- Beranda
- Stories from the Heart
SETAN CILIK
...
TS
indrag057
SETAN CILIK
Hai, ketemu lagi dengan thread ane yang ke dua. Kali ini ane akan berbagi kenangan masa masa kecil ane dulu, masa masa yang paling indah menurut ane, meski ane tinggal di desa yang terpencil yang jauh dari peradaban. Ane menulis kisah ini bukan berarti ane ingin memberi contoh yang tidak baik buat agan agan semua, tapi murni hanya ingin berbagi cerita saja. So, jadilah reader yang bijak, ambil yang baik baik saja, yang ga baik ga usah ditiru, karrna kisah ini penuh dengan kekonyolan dan kenakalan anak generasi zaman old. OK, mari sama sama kita simak kisahnya, cekidot
INDEKS
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
part 1: murid 'telad'an
Sebut saja namaku Joko, anak desa yang polos dan lugu. Lahir dan besar di sebuah keluarga sederhana yang keseharianya bekerja sebagai petani.
Teman temanku lebih sering memanggilku Cakil, karena aku memang anak yang hiper aktif, banyak tingkah, dan ga bisa diam. Pethakilan seperti buto cakil, tokoh yang ada dalam kisah cerita pewayangan. Kalian yang tau dan pernah nonton wayang pasti tau lah seperti apa tingkah si buto cakil ini.
Spoiler for buto cakil:
Namun orang orang dewasa di kampungku lebih suka memanggilku si Setan Cilik, itu karena kenakalanku yang menurut mereka telah melebihi ambang batas kewajaran. Padahal menurutku sih masih wajar wajar saja. Wajar kalau nakal, namanya juga anak anak, kwkwkwkwk.....
Di sekolah, aku dikenal sebagai murid 'telad'an, bukan karena prestasi yang menonjol, tapi karena terlalu sering datang telad alias terlambat. Bukan karena jarak sekolah yang jauh, karena letak sekolah hanya beberapa meter dari rumahku. Tapi karena aku sering bangun kesiangan. Maklum, kalau malam suka keluyuran ga jelas gitu.
Dan karena ke'telad'annanku itu, akupun jadi langganan kena setrap oleh guru, berdiri di depan kelas dengan satu kaki dan kedua tangan memegang telinga sambil mengucap janji bahwa tidak akan datang terlambat lagi. Kata kata itu harus aku ucapkan berulang ulang, kadang sampai duapuluh atau limapuluh kali, membuatku jadi bahan tertawaan seisi kelas, terutama anak anak perempuan.
Ya, mereka, anak anak perempuan, memang punya dendam kesumat kepadaku, karena sering menjadi target kejahilanku.
Kalian anak anak zaman old, pasti tak asing dengan rautan pensil berbentuk bulat yang ada cerminnya itu. Nah, itu menjadi senjataku untuk menjahili anak anak perempuan. Cermin pada rautan pensil itu aku lepas lalu aku tempel di ujung sepatu dengan lem. Dah kejahilanpun dimulai. Targgetku anak perempuan yang lengah. Sambil pura pura ngapain gitu kudekati mereka, lalu kujurkan sepatu berkacaku itu di sela sela kaki mereka, dan jeeenngg.... jeeenngg... jeeenngg...., kelihatanlah celana dalam mereka di pantulan cermin. Ga cukup sampai disitu, aku lalu mengumumkan pada semua penghuni sekolah, bahwa si A memakai celana dalam warna pink, atau si B memakai celana dalam warna merah. Gegerlah warga sekolah, mentertawakan ulah jahilku. Dan akupun jadi bulan bulanan anak anak perempuan yang jadi korbanku, di kejar kejar sampai tertangkap dan habis di gebukin beramai ramai.
Ada lagi jurus kentul kenyut.Kalian tau 'yoyo' kan, mainan anak anak yang bertali, yang bisa di putar putar dengan berbagai gaya itu. Di kampungku itu namanya kentul kenyut. Mainan ini juga menjadi senjataku untuk menjahili anak anak perempuan. Dengan lihainya mainan itu kugunakan untuk menyambar dan menyingkap rok anak anak perempuan hingga kelihatan celana dalamnya.
