cowboymailAvatar border
TS
cowboymail
[Horror Story] Bersekutu dengan Iblis

Assalamu'alaikum
warahmatullahi wabarakatuhu.
Selamat pagi, siang, malam, dan salam sejahtera bagi minmod, agan, serta aganwati sekalian.

Quote:


Ternyata, sudah lama juga ane nggak main ke SFTH. Terakhir sekitar tahun 2014-2015. Lama, beud. Hahaha. Panggil aja ane
Om Cowboy. 😂

Quote:


Sebelum memasuki cerita, ane ucapkan salam kenal kepada para generasi baru SFTH tercinta. Lalu, kepada kawan-kawan maya lama ane–siapa tahu ada yang masih inget–apa kabar kalian? Semoga sehat semuanya dan senantiasa dalam perlindungan Allah swt.

Well, tanpa perlu berpanjang-panjang lagi, saya persembahkan kisah:

Bersekutu denganIblis.

emoticon-Takut emoticon-Takut emoticon-Takut

Selamat menikmati, Gaes.

🙏🙏🙏🙏🙏
💖💖💖💖
💗💗💗
💓💓
💝



SUMBER

Hai, hai, mohon maaf teman kawan kaskuser sekalian. Kisah ini alhamdulillah dipinang penerbit makanya lama vakum. Bagi yang berkenan pesan, boleh sekali mengunjungi akun Facebook AP Mahardhika. Nanti akan diarahkan kepada marketer penjualan novel.

Sekali lagi, terima kasih atas doa dan support teman-teman. Mohon maaf atas keterlambatan update. Mulai besok, Insya Allah dilanjut di sini sampai BAB 14.




Diubah oleh cowboymail 05-07-2020 00:29
NadarNadz
nona212
pucuy19
pucuy19 dan 34 lainnya memberi reputasi
35
24.4K
172
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread•41.4KAnggota
Tampilkan semua post
cowboymailAvatar border
TS
cowboymail
#24
Bagian 2: Kinanti
Isi percakapan terakhirku dengan Meylina sungguh menggugah rasa penasaran. Seringnya membuat mata sulit terpejam hingga pagi. Lantas, hanya bisa menerawang langit-langit kamar ditemani hati yang berselimut gundah. Haruskah aku memercayai ucapannya bahwa dengan menjadi sekutu iblis, putriku dapat hidup lagi ke dunia?

Mungkin, bagi sebagian orang yang hidupnya baik-baik saja, atau tidak pernah mengalami depresi kronis, kehilangan anak seperti kehilangan sebungkus permen. Tinggal beli lagi. Tinggal bikin lagi. Namun, untuk orang sepertiku yang cuma memiliki Dara sebagai satu-satunya pelipur lara, kepergiannya ibarat melenyapkan separuh nyawa.

Aku beranjak dari kursi kerja dan mendekati mini freezer. Alih-alih menyesap minuman dingin demi meredakan bara putus asa yang tengah melanda jiwa, tanganku justru meraih kaleng minuman susu stroberi milik Dara.

“Yah, lihat aku! Aku bisa ngabisin dua kaleng sekaligus.”

“Yah, besok jangan lupa beliin aku susu, ya. Yang rasa stroberi, nggak mau yang vanila atau coklat. Terus susunya taruh aja di kulkas kecil yang ada di kantor Ayah. Jadinya kalau aku main ke sana, aku nggak bingung lagi cari susu.”


Bunyi ketukan langsung membuyarkan lamunan. Tergopoh kaki ini melintasi ruangan dan meraih gagang pintu, memutarnya penuh debar demi menyambut sosok tercinta.

“Dara? Apa itu kamu, Nak?”

Akan tetapi, yang kujumpai di balik daun pintu hanyalah raut waswas sekretaris.

“Ma-maaf, Pak. Saya tahu Bapak sedang tidak ingin diganggu. Tapi, sejak tadi Bu Lina menunggu Bapak di lobi.”

Tanpa sadar aku mendengkus. Walau lirih, nyatanya mampu membikin perempuan muda itu tampak salah tingkah.

“Tolong sampaikan ke Bu Lina, sebentar lagi saya akan turun.”

“Baik, Pak.” Dan sekilas aku bisa mellihat mimiknya berubah lega.

Kira-kira lima menit kemudian, aku sudah tiba di lobi untuk menemui Meylina. Tumben ia tak banyak bicara, lebih tenang, dan elegan. Mengingat dahulu bibirnya lumayan ceriwis dan memang tipe perempuan yang selalu tampil ceria. Seolah pribadinya yang sekarang sama sekali berbeda dengan sosoknya bertahun silam.

