- Beranda
- Stories from the Heart
Namaku Dara Seorang Biduanita
...

TS
dwyzello
Namaku Dara Seorang Biduanita
38.7K
902
Pertemuan Yang Tak Disengaja

Malam ini kuhabiskan waktuku hanya dengan merebahkan badanku di kasur empukku, sembari membungkam kedua telingaku dengan headsetyang mendengungkan beberapa lagu dangdut kesukaanku. Alunan musik seketika menurunkan volumenya, karena ada sebuah notifikasi pesan yang masuk ke dalam ponselku.
[Cin, inget ya! Tanggal dua manggung di hotel Grand Melati. Pakai baju seksi tapita jangan norak yes! Yang ngundang perusahaan bonafit. Bisa dapet saweran banyak eim. Jangan sampai dateng telat!]
Sebuah pesan whatsapp masuk ke dalam gawaiku dari Rio, pria setengah matang yang selama ini menjadi kawan baik sekaligus manajerku.
Kumiringkan tubuhku yang saat ini sedang bermalasan di kasur. Segera kuketik balasan pesan untuknya.
[Aduh, lagi nggak bisa pakai baju seksi say! Sayatan bekas OP masih belum ilang nih.] balasku kepada Rio.
[Rempong deh Yey! Pokoknya tampil derr darr dorr! Jangan sampai Yey kalah pamor sama sama si Silvi! Dia partner nyanyimu besok tau.]
Seketika leherku sesak mendengar nama yang enggan kusebutkan itu. Sial sekali aku harus satu panggung dengannya kali ini.
Ibu jariku seketika berselancar mencari nama wanita itu pada laman pencarian instagram. Entahlah, aku penasaran dengan hidupnya yang sekarang.
Hmm, ketemu! 'Silviaaaasoy',
Dasar nama yang norak!
Kutatap masam jumlah pengikut instagramnya. Halah! Baru enam belas ribu pengikut, yang sama sekali tidak sebanding dengan jumlah pengikutku yang sudah mencapai tiga ratusan ribu.
Ah, bocah bau kencur ini memang tidak selevel denganku!
Aku tersenyum bangga karena pada kenyataanya, aku memang lebih eksis daripada dirinya. Namun tiba - tiba mataku terfokus pada foto yang dia bagikan di laman media sosialnya.
Dia melakukan swafoto di dalam pesawat, dimana ia duduk di kursi yang tampak seperti kursi untuk penumpang kelas bisnis. Dia menenteng tas mewah yang kutaksir harganya sekitar dua puluh juta rupiah.
Mataku panas, sepanas hatiku. Mana mungkin sih? Uang hasil menyanyinya bisa membuat dirinya hidup mewah seperti sekarang? Apalagi dia masih selevel biduan ibu kota yang pastinya tidak setenar diriku!
Rasa penasaran membuatku tergugah untuk membuka kolom komentar dari para pengikutnya. Pujian - pujian yang bertubi - tubi bagi dirinya, membuat ulu hatiku terasa ngilu.
Dasar wanita penggoda! Br*gsek!
Tidak tahu balas budi! Nggak seharusnya dia bisa hidup enak seperti sekarang!
Cercaan kasar kepadanya seketika menghujani hatiku. Darah panas seketika mengalir menyusuri berbagai pembuluh di otakku. Entah bagaimana sengitnya suasana nanti, jika aku benar - benar satu panggung dengannya.
Kubuka profil instagramku. Lalu, kucari foto - fotoku saat aku berlibur ke Bangkok di galeri gawaiku. Aku tak boleh kalah pamor dengannya. Memangnya dia saja yang bisa naik pesawat? Aku malah sudah pernah ke luar negeri! Ya, meskipun ada alasan tersendiri mengapa aku nekat pergi ke negara gajah putih itu.
Uang yang kukumpulkan berbulan - bulan dari hasil kerja kerasku, kugunakan untuk melakukan prosedur operasi implant pay*dara. Semua itu kulakukan demi meningkatkan eksistensiku di dunia hiburan yang penuh persaingan ini.
"Bos - Bos doyan sama yang bohay - bohay Cin! Mana suka mereka sama biduan tepos. Cusss OP sana!" Kata - kata dari Rio itulah yang membuatku semakin yakin untuk melakukan aksi nekatku.
Masih teringat jelas, rasa sakit yang kurasakan setelah menjalani prosedur itu. Namun, aku tak peduli. Yang penting aku tetap menjadi biduan terlaris di Surabaya.
