TS
prabuanom
beberapa simbolisasi ubo rampe dan falsafahnya
ubo rampe atau piranti sesajian ada banyak sekali, misal bunga bungaan. kue, janur, dan banyak lagi lainnya. semua pasti memiliki makna kenapa dipakai, dipilih dan dipergunakan sebagai sarana ritual. saya ingin membahasanya satu persatu, tetapi mohon maaf tidak bisa urut karena kebanyakan ilmunya dari hasil googling. jadi kalo ada yang ingin menambahkan sangat dipersilakan sekali untuk ikut menambahkan atau mendiskusikannya. mari kita mulai membahasnya sedikit demi sedikit falsafah dan simbolisasi dalam ubo rampe, piranti dan peralatan, atau ritualnya itu sendiri. sebagai bagian dari khazanah budaya kita 


daftar isi:
note:
kebanyakan disini berbentuk copasan artikel. makna filosofinya ada dalam penjelasan artikel tersebut. tidak disajikan mentah inti per inti. jadi jangan merasa segan untuk membaca.



daftar isi:
- halaman 1
falsafah simbolisasi janur kuning
falsafah angka tujuh dalam sesajen
bubur sajen malam satu suro oleh mbah buhitoz
filosofi canang oleh mbah angsip
- halaman 2,
falsafah simbolisasi kupat/ketupat
makna kupat dari budaya sunda dan betawi dr kang angel
seri falsafah makna kembang setaman
makna kembang kantil
makna kembang melati
makna kembang kenongo
makna kembang mawar
kembang telon, kembang boreh, kembang tujuh rupa
upacara ritual king ho ping dan sesajennya
mengenai angka 7 tambahan dr mbah empheldum
- halaman 3,
tambahan makna kupat oleh mbah empel
upacara panggih adat dan sesajennya
makna kepyok kembang mayang yg menyertai keluarnya pengantin wanita
lempar sirih balangan gantal dan maknanya
makna ritual wijikan dan memecah telur
berjalan gandeng jari kelingking, tampa kaya, dan dahar klimah
ubo rampe bagi ibu hamil yang susah melahirkan bersama maknanya by kang buhitoz
tambahan makna angka tujuh oleh mbah detiklink
falsafah, makna, simbolisasi roti buaya dari betawi
falsafah, simbolisasi, makna kue keranjang
falsafah simbolisasi baju adat pernikahan aceh
selamatan mitoni, tingkepan, ubo rampe serta makna nya
- halaman 4,
makna sajen dari budaya sunda oleh kang angel
falsafah makna tumpeng
hiasan pernikahan ala surakarta dan maknanya
falsafah makna dari tradisi ojung
falsafah upacara pelet kandhung dari madura
- halaman 5,
tambahan makna simbolisasi hiasan pernikahan oleh mbah grubyuk
tambahan filosofi kupat oleh kang angel
makna, simbolisasi, sajen muludan dan pelal cirebon oleh kang angel
makna filosofi sintren oleh kang angel
makna dan filosofi yang terkandung dalam reog ponorogo
kesenian reak cianjur 1 oleh kang angel
kesenian reak cianjur 2 oleh kang angel
- halaman 6,
makna bagian ubo rampe ritual jawa
filosofi makna tedak sinten
falsafah simbolisasi kesenian bantengan
antara perkutut dan falsafah jawa
sekilas falsafah keris
falsafah, simbolisasi nyadran dan sesajinya
makna ritual chau da fa hui serta perlengkapan ritualnya
filosofi poleng by bli patih djelantik
- halaman 7,
falsafah kirab agung tapa bisu
hakekat upacara tumpak landhep bali
makna tuturiagina andala, sesaji dr pulau di makassar
filosofi sedekah laut pocosari dan ubo rampenya
