nanitrianiAvatar border
TS
nanitriani
Gemercik Kisah
        

           Tidak seperti apa yang ada dalam benak orang lain, keluargaku tidak seindah deretan huruf yang terukir menjadi sebuah kata “keluarga”. Setiap hari yang kujalani adalah mencari definisi dari kebahagian yang menjadi lambang keagungan dalam hidup. Prinsip keluargaku, tidak penting jalan apa yang harus ditempuh, asalkan berbuah kebahagian.  
            “Ardi, kamu tidak berangkat sekolah?” Tiba-tiba ibu membuka pintu kamarku. Lamunanku pecah.            
            “Hujan.”
            Ibu kembali menutup pintu kamarku, tidak peduli, meninggalkan aku yang berbaring di atas tempat tidur. Suara gemercik hujan menyelimuti gendang telinga, seolah luruh bercampur dengan perasaan putus asa yang melingkupi pagi ini.
            Pikiranku melayang pada kejadian sekitar satu minggu lalu, hari yang basah seperti pagi ini, hujan. Aku duduk di kursi mobil belakang yang dikendarai ayah, memandang keluar jendela dengan bingkai rintik hujan di sore hari. Lampu-lampu mulai tampak gemerlap menyinari permukaan kota yang hampir tertelan malam. Beberapa orang memutuskan berteduh di depan toko atau di kedai kopi. Pemandangan ini dipermanis dengan pasangan remaja yang sedang bercumbu tanpa malu. Pun, tak luput dari beberapa gelandangan yang sedang asyik duduk termangu, menerima cipratan air dari langkah kaki orang-orang yang menginjak genangan air, atau dari kendaraan yang melindas jalan berlubang. Tanpa pikir panjang aku membuka jendela mobil dan memanggil salah satu pengemis yang sedang menatap ke arahku. Aku mengeluarkan uang lima ribu yang lusuh dari saku celana, kulipat menjadi bentuk yang kecil. Pengemis itu dengan semangat berlari menembus hujan, mengejar mobilku yang melaju pelan. Mobil berhenti sejenak, pengemis itu sudah di depan jendela mobilku. Kulempar uang lima ribu lusuh itu keluar, terbawa angin dan terjatuh di kubangan air. Dia menatapku sejenak, “Terima kasih”, ucapnya. Lalu berpaling dan bergegas memungut uang itu yang tidak sengaja menjadi basah. Tidak, sengaja kubiarkan basah.
            Gelegar petir bersahutan disertai hujan yang semakin deras. Aku beranjak dari tempat tidur, menyadari perutku membutuhkan makan. Kudapati ibu dan ayahku sedang sarapan ketika aku keluar kamar. Aku pun ikut duduk dan mulai makan.
            “Kenapa kamu jarang sekolah? Padahal kamu sudah kelas 3 SMA.”
            “Ayahmu benar, sudah seminggu kamu tidak berangkat ke sekolah. Apa kamu tidak punya teman?”
            Aku hanya asyik menyantap nasi goreng kecap dan telur dadar, berpura-pura sibuk menatap lamat-lamat makananku.
            “Kamu tidak pernah membawa temanmu ke rumah, apakah sungguh kamu tidak punya teman?” Tanya ibu sekali lagi.
            “Aku benci pengemis! Itu saja.”
            Mereka terdiam, saling melempar tatap. Makanan di piringku sudah tandas, aku beranjak dan bergegas keluar rumah.
            “Mau kemana kamu?!” Bentak ayah.
            “Memungut hujan,” sejenak kutatap mereka. “Bukankah tidak ada yang lebih sederhana dari memungut? Bukankah nasi goreng itu juga hasil memungut? Kebahagiaan memang sehina itu.”
            Segera kubuka pintu, dengan mantap kulangkahkan kaki menerobos hujan yang enggan mereda. Ribuan bahkan jutaan dan tak terhitung tetes air turun dari langit yang kelam. Aku mengupas setiap helai rasa di dalam hati. Tidak, aku sudah muak mencari definisi bahagia dan hidup. Keduanya sudah menipuku dan membuat otakku membeku untuk sekadar menyapa senyum dari ayah dan ibuku. Mereka dengan mudah menebar senyum kepada semua orang tanpa rasa malu. Ya, ayahku adalah seorang pengemis dan hidup kami lebih dari kata cukup. Kami memiliki rumah yang luas dan nyaman, mobil, motor, sepeda, dan barang-barang lainnya.
            Tidak ada yang lebih murah dibandingkan dengan raut memelas muka ayah yang setiap hari dilempar recehan. Apa dia sudah gila? Dia hanya duduk di pinggir jalanan kota dengan baju yang sobek dimana-mana, rambut yang terlihat lengket, penampilan yang sangat lusuh. Tampak seperti orang gila yang tak berkeluarga. Mungkin orang-orang bodoh dengan mudah merasa iba dan rela membuang remah-remah harta mereka kepada remah-remah keluarga. Memalukan.
Aku pikir semua pengemis sama. Mereka hidup berkecukupan dari hasil mengemis disertai rasa malas yang menggebu di dalam dada. Rasa enggan untuk bekerja adalah kebahagiaan yang nyata bagi mereka.
            Tetesan hujan masih belum lelah membasah dalam pijakan. Aku hanya berjalan tanpa tujuan, sesekali memandangi rumah yang kulewati. Beberapa diantaranya masih menyalakan lampu mengingat matahari terlalu malas untuk sekadar memancarkan sinarnya. Anganku seketika menembus tembok-tembok rumah, mengintip keadaan di dalam dan melihat sinar lampu menyinari keluarga kecil yang sedang bercengkerama di atas tempat tidur mereka, suasana yang hangat.
Gemercik hujan sudah tak kuhiraukan. Kuhempas semua asa-asa yang terkulai lemah dalam hati. Seketika langkahku terhenti, berbalik arah dan berlari menuju rumah tanpa ragu. Sesampainya di rumah, Kuhempas pintu dan menerobos masuk tanpa sepatah kata pun.
            “Sudah dapat hujannya?” Ujar ibu yang berdiri di balik pintu.
            “Aku benci pengemis, Bu.”
            Aku masuk ke dalam kamar, meninggalkan ibu yang mematung.
Beberapa pakaian segera kumasukkan ke dalam tas, termasuk semua uangku. Dengan cepat aku bangkit dan berjalan keluar.
            “Sekarang apalagi? Mau kemana kamu, Nak?” Ibu kembali bertanya.
            Aku enggan menjawab, hanya bersyukur hujan hampir reda.
            Aku hanya berjalan tanpa arah membelah benci yang membeku di dalam dada. Aku yakin bahwa aku bisa hidup tanpa uang mereka. Aku bisa hidup bahkan jika harus mengemis.
            Aku tertegun, mematung sejenak. Ya, mengemis. Mengapa tidak? Aku hanya perlu merobek beberapa bagian bajuku dan duduk manis di trotoar seperti orang gila sebatang kara. Tidak ada salahnya mencoba menjadi makhluk yang menjijikan.
***

