- Beranda
- Stories from the Heart
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
...
TS
yanagi92055
Pencarian Belum Usai [TRUE STORY] - SEASON 3
Selamat Datang di Thread Gue
(私のスレッドへようこそ)
(私のスレッドへようこそ)
TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI DUA TRIT GUE SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT SELANJUTNYA INI, GUE DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK GUE DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DISINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR
Spoiler for Season 1 dan Season 2:
Last Season, on Muara Sebuah Pencarian - Season 2 :
Quote:
INFORMASI TERKAIT UPDATE TRIT ATAU KEMUNGKINAN KARYA LAINNYA BISA JUGA DI CEK DI IG: @yanagi92055 SEBAGAI ALTERNATIF JIKA NOTIF KASKUS BERMASALAH
Spoiler for INDEX SEASON 3:
Spoiler for LINK BARU PERATURAN & MULUSTRASI SEASON 3:
Quote:
Quote:
Quote:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 83 suara
Perlukah Seri ini dilanjutkan?
Perlu
99%
Tidak Perlu
1%
Diubah oleh yanagi92055 08-09-2020 10:25
al.galauwi dan 142 lainnya memberi reputasi
133
342.8K
4.9K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yanagi92055
#2094
Rencana Kejutan
Setelah banyak lama merenung akibat ‘tamparan’ Anin yang benar-benar diluar dugaan gue, gue semakin tersadar bahwa memang selama ini gue bertualang, gue yang senang, tapi orang lain banyak yang susah. Terlepas dari urusan fitnah dimasa lalu dan segala macam kerugian yang terdampak ke gue, gue mungkin lebih banyak merugikan dan menyakiti orang lain. Wabilkhusus Emi.
Emi adalah orang yang paling gue sayang. Tapi dia pula yang paling gue sakiti. Paling sering gue tepikan. Paling sering gue lupakan. Paling sering gue kesampingkan perasaannya. Iya, gue bodoh. Itu harus gue akui. Seorang Anin aja yang dulunya freak seperti itu, mengaku belum tentu sekuat Emi ketika dia harus berada di posisi Emi saat bersama gue.
Sebenarnya apa lagi yang gue cari ketika Emi sudah menawarkan semua yang gue butuhkan, plus gue inginkan? Mau ngeband lagi? Dijabanin sama Emi sampai seperti sekarang posisinya. Mau diskusi soal kuliah S2? Dia bisa ngimbangin ilmu yang gue dapat dikelas tanpa harus ikut kelas gue. Mau nikmatin musik jepang dan metal sekaligus? Nggak usah ditanyain lagi, dia satu selera dengan gue. Masak gimana? Emi adalah orang yang mau nyoba bikin masakan baru dan gue pun selalu menikmati sajian yang dia masak selama ini karena memang rasanya enak.
Bicara soal musik metal, beberapa bulan kedepan akan ada festival metal di kota kembang. Tepatnya di daerah Cimahi. Disana bakal ada band-band metal lokal seperti Revenge The Fate dan juga Jasad, yang mana gue dan Emi memang ngefans dengan kedua band tersebut. Sedangkan dari luar negeri ada Fleshgod Apocalypse, band Symphonic Death Metal favorit Emi.
Gue pun mulai browsing tiket untuk acara ini, barangkali sudah dimulai dijual. Setelah sekitar setengah jam gue browsing, tiket sudah dapat dibeli. Nggak pakai lama, gue langsung memesan dua tiket acara metal tersebut. Hal ini akan menjadi yang pertama buat gue dan Emi. nonton acara metal di kota surganya metal Indonesia, Bandung.
Gue sudah mendapatkan notifikasi email untuk konfirmasi pembayaran. Gue pun langsung membayar melalui m-banking yang gue punya. Senang rasanya akhirnya gue bisa nonton acara ini. Terlebih lagi beberapa performer memang adalah idola kami berdua. Sepulang dari Malang ini, gue yakin Emi bakalan senang dengan surprise ini.
--
Pada hari terakhir, Wila sempat ingin bertemu lagi. Tapi gue sudah tolak secara halus. Benar aja, Wila malah semakin agresif. Dia nggakberhenti memantau pergerakan gue. setiap hampir setengah jam sekali dia chat gue, hanya untuk mengetahui gue ada dimana. Awalnya biasa-biasa aja, lama-lama gue jadi merasa agak terganggu.
Tapi itu adalah konsekuensi. Orang sudah gue buat nyaman, dan pada akhirnya mereka akan seperti itu. Sudah berulang kali kejadian, tapi gue seperti menikmati dikejar-kejar seperti ini. Anin yang menyadarkan gue akan hal itu. Hanya saja, karena mungkin gue senang dengan keadaan seperti ini, gue kembali bimbang. Mau dilewatkan begitu saja kok sayang. Dan pengingat gue hanya Emi. Emi yang meyakinkan gue untuk mulai membuang jauh-jauh perasaan senang dikejar-kejar seperti ini.
Setelah menyelesaikan pekerjaan gue, gue menyempatkan diri mampir ke Kota Batu, Jawa Timur. Gue akan survey kecil-kecilan untuk rencana fieldtrip kelas pascasarjana gue. menyenangkan juga ternyata ke kota ini. Banyak wisata yang baru gue temukan di kota ini.
