Story
Pencarian Tidak Ditemukan
KOMUNITAS
link has been copied
4959
Lapor Hansip
04-08-2021 12:03

SUMUR PATI [Pageblug Di Desa Kedhung Jati 2]





SUMUR PATI
(Pageblug Di Desa Kedhung Jati 2)

(TAMAT)


SUMUR PATI [Pageblug Di Desa Kedhung Jati 2]
gambar diambil dari berita.yahoo.com dengan sedikit perubahan



Sinopsis





Part 1 : Firasat



Sambil bersiul siul kecil Lintang menyusuri jalanan yang gelap dan sepi itu. Kedua tangannya ia masukkan kedalam saku jaket yang ia kenakan dan kancingkan rapat rapat, untuk menahan hawa dingin khas pedesaan yang terasa menggigit sampai ke tulang.

Belum juga setahun ia tinggal di kota untuk menuntut ilmu, namun saat pulang untuk berlibur ke desa seperti sekarang ini, ia sudah merasa sedikit asing dengan suasana desa tempat ia dilahirkan dan dibesarkan itu.

Ya. Tegal Salahan yang sekarang sudah bukan Tegal Salahan yang dulu lagi. Tak ada lagi kesan angker maupun mistis yang dulu selalu meneror warganya disetiap waktu. Beberapa warga bahkan mulai berani mendirikan rumah di area yang dulu dikenal sebagai sarangnya para dedhemit itu. Jalanan yang dulu berbatu, kini juga sudah dicor beton, meski sekarang permukaan jalan itu mulai terlihat kusam dan berlumut karena jarang dilalui kendaraan. Hanya para petani yang setia melewati jalanan itu untuk pergi ke sawah atau ladang mereka.

Lampu lampu penerangan jalan juga sudah dipasang di beberapa titik, hingga jalanan itu tak segelap dulu. Hanya di area sekitar Buk (jembatan kecil) yang berada diantara tanjakan dan turunan jalan itu saja yang masih terlihat gelap dan suram. Entah mengapa, meski sudah beberapa kali dipasang lampu penerangan, selalu saja tak bisa bertahan lama. Hanya dalam hitungan hari, lampu yang dipasang di sekitaran Buk itu akan rusak dan mati. Mungkin para 'penghuni' Buk itu memang tak suka dengan suasana yang terang, entahlah!

Lintang terus melangkah, sesekali menoleh ke kiri dan ke kanan, sekedar menikmati suasana desa yang sudah sekian lama ia rindukan. Tegal Salahan, memang banyak menorehkan kenangan. Semenjak kecil, ia sering bermain main di tempat ini bersama Wulan, salah satu sahabat yang sampai saat ini masih setia berteman dengannya.

Dan karena Wulan juga, malam itu Lintang memaksakan diri untuk menembus gelapnya malam, menuju pondok kayu yang kini mulai nampak di kejauhan. Ia sudah berjanji untuk mengembalikan buku yang beberapa hari lalu ia pinjam dari gadis itu. Sialnya, ia nyaris lupa dengan janjinya, dan baru ingat saat tadi ia sudah bersiap untuk beranjak ke pembaringan. Janji tetaplah janji, ucapan yang harus ia tepati. Apalagi janji kepada gadis bernama Wulan itu. Jika sampai ia tak menepatinya, bisa fatal akibatnya. Lintang sudah hafal betul dengan sifat sahabatnya yang satu itu.

"Tok...! Tok...! Tok...!"Assalamu alaikum!" Lintang mengetuk pintu dan mengucap salam begitu sampai di pondok kayu yang berada di tengah tengah ladang jagung itu. Pondok yang kondisinya masih sama dengan beberapa puluh yang lalu saat ia masih kanak kanak dan sering bermain kesini. Ah, Pakdhe Joko memang orang yang nyentrik. Ayahnya Wulan itu masih mempertahankan bentuk bangunan kayu peninggalan orang tuanya yang terkesan unik itu.

"Tok...! Tok...! Tok...! Lan, sudah tidur to?" kembali Lintang mengetuk, setelah beberapa saat menunggu namun tak ada jawaban. Sepi! Tak ada tanda tanda kalau ada orang didalam pondok itu.

