gilbertagungAvatar border
TS
gilbertagung
Rahasia Sang Mantan


Rating = R-13

Quote:


Rahasia Sang Mantan


Aku tak akan pernah lupa hari itu. 16 tahun lalu, lewat sambungan telepon, dia dengan mudahnya berkata "Maaf, kita sampai di sini saja!".

Kata-kata tanpa perasaan itu masih terngiang-ngiang di kepalaku. Tanpa angin, tanpa hujan, ia mengakhiri hubungan kami. Ia bahkan tak memberitahuku alasan dari keputusannya tersebut.

Apa masalah di antara kita? Aku tidak pernah bermain di belakangnya. Tak pernah ada yang kututupi darinya. Aku mengerti bahwa menjalin hubungan jarak jauh itu berat, tapi apa etis kalau ia mengakhirinya tanpa kejelasan begitu saja.

Hubungan asmara pertamaku dengan seorang gadis berakhir begitu saja.

Bagaimanapun juga, sulit melupakan sosoknya. Rambut pirangnya yang terurai panjang, matanya yang berwarna cokelat, kulitnya yang cerah...



"Hei, jangan melamun terus. Mau kubuatkan apa untuk sarapan hari ini?" aku tersadar dari lamunan masa lalu oleh pertanyaan Audrey, 37 tahun, kakak perempuanku. Aku tinggal bersamanya juga suami dan anak perempuannya.

"Oh...aku ingin roti lapis selai kacang saja untuk pagi ini. Aku butuh energi yang cukup karena mungkin hari ini aku akan lembur lagi. Huft!"

Sekejap kemudian, ia mulai membuatkan pesananku. Sementara itu, di sisi lain meja makan, tampak Helga, keponakanku, asyik memainkan ponselnya dan di samping kananku ada Walter, kakak iparku.

"Hei, Henri. Ku dengar kau dipromosikan menjadi manajer keuangan. Wah, hebat juga kamu. Baru 35 tahun sudah jadi manajer. Apa sih rahasianya?" kakak iparku membuka perbincangan.

"Ah, tidak ada rahasia-rahasiaan. Yang terpenting adalah pengabdian dan kesungguhan hati pada pekerjaan." jawabku lugas dan singkat.

"Aku iri padamu. Aku sampai sekarang masih saja begini. Karyawan biasa dengan gaji yang selalu terasa kurang. Apalagi dengan Helga yang sebentar lagi akan masuk SMP. Huh, kalau tak ada kamu, aku tak tahu bagaimana." keluhnya.

"Tidak apa-apa, kak. Sudah kewajibanku membantu keluarga kakak. Lagipula, kalian sudah mengizinkanku tinggal di sini ketika aku pertama kali datang ke Svonvergen sebagai mahasiswa 17 tahun lalu. Kalau tak ada kalian, aku tak tahu bagaimana harus bertahan dengan hanya uang 100 vol. Inilah saatnya aku membalas budi." jawabku.

"Sudah dengan perbincangan para lelakinya. Sekarang waktunya sarapan." kakakku datang dengan satu piring berisi enam porsi roti lapis.

Kebetulan aku sudah mulai kerocongan. Kulihat jam tangan yang melingkar di tangan kananku, ya ampun! Sudah pukul 6.30. Aku harus mengejar kereta pukul 7.05. Aku buru-buru menyantap menu sarapan hari ini. Meski agak sedikit susah dikunyah, kucoba untuk menelannya.

Selesai sarapan, aku langsung berlari secepat mungkin menuju stasiun kereta. Aku melewati gang sempit di antara dua bangunan, trotoar yang penuh dengan pejalan kaki, dan kumpulan anak kecil yang bermain di tengah jalan.

Aku berhasil sampai walaupun dengan tergopoh-gopoh. Kupandang arlojiku. Pukul 6.55. Masih sempat. Aku pun menempelkan dompetku ke mesin pembaca kartu otomatis dan melewati halangan. Beres, sekarang aku tinggal menunggu kereta yang berangkat pukul 7.05.

Sambil menunggu kereta datang, lebih baik aku merokok dulu...arrgh, kenapa?! Rokok dan geretannya tertinggal! Terpaksa aku harus membelinya lagi.

