Kaskus

Story

betiatinaAvatar border
TS
betiatina
Mengintip Sunrise di Lereng Merapi (cerbung)
Cerita bersambung motivasi

Mengintip Sunrise di Lereng Merapi (cerbung)
sumber

Siapalah di dunia ini yang tahu bagaimana nasib seseorang akan berubah? Tentu tak ada satu orang pun yang bisa menerka. Namun dibalik rahasia itu, ada usaha sekeras baja yang ternyata mampu membawa seorang anak manusia menuju jalan hidup berbeda, yang lebih baik tentunya. Adalah Sando, bocah dari keluarga miskin namun semangatnya luar biasa mampu membawa keluarganya menjauh dari kondisi buruk yang melekat erat selama bertahun-tahun. Bukankah impian itu milik semua orang?. Beruntunglah dia tidak berjuang sendirian, ada sahabatnya yang selalu memberi dukungan dan semangat. Aima, gadis manis pemilik cahaya yang menerangi hidup Sando.


Lereng Merapi berselimut kabut, lelehan lahar membentuk garis merah yang menghiasi puncaknya terlihat indah. Udara dingin ciri khas lereng gunung sangat terasa. Namun seperti biasa, para penduduk tetap semangat memulai hari. Menaklukkan diri sendiri agar berdamai dengan alam.

Suara kokok ayam membangunkan Pinah dari tidur lelapnya. Mata sembab dan tubuh menggigil telah menjadi kebiasaan dipagi yang dingin. Desiran angin terasa menusuk hingga tulang, tak sedikitpun menyurutkan langkahnya untuk segera beranjak dari dipanbambu reot yang telah setia menopang dirinya semalaman.

Sayup-sayup terdengar Adzan subuh berkumandang dari mushola ujung kampung, suara cempreng lik Sholeh terdengar memanggil semua warga untuk segera menunaikan kewajiban sholat, walau kenyataannya hanya satu shaf yang tetap setia pada barisannya. Yang lain, masih asik meringkuk mesra bersama kain tebal pembungkus raga.

Pinah menggoyangkan tubuh pria berkulit legam yang telah menemani hidupnya selama tigabelas tahun.

"Pakne, ayo bangun sudah Adzan tu, ajak Sando dan Azis ke mushola," ucap Pinah seraya membuka paksa selimut yang dipakai Kasto, suaminya.

"Iya bune, tunggu bentar mau gerak dulu." Kasto beringsut dari tempat tidur.
Berjalan ke kamar Sando dan Azis, segera membangunkan kedua anak lelakinya. Seperti biasa, dua anak bujang itu segera beranjak menuju sumur belakang rumah, menimba air dan berwudhu. Diambilnya sarung kumal miliknya satu-satunya, warnanya telah pudar, pun menggulung dibagian bawah.

Pinah menghela nafas, menyaksikan sarung kedua putranya yang sudah tak layak lagi. Namun untuk membeli yang baru ia belum punya cukup uang. Hanya doa dan harapan yang terus dipanjatkan, agar kelak putranya itu hidup mapan. Tidak lagi terkukung dalam pusara kemiskinan seperti sekarang ini.

Derap langkah mantap membawa ketiga pria beda usia itu menuju mushola. Kasto hanya orang kampung yang tidak mengenyam pendidikan tinggi. Namun baginya akhlak dan ibadah anak-anak harus tetap diutamakan. Dia sadar betul, jika tidak akan mampu membekali anak-anaknya dengan ijazah dari sekolah yang tinggi. Maka, hanya dengan bekal iman dan taqwa ia mengharapkan kebaikan bagi keluarga.

Dua rakaat sholat subuh telah ditunaikan. Mereka pun kembali ke rumah yang lebih layak disebut gubug. Dinding bambu yang sudah tak utuh lagi, berhias lubang-lubang kecil sebagai jalan udara yang menambah hawa dingin semakin terasa.
*****

Pinah melipat mukena, lalu bergegas menuju dapur. Ia jongkok didepan tungku untuk menyalakan api. Udara dingin meninggalkan embun di permukaan kayu bakar, ini cukup menyulitkan Pinah dalam membuat api. Satu, dua, tiga kali gagal. Akhirnya menyala juga setelah nafasnya habis karena meniup api, disumpalnya mulut tungku dengan tas plastik bekas belanja dan api pun segera membesar.

"Le, buruan mandi gantian ya," seru Pinah pada kedua putranya.

"Njih buk." Sando dan Azis menjawab serentak.
Kedua bujang segera mandi dan bersiap untuk sekolah.

