Novianti686Avatar border
TS
Novianti686
Melipat Rindu

Pict: By Google


Melipat Rindu
Oleh: Novi Yanti


Bola mata ini seolah akan melompat, saat melihat wajah perempuan yang pernah memikat hati ini di masa silam. Sudah terjeda belasan tahun tidak jumpa. Rupa itu masih sama, senyumnya pun tetap menawan. Ah, sungguh membuat jantung ini berdegup tidak karuan.

Ku geser kursor di layar monitor, memindai foto-fotonya yang terposting di sosial media. Sungguh tidak ada yang berubah, hanya kecantikannya saja yang semakin parah. Kulit kelam itu kini berubah langsat, pipinya pun terlihat lebih merona. Pandai sekali merawat diri, terlihat semakin dewasa dan menawan.


Pict: By Google


Lagi, aku menggeser kursor mematut-matut foto dirinya kembali. Memusnahkan rasa penasaran. Benar, ya ... itu dirinya, sepenggal kisah yang sudah kubuat musnah, meski belum benar-benar punah. Kenapa kini harus melihatnya kembali? Setelah penantian yang tidak pasti.

Takdir! Ingin rasanya marah atas nama takdir. Tapi entah mengapa aku malah tersenyum, tidak tahu untuk apa? Mungkin mentertawan kebodohanku yang teramat parah. Rasa bahagia, begitu saja melesat dalam dada. Tolol! Tapi, ketololan ini sangat indah. Rasa rinduku kembali menderu. Desir aneh pun begitu saja merajai, sialan! Aku benci rasa ini! Mengapa tiba-tiba hati ini kembali tertawan?

Secercah harapan hadir, akan sebuah kesempatan untuk menjalin ikatan. Atau sekadar ungkapkan rasa yang tidak pernah terucap. Buatku tidak mengapa, asalkan dirinya tahu betapa hati ini pernah begitu berharap atas hati yang tidak pernah tahu. Bodoh memang, aku mencintainya dalam diam. Bukan tidak ada keberanian, tapi karena aku adalah sahabat kekasihnya.

Rasa rindu ini menyeret tanganku semakin lincah mengeser-geser kursor dilayar monitor. Melihat-lihat foto dirinya, melepas rindu yang sempat pupus. Namun, kini ada perih mengiris. Tangan ini berhenti bergerak. Foto keluarga kecil yang memamerkan kebahagiaan, bagai mata anak panah menusuk-nusuk kalbu ini semakin parah. Pupus semua asa yang tadi sempat ada. Sial! Sial! Ingin sekali aku meludahi wajah dirinya yang semakin rupawan.


Pict: By Google


Perempuan itu telah bahagia, untuk apa hati ini kembali berbunga? Demi harapan semu yang semuanya hanyalah serupa abu. Dosa diri ini jika tetap menyimpan rasa, pada hati yang salah. Salah jika hati ini tetap berharap, pada cinta yang hampa. Cukup sekali saja menjadi manusia bodoh, membuang waktu percuma demi sesuatu yang belum tentu.

Bibir ini melengkung mengukir senyum menatap layar monitor, menikmati lembar-lembar kebahagian dirinya. Merayakan kedunguan diri yang teramat sangat dan mengusap wajah ini agar segera tobat.

Aku matikan layar monitor. Menarik napas panjang membuang penat. Ya ... aku rasa cukup seperti ini saja sudah membuat hati ini bahagia. Bertemu dan berteman dalam maya, tanpa perlu saling menyapa.

Bandung, 22 01 2020
Gimi96
NadarNadz
nona212
nona212 dan 25 lainnya memberi reputasi
26
5.8K
63
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Tampilkan semua post
Novianti686Avatar border
TS
Novianti686
#54
Melipat Rindu
Bab. 3 Perpisahan Sementara
Oleh: Novi Yanti



Pict. Koleksi Pribadi


Desember 2018.

