Missmuj12Avatar border
TS
Missmuj12
Kejora


https://media1.picsearch.com/is?iZ5w...3sI&height=255

Bunga langit terarak seiring tiupan angin kota. Terlambai-lambai rambut pohon beringin tua yang dihororkan anak-anak sekampungku dulu. Blazer marun, sepatu hitam, di tempat ini, aku bukan salah satu anak begituan lagi kini. Mobil keluaran Jepang ini terus melaju menyoroti jalan panjang super higienis sedunia, sesekali perlu mengerem. 
Aku disambut pemandangan sepi kota. Tak ada yang menyapa “Hey, mau kemana?” padaku. Seasing ini. Mungkin aku terlalu akrab dengan sapaan itu. Itu dulu. Lagi-lagi ‘dulu’ku. 
Tapi, atmosfir ini tidak sekecewa itu. 


Di antara aksesoris kota yang meriah bak sedang hura-hura, hatiku sepi. Menghianati hati, hanya pikiranku yang ramai. Sebulan berlalu sejak musyawarah keluarga diketok palu. Langit-langit bercat putih, tiang-tiang kayu coklat mengkilap, tatapan-tatapan rindu mulai mengisi ruang hatiku. Bibirku beku. Telapak kiriku mencari pegangan, berujung di kaca mobil yang luarnya dititiki rintik langit. Dinginnya negeri utara ini tak akan membunuhku. Sebuah bangunan tua terlewati lagi. Tampaknya cantik, semakin tua bangunan-bangunan di sini tampaknya semakin menawan. Bola mataku terpaku pada bangunan itu, hingga hilang di ekor mata. 

“Apa saja gerangan yang pernah terjadi di dalam bangunan itu tadi?”, benakku iseng mengulik.

Di sini, kemudi mobil berada di sebelah kiri. Pertama kusadari itu sebulan lalu. Setelah menatap pisah wajah-wajah yang kini kurindu. Itu kurasa baru kemarin, mereka mengantarku ke Bandar Udara kota di bawah rintik yang sama begini. Sebulan setelah musyawarah keluarga. Selepas itu tak ada yang sama. Seorang bocah lelaki berambut barbie digandeng wanita muda berkulit barbie juga menyeberang jalan melintas di depan. Bibirku terkatup.  

“Nona, jalan di depan ditutup. Kalau lewat jalan lain akan memakan waktu lebih lama...”. 

“Seberapa lama?”, tanyaku cepat. 

“Sekitar lima menit...”, suara lelaki muda di seberang bangkuku menjawab singkat. 

“Tak masalah”, putusku dalam bahasa sini. Mobil angkutan umum asing ini melengos lembut setelah putar balik, setelah diakhiri anggukan plus sahut singkat sang supir.  

Pandanganku kini terpaut pada aspal basah jalanan depan. Tak ada genangan seperti jalan raya yang kuhapali enam tahun lalu. Terlalu kinclong.

 “Betapa kota ini dibangun dan dirawat begini rupa...”, simpulku sendiri. Langit masih semangat merintiki kota. Sepasang manula terlihat beriringan berpayung melintas di pelataran toko. Kulirik jam tangan yang sejak aku SMA dipakai di pergelangan kananku. Hanya tak nyaman mengenakan jam tangan di pergelangan kiri. Kawan sekelasku pernah terheran-heran soal ini. Sebuah gereja tua terlewati di sisi kanan, wusss. Jam sepuluh lewat lima belas.

Di sampingnya ada toko es krim teronggok bisu tak berdaya ditikam gerimis. Kuyakin karyawan atau karyawati di dalam sana dihantui kasur, minuman hangat, dan buku tercinta mereka. Orang-orang sini terbiasa menyelingi hari dengan membaca. Bisa jadi surat kabar, majalah, novel, berbentuk buku cetak ataupun buku elektronik, bacaan lainnya mulai dari ringan hingga berat (bacaan berat gimana membawanya, ya?). Suatu aktifitas yang langka di negeriku. 

Tidak selangka pesut Mahakam, sih. Ya, seperti yang dilansir sebuah website yang didasarkan pada presentasi sebuah penelitian, minat baca orang-orang negeriku tercinta tidak seperti orang-orang sini. Faktanya, aku adalah satu dari mereka. Tak sebutir bukupun terdiam dalam tas punggungku. Tak apa, itu tak akan membuatku minder.