Ada Jatim Park, ada kebun apel yang bisa memetik apelnya sendiri, dan wahana wisata alam lainnya yang nggak kalah seru. Semuanya didukung dengan cuaca yang relatif sejuk. Mengingatkan gue jika sedang berwisata ke daerah Puncak Bogor, Lembang Bandung, Ubud Bali atau Malino Sulawesi Selatan.
Beberapa foto gue ambil dan bagikan ke grup chat kelas gue. Mayoritas responnya adalah nggak sabar untuk berangkat menuju ke daerah ini nanti pada awal tahun depan. Jangankan mereka, gue aja yang sudah sampai disini duluan kepingin balik lagi kok. nggak lupa juga gue mengabadikan momen gue sendiri dengan meminta utusan klien gue untuk memfotokan.
Sore hari, setelah beberapa jam gue survey di Kota Batu, gue sudah berada di bandara. Wila kembali mencecar gue dengan beberapa chat, dan beberapa misscall. Akhirnya gue merespon dia dengan mengabarkan kalau gue udah sampai dibandara dengan selamat. Gue nggak mau juga terlalu lama di Malang ketika gue bisa menyelesaikan pekerjaan gue. Gue juga punya persiapan untuk manggung dan tentunya gue ingin bertemu dengan Emi.
--
Ketika gue bertemu dengan Emi, sepertinya dia agak kurang antusias dengan pertemuan ini. Padahal gue sangat kangen dengan dia waktu itu. Malah terkesan seperti ribut jadinya. Gue dari awal udah curiga kayaknya si Emi ini udah tau sedikit banyak mengenai Wila. Tapi gue nggak tau apakah dia berpikir si Wila ini mau macam-macam dengan gue atau nggak. Atau ada inputan lain lagi yang didapatkan Emi entah sumbernya darimana, gue nggak pernah tau.
Lalu gue akhirnya memiliki sebuah pemikiran yang menurut gue cukup layak untuk diperhitungkan. Melihat tabungan yang gue punya, rasa-rasanya investasi gue harus ditambah dengan sebuah kendaraan. Hal ini juga sekalian untuk membuktikan ke beberapa orang sekaligus kalau gue bukanlah orang yang gagal atau nggak jelas kehidupannya.
Gue pun memutuskan dan memantapkan diri untuk membeli mobil. Cash, nggak pakai kredit-kreditan. Biar Mama tau kalau gue bekerja dengan baik dan benar sehingga bisa menghasilkan sesuatu. Memang, materi bukan tolok ukur utama yang dilihat Mama, karena dulu Mama dan Papa bisa membeli apapun yang mereka mau. Tapi setidaknya, gue dengan usaha gue sendiri tanpa dibantu siapapun, bisa juga kok.
Keputusan gue berikutnya adalah, mengatasnamakan mobil tersebut dengan nama Emi. Iya, Emi. Gue mau membuktikan ke dia kalau dia adalah segalanya buat gue. memang gue belum sanggup untuk membeli rumah, karena sebenarnya investasi yang paling benar itu ya rumah. Karena setiap tahun, harga tanah nggak akan mungkin turun, walaupun nggak naik signifikan. Sedangkan kalau mobil pasti akan susut secara fungsi dan ekonomis pertahunnya, serta sesuai dengan penggunaannya.
Gue belum sanggup beli mobil sekelas SUV seperti impian gue dan juga Emi. Jadi gue memutuskan untuk membeli mobil yang kelasnya dibawah SUV, tapi yang bisa memuat banyak penumpang. Dulu gue dan Emi pernah merasakan menaiki mobil jenis tersebut, tapi itu punyanya Papa, bukan punya gue. Sedangkan mobil ini, walaupun nggak semewah itu, tetap ada kebanggaan tersendiri, karena ini hasil jerih payah gue sendiri.
“Aku pinjem KTP kamu ya?” tanya gue ke Emi.
“Buat apaan?” tanyanya.
“Aku mau beli barang, tapi mesti ada jaminan. Tenang aja, nggak aneh-aneh kok.”
“Aman nggak tapi?”
“Aman kok Insyallah.”
“Beneran, Zy? Soalnya sekarang KTP itu adalah hal yang krusial karena ada data informasi yang bisa dijual dengan mahal di dunia digital kayak sekarang. Kamu ngerti kan bahayanya kalau data kita dijual sama orang-orang yang nggak tanggung jawab?”
“Iya aku tau banget kok itu. Kan udah pernah kita diskusiin sebelumnya.”
“Nah makanya itu.”
“Tapi ini aman kok. kamu percaya aku kan?”
“Nggak seratus persen Zy.”
“Mi, udah deh. Ini bukan urusan cinta-cintaan kita. Oke?”
“Iya Zy….”
Emi menyerahkan KTP-nya dan beberapa lembar copy-nya. Rencana awal sudah berhasil. Sekarang adalah saatnya eksekusi. Gue mempersiapkan segala sesuatunya. Sebelumnya gue sudah coba browsing beberapa aturan pembeli mobil di showroom, tips dan trik, serta urusan-urusan legal dokumen dan segala yang terkait.
