Kaskus

Story

indrag057Avatar border
TS
indrag057
SETAN CILIK
Hai, ketemu lagi dengan thread ane yang ke dua. Kali ini ane akan berbagi kenangan masa masa kecil ane dulu, masa masa yang paling indah menurut ane, meski ane tinggal di desa yang terpencil yang jauh dari peradaban. Ane menulis kisah ini bukan berarti ane ingin memberi contoh yang tidak baik buat agan agan semua, tapi murni hanya ingin berbagi cerita saja. So, jadilah reader yang bijak, ambil yang baik baik saja, yang ga baik ga usah ditiru, karrna kisah ini penuh dengan kekonyolan dan kenakalan anak generasi zaman old. OK, mari sama sama kita simak kisahnya, cekidot


INDEKS
Part 1

Part 2

Part 3

Part 4

Part 5


part 1: murid 'telad'an

Sebut saja namaku Joko, anak desa yang polos dan lugu. Lahir dan besar di sebuah keluarga sederhana yang keseharianya bekerja sebagai petani.

Teman temanku lebih sering memanggilku Cakil, karena aku memang anak yang hiper aktif, banyak tingkah, dan ga bisa diam. Pethakilan seperti buto cakil, tokoh yang ada dalam kisah cerita pewayangan. Kalian yang tau dan pernah nonton wayang pasti tau lah seperti apa tingkah si buto cakil ini.

Spoiler for buto cakil:


Namun orang orang dewasa di kampungku lebih suka memanggilku si Setan Cilik, itu karena kenakalanku yang menurut mereka telah melebihi ambang batas kewajaran. Padahal menurutku sih masih wajar wajar saja. Wajar kalau nakal, namanya juga anak anak, kwkwkwkwk.....

Di sekolah, aku dikenal sebagai murid 'telad'an, bukan karena prestasi yang menonjol, tapi karena terlalu sering datang telad alias terlambat. Bukan karena jarak sekolah yang jauh, karena letak sekolah hanya beberapa meter dari rumahku. Tapi karena aku sering bangun kesiangan. Maklum, kalau malam suka keluyuran ga jelas gitu.

Dan karena ke'telad'annanku itu, akupun jadi langganan kena setrap oleh guru, berdiri di depan kelas dengan satu kaki dan kedua tangan memegang telinga sambil mengucap janji bahwa tidak akan datang terlambat lagi. Kata kata itu harus aku ucapkan berulang ulang, kadang sampai duapuluh atau limapuluh kali, membuatku jadi bahan tertawaan seisi kelas, terutama anak anak perempuan.

Ya, mereka, anak anak perempuan, memang punya dendam kesumat kepadaku, karena sering menjadi target kejahilanku.

Kalian anak anak zaman old, pasti tak asing dengan rautan pensil berbentuk bulat yang ada cerminnya itu. Nah, itu menjadi senjataku untuk menjahili anak anak perempuan. Cermin pada rautan pensil itu aku lepas lalu aku tempel di ujung sepatu dengan lem. Dah kejahilanpun dimulai. Targgetku anak perempuan yang lengah. Sambil pura pura ngapain gitu kudekati mereka, lalu kujurkan sepatu berkacaku itu di sela sela kaki mereka, dan jeeenngg.... jeeenngg... jeeenngg...., kelihatanlah celana dalam mereka di pantulan cermin. Ga cukup sampai disitu, aku lalu mengumumkan pada semua penghuni sekolah, bahwa si A memakai celana dalam warna pink, atau si B memakai celana dalam warna merah. Gegerlah warga sekolah, mentertawakan ulah jahilku. Dan akupun jadi bulan bulanan anak anak perempuan yang jadi korbanku, di kejar kejar sampai tertangkap dan habis di gebukin beramai ramai.

Ada lagi jurus kentul kenyut.Kalian tau 'yoyo' kan, mainan anak anak yang bertali, yang bisa di putar putar dengan berbagai gaya itu. Di kampungku itu namanya kentul kenyut. Mainan ini juga menjadi senjataku untuk menjahili anak anak perempuan. Dengan lihainya mainan itu kugunakan untuk menyambar dan menyingkap rok anak anak perempuan hingga kelihatan celana dalamnya.