Peusijuek dalam budaya aceh oleh mbah agung
erau kutai kartanegara part 1
erau kertanegara part 2
- halaman 8,
falsafah ritual ya qowiyu
ya qowiyu dan makna apem
falsafah makna tayuban
falsafah tari topeng cirebon part 1
falsafah tari topeng cirebon part 2
- halaman 9,
falsafah gamelan
tradisi cowongan
tahap pelaksanaan cowongan dan sesajinya part 1
tahapan cowongan part 2
selamatan tingkep dan sesajinya oleh kang buhitoz
tumpeng robyong dalam slamatan tingkep oleh kang buhitoz
tambahan tentang tumpeng oleh kang buhitoz
- halaman 10,
menempati rumah baru by kang buhitoz
tarawangsa makna dan simbolisnya oleh kang buhitoz part 1
tarawangsa makna dan simbolnya oleh kang buhitoz part 2
tarawangsa makna dan simbolnya oleh kang buhitoz part 3
tarawangsa makna dan simbolisnya oleh kang buhitoz part 4
tambahan tarawangsa makna saji oleh papi angel
kebo bule keraton surakarta
upacara membangun pura
menanam kebo perjaka oleh kang buhitoz
- halaman 11,
kirab tebu temanten
tanam kepala kerbau awal musim giling tebu
tanam kepala kerbau by papi angel
kepala kerbau by kang buhitoz
pertamanan bali
filosofi tanaman dan penempatannya bali
aspek religi pertamanan bali
aspek usada pertamanan bali
sifat air dalam ritual kungkum by kang buhitoz
jaranan
- halaman 12,
sesaji dalam kesenian jaranan
sesaji cok bakal
sesaji buceng mas
- halaman 13,
slamatan kematian
makna sajen dalam ritual kematian
simbolisasi cermin
mabeakala adat bali
simbolisasi meru
- halaman 14
sajen mengenai babaran
sapu gerang
filosofi makna wadah daun pisang, picuk takir dll
makna takir
makna takir 2
takir pontang
makna sudi
- halaman 15
bedug kentongan makna
upacara wiwitan
pis bolong bali
pis bolong bali 2
makna festival dongzhi onde
pisang, menjari seperti berdoa
- halaman 16
badik
tradisi bebuang suku bugis kalimantan
upacara mapalili suku bugis part 1
upacara mappalili suku bugis part 2
upacara mappalili suku bugis part 3
upacara mappalili suku bugis part 4
note:
kebanyakan disini berbentuk copasan artikel. makna filosofinya ada dalam penjelasan artikel tersebut. tidak disajikan mentah inti per inti. jadi jangan merasa segan untuk membaca.
Diubah oleh prabuanom 10-07-2013 13:59
0
136.9K
327
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Budaya
2.5KThread•1.6KAnggota
Tampilkan semua post
balaprabu
#174
Tahap-tahap Penyelenggaraan Cowongan
1. Tahap Persiapan a. Mencuri Irus atau Siwur Tahap persiapan dilakukan dengan mencuri irus atau siwur yang akan dijadikan sebagai properti ritual cowongan. Irus tersebut dicuri dari sebuah rumah yang memiliki pintu di bawah pompok (bubungan). Rumah seperti ini menurut kepercayaan masyarakat Banyumas paling mudah dilalui oleh roh halus, termasuk bidadari yang diharapkan datang untuk menurunkan hujan bagi seluruh umat manusia.
b. Irus atau Siwur Bertapa Irus atau siwur yang telah berhasil dicuri, kemudian ditanjapkan di sebuah batang pohon Pisang Raja. Masyarakat di Desa Plana menybutnya siwur atau irus ini dibiarkanb bertapa. Masa bertapa bagi irus atau siwur bisanya selama tujuh hari tujuh malam, dimulai sejak malam Selasa Kliwon hingga malam Selasa Pahing.