Ngakak sumpah, tapi ini bukan bermaksud mesum lho, tapi cuma sekedar iseng saja. Anak seumuranku di waktu itu mana kenal kata mesum. Zaman itu teknologi belum secanggih sekarang. Anak laki laki dan perempuan mandi bareng beramai ramai di sungai dan telanjang bulat pun sudah menjadi hal yang biasa. Coba kalau zaman sekarang, kalian bayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya jika seperti itu.
Anak anak perempuan biasanya kalau main suka bergerombol. Macam macam jenis permainan mereka, mainan khas zaman dulu. Kadang main bola bekel, watu gatheng, jamuran, atau main karet. Melihat mereka asyik main begitu, seperti biasa niat jahilku timbul. Di belakang sekolah ada kebun milik warga, di situ aku mencari cacing, ulat, anak kodok, atau apapun itu yang bisa membuat anak anak perempuan merasa jijik dan ketakutan. Setelah mendapatkan apa yang ku cari, kumulailah aksiku. Apa yang aku dapatkan dari kebun belakang sekolah itu aku lemparkan ke tengah tengah gerombolan anak anak perempuan yang sedang asyik bermain, yang membuat mereka sontak bubar berlarian sambil berteriak teriak menyumpahiku. Membuatku tertawa puas berhasil mengerjai mereka.
Pelajaran olah raga adalah yang paling aku sukai. Terutama sepak bola. Tapi sebenarnya bukan pelajarannya yang kusukai, tapi kebebasannya. Biasanya pas pelajaran itu kami main sepak bola, dan kebetulan letak lapangannya agak jauh dari gedung sekolahan. Untuk kesana kami harus jalan kaki dulu sekitar sepuluh menitan gitu. Bebas lah kami bermain di situ, karena seringnya pak guru juga tak pernah mengawasi. Kami diumbar begitu saja. Kesempatan lah bagi kami untuk berekspresi.
Pernah suatu ketika, waktu itu musim penghujan. Otomatis lapangan jadi becek. Tapi itu tak menyurutkan tekad kami untuk bermain bola. Jadilah kami berkubang ria di lapangan berlumpur itu. Tak peduli baju dan celana jadi kotor penuh lumpur. Untung kami membawa pakaian olahraga, jadi bukan seragam putih merah kami yang kotor.
Selesai main bola akupun mengusulkan untuk mandi di sungai, karena badan dan pakaian kotor semua kena lumpur. Teman teman pun setuju. Toh pak guru ga bakalan tau, karena beliau pasti sedang asyik duduk terkantuk kantuk di dalam kelas.
Kami pun segera menuju ke sungai yang tak jauh dari lapangan. Mandi di sungai setelah berolahraga, pastilah sangat menyegarkan, sampai sampai kami lupa waktu. Jam pelajaran olahraga sudah habis, tapi kami masih asyik mandi. Hingga tiba tiba pak guru muncul meneriaki kami untuk segera kembali ke kelas. Panik lah kami semua, langsung berhamburan lari kembali ke kelas.
Guru yang mengajar kami namanya pak Jo. Orangnya sudah agak tua, kepalanya botak, dan hoby ngantuk'an. Saat kami para murid sibuk mengerjakan soal, beliau pasti duduk terkantuk kantuk di kursinya. Ini juga menjadi target keisenganku. Saat beliau terkantuk kantuk, diam diam ku ambil karet gelang dan ku jepret tepat di kepalanya yang botak. So pasti beliau tersentak kaget, dan aku pun pura pura kembali sibuk mengerjakan tugas. Duh, sebegitu kurang ajarnya aku. Sekarang jika ingat hal itu aku sangat menyesal dan merasa bersalah. Padahal pak Jo ini guru yang baik dan sangat penyabar. Maafkan aku pak Jo, muridmu yang durhaka ini.
Dulu kami memang selalu menyiapkan beberapa karet gelang di tas sekolah kami. Kalian tau untuk apa? Ini adalah kreatifitas kami anak anak era 90-an. Karet gelang ini bisa dijadikan penghapus. Biasanya kami mengikat karet gelang pada ujung pensil, dan saat kami salah menulis menggunakan pensil, karet itu bisa dijadikan penghapus. Lumayan kan, daripada harus beli penghapus. Karena yang namanya uang jajan di saat itu sangatlah langka.
