irummmAvatar border
TS
irummm
Inikah Akhirnya?
“Selangkah lagi. Ya ... selangkah lagi!” gumamku menyemangati diri, ketika hendak mengambil gawai yang diletakkan bibi di meja rias agak jauh dari tempat tidur.

Sudah seminggu ini tubuhku hanya terkulai lemah di atas ranjang. Hampir semua kebutuhan dan aktivitas, Bi Sumi yang membantu. Entah kenapa, di saat seperti ini aku sangat membutuhkan orang-orang yang selama ini peduli dan mencintaiku.

“Saatnya mandi, ya, Non! Bibi sudah siapkan air hangat di kamar mandi.”

“Tunggu sebentar lagi, Bi. Apa Mas Randu tidak menelepon, Bibi semalam?”

“Tidak tuh, Non. Mungkin Bapak belum selesai pekerjaannya yang di Puncak,” jawab Bibi meyakinkan diriku yang terlihat cemas.

Sejak kesalah pahaman yang terjadi sebulan lalu membuat Mas Randu, seperti abai padaku. Bahkan ketika diri ini lemah 'tak berdaya, sekali pun ia tidak pernah mendatangi rumah ini kembali.

Hati lelaki itu seperti telah membeku. 'Separah itukah kesalahanku?'

Sebetulnya, apa yang kami perselisihkan hanyalah masalah sepele. Hanya saja, kami telah memendam terlalu lama. Bagaikan api dalam sekam, tetap hidup walau 'tak terlihat dan akan membesar kembali bila tidak dijaga dengan benar.

Keinginan, Mas Randu untuk memiliki seorang bayi dari rahimku sudah ia utarakan beberapa tahun lalu. Walaupun diriku juga merasakan hal yang sama, akan tetapi tak bisa berbuat apa-apa.

Sebagai seorang istri, aku menyadari keinginannya, apalagi pernikahan kami sudah berjalan sepuluh tahun. Namun begitu, keputusan terakhir untuk mengadopsi seorang anak dari keluarganya aku tolak mentah-mentah.

“Kenapa harus memaksaku mengambil anak dari saudaramu, Mas? Kamu dengar dan lihat sendiri hasil tes dari dokter baik-baik saja. Aku masih punya harapan, Mas!” cetusku kala itu.

Kami pun terlibat percekcokan yang membuatnya menyibukkan diri dalam pekerjaan di luar kota. Bahkan, sudah hampir satu bulan ini, ia belum kembali. Setiap aku menelepon dan menanyakan kabarnya, dirinya hanya bilang sedang menyelesaikan pekerjaan di Puncak Bogor.

Bahkan saat, Bi Sumi mengabarkan diriku yang sakit, ia sedikitpun tak menaruh simpati.
Tubuhku tiba-tiba menggigil dingin, sesak menyerang rongga paru-paru hingga sulit bernapas.

'Mungkin aku harus benar-benar ke dokter sendirian seperti yang selalu bibi sarankan. Ahh ... tapi tidak! Aku akan tetap menunggu suamiku hingga pulang, baru memeriksakan kondisiku.'

Aku tak mempedulikan kesehatan yang semakin menurun. Aku hanya ingin pergi ke dokter jika suami yang mengantar.

“Non, airnya sudah hampir dingin. Apa mau, Bibi ganti yang hangat lagi?” Suara, Bi Sumi membuyarkan lamunanku.

“Enggak usah, Bi. Sebentar lagi," jawabku kembali.

**
Pagi ini, perutku terasa mual. Sudah beberapa kali isi dalam perut ingin keluar. Badan lemas diikuti keringat dingin mengalir deras. Rasanya aku sudah tidak kuat lagi.

"Ya Allah, Mas. Sampai kapan kamu akan pulang?" gumamku lirih.

Bunyi bel rumah terdengar beberapa kali dari kamarku.'Tak lama kemudian, Bi Sumi datang ke kamar dengan raut wajah tegang.

“Siapa yang datang, Bi. Kenapa wajahnya tegang begitu?” tanyaku penasaran seraya memegang perut yang makin mual.

“I-itu, Non. Ada rekan kerja bapak datang.”

“Siapa, Bi?” Aku pun bergegas ke depan dengan badan yang sangat lemah.

Dibimbing Bi Sumi, aku pun menemui rekan kerja suami,

“Maaf, apa ada pesan dari suami saya, Pak? Kenapa Anda datang sendiri? Bukankah bisa telepon saya?” tanyaku mencecar.