Bekas sayatan pisau yang tercetak di kedua kulit ketiakku belum sepenuhnya hilang. Namun, hasilnya memang sangat berpengaruh terhadap jumlah pengikut sosial mediaku. Semuanya mengatakan aku cantik dan seksi, dan aku menikmati semua ini.
[Khawp khun kha Thailand!] Kutulis sebuah caption dan tak lupa kububuhi emoticon love di ujung kalimat pada sebuah foto yang hendak ku upload.
Sebuah foto full body sembari memamerkan hasil karya dokter, berhasil ku bagikan. Tak berapa lama, gawaiku penuh dengan notif pemberitahuan. Semua pengikutku memuji tubuh indahku.
Aku mengamati lagi dan lagi foto - foto yang telah kubagikan. Semuanya terlihat sempurna. Aku memang tak tertandingi, apalagi hanya biduan sekelas Silvi!
*****
Malam ini aku memenuhi jadwal manggungku di ballroom hotel untuk menghibur para petinggi salah satu perusahaan swasta di Jawa Timur. Gambaran lembaran ratusan ribu terngiang di otakku. Memang tak kupungkiri, job seperti inilah yang paling aku sukai.
Tampil di tempat bersih dan mewah, honor yang fantastis, dan pastinya saweran yang tak kalah menggiurkan.
Kububuhi lipstik warna merah menyala di bibirku. Kusisir rambutku tebalku yang sudah sepanjang pinggang, lalu kupakai sepatu hak setinggi enam belas centi yang membuat kakiku lebih jenjang. Sempurna!
"Dah siap kan Neik! Jam delapan naik panggung ya Cin!" Rio datang menghampiriku dengan parfum super wanginya.
"Oke Say, oh iya gimana kostumku? Oke kan?" Aku mengerlingkan kedua mataku kepadanya.
"Emm, cucok markucok eim! Cuss kita ke belakang panggung yuk! Acara udinda mau dimulai tuh." Rio menggandeng tanganku dengan gaya gemulainya menuju ke tempat para musisi dan penyanyi berkumpul.
Kudapati seseorang yang membuat mataku malas untuk memandangnya. Siapa lagi kalau bukan Silvi.
Segera Kusalami satu - persatu anggota band yang akan mengiringiku dalam menyanyi nanti, sebagai bentuk penghormatan sekaligus membangun image bahwa aku adalah penyanyi yang ramah. Ya, dalam dunia ini kita harus pandai - pandai mengambil hati supaya bisa laku keras di dunia hiburan meskipun aku sebenarnya malas untuk melakukannya.
Seketika Silvi mengeluarkan Handphone berlogo buah apel keluaran terbaru. Sepertinya dia sengaja memamerkannya kepadaku. Dasar tukang pamer!
"Mas, daftar laguku sama kaya yang aku kirimkan kemarin yah! Jangan tinggi - tinggi mainnya. Aku lagi radang," ujar Silvi dengan nada lembutnya kepada pemain keyboard yang duduk di sebelahnya.
Ih, radang apanya. Sudah jelas dia memang tidak bisa menyanyi. Biduan bermodalkan wajah dan bodi saja bangga.
Aku tak kuasa menahan rasa sebalku kepadanya.
"Jangan emosi samosir dese Cin. Yang berlalu biarlah berlalu. Fokus ke tampil aja ya, cari duta yang banyak biar keyong - reyong," bisik Rio menenangkan amarahku.
Silvi berulah lagi memamerkan kepunyaannya.
"Aduh, tasku kotor." Dia mengibaskan debu halus yang tak sengaja menempel di tas mahalnya.
"Wuih, tas baru Kak Silvi?" tanya pemain bass yang usianya masih cukup muda.
"Iya, baru kemarin titip temen yang ke Italia."
"Gila, mahal pasti tuh Kak!"
"Ah, murah aja kok cuman tiga puluh lima juta. Penyanyi berkelas mah barangnya branded semua ya kan? Biduan kampung mah barangnya beli di pasar loak aja kali ya! Hihihi. Becanda loh aku," celetuk Silvi sembari melirikku yang tengah menyeringai kepadanya. Rio masih tetap berusaha meredakan amarahku agar tidak terpancing dengan perkataan Silvi.
Acara inti telah selesai dan berganti dengan acara hiburan. Aku menaiki panggung dengan sepatu hak tinggiku, melenggang cantik demi mengais rezeki yang sudah membesarkan namaku.
"Kita sambut penampilan dari penyanyi bersuara emas, Dara Glamora!" Rio yang juga menjadi MC di acara tersebut, menggemakan namaku di tengah penonton yang berteriak riuh.
