akhyarmustafaAvatar border
TS
akhyarmustafa
Jangan Panggil Aku pramuria
🍀🍀🍀🍀

“Hei, lihat! ada pramuria mau lewat!” cibir salah satu ibu yang sedang berdiri di depan kios Bu Naimah. Mereka kemudian cekikikan dan melempar sumpah serapah dengan suara besar. “Dasar gadis tidak tahu malu!”, “Dasar perempuan jalang!”, “Dasar sampah!”

Itu belum seberapa. Pernah juga, Bu Naimah mengeluarkan kata-kata yang lebih menyakitkan. “Orangtua sudah mati, anaknya malah jadi pramuria. Kasihan ... emak bapaknya pasti tersiksa di kuburan!”

Ini hari terakhirku di sini. Walau berat tapi inilah jalan terbaik, meninggalkan rumah yang menjadi saksi segalanya. Semua kenangan bersama emak dan bapak akan menjadi cerita untuk esok.

Aku akan pergi ke kota, memulai hidup baru. Sedikit uang hasil menjual perabotan di rumah menjadi modal. Jika tidak dijual, barang-barang itu akan rusak dengan sendirinya. Sebab, aku sudah berniat tidak akan lagi menginjakkan kaki ke kampung ini.

Aku terus berjalan dan tak lagi menghiraukan umpatan ibu-ibu tersebut. Mereka hanya bisa menghina dan selalu saja menghina. Bahkan tanpa rasa bersalah, mereka menyuruh anak-anaknya untuk ikut menghina bahkan melempari rumahku dengan batu. Teman-teman sekolah pun kini sudah menjadi musuh. Tak ada lagi persahabatan yang terjalin melainkan caci maki.

Sebenarnya aku masih memiliki saudara dari keluarga besar emak di kampung ini. Tapi mereka justru ikut menyudutkanku. Menyalahkan dan menghina kedua orangtua yang sudah melahirkan anak pramuria sepertiku.

Mengapa mereka tidak pernah bertanya dan mendengar penjelasanku? Padahal, suami, anak, bahkan saudara mereka juga menjadi korban konflik, sama seperti ayah dan emak. Tak pernah kembali sejak diambil paksa oleh orang tak dikenal (OTK). Mereka semua hilang tak berbekas.

***

“Indah, cepat ganti bajumu. Kita jalan-jalan. Jangan lama, ya?”

Segera kulaksanakan perintah Kak Yana, wanita yang menampungku saat ini.

Aku mengenalnya ketika di kampung. Pertemuan yang tidak sengaja. Saat itu, aku sedang mencari bapak dan emak di kampung sebelah. Kak Yana menawarkan tumpangan dan mengantarkanku pulang.

Dari cerita yang kudengar, dia orang yang baik, dan sudah memiliki pekerjaan di kota. Usianya masih muda, sekitar 25 tahunan.

Setelah dua kali bertemu, Kak Yana memberikan nomor handphonenya untuk kusimpan. Bahkan dia berpesan, jika aku memerlukan sesuatu dapat langsung menelponnya.

“Cepat, Indah ...!”

“Iya, Kak ... aku sudah selesai,” jawabku dari dalam kamar, lalu keluar menemuinya.

Kak Yana menatapku dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. “Kamu sudah cantik, tidak perlu di make-up,” ujarnya, setelah aku berada di depannya.

Sebelumnya berangkat, Kak Yana berpesan kepada dua wanita yang menjadi anak buahnya. Menutup gerbang rumah sebelum pukul 10 malam.

Aku tidak menyangka, ternyata rumah Kak Yana begitu besar. Rumah itu sekaligus dijadikan tempat usaha, rias pengantin dan salon. Jika aku mau, katanya, beliau bersedia menurunkan ilmunya agar aku bisa mandiri, tidak bergantung pada orang lain.

Kami pun mulai bergerak melambat menggunakan sepeda motor miliknya. Mataku memandang takjub suasana ramai di sepanjang jalan. Lampu warna-warni menerangi setiap sudut kota. Beberapa persimpangan yang kami lewati terlihat padat. Tenda-tenda penjual makanan berjejer menawarkan beragam menu spesial.

Aku semakin bersemangat.

Hirup pikuk kehidupan di kota sangat jauh berbeda dari kehidupan kampung. Wanita terlihat lebih cantik-cantik dengan tampilan yang memesona.

Belum habis kunikmati pemadangan malam ini, Kak Yana memberhentikan kendaraannya. Tepat di pinggir sebuah lapangan bola kaki, namun terlihat sangat ramai. Ratusan kursi dan meja tersusun rapi.

