- Beranda
- Stories from the Heart
"KELAS KAKAP ON FACEBOOK!" - The Untold Story.
...
TS
donnjuann
"KELAS KAKAP ON FACEBOOK!" - The Untold Story.
INDEKS UPDATED
Personal Literature: The Not so Sweet Life from Don Juan
Bab 1 - The Intro
Bab 2 - Ujian Awal Kehidupan
Bab 3 - In Cewek Jegeg We Trust
Bab 4 - Kelas Kakap on Facebook
- Introduction
- Chapter 1
- Chapter 2 - Story Continues
- Chapter 3 - "Kambing lo, mbing!"
- Chapter 4 - Memilih
- Chapter 5 - Mengunjunginya
- Chapter 6 - akhirnya aku menemukanmu
- Chapter 7 - shinjuku incident
- Chapter 8 - a little confession
Bab 5 - Tipe-tipe cowok yang membuat hati cewek Bergejolak
Bab 6 - Kost Terkutuk
Bab 7 - Pasangan yang Romantis
Bab 8 - Hati yang atletis
Bab 9 - Beberapa PDKT yang Sebaiknya Jangan Dilanjutkan
Bab 10 - THE HANDSOMOLOGY
- The Introduction Of The Handsomology
- The Handsomology part 2 - The Step and Arts
- The Handsomology part 3 - Logika versus Emosi
Bab 11 - Changing Room
Bab 12 - The Unfinished Bussines
Bab 13 - The last: A Message from God
Spoiler for HARAP DIBUKA:
Cerpen-cerpen Don Juan
Never Try You Will Never Know
True Gamer Never Cheating
Memusuhi kok ngajak-ngajak
Selingkuh Yang Tidak Biasa
How i met your Mother
When a Girl Takes The Bill
Yang Nyakitin Yang Dipertahanin
The Jomblonology
5 Kenyataan Pahit dalam Hidup
The Long Distance Religionship
Ini ada cerita tak seberapa dariku untukmu.
"KELAS KAKAP ON FACEBOOK!"
-Sebuah kisah memilukan Facebooker pencari jodoh-
Enjoy!
Spoiler for Tokoh dan Karakter:
Spoiler for How to enjoy this story:
Diubah oleh donnjuann 20-09-2013 01:05
anasabila memberi reputasi
1
52.1K
355
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
donnjuann
#231
IN CEWEK JEGEG WE TRUST - Part 1
#3
Ini sebuah pertanyaan mendasar, apa yang harus dilakukan cowok pertama kali saat ketemu cewek yang dia idam-idamkan? Ya langsung tanya aja, “Harga per malamnya berapa, mbak?” Ah, bukan. Yang pertama kali dilakukan adalah senyum. Sesederhana itu aja. Namun itu jadi masalah buat gue yang antara senyum dengan nahan mules nggak ada bedanya.
Ya udah, coba bayangin gini, ada cewek di koridor atau lorong kampus sunyi-senyap berjalan menenteng buku-buku kuliahnya. Terus gue datang dari belakang dengan senyum selebar telinga, hidung megap-megap, dan kancing kemeja kebuka semua. Gue yakin, Aurel setuju sama gue kalau itu cewek bakal nangis kejer dan teriak-teriak, “ambil ini uang, ambil ini HP, tapi jangan ambil kegadisanku!”
Tragis.
Jadi, senyum itu ternyata butuh tehnik tersendiri. Usahakan senyum itu sesimpel mungkin. Pokoknya intriguing and breath-taking gitu. Harus bisa ngerasain kalau senyum itu mengalir melewati relung, menuju sanubari, dan keluar melalui kloaka.
Berseni banget.
Saat itu di kampus gue sedang berlangsung yang namanya ospek. Siapa yang nggak tau ospek, semua kenal sama ospek, dia terkenal banget pada masanya, tapi bukan berarti dia terkenal, gue bisa jatuh cinta sama dia gitu aja. Gue harus jaim dikit lah.
Di kampus gue, ospek itu ada dua macem, ospek fakultas dan ospek universitas. Ospek fakultas adalah saat di mana gue di-bullyabis-abisan sama senior di fakultas dan senior di jurusan. Sedangkan ospek universitas adalah saat di mana seluruh fakultas di universitas dikumpulin di suatu lapangan dan dijadikan ajang perkenalan satu sama lain seluruh fakultas.
Waktu itu, fakultas gue berbaris sebelah-sebelahan dengan Fakultas Tehnik. Jurusan gue pas banget dempet-dempetan sama jurusan Tehnik Industri. Di bawah siraman terik matahari, di tengah ceramah dan tausyiah rektor, gue cuma bisa diam terpaku membisu ketika melihat ada makhluk eksotis berdiri tepat di samping gue. Jarak kami saat itu nggak jauh, mungkin cuma 50 cm.