"Tok...! Tok...! Tok...! Wulaaannnn...!" Lintang kembali mengetuk sambil memanggil nama sang sahabat dengan gaya yang khas seperti saat mereka masih kecil dulu. Sepi! Tak ada sahutan. Juga tak ada tanda tanda kalau ada orang yang bergerak dari arah dalam pondok untuk membuka pintu.

"Apakah mereka sedang pergi?" gumam Lintang sambil memperhatikan suasana di sekelilingnya. Lampu bohlam berkekuatan lima watt yang tergantung di teras pondok itu sudah cukup untuk menerangi suasana di sekitar pondok. Jeep tua berwarna hitam milik Pakdhe Joko yang kini telah diwariskan kepada Wulan nampak terparkir di halaman pondok.

"Ah, mungkin mereka sudah pada tidur, kalau pergi tentu mereka akan membawa mobil ini," gumam Lintang sambil beranjak untuk meninggalkan tempat itu. Sudah tiga kali ia mengucap salam, dan tak ada jawaban. Itu berarti kehadirannya di tempat itu sedang tidak diinginkan, begitu kepercayaan orang orang di desa ini.

"Krrrooaakkkk...!!!"

"Eh, suara apa itu?" langkah Lintang terhenti saat sampai di halaman pondok. Suara serak bernada rendah itu terdengar samar dari arah kanannya. Suara mirip orang tercekik, atau seperti suara sendawa orang yang kekenyangan sehabis makan.

"Krrrooaakkkk...!!!"

Kembali suara itu terdengar. Lintang menoleh dan tanpa sadar melangkah ke arah kanan, arah darimana suara itu berasal. Arah dimana rumah gedhong milik Pak Jarwo berada. Warga baru yang membeli sebagian lahan milik Pakdhe Joko itu belum lama ini membangun rumah gedhong itu. Bahkan bangunannya belum sempurna, masih ada beberapa bagian yang harus diselesaikan.

"Krrrooaakkkkk...!!!"

Kembali suara itu terdengar. Dan kini semakin jelas. Benar! Arahnya dari bangunan rumah Pak Jarwo. Tapi suara apa? Perasaan Lintang mulai tak enak. Tanpa sadar, ia meraba kalung benang lawe dengan bandul bungkusan kain kumal yang melingkar di lehernya. Ada hawa hangat yang menjalar dari kalung warisan Pak Modin itu. Dan hawa hangat itu terasa semakin kuat, seiring dengan langkahnya yang semakin mendekat ke rumah Pak Jarwo.

"Krrrooaakkkkk...!!!"

Lagi lagi suara itu terdengar. Lintang semakin mendekat ke arah rumah gedhong itu.

"Krrrooaakkkkk...!!!"

Arah belakang rumah, desis Lintang sambil melangkah memutar untuk menuju ke arah belakang rumah itu.

"Krrrooaakkkkk...!!!"

Sumur! Lintang yakin, suara itu berasal dari dalam sumur yang berada di kebun belakang rumah Pak Jarwo. Lintang tak sempat berpikir, semenjak kapan ada sumur di tempat itu, karena sorot lampu bohlam berkekuatan lima watt yang menerangi area sumur itu sudah memperlihatkan pemandangan yang membuat bulu kuduknya merinding tiba tiba.

Sepotong tangan berwarna hitam menggapai keluar dari dalam lubang sumur itu, lalu berpegangan erat pada tembok pembatas bibir sumur yang berbentuk bulat melingkat. Tangan kurus hitam dengan jari jemari panjang melebihi ukuran jari manusia normal pada umumnya, dengan kuku kuku yang juga tak kalah panjang dan berujung runcing.

"Astaghfirullah! Apa itu?" desis Lintang yang kini hanya bisa berdiri terpaku beberapa langkah dari sumur itu.

"Krrrooaakkkkk...!!!"

Belum habis rasa keterkejutan Lintang, suara aneh itu kembali terdengar, disusul dengan kemunculan sepotong kaki yang juga keluar dari dalam sumur. Kaki kurus panjang berwarna hitam itu menekuk membentuk huruf V terbalik dengan telapak menapak di atas tembok bibir sumur.

"Krrrooaakkkkk...!!!"

