pungcrayAvatar border
TS
pungcray
Kisah Umat Kristen di Aceh Singkil Yang Terpaksa Beribadah di Bawah Tenda
Judul asli: Kisah umat Kristen di Aceh Singkil yang terpaksa beribadah di bawah tenda: 'Anak cucu kita janganlah mengalami apa yang kami alami'

Empat tahun setelah pembongkaran gereja-gereja di Aceh Singkil, Provinsi Aceh, umat Kristen di wilayah yang menerapkan syariat Islam itu mengaku masih kesulitan menjalankan ibadah dan mendapatkan izin pembangunan gereja dengan persyaratan yang sulit dipenuhi . Bu pati setempat mengatakan syarat-syarat itu ditetapkan karena umat Islam semestinya tidak mendukung pendirian tempat ibadah agama lain.



Hujan pada sore hari itu tak menghalangi ratusan umat Kristen di Desa Sangga Beru Silulusan melaksanakan kebaktian. Tak peduli dengan tetesan air hujan yang mulai menggenangi tanah tempat mereka berpijak, mereka khusyuk menyanyikan lagu rohani berbahasa Pak-Pak dan beribadah dengan penuh keterbatasan.

Jemaat Gereja Kristen Pak-Pak Dairi (GKPPD) Sangga Beru di Gunung Meriah, Aceh Singkil, melakukan kebaktian di bawah terpal biru yang disulap menjadi atap gereja dengan berlantaikan tanah, setelah bangunan gereja dirubuhkan oleh aparat pada Oktober 2015 karena dianggap tak berizin.

Martina Berutu, asal Sumatera Utara, masih ingat hari itu, Kamis 24 Oktober empat tahun lalu, ketika dirinya melaksanakan kebaktian terakhir di gereja yang telah menjadi rumah kedua bagi warga Kristen di desa itu sejak tahun 1960-an.

Itu adalah upaya terakhir untuk mempertahankan gereja, setelah beberapa hari sebelumnya para jemaat mendapati gereja mereka masuk dalam daftar gereja yang akan dirubuhkan.

Para perempuan dan jemaat usia lanjut, terbawa suasana haru, membawakan doa rohani. Beberapa dari mereka menangis pilu, termasuk Martina yang duduk di bangku paling depan, bersama dua jemaat perempuan lain. Sambil bernyanyi, Martina sesekali mengusap air mata dengan selendangnya.

Upaya penghabisan mereka tak menghalangi aparat satuan polisi pamong praja (satpol PP) yang membongkar gereja, tak lama setelah para jemaat dipaksa keluar dari gereja.


"Bagaimana tak sedih, tak ada lagi tempat kami beribadah," ujar Martina.

"Perasaan saya sedih kali. Datang orang itu semua bawa alat, membongkar gereja kami itu," tutur Martina lirih, ketika mengingat kejadian itu.

"Semua takut dan sedih."

"Bagaimana tak sedih, tak ada lagi tempat kami beribadah," ujarnya.

Setelah dibongkar, umat Kristen di desa itu terpaksa menjalankan ibadah dengan tidak layak, di bawah tenda semipermanen. Dalam empat tahun terakhir, setidaknya sudah tiga kali gereja darurat ini berpindah lokasi, bergantian meminjam lahan milik salah satu jemaat.


Ini adalah ketiga kalinya gereja sementara GKPPD Sanggaberu berpindah lokasi.

Kepada BBC News Indonesia, dia menyatakan kerinduannya beribadah di tempat yang layak.

"Kerinduannya tinggi, di manalah tempat kami ini beribadah. Sedihlah perasaan. Tenda pun [kondisinya] kaya gini," tutur Martina.

Sementara hujan kian lebat menghujani tenda yang terbuat dari terpal itu.


Di tengah hujan, jemaat GKPPD Sanggaberu khusyuk menjalankan ibadah kebaktian.

Nasib sama, juga dialami jemaat gereja Huria Kristen Indonesia (HKI) yang berlokasi di desa tetangga.

Beberapa hari sebelum pembongkaran gereja GKPPD Sanggaberu, gereja HKI Suka Makmur yang juga berada di kecamatan Gunung Meriah, dibakar massa. Rentetan kejadian pembakaran dan pembongkaran gereja di Aceh Singkil pada 2015 lalu, dikenal sebagai konflik Aceh Singkil.