Aku berjalan menuju sebuah stand yang menjual rokok.



"Selamat pagi, pak. Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya ingin rokok merek Clovenne sebungkus dan geretan."

Penjualnya, seorang anak muda dengan kaus oblong berwarna cerah yang tampaknya masih terlalu muda untuk berjualan. Rasa penasaran pun datang.

"Maaf kalau saya lancang, tapi saya lihat kamu ini sepertinya masih di usia sekolah. Apakah adik bersekolah?" tanyaku.

"Oh, usia saya memang baru 15 tahun tetapi saya harus membantu perekonomiam keluarga. Jadi saya tidak bersekolah. Saya tak mau membebani ibu saya." jawabnya.

"Maaf kalau saya harus menyinggung kehidupan pribadi adik." aku merasa menyesal.

"Tidak apa-apa, pak. Ibu saya membesarkan saya seorang diri dan mengajarkan saya untuk berusaha sendiri dan tidak merepotkan orang lain...Ini belanjaan Anda. Semua jadi 550 vol." Ia memberikan rokok dan geretan yang aku pesan. Aku memberikannya selembar uang 500 vol dan 50 vol dari dompetku.

"Terima kasih, dik. Oh ya ngomong-ngomong, siapa nama ibumu?" tanyaku lagi.

"Jeannie." kata anak itu.

Apa kata dia? Jeannie?

Perhatian bagi calon penumpang kereta tujuan Stasiun Ovegona dengan waktu keberangkatan pukul 7.05. Kereta Anda akan segera tiba. Mohon untuk segera berbaris yang rapi di garis yang telah ditentukan. Terima kasih.

Suara dari pengeras suara stasiun membuatku harus segera bergegas. Aku pun tak sempat menanyakan lebih jauh mengenai ibunya. Tapi, namanya Jeannie. Sama dengan gadis pertama yang memutuskan itu. Dan juga entah mengapa, anak muda itu terlihat mirip dengan seseorang yang aku kenal. Ah, mungkin hanya kebetulan saja. Aku berbaris dan menunggu untuk masuk ke dalam kereta. Cukup padat juga hari ini.

Di kantor, seperti biasa, aku menghadapi setumpuk pekerjaan yang melelahkan. Ternyata menjadi manajer tidak mudah. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu ruanganku.

"Silakan masuk." aku mengizinkannya masuk. Seorang anak buahku datang dengan sebuah map berwarna cokelat.

"Permisi pak, saya ingin memberikan laporan pajak bulanan yang bapak minta kemarin." katanya.

"Baiklah, letakkan saja di meja saya." perintahku. Dia lakukan sesuai dengan yang kukatakan.

"Mengapa bapak terlihat gusar?" tanya dia.

"Kebetulan sekali. Sebelum kamu keluar, saya ingin meminta pendapatmu sebentar." dia menganggukkan kepalanya dan kembali mendekatiku.

"Saya bertemu dengan seorang anak muda di stasiun tadi pagi. Dari hasil pembicaraanku dengannya, aku mengetahui bahwa ia memiliki seorang ibu bernama Jeannie. Itu adalah nama yang sama dengan gadis yang pernah berhubungan dengan saya. Menurutmu, apakah etis jika aku menanyakan lebih jauh mengenai ibunya?" tanyaku.

"Hmmm...bagaimana ya? Saya sih tidak berhak mendikte tindakan bapak tetapi menurut saya, bapak bisa menanyakannya dengan cara yang halus kepada anak itu dan tak terlihat seperti sedang ingin menginterogasinya." dia memberikan saran. Setelah mengucapkan terima kasih, aku mengizinkannya untuk keluar.

Sementara ia keluar dari ruanganku, pikiranku kembali terganggu oleh nama ibu dari anak itu. Sigh, rasa penasaranku muncul lagi. Aku harus bagaimana?

Beberapa hari berlalu, aku terus dihantui oleh nama ibu anak itu. Ah...sebaiknya aku tanyakan saja pada dia sepulang kerja nanti.

Seperti biasa, aku lembur lagi, kali ini sampai pukul 21.30. Semoga aku masih sempat mengejar kereta terakhir menuju Golburne. Aku menaiki taksi yang membawaku menuju Stasiun Ovegona. Ku desak sopir untuk sedikit meningkatkan kecepatannya. Tapi ia berkata bahwa ia tak ingin sampai berurusan dengan polisi lalu lintas. Jadi, aku bersabar saja menanti.