--
Pada hari minggu, ku turut ayah ke Kota. Eh nggak bisa, Ayah gue kan udah meninggal. Haha. Gue mengendarai motor gue menuju ke showroom. Tapi showroom-nya ini berada di kota tempat tinggal Emi, bukan di kota gue. Gue berpikir untuk lebih memudahkan, karena biar sesuai dengan alamat domisili yang tertera di KTP Emi.
Seperti yang sudah gue duga, respon yang ditunjukkan para staf penjualan di showroom ini tidaklah seramah bapak/ibu yang terlihat parlente atau berduit. Gue sengaja hanya memakai celana jeans slim fit pendek selutut, kaos hitam bergambar logo band Slipknot, topi, kacamata, serta jam tangan. Nggak lupa gue memakai sepatu sandal.
Gue mau melihat seperti apa mereka-mereka ini menilai calon pembeli. Dan ternyata, diskriminasi akibat penampilan luar lagi-lagi terjadi. Nggak cuma di toko-toko yang berada didalam mall, tapi ternyata di showroom pun sama.
Gue hanya disambut seadanya oleh satpam di pintu masuk, ditanyakan keperluan dengan tatapan curiga, lalu mempersilakan gue parkir ditempat yang sudah disediakan. Setelah parkir, gue berjalan masuk kedalam showroom. Sambutannya? Anyep. Gue membuka sendiri pintu kaca rangka alumunium yang ada dibagian depan gedung showroom ini.
Sementara, setelah gue, selang sekitar dua menitan, ada pasangan bapak ibu, mungkin sekitar umur mendekati 50 tahun, bajunya bagus, terlihat berdompet tebal lah, langsung dibukain pintunya sama staf yang bertugas kala itu.
Gue hanya bisa tersenyum miris. SOP macam apa yang diterapkan oleh showroom ini dan juga toko-toko lain di negeri ini? Hei, anda harus ingat, bahwa orang yang tajir melintir itu malah pakaiannya sangat biasa. Gue pernah nggak sengaja bertemu dengan salah satu dari 10 orang terkaya di Indonesia, ketika sedang meeting dikantornya. Tampilan orang ini sangat bersahaja, pakai kaos oblong, celana panjang bahan reguler, sepatu sandal dan ramah ke karyawannya yang otomatis langsung hormat atau respek dengan kehadirannya. Nggak ada terlihat orang ini seperti orang yang super duper kaya.
“Ntar gue bikin elu semua ngerubung di gue.” kata gue dalam hati.
Tengil atau petantang petenteng terkadang perlu untuk hal kayak gini. Tujuannya apa? biar orang-orang yang turun langsung berhadapan dengan calon pembeli itu tidak pilih-pilih. Harusnya mereka bisa ramah ke semua orang tanpa membedakan satu calon pembeli dengan lainnya hanya dengan melihat mereka datang menggunakan kendaraan apa dan memakai baju apa.
Sekitar 10 menitan gue berkeliling melihat-lihat mobil contoh, belum ada juga yang nyamperin gue untuk menjelaskan spek, atau minimal nanya ada yang bisa dibantu. Pakaian sangat kasual, muka kayak mahasiswa miskin kali ya, jadi mungkin dalam benak mereka, nggak akan beli nih bocah. Jadi nggak usah susah-susah dilayanin. Buang-buang waktu. Anj*ng sekali asumsi gue ya. haha. Tapi ya pengalaman membuktikan sih.
Pernah dalam suatu waktu di masa lalu, gue dan Mama sedang berbelanja ke salah satu outlet pakaian terkenal dari Spanyol. Kebiasaan berpakaian santai seperti sudah menurun dari keluarga gue. Mama dan Papa selalu menerapkan hidup sederhana aja walaupun kita lebih dari cukup. Biar nanti kalau kita ada di roda kehidupan yang bawah, kita nggak kaget.
Gue dan Mama masuk kedalam outlet di salah satu mall besar di Ibukota tersebut. Nggak ada satupun staff yang membantu melayani kami. Sedangkan yang terlihat agak sedikit lebih ‘kinclong’ dan dari ras tertentu, dilayani dengan baik. Setelah membeli beberapa setel pakaian, Mama dan gue memanggil dulu stafnya, baru mereka melayani. Itu pun tidak seramah yang mereka lakukan dengan beberapa orang ‘kinlong’ tadi.
Sampai dikasir, ini lebih seru lagi. Barang-barang yang udah kami pilih main dikeluarin dengan kasar, lalu di lempar kebelakang. Tanpa senyum, tanpa ekspresi dan cenderung seperti nggak suka. Entah memang aturannya seperti itu atau gimana, yang jelas itu nggak asyik banget buat dilihat. Hospitality harusnya tetap jadi jualan yang utama dan jadi pembeda karena persaingan di lini bisnis pakaian seperti ini sangatlah ketat.
Itu pula yang kurang lebih terjadi saat ini selama gue berada di showroom. Miris banget asli.
“Mbak, sini.” Kata gue dengan kode tangan memanggil, ekspresi sedikit gue buat angkuh.
“Oh iya, mas, ada yang bisa saya bantu?” kata Mbaknya yang cukup manis, tapi pelit senyum.