'Semua melempari biar hancur'
Pembakaran Gereja HKI Suka Makmur, menjadi awal apa yang disebut sebagai 'penertiban' gereja-gereja lain di Aceh Singkil yang dianggap tidak memiliki izin. Setidaknya, sembilan gereja dirubuhkan, satu gereja dibakar dan satu gereja terbakar.

Setidaknya 8.000 warga Kristen Aceh Singkil sempat mengungsi ke dua desa di Sumatera Utara yang bertetangga , menyusul kerusuhan yang menewaskan seorang warga dan melukai sejumlah orang, termasuk seorang petugas polisi.

Masarani Berutu berdiri mematung di depan gereja yang kini tinggal puing itu, menyisakan bangunan bagian depan bercat putih usang bertuliskan 'Huria Kristen Indonesia'.


Masarani Berutu di depan gereja Huria Kristen Indonesia Sukamakmur, Aceh Singkil.

Air sisa dari hujan lebat yang mengguyur di pagi hari menggenangi ruang gereja, tempat sekitar 90 jemaat dahulu melaksanakan kebaktian. Mimbar yang terbuat dari logam masih tegak berdiri, namun mulai berkarat. Di depannya, bersandar salib besar yang sebelumnya disematkan di atap gereja.

Bangunan semi permanen itu ludes terbakar, disulut sekelompok warga sekitar empat tahun lalu pada 13 Oktober 2015.

Perempuan paruh baya itu menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri ketika segerombolan orang menyerbu gereja yang terletak di Desa Suka Makmur, Gunung Meriah, Aceh Singkil.

"Rasa takut, gelisah, nggak lagi bisa kita ngomong, nggak bisa aku berpikir lagi. Hanya bisa menetes air mata," ujar perempuan yang akrab dipanggil Masa itu, menuturkan perasaannya kala melihat gerejanya perlahan dilalap api.


Pembakaran empat tahun lalu hanya menyisakan bangunan depan gereja.

Beberapa hari sebelumnya, sempat tersiar kabar beberapa gereja di kabupaten yang letaknya berbatasan dengan Sumatera Utara itu harus 'ditertibkan' karena tidak memiliki izin.

Khawatir tempat ibadahnya menjadi salah satu gereja yang akan dirubuhkan, dipimpin oleh pendeta, sekitar 30 jemaat, sebagian besar perempuan, melakukan kebaktian pada pagi itu, beberapa saat sebelum insiden pembakaran terjadi.

"Waktu belum naik apinya, dipimpin Pak Pendeta lagi kami bernyanyi, berdoa," kisahnya. Ada kesan pilu dari nada bicaranya.

"Kami di sebelah sawit di sana, disuruh berkumpul," ujarnya sambil menunjuk pohon sawit di sebelah gereja.


Genangan air hujan membasahi lantai yang sebelumnya menjadi ruang ibadah warga Kristen di Suka Makmur.

"Orang-orang itu pada keliling semua, keluar masuk membacoki apa lah, kaca-kaca, semua melempari biar hancur," ujarnya tercekat.

Empat tahun berselang, bangunan gereja belum kembali dibangun karena terbentur kesulitan mengurus perizinan, kata Masarani.

Tak jauh dari apa yang tersisa dari bangunan HKI Suka Makmur, umat Kristen di desa itu membangun tenda yang kini menjadi naungan mereka untuk menjalankan kebaktian di akhir pekan.

Ketika BBC News Indonesia mengunjungi tempat itu pada Minggu, 10 November silam, sekolah minggu sedang berlangsung.

Anak-anak dari segala kelompok umur, mengikuti pendidikan agama Kristen yang tak didapatnya di sekolah mereka. Sebab, sekolah-sekolah Aceh mewajibkan siswanya belajar pendidikan agama Islam, apapun agama mereka.


Anak-anak dari segala kelompok umur, mengikuti pendidikan agama Kristen di Sekolah Minggu yang tak didapat di sekolah mereka

Resmiati Berutu, salah satu guru Sekolah Minggu menuturkan, sebagian besar anak-anak-anak ini belum pernah marasakan ibadah di gereja. Gereja yang selama ini mereka tahu adalah bangunan beratap tenda tak berdinding di tengah kebun dengan kursi-kursi plastik sebagai bangku gereja.

"Memang sebenarnya kalau ibadah di gereja ini kendalanya banyak, seperti hujan, nyamuk, itu yang menjadi hambatan anak-anak di Sekolah Minggu," ujar Resmi.

"Kadang anak Sekolah Minggu berkata 'Kak, banyak sekali nyamuk'. Itu yang menjadi keluhan mereka. Kita mau buat apa?" lanjutnya.


