DOK.MI/SENO
KOLOM PAKAR
BEBERAPA hari lalu pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) nasional sudah hampir pasti dicanangkan 24 September 2019. Namun, kepastian itu buyar ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikabarkan meminta penundaan pengesahan RKUHP karena ada sejumlah isu belum tuntas dan perlu dibahas anggota DPR mendatang. Harus menunggu berapa lama lagi negeri kita memiliki KUHP yang disusun bangsa sendiri? Suka tidak suka kita hidup di negeri yang tanpa KUHP nasional.
Sebenarnya, cita-cita mempunyai KUHP nasional hampir sama umurnya dengan umur negara ini. Pada 1946, Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta mengesahkan UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang menyatakan berlakunya KUHP 1915 dengan berbagai perubahan. Pada bagian akhir UU itu dikatakan bahwa akan segera disusun KUHP baru.
Menunggu 73 tahun
Setelah berlalu 73 tahun, cita-cita itu belum juga diwujudkan. Artinya, kita masih menggunakan KUHP yang asalnya dari wetboek van strafrecht (WvS) 1915 (yang berlaku mulai 1918) dengan berbagai perubahannya. Pemerintah Hindia Belanda melakukan perubahan atas WvS itu tidak kurang dari 82 kali sejak 1918. Ketika Indonesia merdeka tidak kurang dari 12 kali perubahan telah dilakukan atas KUHP itu. Berdasarkan UU No 1 Tahun 1946 dan kemudian UU No 73 Tahun 1958, nyatalah bahwa bahasa resmi dari KUHP kita itu masih bahasa Belanda, dengan berbagai perubahan, sebagian masih bahasa Belanda dan sebagian bahasa Indonesia. Maka dari itu, kalau kita baca KUHP yang beredar saat ini, itu merupakan terjemahan dari KUHP resmi, jadi bukan KUHP-nya sendiri.
Meski sudah banyak berubah, berkurang dan bertambah, postur KUHP kita sebagian terbesarnya masihlah WvS yang usianya sudah lebih dari 100 tahun. Kalau kita teliti lebih cermat, sebagian dari penambahan itu dilakukan Pemerintah Hindia Belanda antara 1918-1942 untuk mengukuhkan kedudukannya di negeri ini. Bahkan, dulu banyak pasal melindungi raja/ratu dan keluarganya dari penghinaan terang-terangan ataupun dengan sindiran.
Memang pasal-pasal terkait dengan penguasa Belanda atau Hindia Belanda sudah banyak dihapus atau diubah. Namun, mau tidak mau, konteks penyusunan KUHP itu tidak lepas dari konteks negeri Belanda, serta konteks Hindia Belanda. Penyusunnya pun orang-orang Belanda dan kemudian WvS itu dikukuhkan Pemerintah Hindia Belanda. Sumber utama dari KUHP itu ialah WvS Belanda pada 1881 (pascabebasnya negeri Belanda dari Perancis).
Belanda sendiri menyusun KUHP nasionalnya hanya sekitar 6 tahun saat sebelumnya menggunakan Penal Code dari Prancis. Sementara itu, kita telah telah menyusun sejak lebih dari 57 tahun lalu dan hingga kini belum juga disahkan, walau telah lama dibahas. Para ahli hukum kita telah menyusun draf tersebut dengan luar biasa. Sebagian besar bersumber dari KUHP lama. Ini wajar karena banyak juga tindak pidananya memang secara umum diterima sebagai tindak pidana (dikenal dengan mala per se). Jadi, bukan berarti hanya meng-copy hal itu dari KUHP lama. Sejumlah perbuatan, di mana pun kita berada tetap dipandang sebagai tindak pidana.
Partisipasi masyarakat
Sebagian isi rancangan KUHP bersumber dari masukan dan aspirasi masyarakat melalui berbagai cara, seminar, penelitian, konferensi, workshop, dan sebagainya. Sebagian bersumber dari hasil-hasil perbandingan dengan hukum pidana negara lain, yang dianggap baik dan tepat digunakan. Berbagai perkembangan dan kemajuan masyarakat ikut juga menjadi masukan bagi para penyusun rancangan KUHP.
Dalam alam demokrasi, tentu rancangan KUHP telah dibahas sesuai dengan semestinya. Masyarakat kita dari berbagai kalangan telah menyuarakan pendapat dan kritiknya atas rancangan KUHP tersebut kepada penyusun, kepada DPR dan pemerintah. Bisa dikatakan bahwa penyusunannya telah partisipatoris. Ini hal yang sangat penting. Hukum pidana membawa konsekuensi yang berat, yakni sanksi pidana.
Oleh sebab itu, pembuat UU tidak boleh terlalu mudah menjadikan perbuatan tertentu menjadi tindak pidana. Di sinilah partisipasi masyarakat menjadi sangat penting. Sanksi pidana pun tidak bisa dimuat di setiap peraturan perundang-undangan, hanya dalam peraturan perundang-undangan yang melibatkan partisipasi masyarakat, khususnya melalui wakil-wakilnya yang dipilih dalam pemilu yang membahas hal itu dengan pemerintah, ketentuan pidana boleh dibuat. Maka dari itu, perpu pun di beberapa negara (seperti Brasil dan Argentina) tidak boleh memuat ketentuan pidana.
Jika kita menelusuri sejarah penyusunan naskah RKUHP sejak sekitar 1977-1993 dan seterusnya naskah diserahkan kepada pemerintah, kemudian dibahas di DPR, aspirasi dan partisipasi masyarakat itu cukup diperhatikan serta didengarkan. Namun kini, kesempatan dan mimpi kita memiliki KUHP nasional, KUHP yang disusun bangsa sendiri dengan memperhatikan sungguh-sungguh kepribadian bangsa kita sendiri, nilai-nilai bangsa kita sendiri, menjadi tertunda lagi, entah sampai kapan.
73 tahun nunggu uu milik negara sendiri, tapi nasbung babi bodoh lebih suka pake uu juragan aseng...
bung di uu pidana milik wong londo itu zinah gak ada pasal pidananya, lo eue asal sama2 dewasa bebas, gak ada pasal pidananya