Ngakak sumpah, tapi ini bukan bermaksud mesum lho, tapi cuma sekedar iseng saja. Anak seumuranku di waktu itu mana kenal kata mesum. Zaman itu teknologi belum secanggih sekarang. Anak laki laki dan perempuan mandi bareng beramai ramai di sungai dan telanjang bulat pun sudah menjadi hal yang biasa. Coba kalau zaman sekarang, kalian bayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya jika seperti itu.

Anak anak perempuan biasanya kalau main suka bergerombol. Macam macam jenis permainan mereka, mainan khas zaman dulu. Kadang main bola bekel, watu gatheng, jamuran, atau main karet. Melihat mereka asyik main begitu, seperti biasa niat jahilku timbul. Di belakang sekolah ada kebun milik warga, di situ aku mencari cacing, ulat, anak kodok, atau apapun itu yang bisa membuat anak anak perempuan merasa jijik dan ketakutan. Setelah mendapatkan apa yang ku cari, kumulailah aksiku. Apa yang aku dapatkan dari kebun belakang sekolah itu aku lemparkan ke tengah tengah gerombolan anak anak perempuan yang sedang asyik bermain, yang membuat mereka sontak bubar berlarian sambil berteriak teriak menyumpahiku. Membuatku tertawa puas berhasil mengerjai mereka.


Pelajaran olah raga adalah yang paling aku sukai. Terutama sepak bola. Tapi sebenarnya bukan pelajarannya yang kusukai, tapi kebebasannya. Biasanya pas pelajaran itu kami main sepak bola, dan kebetulan letak lapangannya agak jauh dari gedung sekolahan. Untuk kesana kami harus jalan kaki dulu sekitar sepuluh menitan gitu. Bebas lah kami bermain di situ, karena seringnya pak guru juga tak pernah mengawasi. Kami diumbar begitu saja. Kesempatan lah bagi kami untuk berekspresi.

Pernah suatu ketika, waktu itu musim penghujan. Otomatis lapangan jadi becek. Tapi itu tak menyurutkan tekad kami untuk bermain bola. Jadilah kami berkubang ria di lapangan berlumpur itu. Tak peduli baju dan celana jadi kotor penuh lumpur. Untung kami membawa pakaian olahraga, jadi bukan seragam putih merah kami yang kotor.


Selesai main bola akupun mengusulkan untuk mandi di sungai, karena badan dan pakaian kotor semua kena lumpur. Teman teman pun setuju. Toh pak guru ga bakalan tau, karena beliau pasti sedang asyik duduk terkantuk kantuk di dalam kelas.

Kami pun segera menuju ke sungai yang tak jauh dari lapangan. Mandi di sungai setelah berolahraga, pastilah sangat menyegarkan, sampai sampai kami lupa waktu. Jam pelajaran olahraga sudah habis, tapi kami masih asyik mandi. Hingga tiba tiba pak guru muncul meneriaki kami untuk segera kembali ke kelas. Panik lah kami semua, langsung berhamburan lari kembali ke kelas.

Guru yang mengajar kami namanya pak Jo. Orangnya sudah agak tua, kepalanya botak, dan hoby ngantuk'an. Saat kami para murid sibuk mengerjakan soal, beliau pasti duduk terkantuk kantuk di kursinya. Ini juga menjadi target keisenganku. Saat beliau terkantuk kantuk, diam diam ku ambil karet gelang dan ku jepret tepat di kepalanya yang botak. So pasti beliau tersentak kaget, dan aku pun pura pura kembali sibuk mengerjakan tugas. Duh, sebegitu kurang ajarnya aku. Sekarang jika ingat hal itu aku sangat menyesal dan merasa bersalah. Padahal pak Jo ini guru yang baik dan sangat penyabar. Maafkan aku pak Jo, muridmu yang durhaka ini.

Dulu kami memang selalu menyiapkan beberapa karet gelang di tas sekolah kami. Kalian tau untuk apa? Ini adalah kreatifitas kami anak anak era 90-an. Karet gelang ini bisa dijadikan penghapus. Biasanya kami mengikat karet gelang pada ujung pensil, dan saat kami salah menulis menggunakan pensil, karet itu bisa dijadikan penghapus. Lumayan kan, daripada harus beli penghapus. Karena yang namanya uang jajan di saat itu sangatlah langka.