Ya, gue hanya berjarak 50 cm dari kebahagiaan.
Namanya, Monika.
Mata gue dicolok kegetiran ketika melihat dirinya menyeka bulir keringat di dahi. Nampak dari bahasa tubuhnya kalau dia.. keringetan. Bibirnya dia gigit, mungkin butuh air untuk diminum. Tapi itu masih hipotesis awal gue. Daripada menerka yang nggak-nggak, gue coba beranikan diri mengajaknya ngobrol.
“Hei, kamu laper ya? Ini ada sedikit roti. Mau?”
.....
“Oh, kamu nggak mau roti ya? Ya udah, ini ada nasi padang. Mau?”
....
“Oh, kamu nggak suka nasi padang? Ya udah, ini ada nasi rantang. Lauknya enak. Mau?”
“Kamu lagi piknik, ya?” dia ketus.
“Ah, nggak kok.” Tikar yang gue udah gelar terpaksa gue lipat kembali.
“Aku haus, kok malah kamu tawarin makan. Hih”
Damn, hipotesis awal gue ternyata benar. Sambil merapikan makanan dan tikar yang udah gue gelar, gue memberinya sebotol air mineral.
“Ini, minumlah.”
Dia pun meminumnya. Setelah meminumnya, wajahnya kembali bersinar. Gue pun tak kuasa menggelepar.
“Makasih, ya.”
Sambil menyambut tangannya untuk bersalaman, “Don Juan..”
“iya, aku Monika. Makasih ya.”
“Iyah, sama-sama, Mon. Oh, iya air mineralnya udah? Aku minta juga dong.”
“Lho, katanya buat aku? Gimana sih? Yaudah ini, aku kembaliin. Hih.”
“Ta-tapi Mon..”
Lalu kami hening kembali di tengah keramaian.
Oke, gue gak sengaja ketemu dia kayak beberapa cewek yang nggak sengaja bilang gue ganteng. Kejadian siang itu menjadi titik awal gejolak cinta di dalam karir gue sebagai mahasiswa. Tadinya, gue mau minta nomernya. Tapi gue urungkan niat itu. Pager yang gue pegang, gue masukin kembali ke kantong.
“Kamu anak Tehnik ya, Mon?”
“Iyah.”
“Tehnik apa?”
“Industri.”
“Kenapa pengin kuliah di sini?”
“Pengin cari suasana baru.”
“Emang suasana lamamu kenapa?”
“Ya gapapa, sih.”
“Suasana lamamu itu, di mana?”
“Di Bali.”
Oh. Dia orang Bali. Ada kata “Bali’ dalam kata “Kembali”, inilah kenapa setelah ketemu sama dia, gue selalu pengin kembali lagi, lagi, lagi, dan lagi padanya. Apakah ini sebuah arah menuju jalan pulang? Ah, lalu lintasnya tampak padat merayap.
“Kamu orang Bali, Mon?
“Iyah.”
“Selain kamu, temen-temenmu ada juga yang kuliah di sini?”
“Banyak.”
“Oh, iya, aku minta nomor hapemu dong. Mungkin kita bisa ketemu lagi suatu ha..”
“ITU SAJA YANG BISA SAYA SAMPAIKAN, KALIAN ADALAH THE AGENT OF CHANGE! PERUBAHAN DUNIA INI ADA DI TANGAN KALIAN. KALIAN GENERASI PENERUS BANGSA! HIDUP MAHASIWAA!!! HIDUP MAHASISWAA!!! TERIMA KASIH.” Pidato rektor pun berakhir.
“SIAPP GRAKK!! BARISAN DIBUBARKAN!” Teriak pemimpin barisan.
Para mahasiswa baru pun kembali ke fakultasnya masing-masing. Monika hilang di tengah kerumunan mahasiswa yang berhamburan pergi meninggalkan lapangan. Gue merasa sepi dalam keramaian. Berita baiknya, ceramah berjam-jam dari petinggi kampus udah selesai. Berita buruknya, cerita gue dengan Monika yang belum selesai.
Semenjak siang itu, gue selalu kepikiran Monika.
Sebulan berlalu, gue masih kepikiran Monika. Dua bulan berlalu, gue masih kepikiran Monika. Tiga bulan berlalu, gue masih kepikiran monika. Akhirnya empat bulan berlalu, gue mikirin UAS.
Karena gue mengalami keterbelakangan mental dalam bidang akademik, tentu gue merasa terjepit dengan kondisi seperti ini. Seperti cowok yang bermental mahasiswa kebanyakan, gue berniat ngopi catatan teman. Buat gue, cewek-cewek pintar adalah aset dalam hidup. Mereka adalah salah satu tumpuan hidup. Berikut adalah salah satu contohnya.
“Halo Rina, aku nggak ngerti nih matematika buat UAS besok. Ajarin dong.”