Kak Yana mengapit tanganku, berjalan pelan ke tengah lapangan. Ia tampak celingak-celinguk seperti mencari seseorang. “Aduh ... duduk di mana, ya, dia?”

“Mencari siapa, Kak?” aku penasaran.

“Temanku. Kami udah janjian bertemu di sini.” Matanya masih mencari-cari sosok temannya.

Dari sudut lapangan, aku melihat seorang laki-laki melambaikan tangan ke arah kami. Aku mencolek lengan wanita disampingku. “Kak ...,” kataku, lalu menunjuk ke arah laki-laki tadi.

“Ya ampun ... di situ rupanya,” dengusnya. Kak Yana menarik tanganku dan mempercepat langkahnya.

Laki-laki itu mempersilahkan untuk duduk, sesaat setelah kami berdiri dihadapannya. Kulihat Kak Yana langsung duduk disampingnya sedangkan aku memilih kursi di sisi lainnya, namun saling berhadapan. Di atas meja sudah terhidang tiga gelas jus mangga dan sepiring roti bakar.

“Indah, perkenalkan ... ini teman kakak dari Jakarta.” Kak Yana membuka percakapan.

Laki-laki yang kutaksir berusia 30 tahunan itu menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Aku menyambut tanpa menatap wajahnya.

“Indah ...,” kataku memperkenalkan diri.

“Bang Andi,” balasnya.

“Indah masih sekolah?” tiba-tiba laki-laki itu melontarkan pertanyaan yang sangat kubenci. Aku tak menjawabnya.

Aku sedikit kesal. Sepertinya mereka berdua tak melihat perubahan di rona wajahku karena suasana yang remang-remang.

Kak Yana berdeham, “Indah sebenarnya masih sekolah kelas dua SMU, bang Andi .... Tapi berhenti, karena orangtuanya sudah meninggal.”

Lagi-lagi kalimat itu membuatku semakin geram. Namun tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak mungkin marah pada Kak Yana. Bagaimana jika aku diusir dari rumahnya? Aku kebingungan dan ketakutan sendiri. Aku hanya bisa tersenyum kecut di depan mereka berdua.

Selanjutnya kulihat Kak Yana menarik kursinya sedikit ke belakang, Bang Andi ikut mundur. Keduanya tampak serius membicarakan sesuatu sambil berbisik. Sepertinya mereka sengaja mengecilkan volume suara agar aku tidak bisa mendengarnya.

Sesekali kak Yana membuka handphonenya dan memperlihatkan sesuatu–tidak tahu apa yang diperlihatkan—pada teman laki-lakinya itu.

Aku segera membuang muka, pura-pura tak melihat.

Mataku mengamati suasana lapangan yang semakin ramai. Satu persatu kursi di depan kami mulai terisi. Seorang pelayan datang dan menghampiri mereka dan membuka sebuah buku. Pulpen di tangannya bergerak menunjuk daftar menu dan menulisnya dengan cepat di sebuah kertas. Lalu pergi menghilang ke arah gerobak makanan di belakang kami.

“Indah, jangan bengong saja, rotinya dicoba, dong. Kan, dipesan untuk dimakan ...,” tiba-tiba suara Kak Yana mengejutkanku.

Melihat keterkejutanku itu, Kak Yana dan Bang Andi malah tertawa terkekeh-kekeh. Aku tersipu.

Tak lama kami duduk. Kak Yana segera mengajakku pulang. Tapi anehnya, laki-laki itu ikut menyusul kami berdua.

Di parkiran, sekali lagi kulihat Kak Yana berbisik ke telinga Bang Andi. Ntah apa yang dibisikkan, aku juga tak tahu.

Namun yang pasti, setelah itu, aku menjadi bingung dan ketakutan. Kak Yana meninggalkanku berdua bersama Bang Andi. Diriku sempat protes namun wanita yang sudah kuanggap kakak sendiri itu justru marah dan sedikit mengancam.

“Sudahlah, Indah ... jangan banyak protes. Kamu ikut saja sama Bang Andi. Nanti kamu akan diantar pulang ke rumah, kok.”

Aku hanya diam. Diam dan diam hingga malam tak mampu mendengar suara jeritanku. Malam laknat yang telah mengantar laki-laki itu untuk merenggut segalanya. Meninggalkan noktah yang tak terhapus.

---SKIP---

“Indah ... cepat buka Indah ... cepat!" Suara Kak Yana terdengar panik.