Di belakang sekolah kami ada sebuah pohon jamblang yang cukup rindang. Di situlah base camp kami saat jam istirahat. Kebetulan ada yang berinisiatif membuat lincak ( semacam dipan sederhana yang terbuat dari bambu) di bawah pohon itu. Saat pohon itu berbuah, jadilah buah itu santapan kami. Berlomba lomba untuk memanjat dan memetik buahnya yang lebat, tanpa peduli getah buah itu menodai baju seragam kami. Jadilah seragam putih itu berbercak bercak ungu. Saat itu kami belum begitu mengenal jajan. Selain karena memang tak banyak yang jualan jajanan di sekitar sekolah, uang jajan kami juga sangat minim. Maklum rata rata kami berasal dari keluarga petani yang kurang mampu. Jadi dengan adanya pohon jamblang itu merupakan berkah bagi kami. Tapi pohon itu juga pernah mencelakaiku. Saat itu habis hujan. Teman teman sudah mengingatkan untuk tidak memanjat pohon jamblang itu, karena pasti basah dan licin untuk di panjat. Tapi dasarnya aku memang bandel, akupun nekat memanjat. Dan benar saja, aku terpeleset dan jatuh. Seminggu aku tak masuk sekolah karena kakiku terkilir dan ga bisa jalan.
Di depan sekolah, di seberang jalan, ada yang membuka warung sederhana, namanya mbah Min, masih warga kampung kami juga. Orangnya sudah tua, namun baik dan ramah dengan kami. Warungnya kecil dan sangat sederhana, hanya sebuah gubuk tanpa dinding dan beratap anyaman daun kelapa kering. Yang di jual juga tak kalah sederhana, hanya makanan kecil seperti jenang sungsum, dawet, dan gorengan. Ada satu jajanan favoritku, yaitu karak goreng. Sisa nasi yang di keringkan lalu di goreng dengan bumbu garam, lalu dibungkus dengan plastik kecil panjang seperti bungkus es potong atau es lilin itu. Rasanya gurih gurih asin gitu. Aku masih ingat, waktu itu harganya 25 perak per dua bungkus. Du zaman itu, duit segitu dah termasuk banyak. Rata rata uang saku kami cuma 50 perak. Jika ada yang bawa uang saku sampai seratus perak, sudah pasti bisa jadi boss. Apalagi kalau uang seratus perak kertas yang warna merah gambar perahu itu, wah, bisa di pamerkan ke semua penghuni sekolahan. Entah lah, kenapa waktu itu uang seratus perak yang kertas kami anggap lebih berharga daripada uang seratus perak yang koin, padahal kalau dipikir pikir nilainya sama saja. Bahkan sangking berharganya, kalau dapat uang seratus perak yang kertas, kami merasa sangat sayang untuk membelanjakannya. Jadi hanya di simpan dan di pamer pamerkan kepada orang lain. Sungguh konyol kelakuan kami waktu itu.
Meski mbah Min ini baik dan ramah, namun bukan berarti ia lepas dari kejahilanku. Entah sudah berapa puluh kali dagangannya aku tilep. Saat beliau sibuk melayani anak anak yang lain, ada saja dagangannya entah itu tempe goreng atau bungkusan karak yang masuk ke kantong celanaku tanpa sepengetahuan beliau, dan tanpa kubayar juga tentunya. Itu yang membuat emakku sering ngomel saat mencuci celana seragamku, karena sudah dipastikan kantong celana itu belepotan bekas minyak goreng.
OK, begitulah sekelumit kisah masa kecilku di sekolah, lanjut lagi nanti di part 2 tentang kisah masa kecilku di luar sekolah, di tunggu yaaaa.........
Diubah oleh indrag057 10-06-2020 22:08
itkgid dan 32 lainnya memberi reputasi
31
6.6K
33
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
indrag057
#9
Part 5 : Pemberontakan ( TAMAT)
Lulus dari sekolah dasar merupakan titik awal perubahan dalam hidupku. Lulus dengan nilai yang lumayan bagus dan diterima di sebuah SMP negeri favorit tidak lantas membuatku bahagia.
Jarak sekolah yang jauh, teman teman baru yang asing, dan lingkungan sekolah baru yang kurasakan kurang bersahabat, membuat semangatku down seketika.
Aku yang dulu selalu dikenal periang dan banyak tingkah, berubah menjadi anak yang pendiam dan lebih suka menyendiri.