“Wah, aku juga nggak ngerti Don.”
“Yaudah, minimal ajarin dikit aja deh. Gimana?”
“Duh gimana ya, aku nggak ngerti Don. Beneran, suer.”
“Lho, bukannya UTS matematika kamu yang kemarin dapet 100, ya?”
“Eh, tunggu bentar, Lumba-lumba aku mau melahirkan. Katanya udah pembukaan ketiga, udah dulu ya.”
“Lu-lumba-lumba apa?” Tanya gue lagi.
Tut. Tut. Tut.
Teleponya mati.
Oke, Rina bukan aset yang menghasilkan.
Akhirnya, gue dapet catatan temen untuk dikopi. Yang punya catatan ini, cowok. Tulisan yang mirip sansekerta dipadu dengan angka-angka tak beraturan, membuat mata yang membacanya terkena katarak akut.
Waktu membaca catatan itu, gue langsung melambaikan tangan ke kamera. Dengan terhuyung-huyung, gue melangkah ke tempat fotokopi. Waktu nyerahin catatan itu ke mamang-mamang fotokopi, si mamang juga melambaikan tangan ke kamera. Sambil megangin matanya, dia teriak.
“MY EYESSSS!!! MY EYESSSS!!!!”
Ternyata tulisan ini juga telah mencelakakan mata mamang-mamang fotokopi. Selain terkena pasal perbuatan tidak menyenangkan, tulisan di catatan ini bisa dikenakan pasal pembunuhan terencana. "Ditemukan seorang mahasiswa dan seorang penjaga kios fotokopi tergeletak tak bernyawa setelah membaca sebuah catatan kuliah." Ini adalah contoh taglinekoran yang nggak keren.
Sambil megangin mata kanan yang masih kedut-kedutan gara-gara ngebaca catatan itu, mata kiri gue yang masih tetap terbuka, tiba-tiba disambar cahaya menyenangkan.
“Mas, ini dikopi dua kali ya.”
“Oh, iya mbak.”
...
Mo-monika.
Tiba-tiba gue nggak kepikiran sama UAS lagi. Gue baru aja menomorsekiankan tumpukan catatan-catatan ini. Berbulan-bulan gue mencarinya, sekarang dia cuma 70 cm di depan gue. Gue harus fokus ke Monika.
“Monika.” Sapa gue.
“Eh, halo.”
“Lama nggak keliatan, kamu udah wisuda ya?”
“Baru juga kuliah empat bulan. Hih.”
“Hehe, kamu mau fotokopi juga?”
“Iya, nih."
“Hehe, besok kamu UAS apa, Mon?
“Kalkulus.”
“Monika..”
“Ya?”
“Apa kamu nggak sedih kalau ngeliat ada temanmu lagi kesusahan?”
“Sedih, sih.”
Gue berlutut satu kaki di hadapan Monika, dengan tatapan nanar, dan mengepalkan tangan di dada.
“Monika..”
“Ya?”
“AJARIN AKU MATEMATIKA. AJARIN AKU, PUHLEASE.. PUHLEASEEE MONIKA, PUHLEASEEE...”
“Yatapi, bangun dulu dong.”
“Cungguh? Monika enelan mau ngajarin aku matematika?”
“Tapi kan aku ujian kalkulus. Kita udah beda, Don. Kita beda.” Balas Monika lagi.
“GAPAPA MOCI.. GAPAPA. DENGAN BELAJAR BARENG KAMU, KINERJA OTAK AKU YANG TELAH LAMA MENGALAMI KEMUNDURAN, BISA BERFUNGSI KEMBALI DENGAN BAIK.”
“Iya-iya, tapi bangun dulu dong.”
Yes. Modus laknat barusan mendarat dengan mulus. Sekarang hari Minggu siang, nanti sore gue mau belajar bareng Monika di kosannya. Alamat kosan dan nomor hapenya udah di tangan. Tapi namanya udah sedari dulu terpatri di hati.
.
====
Sore harinya, gue dateng ke kosannya. Banyak cowok di sana. Ada yang datengnya berisik banget. ‘Diinnn.. dinnn.. Dinnn!!!’ Jazz putih emang berisik banget. Lalu ada ‘Dinnn.. Dindin badindin ouww dindin badindiiin.." Oke, yang barusan bukan suara klakson, itu soundtrack tari piring.
Jujur. Ini kelebihan gue sebagai playboy. Dari banyak cowok-cowok di sana yang pada ngapelin temen-temennya Monika, cuma gue yang nggak bersuara. Gue yang paling cepet. Gue yang paling mengagetkan. Paling menghentak.
Gue naik GL-pro. Gerakan lutut profesional.
Pendekar tanpa bayangan.
Jalan kaki.
