Surobledhek746Avatar border
TS
Surobledhek746
Kai Antung dan Ular Tambularas
Quote:

Selamat datang lagi di tread Gw ya Gan/sist. Semoga selalu sehat dan ceria. Ini Gw punya kisah nyata. Simak dengan seksama ya.

Tadi sore suara surau mengabarkan telah ada kematian. Lewat corong. Katanya akan dimakamkan esok pagi. Tak sempat jika dikerjakan sore ini. Keburu malam, begitu biasa kata orang desa tempatku tinggal. Maklum aku adalah pendatang baru.

Berarti mayat akan diinapkan. Kai Antung namanya. Antung adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada keturunan bagsawan. Usianya 84 tahun. Dekat rumahku. Jadi malam ini aku harus ikut tunggu jaga malam di rumah duka. Biasanya baca yasin dan doa-doa. Setelahnya baru ngobrol hingga pagi.

Banyak cerita tentang kesaktian Kai Antung ketika mudanya. Pernah suatu ketika, mereka bersama teman-temannya menyuar kijang. Ke tengah hutan. Hutan di desa kami dulu memang hutan lebat. Di sisi selatan pegunungan Maratus. Sebelah baratnya adalah danau bendungan Riam Kanan. Pegunangan yang masih perawan. Bukit-bukitnya terjal. Banyak gua-gua dan misterinya. Hutan terlebat Kalimantan. Sebelum batubara dan sawit datang menghancurkan.

Ketika itu, sudah hampir setengah malam tak satu pun buruan ditemukan. Baik kijang, pelanduk, atau ayam hutan tak ditemui. Berkali-kali berpencar. Dan berkali-kali berkumpul di tempat yang telah ditentukan di tengah hutan itu, tak satu pun ditemukan. Kemudian untuk terakhir lakinya mereka berpencar dan kembali di tempat itu nanti.

Waktu terus berjalan. Darlan, anak Pak Antung tertua dalam rombongan. Ia bersama dalam kelompoknya pak Antung. Dia yang menceritakan kisah ini.

Selanjutnya Darlan bercerita: Malam itu aku mengikuti di belakang Bapak. Tiba-tiba, langkah Bapak melambat. Memberi kode kalau di depan ada binatang buruan. Bentuknya berbeda dari biasa. Matanya merah tua. Jika binatang hutan, biasanya warnanya jingga. Dua mata itu jaraknya rada berjauhan. Aku belihat sendiri hampir dua jengkal.

Pelan sekali langkah Bapak. Aku juga. Mata itu menatap kami. Bulu kudukku berdiri. Ini bukan binatang biasa.

"Bah, kita kembali saja."

"Sst, jangan berisik. Nanti dia lari."

Lampu suar diarahkan ke binatang itu. Perlahan Bapak maju. Aku menjauh ke belakang. Sangat takut ketika itu.

Sekira jarak tembak sudah bisa dilakukan. Bapak mengarahkan senapan rakitannya ke arah cahaya merah itu. Lama sekali Bapak membidik. Tak ada suara letusan. Apa yang terjadi? Aku semakin jauh tertinggal. Kurang lebih 10 meter di belakang Bapak. Sementara bapak semakin maju. Dan maju. Dan maju perlahan.
Quote:

Tiba-tiba lampu suar terjatuh. Menyala. Minyak tanah dalam lampu tumpah. Api membesar. Dan cahaya terlihat di sekeliling Bapak. Bapak menggelepar. Kejang-kejang. Aku mengejar.

"Tolong! Tolong! Tolong! Bapak tertusuk akar! Tolong," teriakku.

Dari paha Bapak keluar cairan darah segar. Bapak digigit ular besar. Sepintas aku melihat ekor ular tersebut, sebesar kaleng susu. Antara takut dan berani mendekati Bapak. Sambil tetap berteriak. Aku belah kain celana Bapak. Aku ikat pangkal paha Bapak.

Bapak tak bergerak. Perlahan tubuh Bapak remang-remang menggelepar. Membiru. Aku terus berteriak meminta tolong.