“Enggak pa-pa, Bu. Sekalian saya mau membesuk ibu, yang katanya lagi sakit. Bagaimana keadaan Ibu sekarang?”

“Saya sudah membaik, Pak. Tinggal menunggu suami untuk mengecek kondisi ke dokter. Apa ada kabar tentang suami saya? Seminggu ini ponselnya sulit saya hubungi.”

"Maaf, Bu, terpaksa saya sampaikan kabar tidak mengenakkan ini, di saat Anda sedang sakit."

"Ada apa sebenarnya, Pak?" tanyaku mulai khawatir.

"Suami ibu beberapa hari yang lalu mendatangi kantor, dan menyerahkan surat pengunduran diri. Maka dari itu, saya selaku perwakilan dari kantor ingin menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Karena terus terang, Pak Raihan adalah salah satu karyawan terbaik yang dimikili perusahaan kami." tutur rekan kerja suamiku.

Diriku yang mendengar semua cerita ini semakin limbung, bukan tak percaya karena mengetahui suamiku yang mendatangi kantor lalu mengundurkan diri, tapi karena ia telah tega tidak mau menjengukku dan pulang ke rumah lagi.

Sepertinya kali ini dia sangat marah dan tak mau memaafkan kesalahanku lagi. Tak terasa air mata terasa panas menyentuh pipi, mengalir deras hingga membuat pundakku berguncang tak terkendali. Aku tak peduli dengan keberadaan rekan kerja suamiku lagi.

Aku yang masih ditemani Bi Sumi hanya bisa merasakan seluruh persendian yang lunglai.

"Kenapa kamu tega berbuat ini padaku, Mas? Kenapa kau pergi tak meninggalkan pesan dan jejak apa pun padaku? Kenapa, Mas ... kenapa ...?" teriakku histeris.

Bi Sumi, yang melihat diriku tak terkendali hanya bisa menangis dan memelukku erat sambil menenangkan. Mata tua itu memandang haru, menyaksikan dan ikut merasakan keterpurukanku.

"Semua ini salahku."

Selesai


Jember, 16052019
Diubah oleh irummm 17-05-2019 07:41
brina313Avatar border
brina313 memberi reputasi
1
223
2
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Buat Latihan Posting
Buat Latihan Posting
KASKUS Official
35.7KThread1.9KAnggota
Tampilkan semua post
irummmAvatar border
TS
irummm
#1
Inikah Akhirnya?
“Selangkah lagi. Ya ... selangkah lagi!” gumamku menyemangati diri, ketika hendak mengambil gawai yang diletakkan bibi di meja rias agak jauh dari tempat tidur.

Sudah seminggu ini tubuhku hanya terkulai lemah di atas ranjang. Hampir semua kebutuhan dan aktivitas, Bi Sumi yang membantu. Entah kenapa, di saat seperti ini aku sangat membutuhkan orang-orang yang selama ini peduli dan mencintaiku.

“Saatnya mandi, ya, Non! Bibi sudah siapkan air hangat di kamar mandi.”

“Tunggu sebentar lagi, Bi. Apa Mas Randu tidak menelepon, Bibi semalam?”

“Tidak tuh, Non. Mungkin Bapak belum selesai pekerjaannya yang di Puncak,” jawab Bibi meyakinkan diriku yang terlihat cemas.

Sejak kesalah pahaman yang terjadi sebulan lalu membuat Mas Randu, seperti abai padaku. Bahkan ketika diri ini lemah 'tak berdaya, sekali pun ia tidak pernah mendatangi rumah ini kembali.

Hati lelaki itu seperti telah membeku. 'Separah itukah kesalahanku?'

Sebetulnya, apa yang kami perselisihkan hanyalah masalah sepele. Hanya saja, kami telah memendam terlalu lama. Bagaikan api dalam sekam, tetap hidup walau 'tak terlihat dan akan membesar kembali bila tidak dijaga dengan benar.

Keinginan, Mas Randu untuk memiliki seorang bayi dari rahimku sudah ia utarakan beberapa tahun lalu. Walaupun diriku juga merasakan hal yang sama, akan tetapi tak bisa berbuat apa-apa.

Sebagai seorang istri, aku menyadari keinginannya, apalagi pernikahan kami sudah berjalan sepuluh tahun. Namun begitu, keputusan terakhir untuk mengadopsi seorang anak dari keluarganya aku tolak mentah-mentah.