Di belakang sekolah kami ada sebuah pohon jamblang yang cukup rindang. Di situlah base camp kami saat jam istirahat. Kebetulan ada yang berinisiatif membuat lincak ( semacam dipan sederhana yang terbuat dari bambu) di bawah pohon itu. Saat pohon itu berbuah, jadilah buah itu santapan kami. Berlomba lomba untuk memanjat dan memetik buahnya yang lebat, tanpa peduli getah buah itu menodai baju seragam kami. Jadilah seragam putih itu berbercak bercak ungu. Saat itu kami belum begitu mengenal jajan. Selain karena memang tak banyak yang jualan jajanan di sekitar sekolah, uang jajan kami juga sangat minim. Maklum rata rata kami berasal dari keluarga petani yang kurang mampu. Jadi dengan adanya pohon jamblang itu merupakan berkah bagi kami. Tapi pohon itu juga pernah mencelakaiku. Saat itu habis hujan. Teman teman sudah mengingatkan untuk tidak memanjat pohon jamblang itu, karena pasti basah dan licin untuk di panjat. Tapi dasarnya aku memang bandel, akupun nekat memanjat. Dan benar saja, aku terpeleset dan jatuh. Seminggu aku tak masuk sekolah karena kakiku terkilir dan ga bisa jalan.

Di depan sekolah, di seberang jalan, ada yang membuka warung sederhana, namanya mbah Min, masih warga kampung kami juga. Orangnya sudah tua, namun baik dan ramah dengan kami. Warungnya kecil dan sangat sederhana, hanya sebuah gubuk tanpa dinding dan beratap anyaman daun kelapa kering. Yang di jual juga tak kalah sederhana, hanya makanan kecil seperti jenang sungsum, dawet, dan gorengan. Ada satu jajanan favoritku, yaitu karak goreng. Sisa nasi yang di keringkan lalu di goreng dengan bumbu garam, lalu dibungkus dengan plastik kecil panjang seperti bungkus es potong atau es lilin itu. Rasanya gurih gurih asin gitu. Aku masih ingat, waktu itu harganya 25 perak per dua bungkus. Du zaman itu, duit segitu dah termasuk banyak. Rata rata uang saku kami cuma 50 perak. Jika ada yang bawa uang saku sampai seratus perak, sudah pasti bisa jadi boss. Apalagi kalau uang seratus perak kertas yang warna merah gambar perahu itu, wah, bisa di pamerkan ke semua penghuni sekolahan. Entah lah, kenapa waktu itu uang seratus perak yang kertas kami anggap lebih berharga daripada uang seratus perak yang koin, padahal kalau dipikir pikir nilainya sama saja. Bahkan sangking berharganya, kalau dapat uang seratus perak yang kertas, kami merasa sangat sayang untuk membelanjakannya. Jadi hanya di simpan dan di pamer pamerkan kepada orang lain. Sungguh konyol kelakuan kami waktu itu.

Meski mbah Min ini baik dan ramah, namun bukan berarti ia lepas dari kejahilanku. Entah sudah berapa puluh kali dagangannya aku tilep. Saat beliau sibuk melayani anak anak yang lain, ada saja dagangannya entah itu tempe goreng atau bungkusan karak yang masuk ke kantong celanaku tanpa sepengetahuan beliau, dan tanpa kubayar juga tentunya. Itu yang membuat emakku sering ngomel saat mencuci celana seragamku, karena sudah dipastikan kantong celana itu belepotan bekas minyak goreng.

OK, begitulah sekelumit kisah masa kecilku di sekolah, lanjut lagi nanti di part 2 tentang kisah masa kecilku di luar sekolah, di tunggu yaaaa.........
Diubah oleh indrag057 10-06-2020 22:08
arieaduhAvatar border
donix91Avatar border
itkgidAvatar border
itkgid dan 32 lainnya memberi reputasi
31
6.6K
33
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.8KAnggota
Tampilkan semua post
indrag057Avatar border
TS
indrag057
#8
Part 4: Minggat
Pulang sekolah, seperti biasa aku langsung ganti baju, makan, dan bersiap siap untuk menggembalakan kambing kambing kesayanganku. Meski siang ini begitu panas, namun tak sedikitpun menyurutkan semangatku. Apalagi tadi teman teman sudah berjanji untuk menggembala di pinggir kali sambil mandi dan mencari ikan di kedhung.

Namun saat membuka kandang, aku merasa ada sesuatu yang ganjil. Ya, kambingku tinggal empat. Si Kliwon, kambing jantan kesayanganku, tak kelihatan batang hidungnya.