Saat jam istirahat, aku hanya bisa duduk menyendiri di sudut halaman, melihat siswa siswa yang lain asyik bersendau gurau di kantin sekolah sambil menikmati jajanan yang beraneka ragam.
Bukannya aku tak mau berbaur dengan mereka, tapi aku tak berani. Ada rasa minder, karena mereka rata rata anak orang berada. Seragam mereka bagus, bersih, dan rapi. Uang jajan mereka juga lebih dari cukup untuk memborong jajanan di kantin.
Sedangkan aku, baju seragam lusuh pemberian saudara sepupuku, sepatu jg bekas yang kupakai waktu SD dulu. Uang jajan? Jangan ditanya, untuk bayar uang sekolah saja kadang sering nunggak. Sudah menjadi rahasia umum kalau aku menjadi langganan dipanggil ke ruang guru BP gara gara nunggak uang sekolah.
Saat pelajaran di kelas pun aku tak bisa mengikuti dengan baik. Lebih banyak melamun daripada memperhatikan guru yang mengajar. Tak heran jika nilai pelajaranku anjlok. Dan lagi lagi harus jadi langganan dipanggil ke ruang BP karena nilai yang minus.
Aku juga jadi langganan dihukum oleh guru piket karena datang terlambat, mbuatku jadi bahan olok olokan siswa siswa yang lain. Jarak rumah ke sekolah memang lumayan jauh, sekitar enam atau tujuh kilometer, dan hanya ditempuh dengan berjalan kaki. Karena memang aku hanya punya kaki, tidak seperti siswa siswa lain yang bersepeda atau diantar pake sepeda motor atau mobil.
Akhirnya, aku hanya bertahan selama enam bulan di SMP. Jiwa buto cakilku mulai berontak. Tak ingin terus terusan jadi pecundang seperti ini. Dengan penuh percaya diri kuutarakan niatku kepada emak dan bapak.
Dan bisa ditebak, keinginanku ditolak mentah mentah. Mau jadi apa kalau nggak sekolah, sekolah saja yang bener biar jadi anak pinter, nggak usah mikir ini mikir itu, dan bla bla bla seribu satu nasehat yang sudah tak kuanggap lagi.
Oke lah, yang penting aku sudah jujur sama emak dan bapak. Soal mereka setuju atau tidak, itu urusan mereka. Mereka nggak merasakan apa yang aku rasakan, jadi bahan tertawaan di sekolah, sering dihukum dan disidang oleh guru BP, bukan hal yang menyenangkan. Dan pemberontakanpun dimulai.
Tak ada lagi yang boleh meremehkanku. Guru piket tak akan bisa lagi menghukumku, karena aku lebih memilih untuk membolos daripada datang terlambat dan mendapat hukuman.
Guru BP juga kesulitan untuk menyidangku, karena saat dipanggil ke ruang BP aku hanya pura pura budeg dan ngumpet di kamar mandi.
Dan teman teman yang suka mentertawakanku, entah sudah berapa dari mereka yang menjadi korban bogem mentahku, sampai tak ada lagi yang berani mentertawakanku.
Emak. Dan bapak yang selama ini sering ribut karena masalah keuangan, itu yang masih menjadi beban pikiranku. Aku anak laki laki, tidak seharusnya menjadi beban emak dan bapak. Jika mereka sering ribut hanya karena masalah keuangan dan biaya sekolahku, aku harus bisa memberi solusi.
Berawal dari seringnya aku membolos sekolah dan keluyuran nggak jelas entah kemana, akhirnya suatu hari aku terdampar di sebuah sudut kota kecamatan, dimana berdiri sebuah pabrik penggilingan padi.
Dengan penuh percaya diri kutemui pemilik pabrik itu, tentu saja setelah mengganti baju seragamku dengan baju biasa. Kuutarakan niatku untuk ikut bekerja disitu, kerja apa saja, dan dibayar berapa saja aku mau, asal bisa kerja.
Awalnya pemilik pabrik itu menolak. Anak sekecil aku mau kerja di penggilingan padi? Tapi aku tak menyerah, kuceritakan bahwa aku juga anak petani, sudah biasa menjemur padi dan pekerjaan pekerjaan lainya. Akhirnya entah karena kasihan atau apa, aku diterima bekerja, tapi bukan di pabrik itu.
