresi. Termasuk 'mengatur teman'. Dengar, aku bukan mengatur mereka untuk tidak menjadi diri mereka sendiri. Aku tidak melarang mereka untuk melakukan hobi yang mereka suka. Hanya saja, asal mula lingkungan sebagian kecil teman-temanku bukanlah lingkungan yang memiliki standar pengendalian diri yang baik. Dan untungnya itu hanya benar-benar sebagian kecil. Teman-temanku yang lain, malah saling bahu membahu untuk menjadi seorang yang tak mudah protes dengan peraturan Tuhan.

Pernah mendengar cerita bahwa suatu saat di hari akhir nanti, teman kita yang dulu kita abaikan akan mendatangi kita untuk meminta pertanggungjawaban. Nah, aku tidak mau seperti itu. Begitu pun dengan sebagian orang.
Kami hanya menjalankan motto, "Saling mengingatkan dalam kebaikan."

Kembali lagi.
Dulu, aku bukanlah seseorang yang memiliki koneksi teman yang begitu banyak hingga keluar kota (kecuali teman jejaring sosial). Teman-temanku hanya sebatas teman SMP, alumni SD, teman bimbel dan kenalan dari lomba-lomba yang pernah aku ikuti--itu pun tidak semua kuminta nama sosmednya.

Di ruang lingkup sekolahku dulu, siswanya tidak sebanyak di sekolah negeri yang bahkan setiap hari bisa melihat orang baru, atau berpapasan dengan orang-orang yang belum dikenal. Jadi, dengan teman yang masih terjangkau sampai absen terakhir dapat memudahkanku untuk mengingat nama-nama mereka semua.

Dan hal itulah yang menyebabkanku tidak peduli dengan ucapan-ucapan yang terlontar 'di belakangku' atas tindakanku yang (bahkan) terlalu disiplin. Di depanku, mereka semua selalu berkata iya tidak berani berkata tidak. Entah mengapa.

Bisa dibilang, aku dulu bossy. Dan tidak ada yang berani menentangku. Kini aku tahu itu tidak terlalu baik. Tapi untuk pandangan yang lain, bisa baik pada masanya.

Niatku baik. Tujuanku baik. Ingin menuju keberhasilan moral bersama-sama.

Aku dulu menganggap segala sesuatu itu harus melulu benar. Jangan salah, atau kau akan celaka. Aku dulu menjadi penggiring domba-domba yang sedia memarahi satu ekor yang keluar dari jalur. Aku begitu tegas. Begitu perfeksionis. Begitu menggebu-gebu. Begitu disiplin. Taat pada aturan, seolah segala sesuatu yang aku harapkan pada diri orang lain, adalah harus.

Yap. Hanya sebagian orang saja yang mengerti. Dan aku harap untuk kalian yang tengah membaca ini, kalian bisa membuka pikiran kalian bahwa ini hanya terjadi di masa lalu. Dan waktu itu, aku hanyalah seorang anak SMP yang tidak terlalu suka bergaul, dan hanya menghabiskan waktu dengan membaca buku bertemakan pengembangan diri dan ingin merealisasikannya pada diri sendiri--juga orang lain, sebagai tambahan.

Tapi di sisi lain, dipikir-pikir aku adalah pemberani yang dengan lantang menyuarakan perspektif tujuan sekolah membangun pendidikan bukan hanya kentara akademik saja. Tapi juga, para orang tua menitipkan anak-anaknya untuk lebih berakhlak, juga mengembangkan diri sebagai seorang remaja yang baru saja memasuki pubertas dengan sikap dan pergaulan yang baik.

Tapi, aku teramat sadar memang tidak semua bisa berlapang hati menerima semua itu. Tidak setiap orang ingin membaca daftar panduan, karena merasa sudah memiliki panduan masing-masing. Apalagi masa remaja adalah masa yang labil, terutama ketika seragam putih biru. Semua orang bersenang-senang, tapi ada satu dua juga yang mengambil tindakan keseriusan agar tidak terjerumus : termasuk aku.

Ya, begitulah. Aku dulu terlalu serius dalam berbagai aspek. Candaan yang dilontarkan temanku pun terkadang membuatku mengernyit heran. Padahal, seharusnya aku tertawa saja. Toh, yang kedengaran tidak harus melulu dipikirkan.

I was so perfectionist. Now I'm realize it's not right at all.

Once I asked my sister, "How to change others?"

"You don't have to."

Detik ini aku menyadari semuanya. Kini aku masuk ke lingkungan pertemanan yang baru dengan orang-orang yang berbeda. Mulai diberikan kesempatannya oleh Tuhan untuk memandang dunia lebih luas lagi. Terharu melihat banyak sekali sifat dan kepribadian yang begitu beragam.

Tidak semua bisa seperti yang kita mau.
Kita tidak bisa sepenuhnya mengendalikan orang lain, karena masing-masing memiliki kendali diri mereka sendiri.

Pada usia 12 tahun aku bertanya, bagaimana caranya merubah teman? Astaga pernyataan remeh.
Wajarkan saja, anak SMP mana ada yang mengerti. Pengalaman mereka masih sangat terbatas.

Pengalamanku ini, membawa aku dan kita semua pada kesadaran yang lebih bijak. Bahwa kita tidak pernah bisa merubah orang lain. Sekeras apa pun peraturan, seberat apa pun hukuman, setegas apa pun kita, toh yang menjadi kewajiban hanyalah berbagi kebaikan sebanyak-banyaknya.

Tidak perlu merasa paling benar karena kata "salah" sudah menjadi bagian dari hidup kita.

Dariku, mari terus membenahi diri dengan memandang segala sesuatu itu baik. Negativity starts from our own mindset, not others. Pelajaran di masa lalu dapat dijadikan pengalaman paling berharga. Sebuah refleksi diri, ya. Itu bijak sekali.

And once I heard, "Amalmu, amalmu. Amalku, amalku."


Thank you.
#DIARYAQILAH



All picture source : google
Diubah oleh muthialaqilah 19-08-2020 05:10
asmulfaisi
fiksyau
tabernacle69
tabernacle69 dan 23 lainnya memberi reputasi
22
4.2K
89
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.5KThread41.5KAnggota
Tampilkan semua post
nerovoldAvatar border
nerovold
#4
Pernah di titik yang hampir sama, sampe akhirnya sadar itu tidak baik
gigbuupz
seperduaratus
adithiaprieska
adithiaprieska dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.