“Kenapa harus memaksaku mengambil anak dari saudaramu, Mas? Kamu dengar dan lihat sendiri hasil tes dari dokter baik-baik saja. Aku masih punya harapan, Mas!” cetusku kala itu.

Kami pun terlibat percekcokan yang membuatnya menyibukkan diri dalam pekerjaan di luar kota. Bahkan, sudah hampir satu bulan ini, ia belum kembali. Setiap aku menelepon dan menanyakan kabarnya, dirinya hanya bilang sedang menyelesaikan pekerjaan di Puncak Bogor.

Bahkan saat, Bi Sumi mengabarkan diriku yang sakit, ia sedikitpun tak menaruh simpati.
Tubuhku tiba-tiba menggigil dingin, sesak menyerang rongga paru-paru hingga sulit bernapas.

'Mungkin aku harus benar-benar ke dokter sendirian seperti yang selalu bibi sarankan. Ahh ... tapi tidak! Aku akan tetap menunggu suamiku hingga pulang, baru memeriksakan kondisiku.'

Aku tak mempedulikan kesehatan yang semakin menurun. Aku hanya ingin pergi ke dokter jika suami yang mengantar.

“Non, airnya sudah hampir dingin. Apa mau, Bibi ganti yang hangat lagi?” Suara, Bi Sumi membuyarkan lamunanku.

“Enggak usah, Bi. Sebentar lagi," jawabku kembali.

**
Pagi ini, perutku terasa mual. Sudah beberapa kali isi dalam perut ingin keluar. Badan lemas diikuti keringat dingin mengalir deras. Rasanya aku sudah tidak kuat lagi.

"Ya Allah, Mas. Sampai kapan kamu akan pulang?" gumamku lirih.

Bunyi bel rumah terdengar beberapa kali dari kamarku.'Tak lama kemudian, Bi Sumi datang ke kamar dengan raut wajah tegang.

“Siapa yang datang, Bi. Kenapa wajahnya tegang begitu?” tanyaku penasaran seraya memegang perut yang makin mual.

“I-itu, Non. Ada rekan kerja bapak datang.”

“Siapa, Bi?” Aku pun bergegas ke depan dengan badan yang sangat lemah.

Dibimbing Bi Sumi, aku pun menemui rekan kerja suami,

“Maaf, apa ada pesan dari suami saya, Pak? Kenapa Anda datang sendiri? Bukankah bisa telepon saya?” tanyaku mencecar.

“Enggak pa-pa, Bu. Sekalian saya mau membesuk ibu, yang katanya lagi sakit. Bagaimana keadaan Ibu sekarang?”

“Saya sudah membaik, Pak. Tinggal menunggu suami untuk mengecek kondisi ke dokter. Apa ada kabar tentang suami saya? Seminggu ini ponselnya sulit saya hubungi.”

"Maaf, Bu, terpaksa saya sampaikan kabar tidak mengenakkan ini, di saat Anda sedang sakit."

"Ada apa sebenarnya, Pak?" tanyaku mulai khawatir.

"Suami ibu beberapa hari yang lalu mendatangi kantor, dan menyerahkan surat pengunduran diri. Maka dari itu, saya selaku perwakilan dari kantor ingin menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Karena terus terang, Pak Raihan adalah salah satu karyawan terbaik yang dimikili perusahaan kami." tutur rekan kerja suamiku.

Diriku yang mendengar semua cerita ini semakin limbung, bukan tak percaya karena mengetahui suamiku yang mendatangi kantor lalu mengundurkan diri, tapi karena ia telah tega tidak mau menjengukku dan pulang ke rumah lagi.

Sepertinya kali ini dia sangat marah dan tak mau memaafkan kesalahanku lagi. Tak terasa air mata terasa panas menyentuh pipi, mengalir deras hingga membuat pundakku berguncang tak terkendali. Aku tak peduli dengan keberadaan rekan kerja suamiku lagi.

Aku yang masih ditemani Bi Sumi hanya bisa merasakan seluruh persendian yang lunglai.

"Kenapa kamu tega berbuat ini padaku, Mas? Kenapa kau pergi tak meninggalkan pesan dan jejak apa pun padaku? Kenapa, Mas ... kenapa ...?" teriakku histeris.

Bi Sumi, yang melihat diriku tak terkendali hanya bisa menangis dan memelukku erat sambil menenangkan. Mata tua itu memandang haru, menyaksikan dan ikut merasakan keterpurukanku.

"Semua ini salahku."

Selesai


Jember, 16052019
Diubah oleh irummm 17-05-2019 07:41
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.