Masih terngiang dalam ingatan betapa ia kerap mendominasi percakapan dengan materi kurang penting. Membahas rencana liburan ke Shanghai lah, mengunjungi teman SMA di New Zealand lah, atau shopping tas di Paris. Benar-benar membuang waktu juga uang untuk aktivitas tidak berguna.

Alangkah baiknya memikirkan rencana pendidikan anak, membantuku mengurus perusahaan, atau setidaknya belajar memasak supaya suaminya kerap mencicipi masakan istri. Meskipun nanti rasanya hambar, aku adalah tipe suami yang lebih menghargai proses dibanding hasil.

“Maaf kalau kedatanganku mengganggu.”

Lagi-lagi dibuatnya aku kaget dengan perubahan sikap yang drastis. Manis, juga sopan.

“Tak apa, Lin. Memangnya ada kepentingan apa sampai kamu datang ke sini?”
“Aku ingin membicarakan soal Dara.”

--oOo--


Dari kejauhan, terlihat dua gapura menjulang dengan papan raksasa bertuliskan Keraton Nirwana Regency. Sewaktu melintasi OWGS (One Way Gate System), mobil kami dicegat oleh dua security. Mereka mengatakan bahwa setiap tamu, tanpa kecuali, wajib diperiksa barang bawaannya. Termasuk muatan yang tersimpan dalam bagasi.

Kontan aku panik sebab di sana terdapat bungkusan yang apabila publik sampai tahu, akan menyeret kami berdua ke dalam bui. Andaikan tidak masuk penjara, sudah pasti kami akan menjadi bulan-bulanan massa!

Beruntung Meylina lekas menjelaskan kalau ia punya janji temu dengan warga bernama Kinanti, membuat para petugas mendadak urung menggeledah kendaraan kami. Salah satu dari mereka balik memasuki pos, tampak menghubungi seseorang via telepon, lantas kembali menghampiri dengan senyum terkembang.

“Maaf atas ketidaknyamanannya. Silakan lanjut, Pak, Bu,” ujar si petugas, sangat ramah.

Tak lama, mobil kami mendarat di pelataran rumah Kinanti–wanita yang digadang-gadang oleh mantan istriku sebagai satu-satunya orang yang dapat menolong Dara. Tepatnya membangunkan putri kami dari tidur panjang.

“Prosedur keamanan di perumahan ini memang seperti itu. Sebab dulu pernah ada seorang jurnalis yang diam-diam membawa perlengkapan CCTV dan memasangnya di sudut-sudut tersembunyi, sekadar untuk memata-matai kegiatan warga Keraton Nirwana. Sampai akhirnya dia tertangkap basah ketika hendak mengganti kamera yang rusak,” jelas Kinanti sembari memimpin langkah kami menuju ruang tamu.

“Lalu, apa yang terjadi dengan orang itu, Mbak?” Aku iseng menyelidik.

“Yang jelas pihak security menyita semua rekaman dan peralatan CCTV miliknya, karena apa pun alasannya, dia telah melanggar privasi warga sini.”

Usai dipersilakan duduk, Meylina langsung menuturkan maksud kedatangan kami. Kuperhatikan Kinanti begitu rileks mendengarkan. Sama sekali tidak menunjukkan mimik prihatin, kaget atau syok mengetahui putri kami tewas secara tragis dalam sebuah peristiwa kecelakaan. Seolah-olah telinganya sudah biasa ‘dicurhati’ masalah yang serupa.

“Yang perlu kalian pahami, tangan kami selalu terbuka lebar bagi siapa pun yang percaya. Tapi, apa Saudara Devran sudah tahu apa saja yang menjadi persyaratannya?” Wanita tersebut bertanya padaku, tapi lirik matanya jelas mengarah kepada mantan istriku.

“Sudah, Mbak. Kami sudah menyiapkan semuanya sebelum berangkat ke sini,” jawab Meylina, yakin.

“Bagus. Sekarang, di mana kalian menyimpan jasad Dara?”

--oOo--


Tak peduli pada rinai hujan yang tengah deras mengguyur kota. Tengah malam dua hari silam, aku ditemani juru kunci makam, keluar dari kabin mobil dengan sorot senter menyapu sekeliling area pekuburan. Setelah memastikan kondisi aman, kami bergegas menjinjing sejumlah perlengkapan menuju gundukan tempat Dara dikebumikan.

“Nak Dev, sebaiknya kita batalkan saja rencana ini,” sela Pak Warjani tepat ketika aku hendak mengayunkan ujung cangkul ke permukaan pusara.