            Lima hari sudah aku menjadi gelandangan di kota ini. Sepertinya ayah tidak berniat untuk sekadar mencariku atau mungkin mengemis bersama denganku. Dan aku tidak harus berbohong menjadi manusia menyedihkan untuk mengambil peran ini. Aku sudah melumat semua kutukan hidup yang tak pernah sekarat menggodaku.
            Sore ini kunikmati hujan dan alunannya yang bergemercik tenang. Lampu-lampu kota mulai menyala, menambah nuansa hangat yang tersuguh di tengah dinginnya udara yang memeluk erat tubuh. Aku hanya duduk termangu dengan kaleng bekas produk susu di depanku, pasrah menerima cipratan air dari langkah-langkah pejalan kaki yang sama sekali tidak menangkap wujudku.
            Pikiranku melintas ke masa dimana aku berusia sekitar tujuh tahun dan ayah belum menjadi pengemis. Dia masih mau bersabar untuk bekerja meski hanya menjadi petani miskin. Sebelum akhirnya menyerah menjadi petani akibat sering gagal panen. Mengemis adalah pilihan terbaik baginya.
            “Kamu harus menjadi manusia yang terpandang, Nak, tidak boleh ada seorang pun yang menganggapmu tidak ada di muka bumi ini. Kamu harus menjadi manusia yang terkenal karena posisimu yang sangat berpengaruh baik untuk semua orang. Mengerti?” Pepatah yang sering ayah ucapkan kepadaku.
            Terpandang? Lupakan saja! Aku sungguh menjadi sampah sekarang. Menetap di dalam lubang pembuangan tak berujung.
            Tiba-tiba sebuah mobil berhenti, kaca jendelanya perlahan terbuka. Sosok wanita paruh baya melambaikan tangan dari dalam mobil dengan uang lima ribu di tangannya. Aku beranjak dan dengan gesit berjalan cepat menghampirinya. Ditemani derasnya hujan, aku sudah di depan jendela mobilnya. Dia melempar uang lima ribu itu ke arahku, terbawa angin dan terjatuh di kubangan air. Aku menatapnya sejenak, “Terima kasih”, ucapku. Lalu berpaling dan bergegas memungut uang itu yang tidak sengaja menjadi basah. Tidak, dia sengaja membiarkannya basah.
*TAMAT*