Pukul 21.54, akhirnya aku sampai di Stasiun Ovegona. Aku buru-buru masuk agar tidak tertinggal kereta terakhir pukul 22.05. Syukurlah masih sempat.

Pukul 22.25, aku sampai di Stasiun Golburne. Aku bergegas mencari stand tempat anak itu berjualan. Aku tidak persis ingat yang mana. Tapi kalau tak salah ada di dekat peron nomor 6. Aku coba menanyakan kepada sesama penjual di sana.

"Permisi, apakah Anda kenal dengan anak muda berusia 15 tahun yang mempunyai stand yang menjual rokok di sini?" tanyaku.

"Oh, maksud Anda Treun? Ya, saya kenal dengannya. Dia biasa berjualan di sini. Tapi, standnya sudah tutup sejak pukul setengah 8 malam tadi. Padahal biasanya dia masih berjualan sampai kereta terakhir datang." kata seorang ibu sambil menunjuk sebuah stand yang sedang dalam keadaan tutup.

"Kira-kira, dia ke sini setiap pukul berapa?" tanyaku lagi.

"Dia biasa ke sini setiap pukul setengah 6 pagi. Tetapi, dia sepertinya tidak akan ke sini besok." lanjut ibu tersebut.

"Kenapa?" tanyaku lagi.

"Aku sempat berbicara dengannya. Aku dengar ibunya masuk ke rumah sakit sore tadi. Mungkin itu pula alasannya menutup tokonya lebih awal hari ini." ia melanjutkan.

"Apakah ibu mengetahui rumah sakit tempat ibunya dirawat?" aku bertanya lagi.

"Saya tak yakin tetapi sepertinya di Rumah Sakit Charlotte Greunomon di Jalan Gunelivon Orkaneva. Itu adalah rumah sakit yang paling dekat dengan kediamannya." dengan nada sedikit ragu, ia memberitahukannya kepadaku.

"Terima kasih, bu!" ucapku.

Aku pun lalu bergegas menumpang taksi menuju Rumah Sakit Charlotte Greunomon. 10 menit kemudian, aku sampai di rumah sakit tersebut. Aku menuju bagian resepsionis.

"Permisi, nona. Apakah ada pasien bernama Jeannie yang masuk sore ini dan dirawat di rumah sakit ini?" tanyaku pada resepsionis.

"Sebentar, pak. Saya akan mengecek databasedulu." wanita itu mengetik sesuatu di komputer.

"Benar, pak. Ada pasien dengan nama Jeannie Vilguvon teregistrasi pada pukul 17.15 hari ini. Ia dirawat di ruangan
bernomor 48 di lantai 3. Apakah bapak kerabatnya?" tanya resespsionis tersebut.

"Bukan, tetapi saya mempunyai kepentingan sebentar. Apakah saya boleh menjenguknya?" tanyaku.

"Sebentar, pak. Saya akan meminta konfirmasi dulu dari pihak keluarga."

Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dari belakang. Aku pun memutar badanku.

"Bapak yang tadi pagi membeli rokok di tempat saya, 'kan? Ada apa datang ke sini, pak?" ternyata anak itu.

"Dik, saya ingin bicara denganmu sebentar. Maukah kamu ikut dengan saya ke kafe?" Aku mengajaknya mengobrol di kafe.

Kami tiba di kafe yang ada di dalam rumah sakit tersebut.

"Selamat malam, ingin pesan apa?" tanya pelayan.

"Saya pesan teh hitam dengan tambahan kayu manis. Kamu ingin apa?" tanyaku menawarkan.

"Saya sama saja." ia merespon.

"Buatkan dia juga teh hitam dengan tambahan kayu manis." perintahku.

Pelayan pun pergi setelah mencatat pesanan kami.

"Apakah benar namamu adalah Treun?" aku bertanya.

"Be...betul. Darimana Anda mengetahuinya?" balasnya sedikit kebingungan.

"Lalu apakah benar ibumu bernama Jeannie Vilguvon?" tanyaku lagi.