c. Rialat Para calon peraga cowongan diharuskan melakukan rialat atau nglakoni, yaitu perilaku mengurangi makan dan tidur. Rialat bisa dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: tirakat, ngasrep, ngebleng, ngrowot (tidak makan wohing dami atau padi), puasa, pati geni (tidak makan makanan yang di masak pakai api dan berada dalam ruang tertutup tanpa penerangan api), dan lain-lain. Rialat dilakukan selama tiga hari pada hari-hari yang memiliki jem 40, yaitu hari Rabu Pon hingga Jumat Kliwon. Dalam perhitungan Jawa, hari Rabu memiliki jem tujuh(7), Pon (7), Kamis (8), Wage (4), Jumat (6), dan Kliwon (8). Keseluruhan jem ketiga hari itu berjumlah 40. menurut kepercayaan mereka, rialat pada hari-hari yang memiliki jumlah jem 40 sama dengan melakukan rialat selama 40 hari.
d. Peraga dalam Keadaan Suci Para peraga cowongan diharuskan dalam keadaan suci. Yang dimaksud dengan suci di sini adalah tidak sedang haid (menstruasi), nifas atau habis melakukan hubungan seksual. Dengan demikian selama tiga hari hingga pelaksanaan cowongan, para peraga berpantang melakukan atau mengalami hal-hal yang menjadikannya tidak suci.
e. Merias Properti Properti berupa irus atau siwur sebelum dijadikan sebagai properti terlebih dahulu dirias menyerupai seorang perempuan. Pada bagian tempurung, diberi rumbai-rumbai dari ijuk dan janur (daun kelapa yang masih muda) mirip dengan rambut dan aksesories kepala. Bagian yang tidak tertutup ijuk dan janur, diolesi arang dan apu atau enjet (kapur sirih), dibuat menyerupai muka manusia. Pada bagian gagang (tempat pegangan) diberi kain warna-warni yang dipotong-potong, menyerupai baju beraneka warna.
f. Busana Dlam pelaksanaan cowongan, tidak ada ketentuan pakaian bagi para peraga cowongan. Para peraga cowongan memakai pakaianyang biasa dipakai sehari-hari (tidak ada ketentuan tertentu). Biasanya para peraga cowongan juga tidak merias wajahnya, mereka tampil alami sebagaimana biasanya sehari-hari.
2. Tahap Pelaksanaan Cowongan
a. Peraga Cowongan Peraga cowongan hanya dilakukan oleh kaum wanita. Kaum pria tidak diijinkan melakukan ritual ini. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, yang datang dan merasuk ke dalam properti cowongan adalah bidadari, sehingga kaum laki-laki tidak diijinkan untuk memegang properti itu. Peraga tidak ditentukan jumlahnya. Dalam setiap kesempatan memungkinkan berbeda-beda dalam hal jumlah peraga, sesuai dengan jumlah orang yang siap mengikuti ritual cowongan. Oleh karena itu, pelaksanaan cowongan dapat dilakukan oleh satu orang, dua orang, lima orang atau berapapun jumlah orang (wanita suci) yang hadir. Umur peraga cowongan tidak ditentukan. Berapapun umurnya, baik tua maupun muda, sudah menikah ataupun masih gadis tidak jadi soal yang penting mampu memeragakan cowongan dan dalam keadaan suci. Tetapi biasanya sebagian besar peraga cowongan adalah wanit yang sudah tua atau dewasa.