Bayangan bulat hitam menyusul kemudian, pelan pelan naik ke permukaan. Sosok kepala yang juga berwarna hitam dengan rambut panjang acak acakan, sebagian tergerai menutupi wajah sang sosok yang sangat menyeramkan. Wajah tirus kurus dengan tulang rahang yang bertonjolan, sepasang mata bolong menghitam, serta mulut yang menganga memanjang ke bawah hingga menampakkan rongga yang juga gelap menghitam, kini jelas terlihat oleh Lintang.

"Krrrooaakkkkk...!!!"

Makhluk aneh itu bergerak pelan dengan gerakan aneh, keluar dari dalam lubang sumur sambil mengeluarkan suara yang juga aneh. Gerakan yang sangat lambat, terkesan kaku dan patah patah. Sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri, juga dengan gerakan yang patah patah.

Lintang bergidik ngeri, saat makhluk itu telah berhasil keluar dari dalam lubang sumur dan merangkak diatas tanah. Sosok yang sama lalu menyusul, merangkak keluar dari dalam lubang sumur. Lalu disusul dengan sosok yang ketiga, keempat, dan entah berapa banyak lagi, Lintang tak sempat menghitung, karena sosok sosok yang telah berhasil keluar dari dalam sumur langsung melesat terbang ke arah utara, menuju ke arah desa Kedhung Jati.

Suara aneh mereka yang kini terdengar melengking tinggi terdengar menusuk gendang telinga Lintang, membuat pemuda itu refleks menutup telinganya dengan kedua telapak tangannya. Meski begitu, suara suara itu masih tetap terdengar, disusul dengan jerit kematian yang terdengar susul menyusul dari arah desa Kedhung Jati.

"Gawat! Ini..." belum sempat Lintang menyelesaikan kalimatnya, pemuda itu kembali dibuat tercekat oleh sosok terakhir yang keluar dari dalam sumur itu, yang menoleh dan menatap ke arahnya dengan tatapan penuh kebencian.

"Jangan...! Jangan...!" perlahan Lintang mundur, saat sosok itu mulai bergerak mendekat ke arahnya, lalu dengan sebuah sentakan yang tiba tiba melompat dan menerjang ke arahnya.

"Whuaaaa...!!!"

"Gubraaakkk...!!!"

Lintang menjerit seiring dengan tubuhnya yang terhempas keatas tanah berumput..., eh, bukan, ini...., bukan tanah berumput, tapi lantai keramik, lalu..., bantal, guling, dan selimut.

"Asem! Ternyata cuma mimpi," gerutu pemuda itu sambil berusaha bangkit dan menyalakan lampu kamar kostnya. Suasana kamar jadi terang benderang kini, memperlihatkan permukaan tempat tidur yang berantakan serta bantal, guling, dan selimut yang berserakan jatuh ke lantai. Lintang meringis. Ia merasa malu sendiri. Sampai sebesar ini, kebiasaan buruk itu belum juga hilang dari dirinya. Selalu terjatuh dari atas tempat tidur saat bermimpi buruk.

Mimpi buruk! Lintang tertegun. Mimpi buruk yang baru saja ia alami, terasa sangat begitu nyata, seolah memberi pertanda bahwa akan terjadi sesuatu hal yang buruk di desanya.

Ah, mudah mudahan ini hanya sekedar mimpi, gumam pemuda itu sambil membereskan kembali tempat tidurnya yang berantakan, lalu kembali meringkuk dibawah selimut.

"Tulalit...! Tulalit...!" dering ponsel mengejutkan Lintang yang hampir kembali terlelap. Dengan malas ia meraih ponselnya yang tergeletak diatas meja. Dan begitu melihat nama Wulan terpampang di layar ponselnya, rasa kantuk pemuda itupun lenyap seketika. Buru buru digesernya tombol hijau ke arah kanan, dan suara cempreng khas milik Wulan segera menyapa telinganya.

"Mbul! Wis turu po?"

****

"Wulaaannn...! Pulang! Sudah mau Maghrib ini!" suara teriakan Mbak Romlah menggema di sore yang cerah itu, meneriaki sang anak yang masih asyik bermain gundhu bersama teman temannya di kebun samping rumahnya.

"Iya Maakkk...!!! Sebentar lagi! Lagi nanggung nih!" sahut sang anak, juga dengan berteriak.

"Sebentar! Sebentar! Kamu nggak denger apa, sudah adzan tuh!" seru Mbak Romlah lagi, sambil terus sibuk dengan sapu lidi di tangannya. Sampah sampah dedauanan kering yang tadi berserakan, kini telah terkumpul di sudut halaman.