"Maaaakkkkk......!!!!!" sontak aku berteriak memanggil emakku.

Yaaaa....," kudengar sahutan dari arah kebun samping rumah. Segera kuhampiri emak yang sedang sibuk menjemur gaplek.

"Kok Kliwon nggak ada di kandang mak?" tanyaku segera.

"Kliwon dijual bapakmu tadi pagi," jawab emak tanpa menoleh, masih sibuk dengan kerjanya.

"APAAA......?" sentakku kaget.

"Kliwon dijual bapakmu tadi pagi. Kamu belum budek kan?" emak ikut menyentak. Sepertinya beliau kesal karena aku menyentaknya.

"Kenapa dijual mak?" tanyaku lagi. Kali ini dengan suara yang sedikit pelan.

"Kita lagi butuh duit Le. Buat bayar sekolah kamu dan adikmu, sedang sekarang musim kemarau. Ga bisa panen padi. Hanya singkong dan gaplek yang harganya nggak seberapa. Jadi ya terpaksa Kliwon harus dijual" sejenak emak menghentikan kerjanya dan menatapku.

"Tapi kenapa harus Kliwon mak? Emak kan tau Kliwon kambingku, kambing kesayanganku. Kenapa bukan kambing yang lain saja?"

"Ya karena Kliwon kambing jantan, dan paling besar. Jadi kan harganya lebih bagus, lebih mahal." emak kembali sibuk dengan kerjanya, seolah tak memperdulikan kekesalanku. Akupun semakin kesal dibuatnya.

"Bapak jahaaaattttt......, aku benci bapak!!!!!!" teriakku sambil berlari masuk ke dalam rumah dan membanting pintu.

Aku menangis sejadi jadinya. Sedih rasanya. Kambing kesayanganku dijual tanpa memberitahuku sebelumnya. Meski hanya seekor kambing, tapi rasanya seperti kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupku.

Ya, Kliwon memiliki sejarah khusus buatku. Kambing itu khusus dibelikan oleh Mbah Kung untukku. Jadi tak salah bila aku bilang itu adalah kambingku, bukan kambing bapakku.
Spoiler for mulustrasi Si Kliwon:

Mbah Kung sengaja membeli kambing itu khusus buatku. Berawal saat aku ngambek dan menangis sampai sehari semalam karena ada salah satu kambing piaraan kami yang mati keracunan gara gara kebanyakan makan daun Sengon.

Karena Mbah Kung ini sayang banget sama aku, akhirnya dibelikannya aku seekor kambing jantan sebagai ganti kambing yang mati itu. Tentu saja aku senang sekali. Kuberi nama kambing itu Kliwon, karena dibeli pas hari pasaran Kliwon.

Itu setahun yang lalu. Dan setelah setahun aku merawat dan membesarkan Kliwon, tiba tiba tanpa persetujuanku bapak menjualnya begitu saja. Bisa dibayangkan betapa hancurnya hatiku. Marah, kesal, dan sedih bercampur menjadi satu.

Ah, apa bapak sudah nggak sayang lagi ya sama aku, sampai tega begitu. Pikiran burukpun terlintas dibenakku. Rasa marah semakin membuncah. Kalau begini caranya lebih baik aku minggat saja.

Ya, lebih baik aku pergi saja. Biar tau rasa tuh bapak. Tapi kemana aku harus pergi? Ke rumah Mbah Kung? Terlalu dekat, pasti bapak akan mencari kesana. Atau ke rumah Budhe Sri yang jauh itu? Tapi aku tak punya uang. Setahuku kalau kesana harus naik bus sampai dua kali. Setengah hari baru sampai.

Ah, sudahlah. Aku kan bisa jalan kaki. Jalan pelan pelan mengikuti jalan besar itu ke arah barat, nanti lama lama juga sampai. Pikirku.

Tanpa pikir panjang akupun keluar. Kulihat emak masih sibuk menjemur gaplek di samping rumah. Sambil mengendap endap aku melangkah meninggalkan rumah, tanpa pamit, tanpa sepengetahuan emak, dan dimulailah petualanganku hari ini.

Kususuri jalan desa ke arah utara, menuju ke kota kecamatan. Lumayan jauh. Hampir setengah jam, akhirnya aku sampai di jalan besar. Langkahku semakin mantap. Apa susahnya, toh tinggal mengikuti jalan aspal ini, nanti juga sampai, pikirku. Cara berpikir seorang anak usia sebelas tahun memang kadang sulit diduga.