Kudendangkan lagu berjudul 'Penasaran' dengan gaya pop dangdut yang diciptakan musisi kelas kakap Rhoma Irama itu. Aku masuk ke dalam barisan penonton, mengajak mereka bernyanyi dan berjoget bersama. Ya, inilah salah daya tarikku selama menjadi penyanyi. Aku pandai memeriahkan suasana penonton dengan gaya enerjikku.
Namun, energiku seketika menciut saat aku tak sengaja menatap salah satu wajah diantara para tamu undangan yang hadir. Ia memandangku dengan wajah penuh keheranan. Aku menundukkan kepalaku, keraguan seketika menyelimuti ragaku untuk melanjutkan aksi goyangan enerjikku.
Tak salah lagi dia adalah Fauzi, cinta pertamaku.
*****
Bersambung..
Update :
Fauzi, Cinta Pertamaku
Sebuah Kesepakatan
Sebuah Tawaran
Sebuah Tawaran Part 2
Rumah Om Waluyo
Rumah Om Waluyo Part 2
Bimbang
Bimbang Part 2
Panggung Pertama Dara
Panggung Kedua Dara
Panggung Kedua Dara Part 2
Panggung Kedua Dara Part 3
Aku Sayang Kamu, Zi!
Penyesalan
Risau
Lima Huruf
Lima Huruf Part 2
Selamat Tinggal
Pupus
Pertolongan
Berubah
Tak Terduga
Tak Terduga Part 2
Rumit
Pergi
Hadir Kembali
Serius
Sah
Silvi
Silvi Part 2
Silvi Part 3
Awal Mula Pertarungan
Siapa Dia?
Siapa Dia Part 2
Siapa Dia? Part 3
Hidup Baru
Harapan?
Mimpi?
Mimpi? Part 2
Enam Tahun Lalu Selesai
Fauzi, Cinta Pertamaku Part 2
Keluarga?
Dia lagi!
Dia Lagi! Part 2
Cinta Lama Bisakah Bersemi?
Cinta Pertama Yang Kembali
Perang Dingin
Cinta Pertama Yang Kembali Part 2
Rindu!
Pertarungan Dimulai
Bukan Perang Dingin
Bukan Perang Dingin Part 2
Bukan Perang Dingin Part 3
Mengapa Dia Kembali?
Mengapa Dia Kembali? Part 2
Bahagia Sesaat
Kotor
Kejutan
Menyerah
Pergi Atau Bertahan?
Tuhan Menjawabnya (Tamat)
Epilog
Diubah oleh dwyzello 09-08-2020 20:51



jacknife21 dan 58 lainnya memberi reputasi
52
Berikan Komentar
Tampilkan semua post

TS
dwyzello
#329
Namaku Dara Seorang Biduanita Part 50
Pertarungan Dimulai

Source : pinterest
*****
Suara bel pintu seketika memecahkan lamunanku saat tengah memikirkan Rio, sahabatku yang tak kunjung memberi kabar itu. Pesanku semalam pun, tak jua terkirim kepadanya. Juga nomor ponselnya, lagi - lagi masih tidak dapat dihubungi. Aku juga sudah berusaha mengecek akun sosial medianya, hampir semuanya tak pernah ada updateapapun sejak sebulan yang lalu.
Sontak hal itu, membuat moodku sedikit tak baik hari ini. Perasaan khawatir terus membayangi pikiranku. Ada apa denganmu Rio? Tak biasanya kamu pasif dengan kehidupan dunia mayamu! Ah, semoga tak ada masalah apapun yang menimpanya.
Gara - gara memikirkan hal itu, aku sampai tak sadar bahwa akan ada tamu spesial yang akan mengunjungiku.
"Astaga! Itu pasti Fauzi! Duh! Aku kan belum mandi!" bathinku menyalahkan diri.
Aish! Masa bodohlah dengan penampilan bangun tidurku. Toh, dia sudah hadir di depan pintu. Huh, kondisi jantungku benar - benar berdegup kencang karenanya.
"Zi! Kamu kok nggak bilang - bilang dulu sih, kalau udah nyampe!" omelku dengan perasaan girang yang tak terkira.
"Nggak apa - apa dong, biar surprised kok! Weeeek!" ledeknya seraya menjulurkan tangannya, bermaksud untuk memelukku.
"Dih, jangan peluuuuk! Aku belum mandi tau!"
"Koproh tenan (Jorok banget), Rek!"