Kenapa gue milih Mbak yang gue liat papan nama di dada kirinya bertuliskan ‘Vanda’ ini? Karena tadi dia sangat ramah dan murah senyum melayani calon pembeli sebelum gue, yang juga berdandan ala parlente. Gue nggak sepenuhnya menyalahkan Mbak ini, tapi gue menyalahkan komando yang dia terima sehingga membuat pola pikirnya jadi seperti itu.
“Ini coba dong tolong jelasin spesifikasi mobil ini. Saya mau tau detail. Saya rencana mau ambil ini mobil.” Ujar gue. Nada bicara gue sedikit congkak.
“Iya mas. Sebentar saya ambil dulu beberapa berkasnya ya.”
Kemudian dia mengambil berkas entah apa itu. Yang jelas gue perhatikan dia, oke juga nih. Tingginya sekitar 165 cm, rambut sebahu yang di highlight coklat tua, cukup semampai, dengan celana jeans skinny dipadu kemeja khas orang-orang showroom bagian sales marketing, membuatnya jadi menarik dipandang, dan gue berpikir dia bisa meningkatkan penjualan secara signifikan. Apalagi dia memakai parfum Louis Vuitton Rose Des Vents, makin menarik perhatian kaum adam.

Mulustrasi Vanda, 94,7% mirip cewek ini
Kulitnya putih, wajahnya yang terkena sentuhan skin care serta touch make up yang baik, menjadi andalan dia dalam melakukan penjualan. Teknik cross gender (laki-laki berinteraksi ke pembeli perempuan, dan sebaliknya) juga bisa diandalkan oleh mbak ini untuk menjaring calon pembeli bapak-bapak atau om-om berdompet tebal.
Setelah kembali, dia langsung menjelaskan. Product knowledge-nya sangat baik. Caranya menjelaskan pun cukup membuat orang mudah mengerti. Intonasi dan suaranya teratur. Gue sangat yakin mbak ini salah satu staf sales marketing andalan.
“Saya mau varian tertinggi mobil ini ya mbak, warna hitam. Bisa?”
“Iya bisa mas. Lalu untuk bonus aksesorinya mau yang mana, Mas?”
“Saya mau fog lamp sama spoiler belakang aja ya.”
“Baik Mas. Untuk tipe pembayarannya kita menawarkan beberapa alternatif kredit. Ada beberapa vendor perusahaan multifinance yang siap untuk pembiayaan kendaraan ini Mas, dan……”
“Saya mau bayar cash.” Ujar gue menyela omongannya.
Dia terdiam sejenak. Gue yakin banget dia kaget. Kaget bukan karena gue memotong penjelasan dia, tapi karena gue yang berpenampilan seadanya dengan muka kayak mahasiswa yang tinggal dikost-kostan kelas bawah ini bisa menyatakan untuk pembayaran mobil dilakukan dengan sistem cash.
“Gimana, bisa?” tanya gue.
“Err…eh bisa..mas..bisa-bisa.”
“Nah gitu dong Mbak. Hehe. Jangan jadi keder. Bingung ya saya bilang begitu?”
Mbaknya hanya tersipu kecil, sepertinya agak malu juga telah menjustifikasi gue sebelumnya.
“Baik, sebentar saya ambilkan dulu berkas-berkas yang perlu diisi. Untuk persyaratan pembeliannya apa sudah dibawa, Mas?”
“Tenang Mbak, saya udah siapkan semuanya.”
Mbaknya kembali tersenyum, kali ini levelnya sudah seperti melayani calon pembeli sebelum gue dengan gaya parlente. Gue berhasil memutarbalikkan mindset dia. hahaha.
Nggak lama, sesuai ekspektasi gue, beberapa orang mendatangi gue dan bersikap luar biasa ramah. Bahkan salah satu manajer marketing-nya pun turun menemui gue. Dia menyatakan sangat jarang orang yang datang ke showroom ini beli mobil secara cash. Kebanyakan mencicil. Ya walaupun mobil yang dibeli bukan yang termahal, setidaknya membeli mobil secara cash adalah hal langka di showroom tersebut.
Proses transaksi berlangsung kurang lebih 45 menit dengan beberapa orang silih berganti mendatangi gue dengan wajah sumringah dan luar biasa bahagia. Bangs*t. Giliran sekarang aja lo pada ramah sama gue. Tadi ngapain aja? hahaha. Kena kan lo pada gue kerjain.
“Mbak Vanda, makasih udah bantuin saya ya.” kata gue sebelum gue meninggalkan showroom tersebut.
“Iya mas. Saya justru yang banyak terima kasih sama Mas.” Katanya sambil menyalami gue.
“Iya, soalnya bonusnya ntar gede ya. Hehehe.” Kata gue.
“Hehe, mas bisa aja.” ujarnya sambil tersipu. Manis juga.
“Oke deh. Nanti saya tunggu kedatangannya di alamat yang udah saya tulis tadi ya. Seminggu kan kurang lebih ya?”
“Iya mas. Kurang lebih satu minggu dari sekarang. Oh iya, itu ada nomor HP saya, kalau ada apa-apa bisa hubungi saya ya Mas.”
“Wah asyik, saya dikasih nomor HP. Hehehe. Biasanya saya yang berjuang buat dapetin nomor HP cewek loh mbak.” Ujar gue iseng menggoda dia.
