wafafarhaAvatar border
TS
wafafarha
Sungguh, Aku Sayang Pada Suamimu, Mbak
#Aku_Mencintai_Suamimu_Mbak!
(3)

Melihat nama yang tertera di layar ponsel, Johan enggan mengangkatnya.

"Cepat pakai baju, Mas! Tunggu apalagi?" titah Dewi pada pria yang terbengong di hadapannya.

Johan tersentak, segera meraih hem dan celana yang tergeletak di kursi. Berat rasanya meninggalkan Dewi, hubungan yang sedang berlangsung panas-panasnya karena baru dua bulan terjalin di belakang sang istri.

"Kamu gak apa-apa 'kan aku tinggal?" ucapnya sembari mengenakan pakaian, menutupi tubuhnya yang hanya berbalut celana boxer.

"Justru aku akan kenapa-kenapa kalau Mas tetap ada di sini." Wanita dengan wajah manis itu melirik jam dinding, dua tangannya memeluk dada, mengusap-usap lengannya sendiri karena gugup. "Lagian aku juga harus kerja."

"Ya, baiklah."
Johan telah rapi dengan pakaiannya, ia mendekat pada gadisnya, bergegas pergi setelah mengecup cepat bibirnya.

Saat akan menutup pintu, Dewi melihat Johan yang tengah menghubungi Rani, itu menyakitkan baginya, tapi bukankah perselingkuhan memang memiliki resiko semacam ini.

Gadis itu menghela berat. Menetralisir nyeri di dadanya.

"Ya, Sayang. Mas segera ke sana. Tadi ada tugas di luar dari Bos. Kan tadi pagi Mas sudah bilang." Pria itu menyalakan motor, melambai pada Dewi sebelum akhirnya pergi.

"Ya, Mas. Dia istrimu ... dan aku hanya selingkuhanmu," gumam Dewi. Nyeri itu terasa semakin menjadi, melihatnya pergi demi kakaknya jauh lebih menyakitkan dibanding melihat mereka bermesraan di hadapannya sebelum-sebelum ini.

Andai saja hari itu ia bisa menjaga kesehatan, dan tidak jatuh sakit hingga mengharuskannya menginap di rumah sakit.
Andai saja Rani tidak ngeflek di saat bersamaan hingga mengharuskannya bedrest.
Andai bukan Johan orang yang Rani kirim untuk menemani, menyelimuti saat ia menggigil karena typusnya, memegang tangannya erat dan menenangkan saat ia merasa ketakutan di atas pembaringannya.
Ah, berandai-andai tidak akan menjadikan hatinya tenang. Mempertanyakan kenapa hatinya mencintai kakak iparnya sendiri pun tak ada gunanya ....

Semua itu hanya puncak, puncak dari banyaknya interaksi mereka dalam kurun lima tahun. Saat keduanya saling merasa canggung berdua di atas motor, atau di meja makan karena tidak sengaja Rani meninggalkan untuk mengambil makanan, atau tak sengaja bertabrakan dalam rumah mereka, atau tak sengaja saling bersentuhan ketika mengambil benda-benda yang mereka ingini di waktu yang sama. Atau bahkan tak sengaja Johan melihat Dewi berganti pakaian karena kamar tidak tertutup rapat.

"Apakah ini salahku? Aku hanya mencintainya dan dia pun merasakan hal sama padaku ...."

_______

Satu jam Rani menunggu di bangku panjang semen di samping kantor suami. Fisiknya lelah, tapi hatinya bahagia ... rasa rindu membuatnya enggan beranjak pulang sebelum bertatap langsung dengan Johan.

Pria itu telah datang. Senyum menghiasi bibir keduanya saat bertemu.
"Duh, Sayang. Harusnya gak usah ke sini. Nanti kamu kecapean lagi."

"Nggak papa, Mas. Aku kan kangen pengen ketemu kamu." Rani mengelus perutnya.

"Hemm. Pasti adek yang maksa bunda ya?" Johan turut mengelusnya.

"Ya, sudah jangan di sini. Kita masuk saja. kamu temenin Mas makan. Udah laper nih," ucap pria berbadan tegap itu mengusap perutnya yang sedari tadi keroncongan.

Keduanya lalu berjalan bersisian.

"Mas ...."

"Ya?"

"Tadi temen Mas pada pangling lihat aku pakai baju ini."

"Hem?" Johan menoleh. Ia tidak menyadari bahwa sang istri berpenampilan berbeda dari biasanya. Pikirannya terbagi.
"Oya? Wah, iya. Kenapa Mas baru sadar?"