 Semoga suka dengan ceritanya ya, Gan!

Oh iya, cerita ini hanyalah fiktif belaka, tidak benar-benar terjadi di dunia nyata.

emoticon-Cendol Ganemoticon-Cendol Ganemoticon-Cendol Gan

Sumber Gambar:
Google image
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
676
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.5KThread41.6KAnggota
Tampilkan semua post
nanitrianiAvatar border
TS
nanitriani
#1
Gemercik Kisah
        

           Tidak seperti apa yang ada dalam benak orang lain, keluargaku tidak seindah deretan huruf yang terukir menjadi sebuah kata “keluarga”. Setiap hari yang kujalani adalah mencari definisi dari kebahagian yang menjadi lambang keagungan dalam hidup. Prinsip keluargaku, tidak penting jalan apa yang harus ditempuh, asalkan berbuah kebahagian.  
            “Ardi, kamu tidak berangkat sekolah?” Tiba-tiba ibu membuka pintu kamarku. Lamunanku pecah.            
            “Hujan.”
            Ibu kembali menutup pintu kamarku, tidak peduli, meninggalkan aku yang berbaring di atas tempat tidur. Suara gemercik hujan menyelimuti gendang telinga, seolah luruh bercampur dengan perasaan putus asa yang melingkupi pagi ini.
            Pikiranku melayang pada kejadian sekitar satu minggu lalu, hari yang basah seperti pagi ini, hujan. Aku duduk di kursi mobil belakang yang dikendarai ayah, memandang keluar jendela dengan bingkai rintik hujan di sore hari. Lampu-lampu mulai tampak gemerlap menyinari permukaan kota yang hampir tertelan malam. Beberapa orang memutuskan berteduh di depan toko atau di kedai kopi. Pemandangan ini dipermanis dengan pasangan remaja yang sedang bercumbu tanpa malu. Pun, tak luput dari beberapa gelandangan yang sedang asyik duduk termangu, menerima cipratan air dari langkah kaki orang-orang yang menginjak genangan air, atau dari kendaraan yang melindas jalan berlubang. Tanpa pikir panjang aku membuka jendela mobil dan memanggil salah satu pengemis yang sedang menatap ke arahku. Aku mengeluarkan uang lima ribu yang lusuh dari saku celana, kulipat menjadi bentuk yang kecil. Pengemis itu dengan semangat berlari menembus hujan, mengejar mobilku yang melaju pelan. Mobil berhenti sejenak, pengemis itu sudah di depan jendela mobilku. Kulempar uang lima ribu lusuh itu keluar, terbawa angin dan terjatuh di kubangan air. Dia menatapku sejenak, “Terima kasih”, ucapnya. Lalu berpaling dan bergegas memungut uang itu yang tidak sengaja menjadi basah. Tidak, sengaja kubiarkan basah.
            Gelegar petir bersahutan disertai hujan yang semakin deras. Aku beranjak dari tempat tidur, menyadari perutku membutuhkan makan. Kudapati ibu dan ayahku sedang sarapan ketika aku keluar kamar. Aku pun ikut duduk dan mulai makan.
            “Kenapa kamu jarang sekolah? Padahal kamu sudah kelas 3 SMA.”
            “Ayahmu benar, sudah seminggu kamu tidak berangkat ke sekolah. Apa kamu tidak punya teman?”
            Aku hanya asyik menyantap nasi goreng kecap dan telur dadar, berpura-pura sibuk menatap lamat-lamat makananku.
            “Kamu tidak pernah membawa temanmu ke rumah, apakah sungguh kamu tidak punya teman?” Tanya ibu sekali lagi.
            “Aku benci pengemis! Itu saja.”