“Haha. Iya mas.” Dia makin kesenangan malahan. Mudah sekali ternyata dengan kilau materi ya.
“Nanti kalau ada waktu senggang, saya telpon deh ya.”
“Ditunggu ya Mas.” Dia kembali tersenyum sangat manis seperti termakan pancingan gue.
Luar biasa bukan? Dari yang awalnya gue nggak dipedulikan sama sekali, sampai pada akhirnya gue bertransaksi secara cash, semua berbalik keadaannya. Bahkan salah satu stafnya kemungkinan besar bisa nyangkut secara personal dengan gue, hanya dengan begini. Gila kan? Itulah kalau kita hidup di jaman kapitalis seperti ini. Tolok ukur materi seperti selalu diagungkan dan diutamakan dalam berbagai macam hal.
Emi adalah orang yang paling gue sayang. Tapi dia pula yang paling gue sakiti. Paling sering gue tepikan. Paling sering gue lupakan. Paling sering gue kesampingkan perasaannya. Iya, gue bodoh. Itu harus gue akui. Seorang Anin aja yang dulunya freak seperti itu, mengaku belum tentu sekuat Emi ketika dia harus berada di posisi Emi saat bersama gue.
Sebenarnya apa lagi yang gue cari ketika Emi sudah menawarkan semua yang gue butuhkan, plus gue inginkan? Mau ngeband lagi? Dijabanin sama Emi sampai seperti sekarang posisinya. Mau diskusi soal kuliah S2? Dia bisa ngimbangin ilmu yang gue dapat dikelas tanpa harus ikut kelas gue. Mau nikmatin musik jepang dan metal sekaligus? Nggak usah ditanyain lagi, dia satu selera dengan gue. Masak gimana? Emi adalah orang yang mau nyoba bikin masakan baru dan gue pun selalu menikmati sajian yang dia masak selama ini karena memang rasanya enak.
Bicara soal musik metal, beberapa bulan kedepan akan ada festival metal di kota kembang. Tepatnya di daerah Cimahi. Disana bakal ada band-band metal lokal seperti Revenge The Fate dan juga Jasad, yang mana gue dan Emi memang ngefans dengan kedua band tersebut. Sedangkan dari luar negeri ada Fleshgod Apocalypse, band Symphonic Death Metal favorit Emi.
Gue pun mulai browsing tiket untuk acara ini, barangkali sudah dimulai dijual. Setelah sekitar setengah jam gue browsing, tiket sudah dapat dibeli. Nggak pakai lama, gue langsung memesan dua tiket acara metal tersebut. Hal ini akan menjadi yang pertama buat gue dan Emi. nonton acara metal di kota surganya metal Indonesia, Bandung.
Gue sudah mendapatkan notifikasi email untuk konfirmasi pembayaran. Gue pun langsung membayar melalui m-banking yang gue punya. Senang rasanya akhirnya gue bisa nonton acara ini. Terlebih lagi beberapa performer memang adalah idola kami berdua. Sepulang dari Malang ini, gue yakin Emi bakalan senang dengan surprise ini.
--
Pada hari terakhir, Wila sempat ingin bertemu lagi. Tapi gue sudah tolak secara halus. Benar aja, Wila malah semakin agresif. Dia nggakberhenti memantau pergerakan gue. setiap hampir setengah jam sekali dia chat gue, hanya untuk mengetahui gue ada dimana. Awalnya biasa-biasa aja, lama-lama gue jadi merasa agak terganggu.
Tapi itu adalah konsekuensi. Orang sudah gue buat nyaman, dan pada akhirnya mereka akan seperti itu. Sudah berulang kali kejadian, tapi gue seperti menikmati dikejar-kejar seperti ini. Anin yang menyadarkan gue akan hal itu. Hanya saja, karena mungkin gue senang dengan keadaan seperti ini, gue kembali bimbang. Mau dilewatkan begitu saja kok sayang. Dan pengingat gue hanya Emi. Emi yang meyakinkan gue untuk mulai membuang jauh-jauh perasaan senang dikejar-kejar seperti ini.
Setelah menyelesaikan pekerjaan gue, gue menyempatkan diri mampir ke Kota Batu, Jawa Timur. Gue akan survey kecil-kecilan untuk rencana fieldtrip kelas pascasarjana gue. menyenangkan juga ternyata ke kota ini. Banyak wisata yang baru gue temukan di kota ini.
Ada Jatim Park, ada kebun apel yang bisa memetik apelnya sendiri, dan wahana wisata alam lainnya yang nggak kalah seru. Semuanya didukung dengan cuaca yang relatif sejuk. Mengingatkan gue jika sedang berwisata ke daerah Puncak Bogor, Lembang Bandung, Ubud Bali atau Malino Sulawesi Selatan.
Beberapa foto gue ambil dan bagikan ke grup chat kelas gue. Mayoritas responnya adalah nggak sabar untuk berangkat menuju ke daerah ini nanti pada awal tahun depan. Jangankan mereka, gue aja yang sudah sampai disini duluan kepingin balik lagi kok. nggak lupa juga gue mengabadikan momen gue sendiri dengan meminta utusan klien gue untuk memfotokan.