"Iya Mak! Sebentar lagi!"

"Wooo...!!! Bocah ndableg!" habis kesabaran, Mbak Romlah lalu melemparkan sapu lidi yang dipegangnya, lalu menyincingkan daster yang dikenakannya, dan dengan langkah lebar menghampiri sang anak.

"Aduh! Sakit Mak!" sontak anak perempuan itu menjerit saat tiba tiba tangan sang emak telah menarik daun telinganya.

"Makanya kalau orang tua ngomong itu didengerin! Kamu nggak denger itu di Mushalla Kang Sholeh udah adzan? Itu tandanya udah Maghrib! Pamali kalau anak kecil masih keluyuran di waktu Maghrib! Digondhol wewe gombel (sejenis hantu yang suka menculik anak anak) baru tau rasa kamu!" Sambil terus mengomel Mbak Romlah menarik tangan sang anak dan mengajaknya pulang. Teman teman Wulan sendiri, yang sejak tadi ikut asyik main bersama, langsung berhamburan pulang begitu melihat kemunculan Mbak Romlah yang memang dikenal galak itu.

"Ah, emak ini, zaman udah maju gini kok masih takut sama wewe gombel. Wewe gombel itu kan makhluk halus Mak, mana bisa menyentuh kita. Paling bisanya cuma nakut nakutin doang!" gerutu sang anak sambil mengusap usap daun telinganya yang memerah akibat jeweran sang emak tadi.

"Eh, kamu ini ya, kalau dibilangin orang tua kok sukanya membantah lho! Siapa yang ngajarin begitu hah?! Siapa?!" nada suara Mbak Romlah semakin meninggi, membuat Mas Joko, sang suami yang baru pulang dari ladang itu geleng geleng kepala.

"Ini ada apa to, maghrib maghrib kok pada ribut?" ujar laki laki itu sambil meletakkan cangkul yang disandangnya di sudut teras pondok.

"Nah, ini nih, akibatnya kalau sampeyan terlalu memanjakan anak Pak. Sampeyan lihat sendiri kan? Sekarang dia sudah berani membantah kalau dinasehati!" sungut Mbak Romlah, masih dengan nada kesal.

"Wulan, mbok jangan suka membantah kalau dibilangin sama emak, ndak baik lho," lembut Mas Joko mengusap kepala sang anak.

"Habisnya, emak itu lho, apa apa kok dikaitkan sama hantu. Main sore sore takut dighondhol wewe gombel, main ke kali juga katanya takut digondhol ilu ilu (ilu ilu=sejenis hantu air penghuni sungai) , padahal kan hantu itu makhluk halus ya Pak, mana bisa mereka menyentuh dan menyakiti kita, paling bisanya cuma nakut nakutin doang," ujar sang anak membela diri.

Mas Joko tersenyum mendengar penuturan sang anak itu. Ia memang sosok laki laki yang sangat penyabar dan bijaksana. Tak heran kalau semua warga Kedhung Jati sangat menghormatinya.

"Wulan, memang benar, makhkuk halus itu mungkin ndak bisa menyentuh dan menyakiti manusia. Dan kita memang ndak harus takut sama makhluk halus. Tapi, kita mesti waspada Ndhuk, karena meskipun mereka tak bisa menyentuh dan menyakiti kita, tapi mereka bisa mempengaruhi jalan pikiran kita. Ingat, segala macam makhluk halus, jin, setan, iblis, siluman, atau semacamnya, mereka paling suka menyesatkan manusia. Dan jika hati dan pikiran manusia sudah dipengaruhi dan dirasuki oleh mereka, maka manusia bisa melakukan apa saja, termasuk menyakiti atau bahkan membunuh sekalipun. Jadi ingat, meski kamu ndak takut sama setan, tapi kamu harus selalu waspada, paham to?" dengan sabar laki laki itu menasehati sang anak.

Wulan kecil mengangguk. Kata kata yang diucapkan oleh sang ayah itu, begitu membekas di dalam benaknya, bahkan sampai sekarang saat ia sudah dewasa. Tanpa sadar Wulan tersenyum. Rasa kangennya kepada sang ayah, juga sang emak, semakin menjadi jadi. Tapi apa daya, ujian tengah semester yang tengah ia hadapi saat ini, membuatnya harus menunda rencananya untuk pulang ke desa.