"Hujan, nyamuk, itu yang menjadi hambatan anak-anak di Sekolah Minggu," ujar Resmi.

Sementara jika musim kemarau tiba, debu juga menjadi keluhan anak-anak, kata Resmi.

Yang dilakukan Resmi, adalah menenangkan anak-anak agar tidak merisaukan kendala itu.

"Kadang di lokasi seperti ini banyak masyarakat yang memelihara binatang. Kadang aroma tidak sedap menjadi keluhan dan hambatan juga," ungkap Resmi.



Menjamurnya Gereja Tak Berizin, Umat Islam Terusik

Konflik yang terjadi pada 2015, bukan yang pertama terjadi di Aceh Singkil. Sejak 1979, beberapa konflik terkait pendirian gereja terjadi di kabupaten yang terletak di dekat perbatasan dengan Sumatera Utara itu.

Dia menjelaskan, pada 1979 menyusul kerusuhan berbau sara di Aceh Singkil, dibuat kesepakatan bahwa di wilayah itu hanya boleh berdiri satu gereja dan empat undung-undung , atau rumah untuk beribadah bagi penganut agama Kristen.

Namun, seiring dengan bertambahnya jumlah umat Kristen di Aceh Singkil, jumlah gereja dan undung-undung yang dibangun di Aceh Singkil pun terus bertambah. Pada 2012, terdata sebanyak 15 gereja dan undung-undung di luar bangunan yang diberi izin tersebut.

Hal itu diprotes warga Muslim yang merasa bahwa pembangunan rumah ibadah-rumah ibadah tersebut menyalahi tiga kesepakatan sekaligus, di antaranya perjanjian damai pada 1979, Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh Nomor 25 Tahun 2007, serta Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.


Jemaat GKPPD Sanggaberu sedang melakukan kebaktian di bawah tenda terpal yang disulap jadi gereja sementara.

Pemuka umat Muslim Aceh Singkil, Roesman Hasymi, tak menampik kenyataaan bahwa jumlah penduduk umat Kristen di Aceh Singkil terus bertambah. Dengan begitu, kebutuhan akan rumah ibadah mereka juga semakin banyak.

Namun, Roesman menegaskan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang mengatur keistimewaan pemerintah Aceh dan penerapan syariat Islam di provinsi yang disebut sebagai 'Serambi Mekah' itu, laiknya umat Kristen memiliki "kearifan menyikapi persoalan".

"Rumah ibadah itu kan harus punya proses izin. Karena semakin banyak [gereja tak berizin], umat Islam merasa terusik, tidak nyaman juga negeri ini. Tokoh-tokoh berpikir seperti itu, apalagi masyarakat awam," tegasnya.

Namun, pada tahun 2015 konflik itu "meledak", seperti diungkapkan oleh Ketua Forum Cinta Damai Aceh Singil (Forcidas) Boas Tumangger, yang mengadvokasi warga Kristen di Aceh Singkil.

"Penyebabnya itu, isunya bahwa telah terjadi kristenisasi di Aceh Singkil dan menjamurnya gereja-gereja di sini," ungkap Boas.


Ketua Forum Cinta Damai Aceh Singil (Forcidas) Boas Tumangger menyebut motif politik menjadi musabab konflik yang terjadi empat tahun lalu.

Pada saat itu terdapat 24 gereja di Aceh Singkil. Dari keseluruhan gereja, hanya satu yang memiliki izin yang didapat sejak pemerintahan kolonial Belanda, yakni Gereja Kristen Pak-Pak Dairi (GKPPD) Kuta Kerangan di Kecamatan Simpang Kanan.

Lebih lanjut Boas Tumangger menjelaskan, hasil pertemuan pihak-pihak terkait kala itu menyimpulkan pemerintah daerah akan memberikan izin terhadap 12 gereja.

Sementara sisanya, harus dibongkar. Namun oleh pemerintah daerah, pembongkaran gereja urung dilakukan.

"Setelah itu, massa tetap memaksa pemerintah untuk membongkar gereja tak berizin," imbuhnya.


Gereja HKI Suka Makmur, Aceh Singkil yang telah dipasangi garis polisi setelah dibakar massa.

Unjuk rasa kelompok ini berlanjut menjadi serangan yang berujung pembakaran gereja, berbuntut bentrokan dengan warga dan aparat keamanan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa satu orang.

"Waktu pembakaran itu ada aparat kepolisian di situ, tapi tampaknya aparat kepolisian tak berdaya, lalu dibiarkan begitu saja," kata dia.