b. Waktu dan Tempat Cowongan Cowongan biasanya dilaksanakan pada setiap terjadinya musim kemarau. Dalam perhitungan kalender Jawa musim kemarau terjadi mulai mangsa Saddha ( sekitar bulan Mei) sampai dengan mangsa kalima (sekitar bulan Oktober). Biasanya pada mangsa Katelu (Agustus) tanah-tanah pertanian sudah mulai mengering dan mulai terjadi kekurangan persediaan air tanah. Puncak kekeringan biasanya dimulai pada mangsa kapat (September) sampai dengan mangsa kalima (Oktober). Apabila pada mangsa kalima belum juga turun hujan maka penduduk akan semakin menderita kekurangan air. Ritual cowongan biasanya dilaksanakan pada mangsa Kapat mejelang mangsa Kalima yaitu sekitar bulan September. Dalam pranata mangsa Jawa, mangsa Kapat berumur 24 hari mulai tanggal 19 September dan berakhir pada tanggal 13 Oktober. Cowongan biasanya dilaksanakan pada paertengahan mangsa Kapat atau awal mangsa Kalima. Pelaksanaan cowongan tidak membutuhkan tempat tertentu dengan persyaratan-persyaratan yang terlalu sulit. Ritual cowongan biasanya dilaksanakan di halaman rumah penduduk yang luas dan memungkinkan. Pelaksanaan cowongan dilaksanakan pada malam hari. Untuk kali pertama, ritual ini dilaksanakan pada malam Jumat Kliwon. Pelaksanaan selanjutnya dilaksanakan pada setiap malam Jumat (seminggu sekali). Menurut kepercayaan masyarakat di Desa Plana, cowongan dilaksanakan selama tujuh kali. Namun demikian apabila sebelum tujuh kali sudah datang hujan, maka ritual tidak dilanjutkan. Sedangkan apabila sudah dilaksanakan selama tujuh kali tidak juga turun hujan, maka dapat dilakukan lagi dengan menggunakan properti yang berbeda dan harus dimulai dari awal lagi sejak tahap persiapan.
c. Sesaji Dalam pelaksanaan ritual cowongan biasanya terdapat berbagai macam sesaji. Beberapa macam sesaji yang biasa dijumpai dalam pelaksanaan ritual ini, antara lain: kemenyan dupa, kembang telon (bunga tiga warna: kenanga, mawar dan kantil) dan jajan pasar. Kemenyan dupa dibakar sebelum pelaksanaan upacara oleh salah seorang peraga cowongan. Biasanya orang yang membakar kemenyan dupa adalah peraga yang paling senior atau paling mengetahui perihal cowongan. Pada saat kemenyan dupa mulai terbakar dan asap mulai mengepul, properti cowongan diletakkan di atas bara dupa agar terkena asap dupa. Sesaji yang lain diletakkan di sekitar arena sebagai kelengkapan pelaksanaan upacara.
d. Pelaksanaan Cowongan Para peraga cowongan secara bersama-sama memegang bagian pegangan properti irus atau siwur dengan tangan kanan. Bersamaan dengan itu, mereka menyanyikan sebuah tembang yang tidak lain adalah doa yang ditujukan kepada Sang Penguasa alam agar hujan segera turun. Tembang tersebut dengan teks sebagai berikut:
Sulasih sulanjana kukus menyan ngundhang dewa Ana dewa ndaning sukma widadari tumuruna Runtung-runtung kesanga sing mburi karia lima Leng-leng guleng, gulenge somakaton.