Jadi selain menjadi boss penggilingan padi, orang itu juga punya peternakan sapi potong. Jadi tugasku adalah mengurus sapi sapi itu. Dari memberi makan, memandikan sapi, dan membersihkan kandang. Tugas yang mudah, karena aku sudah terbiasa mengurus ternak.
Awalnya semua berjalan lancar. Emak dan bapak tak tahu kalau aku bekerja dan tidak sekolah lagi. Pagi seperti biasa aku berangkat dengan memakai baju seragam dan membawa tas berisi buku, seolah akan berangkat sekolah. Padahal di tengah jalan aku mengganti baju seragamku dengan pakaian biasa. Sore juga pulang masih memakai seragam lagi.
Sampai sebulan kemudian rahasia terbongkar. Seorang guru datang kerumah dan memberitahu bapak bahwa aku sudah sebulan lebih tidak masuk sekolah. Bapakpun murka. Sore hari saat aku pulang disambut dengan gagang sapu yang mendarat berkali kali di pantatku.
Tapi aku tidak kapok. Itu sudah menjadi tekadku. Aku tak ingin lagi sekolah. Aku ingin bekerja, mencari uang untuk membantu bapak dan emak, juga untuk biaya sekolah Ranti, adikku. Akhirnya emak dan bapakpun menyerah. Mereka tahu sifatku dan meraka yakin mereka tidak akan menang.
Akhirnya akupun dibiarkan tetap bekerja di peternakan sapi. Dan aku betah kerja disitu. Majikanku sangatlah baik. Mereka bilang aku rajin dan mengurus ternak dengan baik. Selain mendapat gaji yang menurutku lumayan, aku juga dapat makan tiga kali sehari. Sungguh beruntung nasibku.
Sedikit demi sedikit aku mulai bisa menabung, dan juga membiayai sekolah Ranti, adikku. Aku tak ingin ia bernasib sepertiku. Meski dia perempuan, tapi harus bisa sekolah tanpa kekurangan biaya.
Sampai hari ini, detik ini, aku masih bekerja pada pak Parto, pemilik pabrik penggilingan padi. Bukan lagi sebagai pengurus sapi, tapi mengurus pabrik penggilingan padinya. Pak Parto sudah semakin tua, tak sanggup lagi mengurus semua sendirian. Bisa dibilang aku sudah menjadi orang kepercayaannya.
Bapak dan emak juga sudah semakin tua. Jadi tak kuijinkan lagi untuk bekerja di sawah. Biar sawah digarap orang, nanti hasilnya dibagi dua. Emak dan bapak cukup duduk di rumah, biar aku yang berkerja.
Ranti adikku, sekarang kuliah di jogja. Sudah menjadi anak gadis yang manis dan cerdas. Tak sia sia aku bekerja keras untuk menyekolahkannya.
Aku sendiri, merasa cukup puas dengan hasil usahaku. Kerja kerasku selama ini tak sia sia. Meski dulu aku dikenal sebagai si setan cilik yang nakalnya melebihi buto cakil, meski aku tidak mengenyam pendidikan yang tinggi, tapi aku bisa membuktikan, bahwa dengan kerja keras dan tekad yang kuat kesuksesan pasti bisa di raih.
Oh ya, satu lagi sobat, sebentar lagi juga aku akan melepas masa lajangku. Ya, aku akan segera menikah. Kalian tau siapa bidadari cantik calon pendamping hidupku? Namanya Putri, anak semata wayang Pak Parto, majikanku sendiri.
Hebat kan, anak kampung dapat jodoh anak juragan. Nasib baik dan keberuntungan memang kadang datang tak terduga. Selama kita masih mau berusaha dan berdoa, tak ada yang mustahil. Karena hidup itu seperti roda yang berputar. Yang dibawah tak akan selamanya selalu dibawah, begitu juga sebaliknya.
Demikian thread sederhana ini ane akhiri, semoga bisa ada sedikit hikmah yang bisa kita petik bersama. Mohon maaf bila ada salah salah kata, typo disana sini, ataupun cerita yang kurang menarik, ane yang masih mewbie ini mohon kritik, saran, dan bimbingannya. Sampai ketemu lagi di thread yang lain.
Wassalam
Jarak sekolah yang jauh, teman teman baru yang asing, dan lingkungan sekolah baru yang kurasakan kurang bersahabat, membuat semangatku down seketika.