Di depan pagar kosnya, gue SMS dia supaya keluar di dalem. Eh maksud gue, supaya keluar dari kamarnya. Beberapa menit kemudian, Monika keluar nyambut gue dengan muka mahasiswi yang belum ketemu nasi seharian. Mules campur tragis. Tapi buat gue, itu senyuman yang indah sekali.
Monika ini di mata gue ideal banget. Di matanya, ya gue yang nggak ideal.
Ya, biasalah.. cewek.
Lekukan tubuhnya itu, loh. Gue kalau ngeliat dia, yang tadinya mules udah diujung tanduk jadi ketarik lagi ke dalem. Ilang mulesnya. Berkah banget. Mocii i’m in Love.. Lalu dia pun nyuruh gue masuk. Sumpah, gue langsung mikir, “Gue disuru masuk kemana? Ke kamarnya? Ke hatinya? Apa ke kamar mandinya?”
Sore itu dia lagi stylish abis. Dia hanya mengenakan tanktop putih dan celana gemes. Jujur, gue sebagai lelaki normal mikirnya yang enggak-enggak dong. “Hanjir, Moci seksi banget! Gue nggak tahan! Kenapa dia seksi banget?! Kenapa Mpok Nori nggak seksi?! Rupiah menguat berapa poin sejak kuartal minggu lalu!?”
Kotor banget.
“Don, mau minum apa?” Tanya Monika sambil senyum dan berjalan molek mendekati gue.
“Eumm, minum dari pinggiran hatimu juga boleh kok.” gue spontan.
“Yaudah, gak usah minum ya.”
Ini di luar ekspektasi. Jarak antara kos gue dengan kos Monika ada kali tiga kilo. Dan gue jalan kaki..
Nyesek.
“Aku becanda, loh. Kopi aja ya.”
“ H-a-h-a. Iya boleh deh Moci.” Sialan..
------ 40 menit kemudian---------
“Ini kopinya ya, maaf ya lama.” Monika akhirnya datang sambil membawa dua cangkir kopi.
“Oh gapapah kok, baru juga tadi, sebentar kok..” gue spontan.
“ Ah, masa sih sebentar? Padahal aku tadi mandi dulu.”
Gue keselek kopi.
“ H-A-H-A-H-A, ah gapapa kok, mandi aja lagi, nanti aku tungguin kok.” Jawab gue sambul nahan mules.
“Tunggu ya, aku ambil dulu bahan buat UAS-nya."
Monika pun dengan cermat ngerjain latihan soal di handout kuliahnya. Gue juga dengan cermat menikmati setiap detail dirinya, dari dekat. Sesekali, gue ngeluarin tissue buat ngelap mimisan. Di cover handout mata kuliahnya, ada tulisan yang dibuat macem kaligrafi bertuliskan,
Ochi jegeg.
“Moci..”
“Ya?”
“Jegeg itu apa, sih?”
“Nggak kok, nggak. Bukan apa-apa kok, Don.” Monika langsung buru-buru nutup cover handout pake tangannya.
Gue yang pintar pun nggak lekas percaya. Gue curiga.
“Hayo, kasitau nggak.”
“Hehe.” Monika senyum-senyum.
Gue jarang-jarang ngeliat Monika senyum seperti ini. Iya, semenjak kali pertama pertemuan dengannya di lapangan ospek itu, gue udah tau kalau Monika memang cewek yang termasuk kategori dingin.
Gue langsung nelepon temen buat memastikan kecurigaan ini. “Halo Yogi, ini Don. Jegeg itu apa, ya?”
“Okesip, tengkiu ya, Gi.” Gue nutup telepon.
Oh gitu. Kata Yogi, jegeg itu bahasa Bali. Dapat diartikan manis, cantik, atau ayu. Hmm, lalu maksud Monika nulis di cover handout-nya ‘Ochi jegeg’ itu apa? Kok dia jadi mirip kek alay? Ywd c.
“Moci, kamu nggak perlu nulis itu, kamu udah jegeg kok.”
“Hehe." Monika cengengesan.
*DUKK!!*
Kepala gue dikepruk pake tempat pensilnya. Monika hardcore juga.
Sejam berlalu, monika udah ngerjain beberapa soal latihannya, sedangkan gue belum ngerjain apa-apa. Monika bertanya kenapa gue nggak ngerjain soal latihan itu. Gue bilang aja kalau nggak ngerti. Monika yang awalnya duduk hadap-hadapan sama gue, tiba-tiba duduk di samping gue. Deket banget. Dengan lembut dia bertanya,
“Kamu nggak ngerti yang mana, Don?”
“Aku nggak ngerti sama yang ini.” gue nunjuk ke hati.
*DUKK!!*
Kepala gue dikepruk lagi. Sekali lagi gue kena kepruk, kepala gue bisa bocor.
“Serius, Don. Besok udah ujian.”