Gelang-gelang nglayoni, nglayoni putria ngungkung Kacang dawa si kanthi di kaya wite Kanthi angle lirang nini gelang gendhongan nini gelang gendhongan
Anjularet pilise kunir apu Manglong-manglong ngenteni paman juragan Gendhong pisan aku paman, emban pisan aku paman
Anjulanthir ngenthir sabuke seblakena tek anggone tenunan tek anggone tenunan
ayam tukung mrekungkung nang wuwungan dede-dede ayam tukung kaki dhuda njaluk ambung kaki dhuda njaluk ambung
ayam walik mrekithik nang wuwungan dede-dede aya walik kaki dhudha pekalongan kaki dhudha pekalongan
cek incek raga bali rog-rog asem kamilaga aja lunga-lunga laki aja ngambung pipi kiwa sing kiwa kagungan dewa sing tengen kagungan dalem
cek incek raga bali rogrog asem kamilega aja lunga-lunga laki ana ganjur loro-loro ganjure si lara sati nurunaken udhan
lutung-lutunga ngilo ngiloa njaluk udhan reg-regan rog-rogan reg-regan rog-rogan
ana kolang kaling mateng di tutur udhan-udhan reg-regan rog-rogan reg-regan rog-rogan
Ana manuk uruk-uruk udhan sebiyang-biyang dandan kinang Mantu rika agi teka aja suwe-suwe ndalan Sedhek keri dolan Sedhek keri dolan
Sembung-sembung rege mencroka kayu gudhe Ure-ure rambute Ure-ure rambute
Embok nini gandhrung ana yauga sebumbung ndalu Dhing-dhing por anu ngampor anu ngampor suluh dhuwur Babadana tilasana go pranti ngumah petagon
Ler-iler tandhure wis sumilir Tek ijo royo-royo Tek sengguh penganten anyar Tek sengguh penganten anyar
Bocah pangon paculen gumuk kidul Atos-atos dipaculi tandurane kacang ijo Sopito oliho bojo Sopito oliho bojo
Kijing mati ngilari suta ngising Anglilire Sikijing sinawa seba Sikijing sinawa seba
Kembang duren bur kolang-kalingan mega riem-riem Kalingan bathikan lonthang kalingan limaran kembang Kentrng-kentrung sirama sira nglilira Kembang kapas mbok emas ditagih utange beras Ela-ela cendhana mbok ladrang kacir
1. Tahap Persiapan a. Mencuri Irus atau Siwur Tahap persiapan dilakukan dengan mencuri irus atau siwur yang akan dijadikan sebagai properti ritual cowongan. Irus tersebut dicuri dari sebuah rumah yang memiliki pintu di bawah pompok (bubungan). Rumah seperti ini menurut kepercayaan masyarakat Banyumas paling mudah dilalui oleh roh halus, termasuk bidadari yang diharapkan datang untuk menurunkan hujan bagi seluruh umat manusia.
b. Irus atau Siwur Bertapa Irus atau siwur yang telah berhasil dicuri, kemudian ditanjapkan di sebuah batang pohon Pisang Raja. Masyarakat di Desa Plana menybutnya siwur atau irus ini dibiarkanb bertapa. Masa bertapa bagi irus atau siwur bisanya selama tujuh hari tujuh malam, dimulai sejak malam Selasa Kliwon hingga malam Selasa Pahing.
c. Rialat Para calon peraga cowongan diharuskan melakukan rialat atau nglakoni, yaitu perilaku mengurangi makan dan tidur. Rialat bisa dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: tirakat, ngasrep, ngebleng, ngrowot (tidak makan wohing dami atau padi), puasa, pati geni (tidak makan makanan yang di masak pakai api dan berada dalam ruang tertutup tanpa penerangan api), dan lain-lain. Rialat dilakukan selama tiga hari pada hari-hari yang memiliki jem 40, yaitu hari Rabu Pon hingga Jumat Kliwon. Dalam perhitungan Jawa, hari Rabu memiliki jem tujuh(7), Pon (7), Kamis (8), Wage (4), Jumat (6), dan Kliwon (8). Keseluruhan jem ketiga hari itu berjumlah 40. menurut kepercayaan mereka, rialat pada hari-hari yang memiliki jumlah jem 40 sama dengan melakukan rialat selama 40 hari.
d. Peraga dalam Keadaan Suci Para peraga cowongan diharuskan dalam keadaan suci. Yang dimaksud dengan suci di sini adalah tidak sedang haid (menstruasi), nifas atau habis melakukan hubungan seksual. Dengan demikian selama tiga hari hingga pelaksanaan cowongan, para peraga berpantang melakukan atau mengalami hal-hal yang menjadikannya tidak suci.