"Tak!" suara berdetak dari ujung runcing pensil yang digunakan oleh Wulan, menggema di seluruh penjuru kamar kost yang sepi itu, membuyarkan lamunan si gadis berwajah manis itu. Wulan melengak, lalu pelan pelan mendekatkan ujung pensil yang telah patah itu ke depan wajahnya dan mengamatinya dengan mata nanar.

"Aneh! Perasaan aku menggunakannya biasa biasa saja, kok bisa patah gini sih?" gumam gadis itu pelan, sepelan tangannya yang kembali bergerak turun dan meletakkan pensil itu diatas meja.

"Ah, kenapa perasaanku jadi tak enak begini ya? Bapak, emak, dan Ndaru, kenapa aku terus terusan teringat dengan mereka? Sekedar kangen, atau....?" gadis itu lalu membuka laci meja belajarnya, mengeluarkan smartpohne kesayangannya, lalu menscroll layar dari benda pipih itu, mencari sebuah nama dari kontak seseorang yang selama ini selalu setia menjadi sahabat setianya. Lintang 'Gembul'. Begitu nama itu terpampang di layar ponselnya, Wulan segera menekan tombol call.

"Yaaaa..., kenapa Lan?" terdengar suara bernada malas dari seberang sana. Sejenak Wulan melirik jam yang tergantung di dinding. Sudah lewat tengah malam. Wulan sedikit menyesal karena telah mengganggu istirahat sahabatnya itu.

"Wis turu po Mbul?" (sudah tidur ya Mbul?)

"Hu-um! Ngopo sih tilpun yahmene?" (Hu-um! Ngapain sih telpon jam segini?)

"Sesok balik yuk Mbul." (Besok pulang yuk Mbul.)

"Balik? Balik nang ngendi?" (Pulang? Pulang kemana?)

"Kedhung Jati lah! Aku kangen sama emak!" (Kedhung Jati lah! Aku kangen sama emak.)

"Ngawur! Sesok kan lagi lekas ujian semester! Edan po malah ngajak balik!" (Ngawur! Besok kan baru mulai ujian semester! Gila apa malah ngajak pulang!)

"Perasaanku nggak enak Mbul," nada bicara Wulan mulai serius. "Aku merasa akan terjadi sesuatu hal yang buruk di desa."

"Halah! Mungkin perasaanmu saja itu Lan, karena kamu sudah kangen sama emakmu. Lagipula kalau ada apa apa pasti Budhe Romlah juga sudah ngabarin to?"

"Tapi Mbul...!"

"Sudahlah Lan, kita fokus sama ujian kita aja dulu. Cuma seminggu ini. Habis itu nanti kita pulang, oke?"


"Ummm..., iya deh!" akhirnya Wulan menyerah. "Tapi, bener kamu nggak ada firasat apa apa kan Mbul?"

Lintang terdiam sejenak. Mimpi buruk yang baru saja ia alami, sepertinya memang tak bisa dikesampingkan begitu saja.

"Mbul?!" suara Wulan mengejutkan Lintang.

"Eh, iya..., emmm, kenapa kamu nanya seperti itu?"

"Ya kan selama ini instingmu lebih tajam daripada aku Mbul. Kalau ada apa apa pasti kamu sudah merasakannya kan?"

"Ah, enggak kok, aku nggak dapat firasat apa apa."

"Beneran?"

"Iya."

"Ya sudah kalau begitu. Tapi nanti kalau ada apa apa cepat kabari aku ya Mbul."

"Iya bawel! Lagian kan besok juga kita ketemu di kampus. Sudah ah, aku mau tidur lagi. Masih ngantuk nih."

"Iya deh. Tidur lagi gih. Tapi ingat, kalau sampai kamu bohong kepadaku, dan ternyata terjadi sesuatu hal yang buruk di desa, itu berarti kamu jahat Mbul! Dan orang jahat pantas untuk dihukum! Ingat itu!"