Sifat “lembutnya” bikin gue jadi pengin belajar serius. Walau dia nggak bener-bener paham sama materi UAS gue, dia tetap sabar mau ngajarin. Setiap gue salah ngejawab soal, kepala gue dikepruk. Setiap gue ngegombalin dia di sela-sela ngerjain soal, kepala gue dikepruk. Setiap gue mencoba untuk nyium dia di setiap kesempatan dalam kesempitan, kepala gue lagi-lagi kena kepruk. Gue bener-bener jatuh cinta sama Monika.
Beberapa menit kemudian, ambulance datang. Gue dilarikan ke UGD. Kepala gue bocor.
Gue jatuh cinta.
...
Nggak kerasa udah lebih dari lima jam gue belajar sama Monika. Ini juga udah malam. Lagi pula jadwal UAS matematika gue jam 07.00 pagi. Gue harus istirahat dan gue juga nggak enak ganggu Monika lebih dari ini. Gue pamit pulang. Di depan pagar kosannya, tiba-tiba Monika mengucap sesuatu yang menghentikan langkah kaki.
“Don, kamu lucu juga ya.”
“Moci, kamu jegeg juga ya.” Balas gue di depan pagar kosannya.
Gue dan dia cuma bisa tertawa kecil.
Ini sebuah pertanyaan mendasar, apa yang harus dilakukan cowok pertama kali saat ketemu cewek yang dia idam-idamkan? Ya langsung tanya aja, “Harga per malamnya berapa, mbak?” Ah, bukan. Yang pertama kali dilakukan adalah senyum. Sesederhana itu aja. Namun itu jadi masalah buat gue yang antara senyum dengan nahan mules nggak ada bedanya.
Ya udah, coba bayangin gini, ada cewek di koridor atau lorong kampus sunyi-senyap berjalan menenteng buku-buku kuliahnya. Terus gue datang dari belakang dengan senyum selebar telinga, hidung megap-megap, dan kancing kemeja kebuka semua. Gue yakin, Aurel setuju sama gue kalau itu cewek bakal nangis kejer dan teriak-teriak, “ambil ini uang, ambil ini HP, tapi jangan ambil kegadisanku!”
Tragis.
Jadi, senyum itu ternyata butuh tehnik tersendiri. Usahakan senyum itu sesimpel mungkin. Pokoknya intriguing and breath-taking gitu. Harus bisa ngerasain kalau senyum itu mengalir melewati relung, menuju sanubari, dan keluar melalui kloaka.
Berseni banget.
====
Saat itu di kampus gue sedang berlangsung yang namanya ospek. Siapa yang nggak tau ospek, semua kenal sama ospek, dia terkenal banget pada masanya, tapi bukan berarti dia terkenal, gue bisa jatuh cinta sama dia gitu aja. Gue harus jaim dikit lah.
Di kampus gue, ospek itu ada dua macem, ospek fakultas dan ospek universitas. Ospek fakultas adalah saat di mana gue di-bullyabis-abisan sama senior di fakultas dan senior di jurusan. Sedangkan ospek universitas adalah saat di mana seluruh fakultas di universitas dikumpulin di suatu lapangan dan dijadikan ajang perkenalan satu sama lain seluruh fakultas.
Waktu itu, fakultas gue berbaris sebelah-sebelahan dengan Fakultas Tehnik. Jurusan gue pas banget dempet-dempetan sama jurusan Tehnik Industri. Di bawah siraman terik matahari, di tengah ceramah dan tausyiah rektor, gue cuma bisa diam terpaku membisu ketika melihat ada makhluk eksotis berdiri tepat di samping gue. Jarak kami saat itu nggak jauh, mungkin cuma 50 cm.
Ya, gue hanya berjarak 50 cm dari kebahagiaan.
Namanya, Monika.
Mata gue dicolok kegetiran ketika melihat dirinya menyeka bulir keringat di dahi. Nampak dari bahasa tubuhnya kalau dia.. keringetan. Bibirnya dia gigit, mungkin butuh air untuk diminum. Tapi itu masih hipotesis awal gue. Daripada menerka yang nggak-nggak, gue coba beranikan diri mengajaknya ngobrol.
“Hei, kamu laper ya? Ini ada sedikit roti. Mau?”
.....
“Oh, kamu nggak mau roti ya? Ya udah, ini ada nasi padang. Mau?”
....
“Oh, kamu nggak suka nasi padang? Ya udah, ini ada nasi rantang. Lauknya enak. Mau?”
“Kamu lagi piknik, ya?” dia ketus.
“Ah, nggak kok.” Tikar yang gue udah gelar terpaksa gue lipat kembali.
“Aku haus, kok malah kamu tawarin makan. Hih”
Damn, hipotesis awal gue ternyata benar. Sambil merapikan makanan dan tikar yang udah gue gelar, gue memberinya sebotol air mineral.
“Ini, minumlah.”