"Bodo amat! Cepet masuk Zi, takut ketangkep henpon jadul!" ujarku tertawa seraya menarik tangannya untuk segera masuk ke dalam apartemenku.
"Kenapa? Takut foto kita masuk lambe turah? Mau dong, biar pacarmu ini ikutan terkenal juga! Hihi," cibirnya sembari meletakkan tas ranselnya di atas sofa.
"Kamu jam segini udah sampe Jakarta, naik pesawat apa, Zi?" tanyaku seraya mengambil makanan ringan dan minuman kaleng, dari kulkas.
"Pesawat singa!"
"Tumben? Penerbangan jam berapa?"
"Jam setengah enam, hehe."
"Terniaaaaaaat!" sungutku keheranan.
"Yah, demi ketemu pacarku yang super sibuk ini!" katanya yang ketika itu langsung memelukku secara tiba - tiba dari belakang. Sontak derap jantungku semakin memburu, aroma wangi badannya pun seketika membuatku bergidik.
"Aku kangeeeeeen," bisiknya seraya menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku pun berbalik kepadanya, menatap mata sayunya, serta bibirnya yang menawan itu.
"Aku juga kangen," balasku manja dengan kedua tangan yang kulingkarkan pada lehernya. Kami pun mengukir senyum bersama.
"Cium dong!" ceplosku yang tiba - tiba tak tahu diri. Duh, dasar aku! Kenapa sih, aku bisa seganjen ini?
"Cup!" Seketika Fauzi mendaratkan bibirnya ke keningku dengan sangat hati - hati. Pancaran rona merah, membuat wajah manisnya semakin menggemaskan.
"Eh, ini udah jam sembilan ya?" ujarnya agak panik tatkala melihat jam tangannya.
"Kenapa, Sayang? Ada yang penting?"
"Ah, enggak apa - apa kok. Ada air putih nggak, Sayang?" Seketika itu, kulepaskan pelukkanku padanya, lalu aku pun beranjak ke dapur untuk mengambil segelas air putih.
Saat aku kembali dengan membawa segelas air putih itu, kulihat Fauzi tengah memasukkan beberapa butir pil ke dalam mulutnya.
"Kamu sakit?" tanyaku khawatir. Saat itu juga, Fauzi dengan cepat segera menyambar air putih yang kubawa, lalu meneguknya beberapa kali sampai tersisa setengahnya.
"Bukan, Dara, ini vitamin dari dokter. Percaya sama aku, aku baik - baik aja, oke!" ujarnya meyakinkanku.
"Zi, jangan bikin aku tambah galau dong!" Tak kupungkiri, aku menjadi sedikit khawatir dengannya. Semoga, Fauzi benar - benar baik - baik saja.
"Tambah galau? Emangnya ada yang lagi kamu pikirin?" tanyanya santai seraya menebar senyum manisnya.
Akhirnya, kuceritakan segala kegundahanku akan Rio yang akhir - akhir ini, tak bisa kuhubungi. Serta rencanaku untuk mengajaknya ke Jakarta, sebagai asistenku.
"Eng ...kayaknya emang sebulanan ini Rio udah nggak kelihatan manggung sih. Biasanya, dimana ada acara besar, pasti ada dia kan? Kamu udah coba contact keluarganya gitu?"
Sontak ingatanku terbesit akan Bu Marni, mantan bosku saat aku bekerja di salon dulu. Semoga ada titik terang, setelah aku menghubunginya nanti.
"Ahhhh iya! Aduh, kok ya baru kepikiran!"
"Yaudah, soal Rio pikirkan nanti aja ya. Sekarang kan ada aku, jangan dianggurin dong!" protesnya manja seraya memandang wajahku tanpa berkedip.
Ah, sikap manjanya benar - benar membuatku gemas.
Saat itu pula, akhirnya kuhabiskan waktu offku hanya bersama dengan Fauzi. Berbagai kegiatan menyenangkan pun kami lakukan bersama - sama seharian ini.
Kami menonton film, memasak, bermain kartu, sampai mengobrolkan hal - hal konyol yang membuat tawa kami saling bersahutan. Tak ada hubungan terlarang lagi yang kami lakukan, layaknya kesalahan yang telah kami lakukan terdahulu. Ini adalah bentuk komitmen dari hubungan kami.
Fauzi benar - benar berbeda. Aura kedewasaannya semakin terpancar, ia memperlakukanku dengan sangat istimewa. Pesonanya telah berhasil membuat perasaan cintaku semakin bertubi kepadanya.