Wulan mengakhiri panggilan, sementara Lintang mendesah panjang setelah meletakkan ponselnya. Wulan, maafkan aku kalau kali ini harus membohongimu!

bersambung
Diubah oleh indrag057
profile-picture
profile-picture
profile-picture
azhuramasda dan 177 lainnya memberi reputasi
168
Masuk untuk memberikan balasan
stories-from-the-heart
Stories from the Heart
41.3K Anggota • 31.4K Threads
SUMUR PATI [Pageblug Di Desa Kedhung Jati 2]
24-09-2021 09:57

Part 24 : Sambutan Yang Tak Ramah

Quote:Bergegas Lintang mempercepat langkahnya, berusaha mengimbangi langkah Wulan yang telah terlebih dahulu berlari meninggalkannya. Namun, sekuat apapun ia berusaha, sepertinya ia tak akan bisa mengimbangi kecepatan gadis itu. Wulan kini telah menghilang dari pandangan matanya.

Bukan! Bukan karena tubuhnya yang sedikit 'montok' itu yang membuatmya kesulitan untuk mengejar Wulan. Tapi suasana yang ia rasakan saat mulai menginjakkan kaki di desa itu, membuatnya harus ekstra waspada dan hati hati. Ia tak boleh gegabah.

"Sial!" Lintang mendengus disela deru nafasnya yang terengah. Pemuda itu menghentikan langkahnya sejenak, lalu membungkuk dengan kedua tangan bertumpu pada kedua lutut sambil berusaha menhirup udara sebanyak mungkin untuk mengisi paru parunya.

Sesak terasa melanda dadanya. Sesuatu yang entah apa dan darimana datangnya, ia rasakan semakin mendekat ke arahnya. Terasa menekan dan berusaha menghimpitnya dari segala arah, membuat pemuda itu semakin waspada.

"Hmmm, rupanya kalian tak mengharapkan kehadiranku disini ya," pemuda itu menggumam lirih, sambil kembali menegakkan tubuhnya. Nafas panjang ia hembuskan untuk mengurangi rasa sesak yang menghimpit dadanya. Lalu dengan gerakan perlahan, pemuda itu merentangkan kedua tangannya kesamping dengan telapak tangan terbuka lebar.

Angin sepoi sepoi lalu berhembus pelan. Udara disekitar pemuda itu bergerak, seolah tersedot dan berkumpul menyelubungi kedua telapak tangannya, lalu berputar pelan, merambat sampai ke ujung lengan, membentuk semacam tornado kecil yang membungkus kedua lengan kekar itu.

Lintang tersenyum, lalu memejamkan kedua matanya. Desau angin semakin jelas terdengar, seiring dengan semakin banyaknya udara yang tersedot ke telapak tangannya. Kini pusaran udara berbentuk tornado itu semakin membesar, menyelimuti seluruh tubuh pemuda gempal itu, dan semakin lama semakin tebal dan melebar, terus berputar dan menekan sesuatu yang tadi berusaha menghimpit dan berusaha menahan langkah Lintang.

"Aku belum berniat untuk bertarung. Jadi menyingkirlah, dan biarkan aku lewat," pemuda itu bergumam pelan, lalu kembali melangkah tenang menyusuri jalanan yang sunyi dan kelam itu.

"Benar benar seperti desa mati," kembali Lintang bergumam. Ia berjalan sambil terus memperhatikan suasana disekelilingnya. Sangat berantakan. Jalanan dupenuhi oleh sampah dedaunan kering berserakan dan ranting ranting pohon yang berguguran, seolah telah ditebas dari dahan tempatnya bergantung semula. Di kiri kanan jalan, rumah rumah penduduk terlihat kosong dengan pintu dibiarkan terbuka lebar. Tak nampak sosok manusiapun yang bisa dijumpainya.

Semakin ke tengah desa, udara terasa semakin pengap. Suasana semakin mencekam. Kelam, sunyi, dan temaram. Bahkan sinar matahari yang semakin meninggi seolah tak sanggup menjangkau desa ini.

"Sreeekkk...!!! Sreekkk...!!! Sreeekkk...!!!"

Lintang tercekat. Telinganya yang tajam samar mendengar suara langkah diseret dari arah belakangnya. Pemuda itu lalu kembali menghentikan langkahnya.

"Sreeekkk...!!! Sreeekkk...!!! Sreeekkk...!!!"

Kembali suara itu terdengar. Semakin jelas dan mendekat. Lintang menajamkan semua inderanya, bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan yang bisa saja terjadi tiba tiba.

"Sreeekkk...!!! Sreeekkk...!!! Sreeekkk...!!!"