Dia pun meminumnya. Setelah meminumnya, wajahnya kembali bersinar. Gue pun tak kuasa menggelepar.
“Makasih, ya.”
Sambil menyambut tangannya untuk bersalaman, “Don Juan..”
“iya, aku Monika. Makasih ya.”
“Iyah, sama-sama, Mon. Oh, iya air mineralnya udah? Aku minta juga dong.”
“Lho, katanya buat aku? Gimana sih? Yaudah ini, aku kembaliin. Hih.”
“Ta-tapi Mon..”
Lalu kami hening kembali di tengah keramaian.
Oke, gue gak sengaja ketemu dia kayak beberapa cewek yang nggak sengaja bilang gue ganteng. Kejadian siang itu menjadi titik awal gejolak cinta di dalam karir gue sebagai mahasiswa. Tadinya, gue mau minta nomernya. Tapi gue urungkan niat itu. Pager yang gue pegang, gue masukin kembali ke kantong.
“Kamu anak Tehnik ya, Mon?”
“Iyah.”
“Tehnik apa?”
“Industri.”
“Kenapa pengin kuliah di sini?”
“Pengin cari suasana baru.”
“Emang suasana lamamu kenapa?”
“Ya gapapa, sih.”
“Suasana lamamu itu, di mana?”
“Di Bali.”
Oh. Dia orang Bali. Ada kata “Bali’ dalam kata “Kembali”, inilah kenapa setelah ketemu sama dia, gue selalu pengin kembali lagi, lagi, lagi, dan lagi padanya. Apakah ini sebuah arah menuju jalan pulang? Ah, lalu lintasnya tampak padat merayap.
“Kamu orang Bali, Mon?
“Iyah.”
“Selain kamu, temen-temenmu ada juga yang kuliah di sini?”
“Banyak.”
“Oh, iya, aku minta nomor hapemu dong. Mungkin kita bisa ketemu lagi suatu ha..”
“ITU SAJA YANG BISA SAYA SAMPAIKAN, KALIAN ADALAH THE AGENT OF CHANGE! PERUBAHAN DUNIA INI ADA DI TANGAN KALIAN. KALIAN GENERASI PENERUS BANGSA! HIDUP MAHASIWAA!!! HIDUP MAHASISWAA!!! TERIMA KASIH.” Pidato rektor pun berakhir.
“SIAPP GRAKK!! BARISAN DIBUBARKAN!” Teriak pemimpin barisan.
Para mahasiswa baru pun kembali ke fakultasnya masing-masing. Monika hilang di tengah kerumunan mahasiswa yang berhamburan pergi meninggalkan lapangan. Gue merasa sepi dalam keramaian. Berita baiknya, ceramah berjam-jam dari petinggi kampus udah selesai. Berita buruknya, cerita gue dengan Monika yang belum selesai.
Semenjak siang itu, gue selalu kepikiran Monika.
Sebulan berlalu, gue masih kepikiran Monika. Dua bulan berlalu, gue masih kepikiran Monika. Tiga bulan berlalu, gue masih kepikiran monika. Akhirnya empat bulan berlalu, gue mikirin UAS.
Karena gue mengalami keterbelakangan mental dalam bidang akademik, tentu gue merasa terjepit dengan kondisi seperti ini. Seperti cowok yang bermental mahasiswa kebanyakan, gue berniat ngopi catatan teman. Buat gue, cewek-cewek pintar adalah aset dalam hidup. Mereka adalah salah satu tumpuan hidup. Berikut adalah salah satu contohnya.
“Halo Rina, aku nggak ngerti nih matematika buat UAS besok. Ajarin dong.”
“Wah, aku juga nggak ngerti Don.”
“Yaudah, minimal ajarin dikit aja deh. Gimana?”
“Duh gimana ya, aku nggak ngerti Don. Beneran, suer.”
“Lho, bukannya UTS matematika kamu yang kemarin dapet 100, ya?”
“Eh, tunggu bentar, Lumba-lumba aku mau melahirkan. Katanya udah pembukaan ketiga, udah dulu ya.”
“Lu-lumba-lumba apa?” Tanya gue lagi.
Tut. Tut. Tut.
Teleponya mati.
Oke, Rina bukan aset yang menghasilkan.
====
Akhirnya, gue dapet catatan temen untuk dikopi. Yang punya catatan ini, cowok. Tulisan yang mirip sansekerta dipadu dengan angka-angka tak beraturan, membuat mata yang membacanya terkena katarak akut.
Waktu membaca catatan itu, gue langsung melambaikan tangan ke kamera. Dengan terhuyung-huyung, gue melangkah ke tempat fotokopi. Waktu nyerahin catatan itu ke mamang-mamang fotokopi, si mamang juga melambaikan tangan ke kamera. Sambil megangin matanya, dia teriak.
“MY EYESSSS!!! MY EYESSSS!!!!”