Kasto mengedarkan pandangan ke meja ruang makan yang jadi satu dengan dapur. Mejanya masih kosong, belum nampak rebusan ketela dan air teh.

"Tehnya belum ada to bune?" Kasto mengangkat cerek diatas meja yang belum terisi air panas. Menghela nafas, hari ini Kasto akan berangkat ke sungai Senowo lebih awal, ada pesanan pasir lebih banyak. Mungkin ini rejeki anak-anak, setelah mereka merengek minta sepatu baru untuk mengganti sepatu lama yang sudah koyak, juragan pasir menyuruhnya berangkat pagi, pesanan pasir sedang meningkat.

"Belum ada pakne, kayunya basah kena embun jadi api tak kunjung menyala," Pinah mencoba menjelaskan.

"Ya wis, bapak berangkat dulu. Nanti kalau air dan sarapan sudah matang, tolong antar ke sungai ya bune." Kasto beranjak mengambil cangkul, sekop dan baju ganti.

Jalan setapak yang dilewati membawa Kasto ke ujung desa sebelah, dipinggir sungai Senowo ini ia dan warga kampung lainnya biasa mengais rejeki. Mengumpulkan pasir dari gugusan lahar Merapi untuk dibeli oleh para juragan. Jika pasir sudah terkumpul satu truk, biasanya akan dibeli para juragan yang nantinya akan dijual pada para pemilik toko material bangunan atau pemilik depo pasir. Pekerjaan berat ini dijalani Kasto sejak lulus Sekolah Dasar. Ketidakmampuan orang tua dalam menyediakan biaya sekolah, menjadikan Kasto harus puas mengenyam pendidikan SD saja. Dan kini, ia tak punya pilihan lain. Menjadi buruh penambang pasir, mereka menyebutnya tasik (ngentas gesik) yang artinya mengambil pasir.

Bersambung

Mengintip Sunrise di Lereng Merapi (cerbung)
Diubah oleh betiatina 28-06-2020 21:29
nona212Avatar border
husnamutiaAvatar border
suciasdhanAvatar border
suciasdhan dan 27 lainnya memberi reputasi
28
3.6K
95
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.8KAnggota
Tampilkan semua post
betiatinaAvatar border
TS
betiatina
#77
Mengintip Sunrise di Lereng Merapi (part 4)
Semua butuh perjuangan
kaskus-image

Bel berdering tiga kali, tanda jam belajar telah usia, anak-anak bersiap untuk pulang. Berkemas buku dan peralatan lain, lalu berdoa yang dipimpin ketua kelas.

Daun-daun kering beterbangan terbawa angin, menemani langkah tiga bujang menuju rumah. Suara daun dan ranting terinjak, mewarnai gurauan mereka. Sando, Azis dan Salim pulang bersama.

"Ndo, ada lomba apa sih?" tanya Azis.

"Lomba mapel Zis, tingkat kecamatan katanya." Azis mengusap peluh yang bercucuran. Udara siang ini memang panas, sudah beberapa bulan tidak hujan.

"Berapa anak?" Salim bertanya sambil mengibaskan topi, dijadikan kipas untuk mengurangi rasa panas.

"Sepuluh," jawab Sando.

"Ada Aima juga?" Salim cengar cengir menyebut nama gadis yang sering diperhatikan Sando, Salim tahu kalau Sando perhatian pada Aima.

"Ada, kenapa?"

"Tambah semangat dong." Salim meledek sambil mengangkat kedua alis.

"Apaan sih." Sando malu-malu, nampak air muka yang berubah.

"Cie ... cie ... merah mukanya." Salim terus menggoda. Sando mengejar Salim yang diikuti Azis. Mereka pun jadi seperti berlomba lari. Kejar-kejaran hingga mendekati rumah.

Tak terasa, rumah Sando sudah nampak. Sando dan Azis masuk rumah, sementara Salim masih melanjutkan jalan pulang. Rumah mereka terpaut tiga rumah dan satu pekarangan kosong yang cukup luas. Maklum, dikampung memang seperti ini kondisinya. Pekarangan luas masih ada dimana-mana, tentu saja hanya orang kaya atau yang mendapat warisan banyak yang memiliki.

Keluarga Sando, walau tidak memiliki pekarangan dan sawah yang luas, namun mereka bersyukur memiliki tanah sendiri yang telah didirikan sepetak rumah. Tidak perlu mengontrak dengan biaya yang besar.

"Assalamualaikum maaak ...," ucapan salam serentak oleh Sando dan Azis.