“Ini tas Aa, sudah Oci beresin, coba ingat-ingat ada yang tertinggal enggak?” istriku bicara hampir seperti bergumam. Aku menatap wajah perempuan manis itu, wajahnya terlihat sendu. Dirinya sudah berpakaian rapi dan terlihat cantik, hendak mengantar aku berangkat bertugas beserta pasukan Garuda ke Libanon. Satu tahun, bukan waktu yang sebentar. Mungkin saat kembali ke Indonesia, anakku sudah lahir. “Laptop, kabel-kabel, USB, kamera, handphone jangan sampai ketinggalan,” celotehnya lagi.

“Hey, itu kan senjatanya Aa. Mana mungkin ketinggalan,” tukasku, mendekati Oci yang berdiri di antara tas-tas besar yang baru selesai dirapikannya. Aku memeluk tubuh Oci dari belakang, napasnya terdengar halus namun memburu ditingkahi isak yang tertahan. Dirinya membalikkan tubuh dan memeluk tubuh ini erat. Menenggelamkan wajah ke dada ini, tangisnya pecah. Hati ini gundah. Aku mengusap rambut dan mengecupnya lembut. Jika jujur akan keadaan sebenarnya sejak menerima surat penugasan, hati ini sudah resah. Antara bahagia dan duka. Tidak ada seorang suami yang tega meninggalkan istrinya dalam keadaan hamil. Namun apa daya, kukira semua adalah skenario Illahi, agar kami berdua lebih kuat dan semakin erat menjaga cinta. “Sudah jangan nangis terus, kan- cuma satu tahun. Akang, akan pasti pulang dalam keadaan sehat wal'afiat.”

Tangis Oci semakin menjadi, sedari awal memang dirinya merasa khawatir dengan penugasan kali ini. Bertugas meliput berita di negara konflik itu bukan hal mudah. Banyak hal yang akan dihadapi di sana. “Jaga, si junior,” ucapku. Mencium kening, kedua pipi, bibir dan perutnya yang buncit. Mataku mulai terasa panas, kukira mulai memburam. Aku memeluk perut Oci, ingin selalu mendekap mereka tanpa mau melepaskannya.

“Aa, ayo berangkat.” Perempuan yang sedang kudekap perutnya itu, mengusap puncak kepala ini lembut. Terasa sangat menenangkan, aku menggenggam telapak tangannya. Lalu kembali berdiri, mengecup kedua punggung tangan Oci. Betapa hati ini begitu mencintai perempuan manja yang selalu membuatku resah dan takut kehilangan di setiap saatnya. “Jaga diri baik-baik,” ucapku.

*

Pesawat yang kami tumpangi perlahan tapi pasti meninggalkan daratan negeri tercinta ini. Tidak hanya aku yang berat melepas keluarga tercinta pergi bertugas untuk sebuah misi perdamaian. Rekan yang lain pun kini duduk dalam diam, menikmati perjalanan dengan doa keselamatan dan berjuta harapan agar bisa kembali dalam keadaan sehat wal’afiat. Lembar-lembar perpisahan seolah menjadi slideshow yang berkelebat silih berganti di pelupuk mata. Tangis, tawa, pelukan hangat semua bercampur aduk menjadi satu. Membuat hati ini bergemuruh rindu, meski baru beberapa menit saja perpisahan ini dimulai.

Oci, gadis manis itu adalah belahan jiwa ini. Sulit rasanya melepas perempuan itu sendiri, meskipun ada Mama dan Bunda yang akan selalu mendampingi Oci selama aku pergi. Namun, jujur ada resah yang sulit kuhempas. Rasa ini sudah berbelas tahun rapi tersimpan dalam hati terdalam. Rasa takut kehilangan perempuan yang kini menjadi teman hidup berbagi suka dan duka juga cinta pun kasih sayang. Aku, khawatir seseorang akan merebut dirinya.