Sore hari, setelah beberapa jam gue survey di Kota Batu, gue sudah berada di bandara. Wila kembali mencecar gue dengan beberapa chat, dan beberapa misscall. Akhirnya gue merespon dia dengan mengabarkan kalau gue udah sampai dibandara dengan selamat. Gue nggak mau juga terlalu lama di Malang ketika gue bisa menyelesaikan pekerjaan gue. Gue juga punya persiapan untuk manggung dan tentunya gue ingin bertemu dengan Emi.
--
Ketika gue bertemu dengan Emi, sepertinya dia agak kurang antusias dengan pertemuan ini. Padahal gue sangat kangen dengan dia waktu itu. Malah terkesan seperti ribut jadinya. Gue dari awal udah curiga kayaknya si Emi ini udah tau sedikit banyak mengenai Wila. Tapi gue nggak tau apakah dia berpikir si Wila ini mau macam-macam dengan gue atau nggak. Atau ada inputan lain lagi yang didapatkan Emi entah sumbernya darimana, gue nggak pernah tau.
Lalu gue akhirnya memiliki sebuah pemikiran yang menurut gue cukup layak untuk diperhitungkan. Melihat tabungan yang gue punya, rasa-rasanya investasi gue harus ditambah dengan sebuah kendaraan. Hal ini juga sekalian untuk membuktikan ke beberapa orang sekaligus kalau gue bukanlah orang yang gagal atau nggak jelas kehidupannya.
Gue pun memutuskan dan memantapkan diri untuk membeli mobil. Cash, nggak pakai kredit-kreditan. Biar Mama tau kalau gue bekerja dengan baik dan benar sehingga bisa menghasilkan sesuatu. Memang, materi bukan tolok ukur utama yang dilihat Mama, karena dulu Mama dan Papa bisa membeli apapun yang mereka mau. Tapi setidaknya, gue dengan usaha gue sendiri tanpa dibantu siapapun, bisa juga kok.
Keputusan gue berikutnya adalah, mengatasnamakan mobil tersebut dengan nama Emi. Iya, Emi. Gue mau membuktikan ke dia kalau dia adalah segalanya buat gue. memang gue belum sanggup untuk membeli rumah, karena sebenarnya investasi yang paling benar itu ya rumah. Karena setiap tahun, harga tanah nggak akan mungkin turun, walaupun nggak naik signifikan. Sedangkan kalau mobil pasti akan susut secara fungsi dan ekonomis pertahunnya, serta sesuai dengan penggunaannya.
Gue belum sanggup beli mobil sekelas SUV seperti impian gue dan juga Emi. Jadi gue memutuskan untuk membeli mobil yang kelasnya dibawah SUV, tapi yang bisa memuat banyak penumpang. Dulu gue dan Emi pernah merasakan menaiki mobil jenis tersebut, tapi itu punyanya Papa, bukan punya gue. Sedangkan mobil ini, walaupun nggak semewah itu, tetap ada kebanggaan tersendiri, karena ini hasil jerih payah gue sendiri.
“Aku pinjem KTP kamu ya?” tanya gue ke Emi.
“Buat apaan?” tanyanya.
“Aku mau beli barang, tapi mesti ada jaminan. Tenang aja, nggak aneh-aneh kok.”
“Aman nggak tapi?”
“Aman kok Insyallah.”
“Beneran, Zy? Soalnya sekarang KTP itu adalah hal yang krusial karena ada data informasi yang bisa dijual dengan mahal di dunia digital kayak sekarang. Kamu ngerti kan bahayanya kalau data kita dijual sama orang-orang yang nggak tanggung jawab?”
“Iya aku tau banget kok itu. Kan udah pernah kita diskusiin sebelumnya.”
“Nah makanya itu.”
“Tapi ini aman kok. kamu percaya aku kan?”
“Nggak seratus persen Zy.”
“Mi, udah deh. Ini bukan urusan cinta-cintaan kita. Oke?”
“Iya Zy….”
Emi menyerahkan KTP-nya dan beberapa lembar copy-nya. Rencana awal sudah berhasil. Sekarang adalah saatnya eksekusi. Gue mempersiapkan segala sesuatunya. Sebelumnya gue sudah coba browsing beberapa aturan pembeli mobil di showroom, tips dan trik, serta urusan-urusan legal dokumen dan segala yang terkait.
--
Pada hari minggu, ku turut ayah ke Kota. Eh nggak bisa, Ayah gue kan udah meninggal. Haha. Gue mengendarai motor gue menuju ke showroom. Tapi showroom-nya ini berada di kota tempat tinggal Emi, bukan di kota gue. Gue berpikir untuk lebih memudahkan, karena biar sesuai dengan alamat domisili yang tertera di KTP Emi.
Seperti yang sudah gue duga, respon yang ditunjukkan para staf penjualan di showroom ini tidaklah seramah bapak/ibu yang terlihat parlente atau berduit. Gue sengaja hanya memakai celana jeans slim fit pendek selutut, kaos hitam bergambar logo band Slipknot, topi, kacamata, serta jam tangan. Nggak lupa gue memakai sepatu sandal.
Gue mau melihat seperti apa mereka-mereka ini menilai calon pembeli. Dan ternyata, diskriminasi akibat penampilan luar lagi-lagi terjadi. Nggak cuma di toko-toko yang berada didalam mall, tapi ternyata di showroom pun sama.
