Missmuj12Avatar border
TS
Missmuj12
Mantan Mahasiswi
Sikap Skeptis dalam Kehidupan Sehari-Hari, Perlukah?
oleh Muji Dzikriyati

Beberapa hari yang lalu, aku sedang melihat-lihat timeline Instagramku. Seperti biasanya, halaman utama itu dihiasi dengan postingan-postingan berupa foto dan caption. Itu adalah postingan-postingan dari akun orang-orang atau instansi yang aku follow Instagramnya.

Sebuah foto berisikan tulisan berwarna hitam “Sebutkan lima kata yang mendeskripsikan sahabatmu dan tag orangnya!”. Warna latar belakang tulisan itu menyita penuh pandanganku, warnanya krem polos. Lantas aku tuliskan nama akun Instagram milik teman baikku, tag dia, dan kutambahkan lima kata yang tidak sungguhan mendeskripsikan dirinya. Lima kata itu hanya canda belaka kutulis pada kolom komentar. Siapa tahu dia bisa sedikit terhibur jika membacanya saat sedang sedih.

Beberapa waktu kemudian, aku dan teman baikku saling tag dan berbalas komentar di postingan itu. Dia sempat menuliskan lima kata tentang diriku menurut dia. Satu kata yang paling mengena perhatianku adalah kata “skeptis”.
Aku belum paham betul makna kata itu, segeralah aku browsing internet. Kesimpulan dari makna kata “skeptis” adalah keraguan. Sebelum itu, aku sudah pernah tahu, jadi tidak asing terhadap kata “skeptis” ini. Aku pernah membacanya dari sebuah novel berjudul Paradoks. Aku sudah selesai membacanya dan merasa jatuh cinta dengan novel itu.

Novel Paradoks karya Ana Nadhya Abrar (Abrar) menceritakan tentang pribadi seorang dosen bergelar doktor dan kesan-kesannya terhadap para profesor di kampus tempat ia bekerja. Elwin Fredo adalah tokoh utama novel ini. Ia merupakan seorang dosen bergelar doktor, yang membatalkan pengajuan dirinya sebagai professor di Universitas Yogyakarta (UY). Diceritakan Elwin sebagai pribadi dosen yang baik, telah mengalami suka duka sebagai dosen biasa terkait kehidupan kampus beserta para warga kampus.

Setelah menemukan kata “skeptis” dari novel tersebut, munculah pertanyaan dalam benakku, perlukah sikap skeptis?
Sebagai alumni yang Ijazahnya belum terbit, aku telah menyaksikan, membaca, dan memikirkan bahwa sikap “skeptis” perlu ada pada pribadi dosen terhadap persoalan-persoalan yang memerlukan sikap “skeptis”. Contohnya seperti pada pengalamanku saat masih berstatus mahasiswi di salah satu kampus di Kota Tepian ini. Aku dengan senang hati menuliskannya seperti berikut ini.

Enam bulan yang lalu aku masih berkonsultasi dengan dosen pembimbing Skripsiku. Beliau tidak pernah benar-benar meng-iya-kan tulisanku ketika aku datang padanya untuk berkonsultasi. Paling tidak beliau meng-iya-kan secara “Kalau memang anda yakin begitu, buktikan, lengkapi teori pada pembahasan...”. Begitu adanya. Setelah beberapa menit beliau membaca hasil revisianku, tanggapan semacam itu tidak membuatku seyakin 100% lagi seperti sebelum aku masuk ruangan beliau. Lantas muncul beberapa dari 5W1H di kepalaku. Begini pikirku setelah konsultasi, Mengapa beliau bilang begitu? Apakah beliau meragukan usahaku? Apakah yang kuyakini ini salah? Apakah aku masih kurang berusaha? Yang terakhir ini seringnya membekas di benakku. Aku masih kurang perhatian kepada skripsiku. Mungkin itulah sebabnya, mungkin juga aku sudah sampai dimaksimalku.

Begitulah skeptisnya dosen pembimbing Skripsiku. Sikap beliau itu mengundang tanya besar-besar selama beberapa bulan dalam hidupku. Waktu yang telah kulewati kini menyediakan segepok jawaban di hadapanku. Aku seperti tahu jawaban Teka-Teki Silang di tanganku ini. Beliau bermaksud menuntunku untuk lebih memahami, mempertimbangkan, dan menemukan jalanku sendiri dari proses bimbingan demi sempurnanya sebuah karya tulis, di atas catatan bahwa tak ada yang sempurna, kecuali Tuhan Yang Maha Esa.
Demikianlah sudut pandangku jika saja ditanya tentang perlu atau tidak sikap skeptis itu?

Hubungannya dengan kehidupan sehari-hari dimana media sosial sebagai wadah memperoleh informasi dengan mudah, ketahuilah ada oknum-oknum yang bisa saja berbohong. Leluasa menuliskan, menyuarakan, meniupkan informasi-informasi palsu. Istilah untuk informasi-informasi palsu itu disebut hoax. Maka, aku mempertimbangkan yang mana informasi yang benar, yang mana pula informasi yang palsu alias dusta saja.

emoticon-Kaskus Lovers emoticon-flower emoticon-Kaskus Lovers emoticon-2 Jempol
Diubah oleh Missmuj12 14-02-2019 06:07
3
2K
22
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Heart to Heart
Heart to Heart
icon
21.6KThread27KAnggota
Tampilkan semua post
QuickiesAvatar border
Quickies
#7
Perlu
1
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.