            Mereka terdiam, saling melempar tatap. Makanan di piringku sudah tandas, aku beranjak dan bergegas keluar rumah.
            “Mau kemana kamu?!” Bentak ayah.
            “Memungut hujan,” sejenak kutatap mereka. “Bukankah tidak ada yang lebih sederhana dari memungut? Bukankah nasi goreng itu juga hasil memungut? Kebahagiaan memang sehina itu.”
            Segera kubuka pintu, dengan mantap kulangkahkan kaki menerobos hujan yang enggan mereda. Ribuan bahkan jutaan dan tak terhitung tetes air turun dari langit yang kelam. Aku mengupas setiap helai rasa di dalam hati. Tidak, aku sudah muak mencari definisi bahagia dan hidup. Keduanya sudah menipuku dan membuat otakku membeku untuk sekadar menyapa senyum dari ayah dan ibuku. Mereka dengan mudah menebar senyum kepada semua orang tanpa rasa malu. Ya, ayahku adalah seorang pengemis dan hidup kami lebih dari kata cukup. Kami memiliki rumah yang luas dan nyaman, mobil, motor, sepeda, dan barang-barang lainnya.
            Tidak ada yang lebih murah dibandingkan dengan raut memelas muka ayah yang setiap hari dilempar recehan. Apa dia sudah gila? Dia hanya duduk di pinggir jalanan kota dengan baju yang sobek dimana-mana, rambut yang terlihat lengket, penampilan yang sangat lusuh. Tampak seperti orang gila yang tak berkeluarga. Mungkin orang-orang bodoh dengan mudah merasa iba dan rela membuang remah-remah harta mereka kepada remah-remah keluarga. Memalukan.
Aku pikir semua pengemis sama. Mereka hidup berkecukupan dari hasil mengemis disertai rasa malas yang menggebu di dalam dada. Rasa enggan untuk bekerja adalah kebahagiaan yang nyata bagi mereka.
            Tetesan hujan masih belum lelah membasah dalam pijakan. Aku hanya berjalan tanpa tujuan, sesekali memandangi rumah yang kulewati. Beberapa diantaranya masih menyalakan lampu mengingat matahari terlalu malas untuk sekadar memancarkan sinarnya. Anganku seketika menembus tembok-tembok rumah, mengintip keadaan di dalam dan melihat sinar lampu menyinari keluarga kecil yang sedang bercengkerama di atas tempat tidur mereka, suasana yang hangat.
Gemercik hujan sudah tak kuhiraukan. Kuhempas semua asa-asa yang terkulai lemah dalam hati. Seketika langkahku terhenti, berbalik arah dan berlari menuju rumah tanpa ragu. Sesampainya di rumah, Kuhempas pintu dan menerobos masuk tanpa sepatah kata pun.
            “Sudah dapat hujannya?” Ujar ibu yang berdiri di balik pintu.
            “Aku benci pengemis, Bu.”
            Aku masuk ke dalam kamar, meninggalkan ibu yang mematung.
Beberapa pakaian segera kumasukkan ke dalam tas, termasuk semua uangku. Dengan cepat aku bangkit dan berjalan keluar.
            “Sekarang apalagi? Mau kemana kamu, Nak?” Ibu kembali bertanya.
            Aku enggan menjawab, hanya bersyukur hujan hampir reda.
            Aku hanya berjalan tanpa arah membelah benci yang membeku di dalam dada. Aku yakin bahwa aku bisa hidup tanpa uang mereka. Aku bisa hidup bahkan jika harus mengemis.
            Aku tertegun, mematung sejenak. Ya, mengemis. Mengapa tidak? Aku hanya perlu merobek beberapa bagian bajuku dan duduk manis di trotoar seperti orang gila sebatang kara. Tidak ada salahnya mencoba menjadi makhluk yang menjijikan.
***