e. Merias Properti Properti berupa irus atau siwur sebelum dijadikan sebagai properti terlebih dahulu dirias menyerupai seorang perempuan. Pada bagian tempurung, diberi rumbai-rumbai dari ijuk dan janur (daun kelapa yang masih muda) mirip dengan rambut dan aksesories kepala. Bagian yang tidak tertutup ijuk dan janur, diolesi arang dan apu atau enjet (kapur sirih), dibuat menyerupai muka manusia. Pada bagian gagang (tempat pegangan) diberi kain warna-warni yang dipotong-potong, menyerupai baju beraneka warna.
f. Busana Dlam pelaksanaan cowongan, tidak ada ketentuan pakaian bagi para peraga cowongan. Para peraga cowongan memakai pakaianyang biasa dipakai sehari-hari (tidak ada ketentuan tertentu). Biasanya para peraga cowongan juga tidak merias wajahnya, mereka tampil alami sebagaimana biasanya sehari-hari.
2. Tahap Pelaksanaan Cowongan
a. Peraga Cowongan Peraga cowongan hanya dilakukan oleh kaum wanita. Kaum pria tidak diijinkan melakukan ritual ini. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, yang datang dan merasuk ke dalam properti cowongan adalah bidadari, sehingga kaum laki-laki tidak diijinkan untuk memegang properti itu. Peraga tidak ditentukan jumlahnya. Dalam setiap kesempatan memungkinkan berbeda-beda dalam hal jumlah peraga, sesuai dengan jumlah orang yang siap mengikuti ritual cowongan. Oleh karena itu, pelaksanaan cowongan dapat dilakukan oleh satu orang, dua orang, lima orang atau berapapun jumlah orang (wanita suci) yang hadir. Umur peraga cowongan tidak ditentukan. Berapapun umurnya, baik tua maupun muda, sudah menikah ataupun masih gadis tidak jadi soal yang penting mampu memeragakan cowongan dan dalam keadaan suci. Tetapi biasanya sebagian besar peraga cowongan adalah wanit yang sudah tua atau dewasa.
b. Waktu dan Tempat Cowongan Cowongan biasanya dilaksanakan pada setiap terjadinya musim kemarau. Dalam perhitungan kalender Jawa musim kemarau terjadi mulai mangsa Saddha ( sekitar bulan Mei) sampai dengan mangsa kalima (sekitar bulan Oktober). Biasanya pada mangsa Katelu (Agustus) tanah-tanah pertanian sudah mulai mengering dan mulai terjadi kekurangan persediaan air tanah. Puncak kekeringan biasanya dimulai pada mangsa kapat (September) sampai dengan mangsa kalima (Oktober). Apabila pada mangsa kalima belum juga turun hujan maka penduduk akan semakin menderita kekurangan air. Ritual cowongan biasanya dilaksanakan pada mangsa Kapat mejelang mangsa Kalima yaitu sekitar bulan September. Dalam pranata mangsa Jawa, mangsa Kapat berumur 24 hari mulai tanggal 19 September dan berakhir pada tanggal 13 Oktober. Cowongan biasanya dilaksanakan pada paertengahan mangsa Kapat atau awal mangsa Kalima. Pelaksanaan cowongan tidak membutuhkan tempat tertentu dengan persyaratan-persyaratan yang terlalu sulit. Ritual cowongan biasanya dilaksanakan di halaman rumah penduduk yang luas dan memungkinkan. Pelaksanaan cowongan dilaksanakan pada malam hari. Untuk kali pertama, ritual ini dilaksanakan pada malam Jumat Kliwon. Pelaksanaan selanjutnya dilaksanakan pada setiap malam Jumat (seminggu sekali). Menurut kepercayaan masyarakat di Desa Plana, cowongan dilaksanakan selama tujuh kali. Namun demikian apabila sebelum tujuh kali sudah datang hujan, maka ritual tidak dilanjutkan. Sedangkan apabila sudah dilaksanakan selama tujuh kali tidak juga turun hujan, maka dapat dilakukan lagi dengan menggunakan properti yang berbeda dan harus dimulai dari awal lagi sejak tahap persiapan.