“Memangnya kenapa, Pak? Apa barusan Bapak melihat ada orang lain di sini selain kita berdua?” Lekas aku menangkupkan tangan ke depan alis, menghalau tetes langit yang membuat samar pandangan. Mengawasi sekitar, tapi tidak berhasil menjumpai siapa-siapa.

“Bukan itu, Nak. Bapak hanya tidak mau kita berdua sampai terjerumus ke dalam dosa besar.”

Mendengar itu, rasanya aku ingin terbahak. Sungguh lucu. Kenapa baru sekarang Pak Warjani berujar demikian? Bukankah beliau sudah menggunakan uang pemberianku untuk membiayai pengobatan anak perempuannya sekaligus membeli motor baru.

“Pak, kita ini sama-sama punya anak perempuan. Bedanya, putri Bapak masih hidup berkat bantuan saya, sedangkan putri saya terbujur kaku di bawah sana tanpa ada seorang pun yang peduli selain ayahnya!”

Di penghujung kalimat, aku sampai membanting cangkul. Beliau pun terperanjat dan mengelus dada.

“Astaghfirullah, Nak. Allah itu Maha Tahu mana yang terbaik bagi hamba-Nya. Jika kita ikhlas menjalani, tentu Allah akan mengganti dengan yang lebih baik.”

Ini ... inilah yang membuatku muak dengan orang kebanyakan. Apa beliau pikir dengan memberiku ceramah receh seraya berlindung membawa-bawa nama Tuhan, itu bisa membuatnya terbebas dari kesepakatan yang telah dibuat?

“Jika memang takut dosa, seharusnya sejak awal Bapak tolak saja penawaran saya. Bukan malah mangkir di tengah-tengah pekerjaan. Tapi, tak masalah. Saya sudah sering bertemu dengan orang-orang macam Bapak.”

“Maksud Nak Dev?”

“Orang-orang munafik!” sambungku usai merapatkan tubuh hingga wajah kami saling berdekatan.

Sorot kemarahan sontak terpancar dari maniknya yang memasuki periode senja.

“Coba bilang sekali lagi?”

“Kenapa!? Bapak mau pukul saya?”

“Sekali lagi kamu bilang saya munafik, bogem ini,”–beliau mengangkat sebelah lengannya yang memang dipenuhi otot mirip kuli–“akan saya gunakan untuk mempreteli gigi depanmu. Dasar bocah kurang ajar!”

“Siapa di antara kita yang pantas dibilang kurang ajar? Bapak yang sudah memakai uang saya, tapi tiba-tiba mangkir dari perjanjian. Atau, saya yang sudah menolong nyawa anak Bapak, tapi dikhianati dengan alasan takut dosa?”

Selama beberapa detik, mata kami saling beradu. Sampai akhirnya Pak Warjani beringsut mundur, membalik badan, dan menyambar sekop yang tergeletak di tanah.

--oOo--


Kinanti menginstruksikan dua pegawainya agar hati-hati menurunkan muatan dari bagasi mobilku. Menggunakan ranjang dorong yang mirip dengan kepunyaan rumah sakit, jenazah Dara yang telah kubungkus kantong plastik–supaya tidak terlalu menguarkan bau busuk–buru-buru dibawa menuju ruangan khusus. Kemudian dipindahkan ke atas meja panjang besar, semacam altar, seraya menunggu persiapan ritual yang katanya akan dilakukan nanti malam.

“Aku khawatir ini tidak akan berhasil.” Benakku masih saja kental dilumuri prasangka. Oleh karena sungguh sulit mengimani bahwa jasad Dara akan kembali utuh seperti sedia kala, hanya dengan dipendam selama dua hari di pekarangan belakang rumah Kinanti.

Serta-merta telapak tangan Meylina meraih wajahku, lalu mengusap lembut sebelah pipiku.

“Kamu tidak usah khawatir, Dev. Ritual ini pasti berhasil.”

“Kenapa kamu bisa seoptimis itu? Apa kamu tidak lihat bagaimana kondisi mayat putri kita?”

Namun, lagi-lagi ia mengukir lengkung di bibirnya yang tipis kemerahan.

“Aku pernah lihat mayat yang kondisinya jauh lebih buruk dibanding Dara, bahkan tinggal tulang belulang saja. Tapi, dengan mudah mereka bisa menanganinya.”

“Maksudmu?”

(bersambung)
mincli69
black392
johny251976
johny251976 dan 18 lainnya memberi reputasi
19
Tutup
Ikuti KASKUS di
Š 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.