"Be...benar. Kenapa Anda bisa tahu nama ibu saya? Sebenarnya apa yang Anda inginkan dari kami?" nada bicaranya mulai naik.

"Tenang, dik. Saya tidak bermaksud buruk. Satu lagi dik, kau pernah bilang ibumu membesarkanmu seorang diri. Ke mana ayahmu?" tanyaku masih penasaran.

"Kata ibu, dia sudah meninggal sebelum aku lahir. Aku tak tahu siapa dia." jawabnya.

"Saya turut bersedih. Bolehkah saya menjenguk ibumu?" pintaku.

"Boleh saja. Tetapi apa urusan Anda dengan ibu saya?" tanyanya.

"Ada satu pertanyaan yang ingin saya tanyakan kepada beliau yang sudah saya nantikan sejak 16 tahun lalu." ucapku.

Setelah meminum dan membayar untuk pesanan kami, kami pun begegas menaiki tangga menuju lantai 3. Kami mencari-cari kamar nomor 48. Aku memandangi setiap nomor yang terpasang di pintu...42...44...46...48! Ini dia!

Aku dan Treun masuk ke dalam ruangan bernomor 48 tersebut. Di dalamnya, ada seorang wanita berambut pirang dan panjang terbaring di salah satu ranjang. Di sebelahnya ada 2 pasien lainnya.

"Bapak tunggu di sini, saya akan mencoba membangunkan ibu saya." kata anak itu. Ia lalu berjalan dan berhenti di samping ranjang ibunya. Ku lihat, ia mencoba membangunkan ibunya dan setelah ibunya terbangun, ia membisikkan sesuatu ke telinga ibunya. Mungkin ia berusaha untuk tidak mengusik ketenangan tempat ini. Baiklah, aku juga harus melakukannya.

"Ibu saya bersedia berbicara dengan Anda selama lima menit dan saya mohon agar bapak jangan membuat kegaduhan atau membuatnya terguncang." pesan anak itu. Aku mengiyakan dan ia pun keluar dari ruangan itu.

Aku pun mendekati ranjang Jeannie. Begitu pertama kali melihatnya dari dekat, aku bisa yakin kalau dia adalah Jeannie yang dulu memutuskanku begitu saja.



"Je...Jeannie?!" aku menyapanya. Ia tampak sedikit terkejut.

"He...Hen...Henri! Kenapa kau bisa tahu keberadaanku?" tanyanya dengan sedikit keengganan untuk berkontak mata denganku.

"Jika aku ceritakan, aku tak akan punya cukup waktu untuk menanyakan yang ingin aku tanyakan." balasku.

"Apa yang ingin kau tanyakan dariku?" tanyanya.

"Apa alasanmu memutuskan hubungan kita 16 tahun yang lalu? Waktu itu, kau tak menjelaskannya padaku." aku berterus terang.

Ia tampak sedikit gelisah. Beberapa saat kemudian, bibirnya mulai berucap sesuatu.

"Sebenarnya aku enggan mengatakan ini, tetapi aku rasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkannya." ucapnya.

Ia menghela nafas dan melanjutkan kata-katanya.

"Aku memutuskanmu karena ketika itu aku mengandung." ucapnya.

Aku menutup mulutku dan mataku terbelalak. Aku tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Walaupun sedikit terkejut, aku berusaha untuk tidak membuat kegaduhan di sini.

"Ba...bagaimana bisa?" tanyaku masih sedikit terkejut.

"Ketika itu, aku merasa hampa dengan hubungan kita yang terpisah jarak ini. Lalu, datanglah seorang lelaki yang menawarkan hubungan yang lebih dari yang kita rajut. Jadi, aku terhasut untuk menjalin hubungan dengannya di belakangmu. Tapi, semuanya menjadi di luar kendali..." ia belum melanjutkan kata-katanya saat air mata mulai menetes dari wajahnya.

"Oke...aku paham! Jadi kau memutuskanku karena kamu sudah terlanjur mengandung. Tapi kenapa?" aku masih belum puas.

"Aku tak ingin kamu kecewa denganku karena hal ini. Aku tidak tega membiarkanmu yang sudah dengan setia bersamaku harus terluka karena kebodohanku. Jadi, aku memutuskanmu tanpa memberi alasan agar kamu tak perlu mengetahui hal ini. Maafkan aku." ia masih tampak mencoba menahan air matanya. Aku pun memegang tangan kirinya dan berusaha menguatkannya.