"Iya, makanya ... kenapa Mas baru sadar? Padahal Mas dulu sering minta aku pake kerudung. Tapi ... sekarang Mas kayaknya lebih sibuk, sholat aja sering ditinggal, padahal dikit-dikit aku udah mau sholat walaupun bolong-bolong."

"Hem?" Seketika langkah pria itu berhenti. Memandang pada wanita yang kini ada di sampingnya. Sadar ia telah banyak berubah, karena Dewi? Gadis itu sudah banyak menyita waktunya, bahkan untuk Tuhannya ... perasaannya itu terlalu kuat.

"Mas kenapa? A-apa aku salah bicara?" Rani bertanya melihat sikap suami yang mendadak diam karena ucapannya.

Ada yang teremas dalam dada pria berkulit sawo matang itu. Rasa bersalah. Di saat wanitanya ingin berubah menjadi lebih baik tapi justru ia mengkhianatinya.
Johan tersenyum, menutupi apa yang hatinya rasa.
"Nggak, Sayang. Mas minta maaf ya."

"Untuk apa?"

"Karena Mas kelewat sibuk. Banyak banget kerjaan di luar, kita juga perlu uang lebih untuk biaya bersalin nanti, 'kan?"

"Em." Rani mengangguk, bergelayut di tangan sang suami. "Aku ngerti Mas. Selama ini Mas memang jadi jarang sholat, tapi sikap Mas makin hangat ke aku. Semoga besok-besok Mas rajin sholat lagi, tapi tetep hangat. Hehe. Dan aku akan berusaha jadi ibu yang baik untuk anak kita." Senyum Rani lebar, namun itu justru membuat hati pria di depannya semakin nyeri.

Johan mengusap kepala istrinya yang terbalut khimar lebar. 'Maafkan aku Ran.' Ia bahkan tidak mengerti apakah perubahan yang dikatakan istrinya itu hanya untuk menutupi perselingkuhan atau memang karena kasih sayangnya semakin dalam lantaran wanita itu juga tengah mengandung anaknya. Darah daging yang sudah ditunggu sekian tahun lamanya.

"Oya, besok bisa gak sorenya langsung pulang? Karena waktunya kontrol." Wanita berpakaian longgar itu berjalan sambil mengusap perutnya.

"Besok, besok?" Johan berusaha mengingat sesuatu, dan rupanya ia memilki janji pada Dewi. Makan malam di luar, sejenis kencan yang gadis itu ingini.
"Em, kayaknya gak bisa Sayang. Gak enak sama Bos. Paling bisa Mas pulang jam 10 malam."
'Ah, kenapa rasa bersalah ini terus saja ada? Berbohong lagi dan lagi.'
Pada akhirnya satu kebohongan akan melahirkan banyak kebohongan.

"Em. Ya udah gak papa. Aku sendiri aja nyewa grab."

"Iya, maaf ya. Tapi harus hati-hati." Jelas, perasaan ke Dewi jauh lebih dalam untuk sekarang.

Rani mengangguk, tidak ingin membebani suami dengan permintaan yang sepele dan ia sendiri bisa mengatasinya.

_______

Mobil sport berhenti di depan sebuah klinik. Seorang lelaki keluar dari sana, tanpa ragu memasuki klinik tersebut. Seorang wanita yang tengah berjaga di meja depan menganggukan kepala, bermaksud memberi hormat pada pria berpakaian rapi itu.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Farahna menyahut sembari menoleh. "Eh, Mas. Mana Zdakir?"

"Em, dia mana mau ikut papanya kalo udah ketemu neneknya."

"Emm." Farahna mengangguk, tangannya masih sibuk menulis resep untuk seorang pasien yabg tengah dibekam oleh pegawainya di kamar.
"Jadi tadi ketemu di makam ya?"

Pria itu mengangguk. Menit kemudian netranya menangkap sebuah botol yang dibungkus berbeda dengan yang lain.
"Ini apa?" Jemarinya mengangkat benda itu.

"Oh, itu buat Rani Mas."

"Rani? Dia di sini?"

"Nggak, nanti katanya mau mampir setelah pulang kontrol ke dokter. Cuma kukemas tadi, supaya gak lupa dan kehabisan."

"Sakit apa dia?"

"Cie ... kepo nih, ye. Dia itu sudah jadi istri orang lho Mas Farhan."

"Ck. Emangnya kenapa? Masmu ini bukan pebinor. Cuma tanya apa salah." Pria berbadan tegap itu menaikkan sebelah bibir.
"Lalu kamu sendiri, kapan jadi istri orang?"

"Duh, gak nyambung deh, Mas." Farahna manyun, kesal setiap kali kakaknya itu mengejeknya karena masih belum juga menikah. Farhan terkikik karenanya. Puas melihat sang adek terusik.
"Oya, Rani itu dua bulan lalu ngeflek. Kayaknya syok setelah mendengar adeknya masuk rumah sakit."