Aku senang dengan satu fakta itu tentang penduduk negeri ini. Hingga aku merasa ada yang harus diseimbangkan tatkala aku berada di tempat umum sebuah penantian yaitu ‘stasiun’. Kebanyakan bapak, ibu, tante, om, tua, muda yang sedang menanti kereta menundukan kepala membaca. Baik dengan pertolongan sang kacamata ataupun tanpa. Bagunan tinggi-tinggi besar bercorak khas bergaya Gothik terlewati 200 meter di belakang. Di kota inilah tempat lahirnya musik klasik, jauh sebelum aku dilahirkan. Ada juga pagelaran opera. Bukan opera yang sejauh ini kuketahui. Bukan, beda. Itu opera mini. Sebuah mesin pencari yang dipasang di hp pertamaku.
Sanggar pisang, kopi susu, depan tv, dalam benakku membayang. Tus! meletus bayangannya. 
Tersontak dari itu semua. Berganti kesadaranku dalam taksi tercanggih yang pernah kutumpangi.  

“Aku ingin naik gondola...”, gumamku sendiri, gumam sebuah impian. 
Rambut blonde anak perempuan sepuluh tahunan melambai padaku di luar taksi ini.

 “Cantiknya...”, ungkapku lirih. Mirip Masha. Jarang-jarang aku melihat bule via dunia nyata.

Muncul pesan singkat nan berbobot berat seorang pria dalam kepalaku, “tidak ada orang yang tidak bisa menulis...”. 

Dilanjutkannya lagi, “hanya saja, apakah mau atau tidak. Benar-benar menulis atau dibayangkan saja...”. Intonasi bicara yang mengagumkan. Penampilan bersahaja, sederhana. Selesai dari acara itu aku bercita-cita jadi rekan detektif Conan. Tak apa meski hanya jadi tukang gulung kabel. 

“Mister Conan, let me become your partner, please...”, sambil menyatukan telapak kanan dan kiri tanda memohon. 

“Haruskah?”, terheran sendiri juga akhirnya. 

Baiklah. Mungkin sebuah fakta receh tentangku ini belum kalian ketahui. Bahwa sesunggunya, air selalu mencari tempat yang lebih rendah dan udara hobinya mengisi ruang. Contohnya balon. 
No, bukan itu main point-nya. Seriusan. Aku mengidolakan seorang penulis tanah air. Dalam negeri. Lokal, bro, sis. 

emoticon-I Love Indonesia (S)emoticon-Add Friend (S)
Diubah oleh Missmuj12 14-02-2019 16:05
someshitness
someshitness memberi reputasi
2
561
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
B-Log Personal
B-Log Personal
icon
6.1KThread9.2KAnggota
Tampilkan semua post
Missmuj12Avatar border
TS
Missmuj12
#1
Kejora ke Bumi Eropa


https://media1.picsearch.com/is?iZ5w...3sI&height=255

Bunga langit terarak seiring tiupan angin kota. Terlambai-lambai rambut pohon beringin tua yang dihororkan anak-anak sekampungku dulu. Blazer marun, sepatu hitam, di tempat ini, aku bukan salah satu anak begituan lagi kini. Mobil keluaran Jepang ini terus melaju menyoroti jalan panjang super higienis sedunia, sesekali perlu mengerem. 
Aku disambut pemandangan sepi kota. Tak ada yang menyapa “Hey, mau kemana?” padaku. Seasing ini. Mungkin aku terlalu akrab dengan sapaan itu. Itu dulu. Lagi-lagi ‘dulu’ku. 
Tapi, atmosfir ini tidak sekecewa itu. 


Di antara aksesoris kota yang meriah bak sedang hura-hura, hatiku sepi. Menghianati hati, hanya pikiranku yang ramai. Sebulan berlalu sejak musyawarah keluarga diketok palu. Langit-langit bercat putih, tiang-tiang kayu coklat mengkilap, tatapan-tatapan rindu mulai mengisi ruang hatiku. Bibirku beku. Telapak kiriku mencari pegangan, berujung di kaca mobil yang luarnya dititiki rintik langit. Dinginnya negeri utara ini tak akan membunuhku. Sebuah bangunan tua terlewati lagi. Tampaknya cantik, semakin tua bangunan-bangunan di sini tampaknya semakin menawan. Bola mataku terpaku pada bangunan itu, hingga hilang di ekor mata. 

“Apa saja gerangan yang pernah terjadi di dalam bangunan itu tadi?”, benakku iseng mengulik.

Di sini, kemudi mobil berada di sebelah kiri. Pertama kusadari itu sebulan lalu. Setelah menatap pisah wajah-wajah yang kini kurindu. Itu kurasa baru kemarin, mereka mengantarku ke Bandar Udara kota di bawah rintik yang sama begini. Sebulan setelah musyawarah keluarga. Selepas itu tak ada yang sama. Seorang bocah lelaki berambut barbie digandeng wanita muda berkulit barbie juga menyeberang jalan melintas di depan. Bibirku terkatup.  