c. Sesaji Dalam pelaksanaan ritual cowongan biasanya terdapat berbagai macam sesaji. Beberapa macam sesaji yang biasa dijumpai dalam pelaksanaan ritual ini, antara lain: kemenyan dupa, kembang telon (bunga tiga warna: kenanga, mawar dan kantil) dan jajan pasar. Kemenyan dupa dibakar sebelum pelaksanaan upacara oleh salah seorang peraga cowongan. Biasanya orang yang membakar kemenyan dupa adalah peraga yang paling senior atau paling mengetahui perihal cowongan. Pada saat kemenyan dupa mulai terbakar dan asap mulai mengepul, properti cowongan diletakkan di atas bara dupa agar terkena asap dupa. Sesaji yang lain diletakkan di sekitar arena sebagai kelengkapan pelaksanaan upacara.
d. Pelaksanaan Cowongan Para peraga cowongan secara bersama-sama memegang bagian pegangan properti irus atau siwur dengan tangan kanan. Bersamaan dengan itu, mereka menyanyikan sebuah tembang yang tidak lain adalah doa yang ditujukan kepada Sang Penguasa alam agar hujan segera turun. Tembang tersebut dengan teks sebagai berikut:
Sulasih sulanjana kukus menyan ngundhang dewa Ana dewa ndaning sukma widadari tumuruna Runtung-runtung kesanga sing mburi karia lima Leng-leng guleng, gulenge somakaton.
Gelang-gelang nglayoni, nglayoni putria ngungkung Kacang dawa si kanthi di kaya wite Kanthi angle lirang nini gelang gendhongan nini gelang gendhongan
Anjularet pilise kunir apu Manglong-manglong ngenteni paman juragan Gendhong pisan aku paman, emban pisan aku paman
Anjulanthir ngenthir sabuke seblakena tek anggone tenunan tek anggone tenunan
ayam tukung mrekungkung nang wuwungan dede-dede ayam tukung kaki dhuda njaluk ambung kaki dhuda njaluk ambung
ayam walik mrekithik nang wuwungan dede-dede aya walik kaki dhudha pekalongan kaki dhudha pekalongan
cek incek raga bali rog-rog asem kamilaga aja lunga-lunga laki aja ngambung pipi kiwa sing kiwa kagungan dewa sing tengen kagungan dalem
cek incek raga bali rogrog asem kamilega aja lunga-lunga laki ana ganjur loro-loro ganjure si lara sati nurunaken udhan
lutung-lutunga ngilo ngiloa njaluk udhan reg-regan rog-rogan reg-regan rog-rogan
ana kolang kaling mateng di tutur udhan-udhan reg-regan rog-rogan reg-regan rog-rogan
Ana manuk uruk-uruk udhan sebiyang-biyang dandan kinang Mantu rika agi teka aja suwe-suwe ndalan Sedhek keri dolan Sedhek keri dolan
Sembung-sembung rege mencroka kayu gudhe Ure-ure rambute Ure-ure rambute
Embok nini gandhrung ana yauga sebumbung ndalu Dhing-dhing por anu ngampor anu ngampor suluh dhuwur Babadana tilasana go pranti ngumah petagon
Ler-iler tandhure wis sumilir Tek ijo royo-royo Tek sengguh penganten anyar Tek sengguh penganten anyar
Bocah pangon paculen gumuk kidul Atos-atos dipaculi tandurane kacang ijo Sopito oliho bojo Sopito oliho bojo
Kijing mati ngilari suta ngising Anglilire Sikijing sinawa seba Sikijing sinawa seba
Kembang duren bur kolang-kalingan mega riem-riem Kalingan bathikan lonthang kalingan limaran kembang Kentrng-kentrung sirama sira nglilira Kembang kapas mbok emas ditagih utange beras Ela-ela cendhana mbok ladrang kacir
0