"Dia hamil?"

"Iya."

"Lalu adeknya?"

"Gak apa-apa sih, kan emang punya typus. Rani aja aja yang kelewat sayang sama si adek."

Farhan manggut-manggut.

"Oyah, aku mau bawa Rani ke acara Mas minggu depan. Makin banyak yang doain Mbak Mia kan makin bagus, sekalian mau ajak dia dengerin Ustazah Laila ceramah. Siapa tau hatinya terketuk. Mau hijrah bareng. Suaminya lumayan taat lho setauku ... kan jadinya ...."

"Iya, iya. Udah. Bawa aja. Gak usah ceritakan Johan padaku. Sama aja kamu koyak luka lamaku."

"Hiss, Mas belum move on?"

"Siapa yang belum move on? Kalau belum move on mana mungkin aku nikah sama Mia dan punya cowok ganteng kaya Dzakir?"

"Hemh. Iya deh. Maap aku salah ngomong."

Farhan mencebik. "Kamu buruan nikahnya. Apa kurang banyak referensi yang Mas bawa?"

"Apaan sih, Mas? Nanti lah, ini hatiku masih ditutup sama Allah."

"Hallah alesan ...."

Farahna menggedikkan bahu. Sampai sekarang ia memang belum menemukan pria dalam istikhorohnya, meski banyak lelaki yang telah meminang. Selalu saja jawaban maaf muncul terakhir kali.

_________

Johan nampak gelisah menunggu Dewi yang tidak juga selesai bersiap-siap.
"Ayo Dew ... sampai kapan kamu bercermin?" teriaknya dengan menyandar malas di kursi.

Arloji di tangannya sudah menunjukkan pukul 19.15. Padahal Dewi bersiap-siap sejak jam 18.00 tapi belum selesai juga.

"Iyah, bentar. Ini tinggal ngalis doang!" Suara gadis itu terdengar nyaring dari kamar.

"Inilah yang bedain kamu sama kakakmu. Dia tidak pernah buat aku jenuh begini," gumam Johan, mengacak rambut kasar.

Menit kemudian, Dewi keluar dari kamar. Kaos ketat warna coklat susu dan rok selutut membuatnya terlihat mempesona, ditambah makeup yang terpoles di wajah. Johan nyaris tak berkedip, membuat gadis itu tersipu.

"Apa gak terlalu cantik dandan begitu? Nanti aku disangka jalan sama bidadari." Pria itu menggombal seperti biasa.

"Udah, ah. Ayuk. Nanti kebanyakan gombal malah balik ke kamar lagi." Dewi memegang lengan pria itu dengan wajah menggoda.

"Iya, bisa-bisa aku gak tahan kalau kelamaan berdua kaya gini. Capekku langsung ilang. Apa kita batalkan saja keluarnya? Kita masuk kamar aja gimana?"

"Ihhh, Mas gimana sih, aku udah lama nunggu moment ini." Tangan gadis cantik itu mencubit perut lelaki di sampingnya. "Mana waktu Mas gak banyak lagi."

"Ya, udah. Ayo!"

Keduanya berjalan keluar dengan tubuh saling menempel.
Saat akan menaiki motor, ponsel Johan mendengung.
Merasa terganggu, Dewi memutar malas bola matanya. "Siapa sih, Mas? Kenapa gak dimatiin aja hapenya?"

"Stt. Ini Rani. Dia lagi periksa makanya aku gak berani matiin." Johan meletakkan jarinya di mulut.

Mendengar nama kakaknya Dewi mendesah panjang.

"Ya hallo." Kening Johan mengerut.
"Kok, ponsel istri saya di tangan Bapak?"
Matanya melebar mendengar jawaban orang di ujung telepon.

"Ada apa Mas?" Dewi penasaran melihat ekspresi Johan yang seperti orang kaget.

"Rani. Rani kecelakaan."

"Apa? Mbak Ran?!"

BERSAMBUNG.....

======

Baca aja berikutnya Gan

https://www.kaskus.co.id/show_post/5...3a72701e05aee4


Bagian sebelumnya:

https://www.kaskus.co.id/show_post/5...9d0f6d8728726f
Diubah oleh wafafarha 30-10-2019 01:04
Enisutri
perihbanget
lina.wh
lina.wh dan 3 lainnya memberi reputasi
4
2.8K
27
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Buku
Buku
icon
7.7KThread4KAnggota
Tampilkan semua post
wafafarhaAvatar border
TS
wafafarha
#17
Quote:


Terima kasih banyak Gan
perihbanget
perihbanget memberi reputasi
1
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.