Aku yang dulu selalu dikenal periang dan banyak tingkah, berubah menjadi anak yang pendiam dan lebih suka menyendiri.
Saat jam istirahat, aku hanya bisa duduk menyendiri di sudut halaman, melihat siswa siswa yang lain asyik bersendau gurau di kantin sekolah sambil menikmati jajanan yang beraneka ragam.
Bukannya aku tak mau berbaur dengan mereka, tapi aku tak berani. Ada rasa minder, karena mereka rata rata anak orang berada. Seragam mereka bagus, bersih, dan rapi. Uang jajan mereka juga lebih dari cukup untuk memborong jajanan di kantin.
Sedangkan aku, baju seragam lusuh pemberian saudara sepupuku, sepatu jg bekas yang kupakai waktu SD dulu. Uang jajan? Jangan ditanya, untuk bayar uang sekolah saja kadang sering nunggak. Sudah menjadi rahasia umum kalau aku menjadi langganan dipanggil ke ruang guru BP gara gara nunggak uang sekolah.
Saat pelajaran di kelas pun aku tak bisa mengikuti dengan baik. Lebih banyak melamun daripada memperhatikan guru yang mengajar. Tak heran jika nilai pelajaranku anjlok. Dan lagi lagi harus jadi langganan dipanggil ke ruang BP karena nilai yang minus.
Aku juga jadi langganan dihukum oleh guru piket karena datang terlambat, mbuatku jadi bahan olok olokan siswa siswa yang lain. Jarak rumah ke sekolah memang lumayan jauh, sekitar enam atau tujuh kilometer, dan hanya ditempuh dengan berjalan kaki. Karena memang aku hanya punya kaki, tidak seperti siswa siswa lain yang bersepeda atau diantar pake sepeda motor atau mobil.
Akhirnya, aku hanya bertahan selama enam bulan di SMP. Jiwa buto cakilku mulai berontak. Tak ingin terus terusan jadi pecundang seperti ini. Dengan penuh percaya diri kuutarakan niatku kepada emak dan bapak.
Dan bisa ditebak, keinginanku ditolak mentah mentah. Mau jadi apa kalau nggak sekolah, sekolah saja yang bener biar jadi anak pinter, nggak usah mikir ini mikir itu, dan bla bla bla seribu satu nasehat yang sudah tak kuanggap lagi.
Oke lah, yang penting aku sudah jujur sama emak dan bapak. Soal mereka setuju atau tidak, itu urusan mereka. Mereka nggak merasakan apa yang aku rasakan, jadi bahan tertawaan di sekolah, sering dihukum dan disidang oleh guru BP, bukan hal yang menyenangkan. Dan pemberontakanpun dimulai.
Tak ada lagi yang boleh meremehkanku. Guru piket tak akan bisa lagi menghukumku, karena aku lebih memilih untuk membolos daripada datang terlambat dan mendapat hukuman.
Guru BP juga kesulitan untuk menyidangku, karena saat dipanggil ke ruang BP aku hanya pura pura budeg dan ngumpet di kamar mandi.
Dan teman teman yang suka mentertawakanku, entah sudah berapa dari mereka yang menjadi korban bogem mentahku, sampai tak ada lagi yang berani mentertawakanku.
Emak. Dan bapak yang selama ini sering ribut karena masalah keuangan, itu yang masih menjadi beban pikiranku. Aku anak laki laki, tidak seharusnya menjadi beban emak dan bapak. Jika mereka sering ribut hanya karena masalah keuangan dan biaya sekolahku, aku harus bisa memberi solusi.
Berawal dari seringnya aku membolos sekolah dan keluyuran nggak jelas entah kemana, akhirnya suatu hari aku terdampar di sebuah sudut kota kecamatan, dimana berdiri sebuah pabrik penggilingan padi.
Dengan penuh percaya diri kutemui pemilik pabrik itu, tentu saja setelah mengganti baju seragamku dengan baju biasa. Kuutarakan niatku untuk ikut bekerja disitu, kerja apa saja, dan dibayar berapa saja aku mau, asal bisa kerja.
Awalnya pemilik pabrik itu menolak. Anak sekecil aku mau kerja di penggilingan padi? Tapi aku tak menyerah, kuceritakan bahwa aku juga anak petani, sudah biasa menjemur padi dan pekerjaan pekerjaan lainya. Akhirnya entah karena kasihan atau apa, aku diterima bekerja, tapi bukan di pabrik itu.