Aku terus melangkah, awalnya penuh dengan kepastian. Tapi lama kelamaan rasa haus, lapar, dan juga lelah mulai membuatku bimbang. Tapi begitu ingat dengan Si Kliwon, semangatku kembali membara.

Satu jam, dua jam, tiga jam, entah sudah berapa lama aku berjalan. Sesekali aku beristirahat duduk di pinggir jalan, sekedar untuk menghilangkan lelah. Haus dan lapar hanya bisa aku tahan, karena memang aku tak bawa uang untuk sekedar membeli minum atau makanan kecil.

Matahari semakin condong ke arah barat. Sebentar lagi maghrib. Tapi kok belum sampai sampai juga ya, seingatku dulu kalau ke rumah budhe Sri tuh kalau berangkat siang pasti sebelum maghrib sudah sampai. Tapi ini kok nggak sampai sampai, batinku. Entah kenapa aku nggak mikir kalau biasanya kan kesana naik bus, sedangkan aku sekarang jalan kaki.

Lagi lagi aku harus istirahat. Duduk bersandar pada pohon mahoni yang tumbuh di pinggir jalan. Aku benar benar lelah, haus, dan lapar. Sambil mengusap keringat kubayangkan nanti sesampainya di rumah budhe akan mendapatkan makanan yang enak enak dan minum es sirup yang manis dan segar.

Sedang asyik asyiknya melamun, tiba tiba sebuah sepeda motor yang melintas berhenti tepat di depanku.

"Lho, Joko, kok kamu sampai disini? Ngapain?" tanya orang itu bernada heran sambil melepas helmnya.

"Eh, Lik No, enggak Lik, lagi main aja kok," sahutku terbata. Ternyata orang itu Lik No, tetanggaku.

"Edan kowe.Keluyuran sampai di sini. Ayo, pulang bareng Lik, udah mau maghrib ini," ajak Lik No.

"Enggak Lik, aku masih mau main,"

"Eeealaaah, bocah iki, besok lagi mainnya. Sekarang ayo pulang, sudah sore, nanti kamu diculik wewe gombel lho. Kamu nggak tau kalau disini banyak wewe gombel?"

Akhirnya, karena memang sudah lelah, haus, dan lapar, akupun menyerah, ikut membonceng motor Lik No kembali pulang ke rumah.

Sampai dirumah ternyata sudah ramai. Banyak tetangga berkumpul karena mendengar kabar aku kabur dari rumah. Nampak juga Mbah Kung yang sedang memarahi bapak dan emak. Memang, aku adalah cucu kesayangan Mbah Kung. Jadi mau salah atau benar tetep saja aku dibelanya.

Dan kedatanganku bersama Lik No pun membuat suasana semakin gempar. Orang orang menjadi lega, emak memelukku, bapak melotot, kalau nggak ada Mbah Kung pasti sudah memarahiku habis habisan. Dan Mbah Kung nampak masih gusar. Mungkin belum puas memarahi emak dan bapak.

Lik No pun menjadi sasaran pertanyaan pertanyaan dari orang orang yang ada di situ. Mendengar cerita Lik No, aku baru sadar, ternyata aku sudah pergi sangat jauh dari desaku. Beruntung aku ketemu Lik No, kalau tidak entah apa jadinya. Karena rumah Budhe Sri yang menjadi tujuanku itu sangatlah jauh, tak mungkin ditempuh dengan berjalan kaki. Apalagi oleh seorang anak berumur sebelas tahun sepertiku.

Malam itu juga, Mbah Kung mengajakku ke rumah Pakdhe Jum, pedagang kambing yang membeli Si Kliwon. Beruntung Si Kliwon masih ada, belum dijual lagi ke pedagang lain. Mbah Kung pun membeli kembali Si Kliwon, tentu saja dengan harga yang jauh lebih mahal daripada saat Pakdhe Jum membelinya dari bapak.

Betapa bahagianya aku, Si Kliwon, kambing kesayanganku, bisa kembali lagi ke pelukanku.
Diubah oleh indrag057 11-04-2020 23:56
disya1628
JabLai cOY
donix91
donix91 dan 20 lainnya memberi reputasi
21
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.