Belasan tahun berumah tangga dan baru sekarang dianugerahi momongan. Menjadi sebuah perjalanan dan perjuangan cinta yang tidak mudah. Sering kali diri ini meyakinkan, bahwa: mana mungkin Oci tidak setia. Sungguh aku percaya dengan kesetiaan istriku, apalagi dia dalam keadaan hamil. Tidak mungkin melakukan hal yang tercela. Tetapi resah ini tidak dapat dipungkiri, meninggalkan Oci di Bandung, sama saja dengan merelakan dirinya untuk kembali menggali segala kisah lama yang aku minta untuk dikuburnya dalam-dalam. Bukan, bukan aku ini pengecut atau apalah namanya. Tetapi tidak salahkan? Jika seorang suami menjaga kehormatan istrinya dari marabahaya.


Untukku Damar adalah marabahaya, meski sampai detik keberangkatan ke Libanon masih belum bertemu dia. Namun aku khawatir dengan kabar dari Ria, bahwa Damar kini sudah kembali ke Bandung. Sahabatku itu membuka usaha di salah satu mall, tidak lagi menempati rumah lama. Namun Damar masih tinggal di kota yang sama. Sungguh ini sangat menganggu hati ini. Khawatir Oci kembali bertemu lelaki itu. Bagaimanapun Oci dan Damar adalah dua sahabat yang memiliki rasa lebih dari sebuah persahabatan. Memang, berkali-kali Istriku meyakinkan bahwa tidak ada keinginan untuk menjalin cinta dengan dia. Namun pernyataan, “ takut kehilangan,” sahabatnya itu, menorehkan rasa kekhawatiran seorang suami pada belahan jiwanya. Rio menarik napas panjang, duduk dalam perjalanan menuju negeri orang terasa begitu lama. Dipejamkannya mata, mencoba agar sebentar saja terlelap. Mengusir khawatir yang semakin menjadi.

*

Dua hari lalu, saat baru sampai di Bandung Rio terjaga dari tidur. Dilihatnya Oci yang masih terlelap. Tadi, dirinya sangat kelelahan, hingga meninggalkan sang istri sendirian melewati malam. Diambilnya ponsel yang masih dalam genggaman Oci, sebentar melihat layar yang menyala. Lalu menyimpannya di meja kecil dekat ranjang. Ditatap lekat wajah perempuan yang sebentar lagi akan menjadi ibu dari anaknya. Kini setelah si calon bayi hadir dan tumbuh sehat dalam rahim sang istri, dirinya harus pergi. Setahun, bukan hitungan hari, tapi hitungan ribuan hari dan miliar jam yang harus dilewati Oci sendiri.

Diciumnya Oci yang masih terlelap, Rio pun beringsut turun dari ranjang hendak mengambil wudhu untuk solat malam. Sekilas lelaki itu melihat ponsel Istrinya menyala, sebuah direct message masuk. Damar, pesan dari sahabat lamanya itu. Hanya ber-say hai tetapi cukup membuat rasa Rio tidak nyaman. Bukan cemburu, lebih kekhawatiran karena kedatangan seorang penganggu. Ah, konyol memang, “tapi wajarkan seorang suami berlaku seperti ini?” batin Rio. Dihapusnya direct message itu, lalu ditaruh kembali ponselq di tempat semula.

*
“Ci, kalo pergi kemana-mana harus ditemeni Ria atau diantar Anto, Jangan pergi sendiri.” Perempuan itu memeluk Rio erat, dan mengiyakan,“ selalu kasih kabar Aa, setiap hari. Minimal pesan wattsapp atau e-mail, pasti akan dibalas saat senggang.” Itu pesanku pada Oci sebelum masuk pesawat terbang, istriku itu tersenyum menahan tangis untuk sebuah perpisahan sementara.

Pesawat masih di atas awan, empat belas jam perjalanan menuju negeri orang. Terasa begitu lama, padahal baru beberapa jam saja berpisah dengan orang tercinta. Rio yakin Oci akan menjaga setia dan cinta mereka. Meski resah kini tengah bergelayut di benak Rio. Pesan yang dibacanya waktu lalu sangat mengganggu ketenangan dirinya. Akankah Damar masih berusaha mencari dan menjumpai Oci saat dirinya pergi?

Bandung, 02 Februari 2020






jiyanq
jiyanq memberi reputasi
1
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.