Gue hanya disambut seadanya oleh satpam di pintu masuk, ditanyakan keperluan dengan tatapan curiga, lalu mempersilakan gue parkir ditempat yang sudah disediakan. Setelah parkir, gue berjalan masuk kedalam showroom. Sambutannya? Anyep. Gue membuka sendiri pintu kaca rangka alumunium yang ada dibagian depan gedung showroom ini.
Sementara, setelah gue, selang sekitar dua menitan, ada pasangan bapak ibu, mungkin sekitar umur mendekati 50 tahun, bajunya bagus, terlihat berdompet tebal lah, langsung dibukain pintunya sama staf yang bertugas kala itu.
Gue hanya bisa tersenyum miris. SOP macam apa yang diterapkan oleh showroom ini dan juga toko-toko lain di negeri ini? Hei, anda harus ingat, bahwa orang yang tajir melintir itu malah pakaiannya sangat biasa. Gue pernah nggak sengaja bertemu dengan salah satu dari 10 orang terkaya di Indonesia, ketika sedang meeting dikantornya. Tampilan orang ini sangat bersahaja, pakai kaos oblong, celana panjang bahan reguler, sepatu sandal dan ramah ke karyawannya yang otomatis langsung hormat atau respek dengan kehadirannya. Nggak ada terlihat orang ini seperti orang yang super duper kaya.
“Ntar gue bikin elu semua ngerubung di gue.” kata gue dalam hati.
Tengil atau petantang petenteng terkadang perlu untuk hal kayak gini. Tujuannya apa? biar orang-orang yang turun langsung berhadapan dengan calon pembeli itu tidak pilih-pilih. Harusnya mereka bisa ramah ke semua orang tanpa membedakan satu calon pembeli dengan lainnya hanya dengan melihat mereka datang menggunakan kendaraan apa dan memakai baju apa.
Sekitar 10 menitan gue berkeliling melihat-lihat mobil contoh, belum ada juga yang nyamperin gue untuk menjelaskan spek, atau minimal nanya ada yang bisa dibantu. Pakaian sangat kasual, muka kayak mahasiswa miskin kali ya, jadi mungkin dalam benak mereka, nggak akan beli nih bocah. Jadi nggak usah susah-susah dilayanin. Buang-buang waktu. Anj*ng sekali asumsi gue ya. haha. Tapi ya pengalaman membuktikan sih.
Pernah dalam suatu waktu di masa lalu, gue dan Mama sedang berbelanja ke salah satu outlet pakaian terkenal dari Spanyol. Kebiasaan berpakaian santai seperti sudah menurun dari keluarga gue. Mama dan Papa selalu menerapkan hidup sederhana aja walaupun kita lebih dari cukup. Biar nanti kalau kita ada di roda kehidupan yang bawah, kita nggak kaget.
Gue dan Mama masuk kedalam outlet di salah satu mall besar di Ibukota tersebut. Nggak ada satupun staff yang membantu melayani kami. Sedangkan yang terlihat agak sedikit lebih ‘kinclong’ dan dari ras tertentu, dilayani dengan baik. Setelah membeli beberapa setel pakaian, Mama dan gue memanggil dulu stafnya, baru mereka melayani. Itu pun tidak seramah yang mereka lakukan dengan beberapa orang ‘kinlong’ tadi.
Sampai dikasir, ini lebih seru lagi. Barang-barang yang udah kami pilih main dikeluarin dengan kasar, lalu di lempar kebelakang. Tanpa senyum, tanpa ekspresi dan cenderung seperti nggak suka. Entah memang aturannya seperti itu atau gimana, yang jelas itu nggak asyik banget buat dilihat. Hospitality harusnya tetap jadi jualan yang utama dan jadi pembeda karena persaingan di lini bisnis pakaian seperti ini sangatlah ketat.
Itu pula yang kurang lebih terjadi saat ini selama gue berada di showroom. Miris banget asli.
“Mbak, sini.” Kata gue dengan kode tangan memanggil, ekspresi sedikit gue buat angkuh.
“Oh iya, mas, ada yang bisa saya bantu?” kata Mbaknya yang cukup manis, tapi pelit senyum.
Kenapa gue milih Mbak yang gue liat papan nama di dada kirinya bertuliskan ‘Vanda’ ini? Karena tadi dia sangat ramah dan murah senyum melayani calon pembeli sebelum gue, yang juga berdandan ala parlente. Gue nggak sepenuhnya menyalahkan Mbak ini, tapi gue menyalahkan komando yang dia terima sehingga membuat pola pikirnya jadi seperti itu.
“Ini coba dong tolong jelasin spesifikasi mobil ini. Saya mau tau detail. Saya rencana mau ambil ini mobil.” Ujar gue. Nada bicara gue sedikit congkak.
“Iya mas. Sebentar saya ambil dulu beberapa berkasnya ya.”
Kemudian dia mengambil berkas entah apa itu. Yang jelas gue perhatikan dia, oke juga nih. Tingginya sekitar 165 cm, rambut sebahu yang di highlight coklat tua, cukup semampai, dengan celana jeans skinny dipadu kemeja khas orang-orang showroom bagian sales marketing, membuatnya jadi menarik dipandang, dan gue berpikir dia bisa meningkatkan penjualan secara signifikan. Apalagi dia memakai parfum Louis Vuitton Rose Des Vents, makin menarik perhatian kaum adam.