"Waalaikumsalam, sudah pulang le. Ayo segera ganti baju, Sholat Dhuhur, terus makan." Pinah berlalu menuju kamar, menggendong Fama yang baru bangun dari tidur siang.

Disiapkannya nasi, sayur sop kol, tempe goreng dan sambal. Kol pemberian Mbah Putri yang sedang panen, cukup untuk masak selama empat hari. Lumayan mengurangi uang belanja keluarga ini. Jika tetangga sedang panen sayuran, biasanya Pinah diberi dalam jumlah yang banyak, meski kwalitasnya kurang bagus karena panen yang bagus akan dijual ke pasar. Tapi Pinah bersyukur, karena pemberian itu tetaplah sangat bermanfaat.

"Ayo makan dulu," ucap Pinah setelah melihat dua bujang keluar kamar selepas Sholat. Mereka pun makan bersama dengan nikmat. Rasa lelah dan lapar setelah pulang sekolah menjadi bumbu tersedap yang menjadikan santap siang semakin nikmat.

Sepuluh menit kemudian, dua bujang sudang berpindah tempat, didapur. Mereka mencuci sendiri piring kotor bekas makan mereka. Pinah selalu mengajarkan kemandirian buat anak-anaknya, salah satunya harus bisa melayani diri sendiri. Menurut Pinah, dengan kemandirian yang dimiliki akan mempermudah mereka menjalani kehidupan kelak saat sudah dewasa, dan itu harus dimulai dari sekarang.

Suasana kebersamaan memang terasa sekali, keluarga kecil ini bahu membahu mengerjakan pekerjaan rumah. Dari mengumpulkan kayu bakar hingga menjemurnya, menyapu, mencuci atau membersihkan halaman yang ditanami pohon cabe, tomat dan tanaman lain. Sando dan Azis tidak sungkan mengerjakannya, meski sering diledek tetangga tapi Pinah selalu menguatkan, bahwa dalam keluarga harus saling membantu.
----------

"Buk, Sando mau belajar dulu di rumah Aima ya, besok ada seleksi lomba di sekolah." Sando meminta ijin.

"Iya le, pulangnya jangan sore-sore, sebelum Asyar." jawab Pinah.

"Njih Buk, ucap Sando seraya tersenyum.

Sando meninggalkan Azis yang sedang menemani Fama bermain di teras. Sementara ibunya melipat baju yang baru saja diangkat dari jemuran.

Sando melewati pekarangan tetangga menuju rumah Aima, rumah mereka memang tidak terlalu jauh. Ia selalu semangat untuk belajar bersama teman, apalagi jika bersama Aima, tentulah semangatnya lebih membara.

Tapi langkahnya terhenti tepat disamping rumah Aima, terdengar suara keras dari dalam. Seperti suara meja yang digebrak dengan keras. 'Tangan siapa yang menggebrak meja sekeras itu? ', 'Ada masalah apa dirumah Aima? ', 'Apa Aima baik-baik saja?'. Berbagai pertanyaan menjejal pikirannya sendiri. Hatinya juga berdebar.

"Apa kau tak paham kalau kita itu orang susah? Tak bisakah kau nrimo dan tidak berandai-andai? Sudah! Lupakan lomba itu!" Suara bapaknya Aima, Pak Rojak terdengar lantang.

"Tapi pak, ...." suara Aima terhenti, berganti suara tangis yang lirih.

"Anak perempuan tak usah sekolah tinggi, nanti juga didapur!" Pak Rojak melanjutkan ucapannya. Kali ini terdengar lebih pelan, mungkin amarahnya sudah mereda.

Sando mengurungkan niat untuk belajar bersama Aima. Sando segera meninggalkan tempat sebelum Pak Rojak melihatnya, apalagi Sando nampak membawa beberapa buku. 'Bisa habis nanti aku' rutuknya dalam hati.

Dengan langkah gontai, ditinggalkanya rumah Aima. Secercah harapan untuk menggapai mimpi bersama gadis pujaan tandas sudah. Sando kehilangan semangat untuk mengikuti seleksi ini.

'Apa aku mundur saja dari seleksi ini? Atau aku harus membuktikan pada semua orang bahwa aku mampu?, terutama pada Aima?'

Sando masih menimang, hatinya bimbang harus melanjutkan langkah. Matanya terpejam, berharap ada keajaiban. Keajaiban apa? Kita tunggu part selanjutnya.

Bersambung

sumber gambar
uliyatis
uliyatis memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.