"Baiklah, jangan menangis. Aku tidak akan marah. Mengapa kau tak berterus terang saja waktu itu? Jika kau mau berterus terang, aku mau tetap menerimamu." kata-kata ini keluar dari mulutku.

"Dia berjanji untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tetapi, ia lari begitu saja ketika kandunganku sudah berusia 1 bulan. Aku pun harus membesarkan anak itu seorang diri." lanjutnya.

"Jangan bilang kalau anak itu adalah..."

"Ya, dugaanmu benar. Memang anak itu." sambungnya sambil menengok ke arah pintu, yang membuatku semakin terguncang.

"Lalu, kenapa kau bisa ada di kota ini? Bukan di Svomenguni?" tanyaku lagi sembari berusaha menjernihkan pikiran.

"Aku dengar, ia pergi ke Svonvergen. Jadi, aku berusaha mengejarnya ke sini. Tapi, aku tak bisa menemukannya. Akhirnya, aku harus tetap di sini karena aku tak punya uang untuk kembali ke Svomenguni." ucapnya lagi.

"Lalu siapa lelaki itu?" tanyaku lagi penasaran.

"Aku tidak begitu ingat. Aku juga tidak mau peduli lagi dengan siapa dia. Dia sama sekali tidak ada artinya. Yang terpenting adalah Treun dan masa depannya." ucapnya dengan nada lirih.

Aku memegang tangannya dan berkata dengan nada pelan "Rawat anak itu dengan baik. Jangan biarkan dia menjadi seperti lelaki itu."

Ia menganggukan kepalanya sambil kuusap air matanya. Aku lalu pergi dan melangkah keluar. Di luar, tampak Treun menunggu dengan raut wajah gelisah.

"Lama sekali, apa yang Anda bicarakan dengan ibu saya?" tanyanya.

Aku mendekatkan telinganya dengan bibirku dan kubisikkan, "Kau anak yang baik dan berbakti pada ibumu. Aku dan dia bangga padamu."

Aku melangkah meninggalkan Treun. Ketika ku sekilas menoleh ke belakang, aku melihat ekspresinya yang sedikit kebingungan.

Perasaanku campur aduk. Di satu sisi, aku merasakan kekecewaan dengan pengkhianatan tersebut. Di sisi lain, aku merasa iba dengan keadaannya sebagai orang tua tunggal.

Dua minggu kemudian di Stasiun Golburne...

"Hei, Treun! Bagaimana keadaan ibumu?" tanyaku ringan pada anak itu.

"Dia sudah keluar dari rumah sakit tiga hari lalu. Tapi yang membuatku heran adalah dia terlihat lebih ceria dibanding dulu. Apa kau melakukan atau memberikan sesuatu kepadanya?" tanya anak itu dengan nada agak interogatif.

"Hmmm...mungkin dia senang karena memiliki anak yang pekerja keras sepertimu. Oh ya, aku ingin memesan rokok merek Clovenne. Apakah stoknya masih ada?" tanyaku.

"Sayang sekali, pak. Saya sedang kehabisan stok. Apakah Anda ingin merek lain?" tawarnya.

"Tidak. Saya hanya cocok dengan yang itu." aku menolak.

"Oh, baiklah kalau begitu. Ngomong-ngomong, jujur saya masih penasaran dengan apa yang Anda bicarakan dengan ibu saya kala itu." anak itu kembali mengungkit hal tersebut.

"Seperti yang telah saya katakan dulu. Kamu adalah anak berbakti dan ia bangga padamu." kataku dengan santai lalu melangkah pergi dari tempat itu untuk menaiki kereta yang akan membawaku ke Ovegona.
Polling
0 suara
Bila Anda ada di posisi Henri, apa yang akan Anda lakukan pada Jeannie?
0
502
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Tampilkan semua post
gilbertagungAvatar border
TS
gilbertagung
#2
#22,451
Quote:


Semoga agan merasa senang berada di sini. Saya membuka polling, sudi kiranya agan berpartisipasi. Terima kasih.
Diubah oleh gilbertagung 20-03-2019 03:13
1
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.