Tak berapa lama kawan-kawan datang. Membopong Bapak menjauh. Beberapa pohon di tebang untuk membuat atang-atang ( semacam dipan) guna membaringkan Bapak.

"Mengapa tidak kita bawa pulang saja?" tanyaku.

"Jangan, kita taruh di sini saja. Nanti ular itu akan datang lagi. Dia akan datang mengambil bisanya. Hanya itu yang menyelamatkan Bapakmu," jawab temanku yang lain.

Aku berfikir, Bapakku pasti tewas malam ini. Tubuhnya sudah membiru. Tak bergerak sama sekali. Tak ada napas terlihat. Jika terpatuk ular berbisa di desa tak mungkin ada obatnya. Pasti tewas sebelum sempat sampai ke kota.

Atang-atang telah selesai dipersiapkan. Bapak dibaringkan di atasnya. Pak Soleh, sepantaran dengan Bapak usianya kemudian membaca doa-doa. Bapak kemudian kami tinggalkan menjauh dari atang-atang beberapa puluh meter ditemani dua suar yang mengarah ke atang-atang. Tempat pembaringan Bapak masih terlihat jelas.

Dalam gelap aku hanya bisa berdoa, semoga Bapak tidak apa-apa. Semoga usaha yang kami lakukan berhasil. Dan Bapak bisa diselamatkan. Sakiing sedih dan takutnya aku lupa mengeluarkan air mata. Tak henti-hentinya bulu kudukku berdiri.
Quote:

Tak ada percakapan di antara kami. Semua diam membisu. Entah apa yang terpikir dari masing-masing kepala kami. Semua mata hanya menatap atang-atang dan menanti apa yang terjadi.

Dua jam kemudian terlihat pergerakan. Mata merah datang, lidahnya merah mengkilat perlahan mendekat. Setengah terperanjat. Aku cepat-cepat berdiri. Ambil ancang-ancang lari. Namun salah seorang temanku menarik tanganku. Aku kembali duduk. Serrr... Bulu kudukku berdiri tak mau turun lagi.

Aku lihat mata merah itu tak selebar mata yang kami intai tadi. Ini lebih kecil. Separo ukuran yang tadi.

"Tambularas," bisik Pak Soleh pelan.
Quote:

Ular Tambularas, pengejar cahaya. Datang tak memberi aba-aba. Setengah terbang kata sebagian orang. Ia mengejar cahaya. Mematuk apa saja yang bergerak.

Bagiamana ular yang akan kami tembak tadi besarnya? Padahal yang datang ini lebih kecil jarak matanya. Ukurannya hampir sebatang pohon pinang. Apalagi yang besar tadi? Aduh! Takutku setengah mati. Untung bukan ular itu yang datang. (Sudah dipatuk ular, setengah mati masih untung. Gila memang.)

Pelan-pelan ular itu mendekati tubuh Bapak. Menjilat-jilat hampir semua bagian tubuh Bapak. Kemudian berhenti di paha. Menjulur-julurkan lidahnya menjilati paha setengah menggit sepertinya. Ketika itu aku hampir pingsan. Bagaimana mungkin Bapak akan selamat behadapan dengan ular tambularas. Ular yang terkenal sangat berbisa.

Setelah puas, ular tambularas itu kemudian pergi. Kokok ayam subuh mengingatkan kami bahwa pagi akan segera tiba. Beramai-ramai kami mendekati Bapak. Bapak tetap tak bergerak.

Pak Soleh kemudian menyalakan api di bawah atang-atang. Rumput-rumput kering dikumpulkan. Kami diminta mengumpulkan daun-daun basah. Bapak diasap.

Tak berapa lama asap mengepul. Bapak menggeliat. Bapak sadar. Seperti terbangun dari tidur. Bapak menoleh ke kami semua. Tak mengucapkan apa-apa. Bapak tersenyum. Kemudian tertidur lama di atas atang-atang. Hingga cahaya terang terlihat di sekeliling hutan.

