Aku menatap langit biru yang cerah siang ini. Awan putih berarak-arak diterpa angin semilir. Hari yang cerah untuk jiwa yang terasa begitu sepi. Aku berdiri di jalanan kampus, matahari bersinar cerah dan panas. Hatiku sempit sehabis bimbingan, memandang jauh ke depan, terasa sepi, kosong. Dosbing marah-marah karena skripsiku salah, pacar marah-marah karena aku tak mau mengalah, maka deritaku komplit sudah.

Aku masih berdiri memandang langit yang tertutup rimbun pepohonan kampus. Mataku perih semalaman tak tidur karena dikejar deadline bimbingan yang berakhir tragis seperti hari ini, tak seperti yang kuharapkan. Masih terngiang-ngiang kata-kata dosbingku,”Teori anda masih kurang valid, harus dilengkapi. Data anda salah, metode anda keliru, apa lah, ini lah..” Masih terngiang-ngiang kata-kata pacarku,”kalau kamu gak bisa nerima aku kayak gini, berarti kamu gak nerima apa adanya diriku!”

Aku menatap langit. Apa kabarmu Hanum? Apa kau baik-baik saja disana? Aku lelah dengan semuanya. Angin berhembus, dedaunan berjatuhan. Suara gemerisik terdengar pelan. Sudah berapa lama aku melupakanmu. Ketika hal-hal berakhir buruk, akhirnya kembali juga teringat padamu.

Aku melangkahkan kaki pulang ke kos, lelah dan butuh istirahat. Samar-samar kulihat seorang gadis duduk di gazebo kampus, tampak memandang kesini. Sesosok yang sepertinya aku mengenalnya, seorang teman dekat kawanku; Ai. Sepertinya dia melihatku, tapi aku membuang muka pura-pura tak tahu sambil melihat ke bawah. Menghitung-hitung langkah kakiku. Klasik, mengingatkanku bagaimana aku berusaha menjauhimu Hanum. Hatiku kalut, aku hanya tak ingin melukai perasaannya dengan tersenyum masam seperti menyapa sambil berkata ringan, “kabarku tidak baik sekali, jadi kau jangan sok-sokan menyapaku dengan sok akrab.” Itu jahat sekali bukan?

Aku pernah dengar tentang dia yang terluka oleh seorang lelaki, ketika mendengar ceritanya hatiku rasanya ikut terbakar. Tapi disisi lain, hal itu mengingatkanku pada perbuatanku sewaktu dulu. Ketulusan gadis itu yang kadang membuatku trenyuh, betapa lelaki tersebut tak tahu terima kasih. Sama sepertiku dulu. Dan entah kenapa, aku teringat padamu, lagi.

Jalanku berbelok, untung tak perlu lewat gazebo tersebut yang masih jauh. Jadi aku tak perlu menyapanya karena entah kenapa aku agak-agak malas ketemu dia saat ini. Mungkin karena aku teringat padamu dan khawatir salah menyapa.
Tidak lucu bukan, bila aku berkata,”Hai Hanum, selamat siang..lagi ngapain digazebo, Hanum?”
Padahal seharusnya,”Hai Riyani, selamat siang. Lagi ngapain di gazebo, Riyani?”