Ternyata tulisan ini juga telah mencelakakan mata mamang-mamang fotokopi. Selain terkena pasal perbuatan tidak menyenangkan, tulisan di catatan ini bisa dikenakan pasal pembunuhan terencana. "Ditemukan seorang mahasiswa dan seorang penjaga kios fotokopi tergeletak tak bernyawa setelah membaca sebuah catatan kuliah." Ini adalah contoh taglinekoran yang nggak keren.
Sambil megangin mata kanan yang masih kedut-kedutan gara-gara ngebaca catatan itu, mata kiri gue yang masih tetap terbuka, tiba-tiba disambar cahaya menyenangkan.
“Mas, ini dikopi dua kali ya.”
“Oh, iya mbak.”
...
Mo-monika.
Tiba-tiba gue nggak kepikiran sama UAS lagi. Gue baru aja menomorsekiankan tumpukan catatan-catatan ini. Berbulan-bulan gue mencarinya, sekarang dia cuma 70 cm di depan gue. Gue harus fokus ke Monika.
“Monika.” Sapa gue.
“Eh, halo.”
“Lama nggak keliatan, kamu udah wisuda ya?”
“Baru juga kuliah empat bulan. Hih.”
“Hehe, kamu mau fotokopi juga?”
“Iya, nih."
“Hehe, besok kamu UAS apa, Mon?
“Kalkulus.”
“Monika..”
“Ya?”
“Apa kamu nggak sedih kalau ngeliat ada temanmu lagi kesusahan?”
“Sedih, sih.”
Gue berlutut satu kaki di hadapan Monika, dengan tatapan nanar, dan mengepalkan tangan di dada.
“Monika..”
“Ya?”
“AJARIN AKU MATEMATIKA. AJARIN AKU, PUHLEASE.. PUHLEASEEE MONIKA, PUHLEASEEE...”
“Yatapi, bangun dulu dong.”
“Cungguh? Monika enelan mau ngajarin aku matematika?”
“Tapi kan aku ujian kalkulus. Kita udah beda, Don. Kita beda.” Balas Monika lagi.
“GAPAPA MOCI.. GAPAPA. DENGAN BELAJAR BARENG KAMU, KINERJA OTAK AKU YANG TELAH LAMA MENGALAMI KEMUNDURAN, BISA BERFUNGSI KEMBALI DENGAN BAIK.”
“Iya-iya, tapi bangun dulu dong.”
Yes. Modus laknat barusan mendarat dengan mulus. Sekarang hari Minggu siang, nanti sore gue mau belajar bareng Monika di kosannya. Alamat kosan dan nomor hapenya udah di tangan. Tapi namanya udah sedari dulu terpatri di hati.
.
====
Sore harinya, gue dateng ke kosannya. Banyak cowok di sana. Ada yang datengnya berisik banget. ‘Diinnn.. dinnn.. Dinnn!!!’ Jazz putih emang berisik banget. Lalu ada ‘Dinnn.. Dindin badindin ouww dindin badindiiin.." Oke, yang barusan bukan suara klakson, itu soundtrack tari piring.
Jujur. Ini kelebihan gue sebagai playboy. Dari banyak cowok-cowok di sana yang pada ngapelin temen-temennya Monika, cuma gue yang nggak bersuara. Gue yang paling cepet. Gue yang paling mengagetkan. Paling menghentak.
Gue naik GL-pro. Gerakan lutut profesional.
Pendekar tanpa bayangan.
Jalan kaki.
Di depan pagar kosnya, gue SMS dia supaya keluar di dalem. Eh maksud gue, supaya keluar dari kamarnya. Beberapa menit kemudian, Monika keluar nyambut gue dengan muka mahasiswi yang belum ketemu nasi seharian. Mules campur tragis. Tapi buat gue, itu senyuman yang indah sekali.
Monika ini di mata gue ideal banget. Di matanya, ya gue yang nggak ideal.
Ya, biasalah.. cewek.
Lekukan tubuhnya itu, loh. Gue kalau ngeliat dia, yang tadinya mules udah diujung tanduk jadi ketarik lagi ke dalem. Ilang mulesnya. Berkah banget. Mocii i’m in Love.. Lalu dia pun nyuruh gue masuk. Sumpah, gue langsung mikir, “Gue disuru masuk kemana? Ke kamarnya? Ke hatinya? Apa ke kamar mandinya?”
Sore itu dia lagi stylish abis. Dia hanya mengenakan tanktop putih dan celana gemes. Jujur, gue sebagai lelaki normal mikirnya yang enggak-enggak dong. “Hanjir, Moci seksi banget! Gue nggak tahan! Kenapa dia seksi banget?! Kenapa Mpok Nori nggak seksi?! Rupiah menguat berapa poin sejak kuartal minggu lalu!?”
Kotor banget.