Alangkah terkejutnya kami semua ketika menyaksikan sekeliling hutan tempat kami bermalam. Banyak kulit ular yang mengelupas. Berarti tempat ini adalah sarang ular. Banyak telur yang telah beberapa minggu telah menetas.

"Yang menggigit Bapakmu adalah ular jantan. Sementara yang kalian lihat itu adalah ular betina. Induk ularnya. Berarti banyak anak ularnya ketika itu," cerita Pak Soleh kemudian.

Setelah cahaya pagi benar-benar terang, Bapak kami tandu pulang. Tak satu pun hewan buruan yang kami bawa pulang.

Demikian cerita Darlan. Dibenarkan oleh Pak Soleh yang ketika itu ikut begadang di rumah duka.

"Itu belum seberapa," lanjut Pak Soleh.

"Sebelum kamu lahir," sambil menunjuk ke arah Darlan.

"Kai Antung itu pernah ketemu jin. Kami berdua ketika itu mencari gaharu di hutan Pendamaran di puncak bukit. Kaki jinnya sebesar batang kayu meranti. Seperti drum besarnya. Telapanya saja dua meter lebih panjangnya. Diteriaki Kai Antung diajak berkelahi. Jin itu lari pontang panting. Tersibak daun di hutan itu. Kayu-kayu kecil patah dan rebah. Coba siapa orangnya yang berani mengajak jin berkelahi. Kalau bukan Kai Antung," cerita Pak Soleh.

Aku diam membisu, sejak awal cerita hingga sekarang bulu kudukku tak henti-hentinya berdiri. Bagaimana bisa bercerita tentang apa yang terjadi beberapa tahun lalu. Sementara orang yang diceritkan adalah mayat yang sekarang ditunggu.
Quote:

"Kai Antung ini dahulu ketika mudanya jaya (sakti mandra guna, red) Pernah suatu ketika ketika kami menginap di pondok tengah hutan juga. Pagi-pagi hari sekali. Beberapa macan disuruh oleh Pak Antung menari. Heran aku ketika itu. Bagaimana bisa Pak Antung memerintah macan? Pak Antung ketawa saja ketika ditanya," lanjut Pak Soleh.

Pak Utuh, yang sejak tadi ikut menyimak cerita membenarkan.

"Aku waktu itu ikut juga dalam rombongan," selanya.

"Iya, Pak Utuh ikut. Kami semua diam dan ketakutan waktu itu," timpal Pak Soleh.

Aku hanya manggut-manggut takut mendengarkan cerita mereka. Sambil tak henti-henti berdiri bulu kudukku saking takutnya. Soalnya aku pernah suatu ketika pulang mancing dan kemalaman. Jalanan hanya remang-remang terlihat. Sekitar lepas azan magrib.

Tiba-tiba ada gerakan di semak-semak menjauh. Setelah aku perhatikan, ternyata ekor ular. Hitam kecoklatan. Sebesar batok kelapa. Kalau ujung ekornya saja sebesar batok kelapa bagaimana kepala dan badannya? Menggigil badanku. Lari pontang panting sambil menoleh kiri kanan kalau-kalau ada kepalanya di semak-semak. Takut pol pokoknya.

Duh, malam-malam begini ada cerita mengerikan. Di depan mayat. Dan pengalamanku ketika bertemu langsung dengan ular besar. Akhirnya aku permisi pulang. Aku sangat ketakutan kalau ada cerita ular lain yang mengerikan. Sambil pulang jalan kaki, mata tak henti-hentinya menoleh ke kanan kiri jalan. Kalau-kalau ada ular yang menghampiri.

Selesai.
Diubah oleh Surobledhek746 20-09-2019 12:06
anasabila
Gresta
tien212700
tien212700 dan 15 lainnya memberi reputasi
16
6.7K
123
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.7KThread82.1KAnggota
Tampilkan semua post
Surobledhek746Avatar border
TS
Surobledhek746
#42
Quote:


Orang Kalua tabalong kalsel
mr.adhayuda
mr.adhayuda memberi reputasi
1
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.