Mulustrasi Vanda, 94,7% mirip cewek ini
Kulitnya putih, wajahnya yang terkena sentuhan skin care serta touch make up yang baik, menjadi andalan dia dalam melakukan penjualan. Teknik cross gender (laki-laki berinteraksi ke pembeli perempuan, dan sebaliknya) juga bisa diandalkan oleh mbak ini untuk menjaring calon pembeli bapak-bapak atau om-om berdompet tebal.
Setelah kembali, dia langsung menjelaskan. Product knowledge-nya sangat baik. Caranya menjelaskan pun cukup membuat orang mudah mengerti. Intonasi dan suaranya teratur. Gue sangat yakin mbak ini salah satu staf sales marketing andalan.
“Saya mau varian tertinggi mobil ini ya mbak, warna hitam. Bisa?”
“Iya bisa mas. Lalu untuk bonus aksesorinya mau yang mana, Mas?”
“Saya mau fog lamp sama spoiler belakang aja ya.”
“Baik Mas. Untuk tipe pembayarannya kita menawarkan beberapa alternatif kredit. Ada beberapa vendor perusahaan multifinance yang siap untuk pembiayaan kendaraan ini Mas, dan……”
“Saya mau bayar cash.” Ujar gue menyela omongannya.
Dia terdiam sejenak. Gue yakin banget dia kaget. Kaget bukan karena gue memotong penjelasan dia, tapi karena gue yang berpenampilan seadanya dengan muka kayak mahasiswa yang tinggal dikost-kostan kelas bawah ini bisa menyatakan untuk pembayaran mobil dilakukan dengan sistem cash.
“Gimana, bisa?” tanya gue.
“Err…eh bisa..mas..bisa-bisa.”
“Nah gitu dong Mbak. Hehe. Jangan jadi keder. Bingung ya saya bilang begitu?”
Mbaknya hanya tersipu kecil, sepertinya agak malu juga telah menjustifikasi gue sebelumnya.
“Baik, sebentar saya ambilkan dulu berkas-berkas yang perlu diisi. Untuk persyaratan pembeliannya apa sudah dibawa, Mas?”
“Tenang Mbak, saya udah siapkan semuanya.”
Mbaknya kembali tersenyum, kali ini levelnya sudah seperti melayani calon pembeli sebelum gue dengan gaya parlente. Gue berhasil memutarbalikkan mindset dia. hahaha.
Nggak lama, sesuai ekspektasi gue, beberapa orang mendatangi gue dan bersikap luar biasa ramah. Bahkan salah satu manajer marketing-nya pun turun menemui gue. Dia menyatakan sangat jarang orang yang datang ke showroom ini beli mobil secara cash. Kebanyakan mencicil. Ya walaupun mobil yang dibeli bukan yang termahal, setidaknya membeli mobil secara cash adalah hal langka di showroom tersebut.
Proses transaksi berlangsung kurang lebih 45 menit dengan beberapa orang silih berganti mendatangi gue dengan wajah sumringah dan luar biasa bahagia. Bangs*t. Giliran sekarang aja lo pada ramah sama gue. Tadi ngapain aja? hahaha. Kena kan lo pada gue kerjain.
“Mbak Vanda, makasih udah bantuin saya ya.” kata gue sebelum gue meninggalkan showroom tersebut.
“Iya mas. Saya justru yang banyak terima kasih sama Mas.” Katanya sambil menyalami gue.
“Iya, soalnya bonusnya ntar gede ya. Hehehe.” Kata gue.
“Hehe, mas bisa aja.” ujarnya sambil tersipu. Manis juga.
“Oke deh. Nanti saya tunggu kedatangannya di alamat yang udah saya tulis tadi ya. Seminggu kan kurang lebih ya?”
“Iya mas. Kurang lebih satu minggu dari sekarang. Oh iya, itu ada nomor HP saya, kalau ada apa-apa bisa hubungi saya ya Mas.”
“Wah asyik, saya dikasih nomor HP. Hehehe. Biasanya saya yang berjuang buat dapetin nomor HP cewek loh mbak.” Ujar gue iseng menggoda dia.
“Haha. Iya mas.” Dia makin kesenangan malahan. Mudah sekali ternyata dengan kilau materi ya.
“Nanti kalau ada waktu senggang, saya telpon deh ya.”
“Ditunggu ya Mas.” Dia kembali tersenyum sangat manis seperti termakan pancingan gue.
Luar biasa bukan? Dari yang awalnya gue nggak dipedulikan sama sekali, sampai pada akhirnya gue bertransaksi secara cash, semua berbalik keadaannya. Bahkan salah satu stafnya kemungkinan besar bisa nyangkut secara personal dengan gue, hanya dengan begini. Gila kan? Itulah kalau kita hidup di jaman kapitalis seperti ini. Tolok ukur materi seperti selalu diagungkan dan diutamakan dalam berbagai macam hal.
Diubah oleh yanagi92055 26-05-2020 20:01
itkgid dan 22 lainnya memberi reputasi
23
Tutup