*****
Begitulah hubunganku dengan Fauzi, hingga tak terasa satu tahun pun telah berlalu. Semuanya berjalan begitu sempurna. Fauzi selalu menyempatkan diri untuk datang mengunjungiku ke Jakarta, di saat aku sedang off bekerja. Meskipun ia harus bolak - balik Surabaya - Jakarta di setiap minggunya. Atau, jika aku ada jadwal manggung di daerah Jawa Timur, dia selalu menyempatkan diri untuk menemuiku. Dia benar - benar definisi dari pasangan yang selalu ada di setiap aku membutuhkannya.
Pun karirku juga demikian. Tak pernah ada kendala sedikitpun. Semuanya berjalan begitu apik, bahkan bisa dibilang, eksistensiku begitu stabil di dunia yang sudah membersarkan namaku ini. Tawaran demi tawaran manggung pun semakin bejibun, follower instagramku pun sudah mencapai jutaan pengikut. Bahkan, banyak yang menjuluki diriku sebagai regenerasi dari penyanyi kawakan Rita Sugiarto. Akulah Dara Glamora! Penyanyi berprestasi tanpa sensasi.
Ah, aku pun hampir lupa menceritakan soal Rio. Kabar terakhir yang kudengar dari Bu Marni adalah sebelum Rio menghilang, dia sempat mengunjungi Bu Marni untuk meminta restu. Entahlah ... restu apa yang beliau maksudkan. Aku pun sudah berusaha membujuk Bu Marni agar menceritakan secara detail mengenai hal itu. Namun, beliau terus meyakinkanku, bahwa Rio baik - baik saja. Ada perasaan kecewa karena aku merasa tak dianggap oleh Rio. Kenapa dia lancang berbuat semaunya tanpa bercerita kepadaku?
Rindu hanya sekedar rindu.
Percuma, aku bolak - balik manggung ke Jawa Timur, namun aku tak bisa bernostalgia dengan sahabatku itu.
Aku pun berjanji, aku akan memukuli Rio sampai puas, jika nanti aku bisa bertemu kembali dengannya.
*****
"Dara! Kenapa bisa begini?" geram Mbak Dewi dalam teleponnya.
Aku yang saat ini sedang makan bersama di apartemen dengan Fauzi, tiba - tiba terkejut mendengar ujarannya yang terdengar sedang naik pitam.
"Maksud ... maksudnya apa ya, Mbak?" tanyaku kebingungan.
"Kamu seharian ini nggak liat medsos memangnya? Kamu ngapain aja sih? Pacaran sama anak Pak Beni?" gertak Mbak Dewi yang ternyata sudah menyadari hubungan istimewaku dengan Fauzi.
"Maaf, Mbak," ujarku gugup.
"Dara, nggak ada waktu buat santai. Liat medsos sekarang! Banyak akun gosip yang menyeret namamu! Tolong jelaskan nanti kalau kita bertemu!" Sontak Mbak Dewi mematikan panggilannya.
Jangan ditanya lagi bagaimana perasaanku saat ini. Aku benar - benar bingung. Apa jangan - jangan hubunganku dengan Fauzi diketahui oleh media? Tapi, jika memang benar begitu, Mbak Dewi pasti tak akan semarah ini. Toh, Fauzi bukanlah publik figur, aku pun juga tak masalah jika media mengetahui bahwa aku sudah memilki lelaki istimewa di hidupku.
"Kenapa, Ra?" Fauzi menghentikan kegiatan makannya, lalu mendekatiku yang tengah dirundung gelisah.
"Zi, tolong cek akun - akun gosip di medsos, aku ... aku takut!" Mataku mulai berkaca - kaca. Aku benar - benar tak punya nyali untuk melihat media sosial saat ini.
"Tenang ... tenang ya Sayang, biar aku aja yang lihat."
Fauzi lantas melihat media sosialnya, lalu setelah membaca pemberitaan tentangku, dengan sigap ia memeluk dan menenangkanku.
"Sabar dan tenang, inilah resiko menjadi publik figur. Ini hanyalah soal persaingan untuk mendapatkan simpati dan ketenaran dari publik lewat namamu, Ra," titahnya seraya membelai rambutku.
"Eng ... kamu pernah ada masalah dengan yang namanya Silvi?" tanya Fauzi yang sontak membuat dadaku bergemuruh.
*****
Bersambung..
Next
Diubah oleh dwyzello 23-07-2020 16:58



jiyanq dan 5 lainnya memberi reputasi
5
Tutup
Hot Threads