Aku masih mengurung diri di dalam kamar. Sejak kemarin Kak Yana sudah mengajakku bicara dan minta maaf. Berkali-kali ia memintaku untuk keluar kamar dan menyuruhku makan, namun tak ku gubris. Hati ini masih terasa sakit dan kecewa.

Bahkan, tadi pagi, dari balik pintu kudengar dirinya menangis tersedu-sedu. Berulang kali ia meminta maaf dan berjanji tidak mengulang kembali perbuatannya.

“Indah ... maafkan kakak. Sumpah kakak menyesal dan tidak menyangka kejadiannya seperti ini ....” ucapnya, tergugu. Aku tidak percaya.

Tapi malam ini suaranya benar-benar berbeda. Setelah Kak Yana menggedor berkali-kali, karena penasaran, aku membuka pintu.

Aku terpana. Kak Yana sudah bersiap dengan tas besar di tangan kirinya. Matanya sembab, air mata masih terlihat membasahi pipinya. Aku kebingungan. Apa yang sedang terjadi? Bukankah seharusnya aku yang menangis dan membawa tas untuk pergi meninggalkan rumah ini?

Belum habis pertanyaan dikepalaku tiba-tiba ia menyodorkan koran yang sedari tadi dipegangnya.

Segera kuraih koran itu dan membacanya pelan-pelan. Kak Yana masih berdiri dengan sedu yang tak berhenti.

“Kita mau kemana, Kak?”

Aku mengalah. Tak dapat kupingkiri, aku masih membutuhkan dirinya dan tempat tinggal. Aku tidak tahu harus ke mana karena aku tidak memiliki uang dan keluarga di kota ini.

“Ke rumah teman. Kita nginap dua malam di sana sampai suasa kembali normal,” jawabnya, langsung memelukku dan menangis sejadi-jadinya. Tubuhnya terasa berguncang. “Indah ... maafkan kakak, sekali lagi maafkan kakak ....”

Segera kedua tanganku memeluk tubuhnya. Aku yakin, ucapannya kali ini tulus. Kuhapus air mata di pipinya. Memaafkan semuanya walau luka ditubuhku tak mungkin terobati untuk selama-lamanya.

***

Kak Yana sakit, tubuhnya demam panas. Setelah minum obat, langsung tertidur. Hari ini ia tidak banyak bicara. Termasuk pada dua anak buahnya yang ikut bersama kami.

Aku mencoba membaca ulang isi koran yang diberikan kak Yana tadi malam.

Seketika bulu halus ditubuhku berdiri. Malu, sedih, dan kecewa menjadi satu. Kulit terasa terbakar. Aku benar-benar marah membacanya.

Semuanya terbuka sudah. Ternyata, selama ini Kak Yana menyembunyikan identitasnya. Pekerjaan aslinya tak lain seorang germo. Menyediakan gadis-gadis belia untuk lelaki hidung belang. Usaha rias make-up pengantin hanya usaha bohong-bohongan untuk mengelabui warga dan aparat.

Parahnya, Kak Yana tidak sendiri. Di koran itu, ada banyak perempuan lainnya yang seprofesi dengannya di lokasi yang sama. Semua rumah dan ruko di sepanjang jalan tempat tinggal Kak Yana adalah usaha prostitusi. Aku bergidik.

Tapi, yang membuat aku marah dan malu, ternyata bang Andi seorang wartawan yang menyamar sebagai pelanggan. Pertemuan kami malam itu ditulisnya dengan sempurna. Sama persis.

Mulai dari perkenalan, apa yang kami makan, pakaian yang kupakai bahkan tahi lalat kecil di pipi kananku, pun ditulisnya.

Aku benar-benar geram. Bang Andi tidak menyamar sebagai pelanggan! Dia sudah merudapaksaku malam itu!

🍀🍀🍀🍀

Jangan Panggil Aku pramuria (2)

Jangan Panggil Aku pramuria (3)
Diubah oleh akhyarmustafa 09-04-2020 15:54
NadarNadz
nona212
husnamutia
husnamutia dan 42 lainnya memberi reputasi
43
12.1K
84
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.5KThread•41.6KAnggota
Tampilkan semua post
radoradaAvatar border
radorada
#33
Itu judulnya, ya tuhann. Gunakanlah akalmu. Apakah menurutmu itu pantas ? Tidak semua org dewass disini yg buka kaskus. Waras kah anda TS ?
ummusaliha
ummusaliha memberi reputasi
1
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.