Rievano
TS
Rievano
Muak Patriarki, Perempuan Syria Bangun Komunitas tanpa Laki
SYRIA - Gerbang Jinwar yang menjadi akses utama ke Desa Jinwar itu serupa dengan gerbang masuk desa-desa lainnya di Syria. Ada tulisan warna-warni yang membentuk kata Jinwar di atas pintu besi berteralis putih setinggi 2,5 meter itu.

Yang membuat gerbang tersebut istimewa adalah penjaganya. Di balik pintu, penjaga yang memegang senjata laras panjang adalah perempuan.

Desa di wilayah timur laut Syria itu adalah surga kaum hawa. Tidak ada kekerasan, amarah, dan pelecehan di sana. Sebab, tidak ada pria di sana.

"Kami tak butuh lelaki. Hidup kami baik-baik saja tanpa mereka," ujar Zainab Gavary, salah seorang penduduk Jinwar, kepada The Independent pekan lalu.

Seluruh penduduk Jinwar adalah perempuan. Ada yang ibu-ibu. Ada pula yang gadis. Tidak ada laki-laki dewasa di desa itu. Yang ada hanya bocah-bocah lelaki yang tinggal bersama sang ibu. Desa yang berada di pelosok Distrik Al Hasakah itu tidak menerima pria sebagai anggota komunitas.

Para penduduk Jinwar sengaja mensterilkan desanya dari laki-laki. Mereka tidak mau lagi hidup di bawah bayang-bayang patriarki. Mereka ingin membebaskan diri dari budaya yang mengungkung jiwa mereka sejak kecil itu.

Pendeknya, mereka ingin menjadi penguasa atas diri mereka sendiri. Menjadi pengambil keputusan.

"Kami ingin perempuan bisa berdikari. Karena itu, kami membangun komunitas yang menempatkan kaum kami sebagai suara mayoritas," ujar Nujin Alman, warga Jerman yang ikut membangun Jinwar, sebagaimana dikutip Ajansa Nuceyan a Firate News.


Jinwar tidak lahir dari ide para perempuan Kurdi saja. Sejumlah aktivis asing ikut membidani lahirnya desa tersebut.

Kisah perempuan-perempuan Kurdi yang menderita karena ISIS menyentuh hati semua orang. Kesengsaraan mereka setelah para suami dipaksa menjadi tentara ISIS membuat dunia menoleh kepada kaum Kurdi.

Maka, saat ada gerakan untuk membangun kekuatan perempuan di Jinwar, aktivis perempuan dari seluruh dunia ikut mengulurkan tangan. Sedikitnya 30 rumah menjadi cikal bakal Jinwar pada 2016. Selain rumah, ada beberapa hektare lahan pertanian juga di sana.

"Tanpa perempuan yang kuat dan terdidik, tidak akan pernah ada kebebasan," ujar Gavary. Sepeninggal sang suami sepuluh tahun lalu, kehidupannya sulit.

Perempuan 28 tahun itu lantas pindah ke Jinwar karena terus ditekan orang tuanya. Menjadi seorang janda di usia yang relatif muda adalah beban bagi perempuan Syria. Karena itu, Gavary mencari perlindungan di Jinwar.

Ada pula Amira Muhammad. Perempuan 33 tahun itu memboyong lima buah hatinya ke Jinwar setelah suaminya tewas di tangan ISIS setahun lalu. "Mereka mencukupi kebutuhan kami. Dan yang terpenting, anak saya suka di sini," ungkapnya.

Di balik gerbang Jinwar, puluhan perempuan berusaha menjadi mandiri. Sehari-hari mereka bercocok tanam dan beternak. Hasil panen lantas digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sisanya dijual.

"Masing-masing warga punya lahan sendiri. Panen yang kami jual digunakan untuk membeli kebutuhan lain," ujarnya.


Setiap hari penduduk bakal bergiliran untuk memasak. Hasilnya kemudian disajikan di ruang makan dapur umum dan disantap bersama-sama.

Terkadang, mereka bersantap dengan tamu-tamu yang penasaran dengan kehidupan mereka. Atau, para cendekia yang tertarik meneliti desa unik tersebut.

Kehidupan homogen itu memang terasa membosankan bagi segelintir orang. Nisreen Qadir yang datang ke Jinwar dengan adiknya pernah mengalaminya.

"Tapi, saya tidak mau meninggalkan tempat ini. Di sini kami bisa hidup mandiri dan bebas," ungkap dara 17 tahun itu.
Sumber: jpn.com
sebelahbloganasabila
anasabila dan sebelahblog memberi reputasi
2
1K
8
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita Luar Negeri
Berita Luar Negeri
icon
78.7KThread10.3KAnggota
Tampilkan semua post
Mindomie
Mindomie
#5
Muak ajaran agamanya?
-1
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.