“Don, mau minum apa?” Tanya Monika sambil senyum dan berjalan molek mendekati gue.
“Eumm, minum dari pinggiran hatimu juga boleh kok.” gue spontan.
“Yaudah, gak usah minum ya.”
Ini di luar ekspektasi. Jarak antara kos gue dengan kos Monika ada kali tiga kilo. Dan gue jalan kaki..
Nyesek.
“Aku becanda, loh. Kopi aja ya.”
“ H-a-h-a. Iya boleh deh Moci.” Sialan..
------ 40 menit kemudian---------
“Ini kopinya ya, maaf ya lama.” Monika akhirnya datang sambil membawa dua cangkir kopi.
“Oh gapapah kok, baru juga tadi, sebentar kok..” gue spontan.
“ Ah, masa sih sebentar? Padahal aku tadi mandi dulu.”
Gue keselek kopi.
“ H-A-H-A-H-A, ah gapapa kok, mandi aja lagi, nanti aku tungguin kok.” Jawab gue sambul nahan mules.
“Tunggu ya, aku ambil dulu bahan buat UAS-nya."
Monika pun dengan cermat ngerjain latihan soal di handout kuliahnya. Gue juga dengan cermat menikmati setiap detail dirinya, dari dekat. Sesekali, gue ngeluarin tissue buat ngelap mimisan. Di cover handout mata kuliahnya, ada tulisan yang dibuat macem kaligrafi bertuliskan,
Ochi jegeg.
“Moci..”
“Ya?”
“Jegeg itu apa, sih?”
“Nggak kok, nggak. Bukan apa-apa kok, Don.” Monika langsung buru-buru nutup cover handout pake tangannya.
Gue yang pintar pun nggak lekas percaya. Gue curiga.
“Hayo, kasitau nggak.”
“Hehe.” Monika senyum-senyum.
Gue jarang-jarang ngeliat Monika senyum seperti ini. Iya, semenjak kali pertama pertemuan dengannya di lapangan ospek itu, gue udah tau kalau Monika memang cewek yang termasuk kategori dingin.
Gue langsung nelepon temen buat memastikan kecurigaan ini. “Halo Yogi, ini Don. Jegeg itu apa, ya?”
“Okesip, tengkiu ya, Gi.” Gue nutup telepon.
Oh gitu. Kata Yogi, jegeg itu bahasa Bali. Dapat diartikan manis, cantik, atau ayu. Hmm, lalu maksud Monika nulis di cover handout-nya ‘Ochi jegeg’ itu apa? Kok dia jadi mirip kek alay? Ywd c.
“Moci, kamu nggak perlu nulis itu, kamu udah jegeg kok.”
“Hehe." Monika cengengesan.
*DUKK!!*
Kepala gue dikepruk pake tempat pensilnya. Monika hardcore juga.
Sejam berlalu, monika udah ngerjain beberapa soal latihannya, sedangkan gue belum ngerjain apa-apa. Monika bertanya kenapa gue nggak ngerjain soal latihan itu. Gue bilang aja kalau nggak ngerti. Monika yang awalnya duduk hadap-hadapan sama gue, tiba-tiba duduk di samping gue. Deket banget. Dengan lembut dia bertanya,
“Kamu nggak ngerti yang mana, Don?”
“Aku nggak ngerti sama yang ini.” gue nunjuk ke hati.
*DUKK!!*
Kepala gue dikepruk lagi. Sekali lagi gue kena kepruk, kepala gue bisa bocor.
“Serius, Don. Besok udah ujian.”
Sifat “lembutnya” bikin gue jadi pengin belajar serius. Walau dia nggak bener-bener paham sama materi UAS gue, dia tetap sabar mau ngajarin. Setiap gue salah ngejawab soal, kepala gue dikepruk. Setiap gue ngegombalin dia di sela-sela ngerjain soal, kepala gue dikepruk. Setiap gue mencoba untuk nyium dia di setiap kesempatan dalam kesempitan, kepala gue lagi-lagi kena kepruk. Gue bener-bener jatuh cinta sama Monika.
Beberapa menit kemudian, ambulance datang. Gue dilarikan ke UGD. Kepala gue bocor.
Gue jatuh cinta.
...
Nggak kerasa udah lebih dari lima jam gue belajar sama Monika. Ini juga udah malam. Lagi pula jadwal UAS matematika gue jam 07.00 pagi. Gue harus istirahat dan gue juga nggak enak ganggu Monika lebih dari ini. Gue pamit pulang. Di depan pagar kosannya, tiba-tiba Monika mengucap sesuatu yang menghentikan langkah kaki.
“Don, kamu lucu juga ya.”
“Moci, kamu jegeg juga ya.” Balas gue di depan pagar kosannya.
Gue dan dia cuma bisa tertawa kecil.
Diubah oleh donnjuann 06-08-2013 19:27
0