Boas menuturkan, ribuan warga Kristen di Kabupaten Aceh Singkil terpaksa mengungsi ke beberapa daerah di Sumatera Utara menyusul kerusuhan. Beberapa di antara mereka mengungsi ke Tapanuli Tengah, Pak Pak Barat dan Dairi. Namun sebagian besar dari mereka kini sudah kembali ke Aceh Singkil.

Apa yang terjadi terhadap umat Kristen di Aceh Singkil, dianggap "diskriminatif" oleh Boas. Sebab, warga Kristen di Aceh Singkil dipandang sebagai "minoritas" dan "pendatang".


Seorang pria paruh baya di belakang sisa puing HKI Suka Makmur yang dibakar massa. Konflik Aceh Singkil 2015 mengakibatkan satu korban jiwa.

"Padahal kami mendirikan gereja di tempat mayoritas yang memang penduduknya Kristen. Jadi pastinya, kita merasa didzalimi oleh negara dan kami menganggap, sampai detik ini, kehadiran negara tidak ada di Aceh Singkil," ujarnya.

Data Kementerian Agama tahun 2017 menunjukkan jumlah umat Kristen di Aceh Singkil mencapai lebih dari 15.000, atau 12% dari total penduduk di kabupaten itu.

Merujuk pada data perbandingan itu yang menempatkan umat Kristen dalam kelompok minoritas, maka menurut Boas Tumangger, mereka semakin tak berdaya dalam upaya memperoleh izin pendirian gereja.


Simbol salib di depan GKPPD Kuta Kerangan di Kecamatan Simpang Kanan, satu-satunya gereja di Aceh Singkil yang memiliki izin.

Namun, hal ini ditampik oleh Bupati Aceh Singkil, Dul Musrid.

"Bukan memberatkan, tapi memang, ini Aceh," ujar Dul ketika ditemui di kantornya di ibu kota kabupaten, Singkil.

"Umat Islam sudah memfatwakan dirinya haram hukumnya dan tidak boleh memberikan dukungan terhadap pendirian rumah ibadah. Karena itu sudah dianggap dosa, sama dengan 'umat Islam kok membantu mendirikan rumah ibadah gereja sih'," ujarnya.


SETARA Institute mencatat, setidaknya aktivitas 200 gereja di seluruh Indonesia disegel dan ditolak oleh masyarakat dalam kurun waktu sekitar satu dekade terakhir

Tahun ini, akan menjadi tahun kelima umat Kristen di daerah itu tidak dapat merayakan Natal di gereja, seperti umat Kristen kebanyakan.

Boas Tumangger mengatakan umat Kristen saat ini masih memproses perizinan 18 gereja, yang menurutnya sudah memenuhi kriteria. Namun hingga kini, izin tak kunjung didapat.

"Harapan kami ke depan, anak cucu kita janganlah mengalami apa yang kami alami," tutur Boas.

sumber

emoticon-Turut Berduka

Namun, hal ini ditampik oleh Bupati Aceh Singkil, Dul Musrid.

"Bukan memberatkan, tapi memang, ini Aceh," ujar Dul ketika ditemui di kantornya di ibu kota kabupaten, Singkil.

"Umat Islam sudah memfatwakan dirinya haram hukumnya dan tidak boleh memberikan dukungan terhadap pendirian rumah ibadah. Karena itu sudah dianggap dosa, sama dengan 'umat Islam kok membantu mendirikan rumah ibadah gereja sih'," ujarnya.


Oh jadi gitu ya?

emoticon-Turut Berduka
sebelahblog
4iinch
pakisal212
pakisal212 dan 43 lainnya memberi reputasi
44
12.3K
290
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan Politik
icon
669.8KThread40.2KAnggota
Tampilkan semua post
renofizaldyAvatar border
renofizaldy
#110
Mabuk yg paling parah di dunia adalah mabuk agama, lebih buruk drpd mabuk narkoba. Bayangkan tanpa apapun yg bisa di konsumsi secara fisik mabuk agama mampu menggerakan massa untuk berbuat brutal layaknya orang kerasukan setan dengan dalih atas nama tuhan, sangat jauh berbeda sekali dengan sifat2 tuhan yg d ajarkan di semua alkitab agama apapun.
Saya sendiri muslim dan sangat miris sekali membaca artikel ini, sepertinya gesekan berbau SARA ini merupakan tantangan dan cobaan besar bagi indonesia di generasi kita. Mampukah kita mengatasinya nanti?
0
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.