“Nona, jalan di depan ditutup. Kalau lewat jalan lain akan memakan waktu lebih lama...”. 

“Seberapa lama?”, tanyaku cepat. 

“Sekitar lima menit...”, suara lelaki muda di seberang bangkuku menjawab singkat. 

“Tak masalah”, putusku dalam bahasa sini. Mobil angkutan umum asing ini melengos lembut setelah putar balik, setelah diakhiri anggukan plus sahut singkat sang supir.  

Pandanganku kini terpaut pada aspal basah jalanan depan. Tak ada genangan seperti jalan raya yang kuhapali enam tahun lalu. Terlalu kinclong.

 “Betapa kota ini dibangun dan dirawat begini rupa...”, simpulku sendiri. Langit masih semangat merintiki kota. Sepasang manula terlihat beriringan berpayung melintas di pelataran toko. Kulirik jam tangan yang sejak aku SMA dipakai di pergelangan kananku. Hanya tak nyaman mengenakan jam tangan di pergelangan kiri. Kawan sekelasku pernah terheran-heran soal ini. Sebuah gereja tua terlewati di sisi kanan, wusss. Jam sepuluh lewat lima belas.

Di sampingnya ada toko es krim teronggok bisu tak berdaya ditikam gerimis. Kuyakin karyawan atau karyawati di dalam sana dihantui kasur, minuman hangat, dan buku tercinta mereka. Orang-orang sini terbiasa menyelingi hari dengan membaca. Bisa jadi surat kabar, majalah, novel, berbentuk buku cetak ataupun buku elektronik, bacaan lainnya mulai dari ringan hingga berat (bacaan berat gimana membawanya, ya?). Suatu aktifitas yang langka di negeriku. 

Tidak selangka pesut Mahakam, sih. Ya, seperti yang dilansir sebuah website yang didasarkan pada presentasi sebuah penelitian, minat baca orang-orang negeriku tercinta tidak seperti orang-orang sini. Faktanya, aku adalah satu dari mereka. Tak sebutir bukupun terdiam dalam tas punggungku. Tak apa, itu tak akan membuatku minder.

Aku senang dengan satu fakta itu tentang penduduk negeri ini. Hingga aku merasa ada yang harus diseimbangkan tatkala aku berada di tempat umum sebuah penantian yaitu ‘stasiun’. Kebanyakan bapak, ibu, tante, om, tua, muda yang sedang menanti kereta menundukan kepala membaca. Baik dengan pertolongan sang kacamata ataupun tanpa. Bagunan tinggi-tinggi besar bercorak khas bergaya Gothik terlewati 200 meter di belakang. Di kota inilah tempat lahirnya musik klasik, jauh sebelum aku dilahirkan. Ada juga pagelaran opera. Bukan opera yang sejauh ini kuketahui. Bukan, beda. Itu opera mini. Sebuah mesin pencari yang dipasang di hp pertamaku.
Sanggar pisang, kopi susu, depan tv, dalam benakku membayang. Tus! meletus bayangannya. 
Tersontak dari itu semua. Berganti kesadaranku dalam taksi tercanggih yang pernah kutumpangi.  

“Aku ingin naik gondola...”, gumamku sendiri, gumam sebuah impian. 
Rambut blonde anak perempuan sepuluh tahunan melambai padaku di luar taksi ini.

 “Cantiknya...”, ungkapku lirih. Mirip Masha. Jarang-jarang aku melihat bule via dunia nyata.

Muncul pesan singkat nan berbobot berat seorang pria dalam kepalaku, “tidak ada orang yang tidak bisa menulis...”. 

Dilanjutkannya lagi, “hanya saja, apakah mau atau tidak. Benar-benar menulis atau dibayangkan saja...”. Intonasi bicara yang mengagumkan. Penampilan bersahaja, sederhana. Selesai dari acara itu aku bercita-cita jadi rekan detektif Conan. Tak apa meski hanya jadi tukang gulung kabel. 

“Mister Conan, let me become your partner, please...”, sambil menyatukan telapak kanan dan kiri tanda memohon. 

“Haruskah?”, terheran sendiri juga akhirnya. 

Baiklah. Mungkin sebuah fakta receh tentangku ini belum kalian ketahui. Bahwa sesunggunya, air selalu mencari tempat yang lebih rendah dan udara hobinya mengisi ruang. Contohnya balon. 
No, bukan itu main point-nya. Seriusan. Aku mengidolakan seorang penulis tanah air. Dalam negeri. Lokal, bro, sis. 

emoticon-I Love Indonesia (S)emoticon-Add Friend (S)
Diubah oleh Missmuj12 14-02-2019 16:05
0
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.