            Lima hari sudah aku menjadi gelandangan di kota ini. Sepertinya ayah tidak berniat untuk sekadar mencariku atau mungkin mengemis bersama denganku. Dan aku tidak harus berbohong menjadi manusia menyedihkan untuk mengambil peran ini. Aku sudah melumat semua kutukan hidup yang tak pernah sekarat menggodaku.
            Sore ini kunikmati hujan dan alunannya yang bergemercik tenang. Lampu-lampu kota mulai menyala, menambah nuansa hangat yang tersuguh di tengah dinginnya udara yang memeluk erat tubuh. Aku hanya duduk termangu dengan kaleng bekas produk susu di depanku, pasrah menerima cipratan air dari langkah-langkah pejalan kaki yang sama sekali tidak menangkap wujudku.
            Pikiranku melintas ke masa dimana aku berusia sekitar tujuh tahun dan ayah belum menjadi pengemis. Dia masih mau bersabar untuk bekerja meski hanya menjadi petani miskin. Sebelum akhirnya menyerah menjadi petani akibat sering gagal panen. Mengemis adalah pilihan terbaik baginya.
            “Kamu harus menjadi manusia yang terpandang, Nak, tidak boleh ada seorang pun yang menganggapmu tidak ada di muka bumi ini. Kamu harus menjadi manusia yang terkenal karena posisimu yang sangat berpengaruh baik untuk semua orang. Mengerti?” Pepatah yang sering ayah ucapkan kepadaku.
            Terpandang? Lupakan saja! Aku sungguh menjadi sampah sekarang. Menetap di dalam lubang pembuangan tak berujung.
            Tiba-tiba sebuah mobil berhenti, kaca jendelanya perlahan terbuka. Sosok wanita paruh baya melambaikan tangan dari dalam mobil dengan uang lima ribu di tangannya. Aku beranjak dan dengan gesit berjalan cepat menghampirinya. Ditemani derasnya hujan, aku sudah di depan jendela mobilnya. Dia melempar uang lima ribu itu ke arahku, terbawa angin dan terjatuh di kubangan air. Aku menatapnya sejenak, “Terima kasih”, ucapku. Lalu berpaling dan bergegas memungut uang itu yang tidak sengaja menjadi basah. Tidak, dia sengaja membiarkannya basah.
*TAMAT*

 Semoga suka dengan ceritanya ya, Gan!

Oh iya, cerita ini hanyalah fiktif belaka, tidak benar-benar terjadi di dunia nyata.

emoticon-Cendol Ganemoticon-Cendol Ganemoticon-Cendol Gan

Sumber Gambar:
Google image
0
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.