Jadi selain menjadi boss penggilingan padi, orang itu juga punya peternakan sapi potong. Jadi tugasku adalah mengurus sapi sapi itu. Dari memberi makan, memandikan sapi, dan membersihkan kandang. Tugas yang mudah, karena aku sudah terbiasa mengurus ternak.
Awalnya semua berjalan lancar. Emak dan bapak tak tahu kalau aku bekerja dan tidak sekolah lagi. Pagi seperti biasa aku berangkat dengan memakai baju seragam dan membawa tas berisi buku, seolah akan berangkat sekolah. Padahal di tengah jalan aku mengganti baju seragamku dengan pakaian biasa. Sore juga pulang masih memakai seragam lagi.
Sampai sebulan kemudian rahasia terbongkar. Seorang guru datang kerumah dan memberitahu bapak bahwa aku sudah sebulan lebih tidak masuk sekolah. Bapakpun murka. Sore hari saat aku pulang disambut dengan gagang sapu yang mendarat berkali kali di pantatku.
Tapi aku tidak kapok. Itu sudah menjadi tekadku. Aku tak ingin lagi sekolah. Aku ingin bekerja, mencari uang untuk membantu bapak dan emak, juga untuk biaya sekolah Ranti, adikku. Akhirnya emak dan bapakpun menyerah. Mereka tahu sifatku dan meraka yakin mereka tidak akan menang.
Akhirnya akupun dibiarkan tetap bekerja di peternakan sapi. Dan aku betah kerja disitu. Majikanku sangatlah baik. Mereka bilang aku rajin dan mengurus ternak dengan baik. Selain mendapat gaji yang menurutku lumayan, aku juga dapat makan tiga kali sehari. Sungguh beruntung nasibku.
Sedikit demi sedikit aku mulai bisa menabung, dan juga membiayai sekolah Ranti, adikku. Aku tak ingin ia bernasib sepertiku. Meski dia perempuan, tapi harus bisa sekolah tanpa kekurangan biaya.
Sampai hari ini, detik ini, aku masih bekerja pada pak Parto, pemilik pabrik penggilingan padi. Bukan lagi sebagai pengurus sapi, tapi mengurus pabrik penggilingan padinya. Pak Parto sudah semakin tua, tak sanggup lagi mengurus semua sendirian. Bisa dibilang aku sudah menjadi orang kepercayaannya.
Bapak dan emak juga sudah semakin tua. Jadi tak kuijinkan lagi untuk bekerja di sawah. Biar sawah digarap orang, nanti hasilnya dibagi dua. Emak dan bapak cukup duduk di rumah, biar aku yang berkerja.
Ranti adikku, sekarang kuliah di jogja. Sudah menjadi anak gadis yang manis dan cerdas. Tak sia sia aku bekerja keras untuk menyekolahkannya.
Aku sendiri, merasa cukup puas dengan hasil usahaku. Kerja kerasku selama ini tak sia sia. Meski dulu aku dikenal sebagai si setan cilik yang nakalnya melebihi buto cakil, meski aku tidak mengenyam pendidikan yang tinggi, tapi aku bisa membuktikan, bahwa dengan kerja keras dan tekad yang kuat kesuksesan pasti bisa di raih.
Oh ya, satu lagi sobat, sebentar lagi juga aku akan melepas masa lajangku. Ya, aku akan segera menikah. Kalian tau siapa bidadari cantik calon pendamping hidupku? Namanya Putri, anak semata wayang Pak Parto, majikanku sendiri.
Hebat kan, anak kampung dapat jodoh anak juragan. Nasib baik dan keberuntungan memang kadang datang tak terduga. Selama kita masih mau berusaha dan berdoa, tak ada yang mustahil. Karena hidup itu seperti roda yang berputar. Yang dibawah tak akan selamanya selalu dibawah, begitu juga sebaliknya.
Demikian thread sederhana ini ane akhiri, semoga bisa ada sedikit hikmah yang bisa kita petik bersama. Mohon maaf bila ada salah salah kata, typo disana sini, ataupun cerita yang kurang menarik, ane yang masih mewbie ini mohon kritik, saran, dan bimbingannya. Sampai ketemu lagi di thread yang lain.
Wassalam
JabLai cOY dan 19 lainnya memberi reputasi
20
Tutup