Kini suara itu tepat berada dibelakangnya. Namun Lintang tak merasakan adanya ancaman. Lintang menghela nafas lega. Ia lalu berniat untuk berbalik, namun niat itu tertahan saat sebuah tangan menepuk pundaknya.

"Tap!"

"Sinten nggih?" (siapa ya)Lintang bertanya, pelan dan tenang. Karena meski belum melihat, tapi ia tau sosok yang menepuk bahunya itu adalah manusia, dan yang jelas tidak berbahaya.

"Hehehe..., kaget yo Lik?" (Hehehe..., kaget ya Lik?) terdengar suara laki laki terkekeh, suara yang sudah sangat familiar di telinga Lintang. Pemuda itu segera berbalik.

Asem! Klanthung! Ngaget ngageti wae! Ngopo kowe ki kelayapan neng kene?" (Asem! Klanthung! Bikin kaget saja! Ngapain kamu keluyuran disini?)

"Lagi panen dhemit Lik!" celoteh laki laki setengah gila itu sambil menunjukkan karung besar yang diseretnya.

"Panen dhemit?" Lintang melirik karung yang terlihat menggembung itu. Entah apa isinya, yang jelas terlihat sangat berat, terlihat dari Klanthung yang menyeretnya dengam sedikit bersusah payah.

"Iyo Lik! Lagi usum dhemit neng kene. Ki lho, lagi sedhelok wae aku wes oleh sebagor!" (Iya Lik! Lagi musim dhemit disini. Ini lho, baru sebentar saja aku sudah dapat sekarung)

"Ono ono wae! Arep mbok nggo opo, dhemit kok mbok panen?" (Ada ada saja! Mau buat apa? Dhemit kok dipanen?)

"Yo nggo ingon ingon to! Sopo ngerti mengko payu di dol, hehehe... Tur maneh, nek ora didemak'i rak mbebayani to Lik! Iki dhemit lho! Nek dijarke klambrangan neng ndeso rak iso nyilakani menungso to." (Ya buat dipelihara to, siapa tau nanti laku dijual, hehehe..., lagipula, kalau tidak ditangkapi kan berbahaya to Lik! Ini dhemit lho! Kalau dibiarkan gentayangan kan bisa mencelakai manusia to)

Lintang terdiam sesaat. Ucapan Klanthung barusan, memang terdengar sedikit ngelantur. Namun sedikit banyak ia bisa tau apa yang sebenarnya terjadi di desa ini dari ucapan orang gila itu.

"Wis yo Lik, aku tak golek dhemit maneh! Sampeyan ati ati lho, dhemit dhemit iki galak Lik. Nek ra ngati ati iso iso sampeyan iso dadi korban!" (sudah ya Lik, aku tak nyari dhemit lagi! Sampeyan hati hti lho, dhemit dhemit ini galak Lik. Kalau ndak hati hati bisa bisa nanti sampeyan bisa jadi korban)Klanthung kembali menyeret karung besarnya itu menjauh dari Lintang.

"Sik Kang Klanthung! Ojo lungo sik, aku arep takon!" (sebentar Kang Klanthung! Jangan pergi dulu, aku mau nanya) Lintang berusaha menahan kepergian laki laki gila itu.

"Halah! Ngganggu wae lho! Aku lagi repot ki! Kae delok'en, neng ndhuwur isih akeh dhemit mabur mabur koyo laron!" (Halah! Mengganggu saja lho! Aku lagi sibuk nih! Tuh lihat, di atas masih banyak dhemit beterbangan kayak laron)

"Sik to! Sedhelok wae Kang! Aku mung arep takon sithik! Iki, tak wenehi rokok!" (sebentar to, sebentar saja Kang! Ini, tak kasih rokok!)

"Arep takon opo to?" (mau nanya apa to?) mendengar kata rokok, mata Klanthung terlihat berbinar.

"Anu Kang, piye to mulo bukane kok nganti iso ono lelakon koyo ngene? Dhemit dhemit iki asale soko ngendi?' (anu Kang, bagaimana sih awalnya, kok sampai bisa ada kejadian seperti ini? Dhemit dhemit ini asalnya dari mana?)Lintang mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celana kolornya, yang segera disambar oleh laki laki gila itu.

"Soko ngendi meneh nek dudu soko Tegal Salahan! Wong wong kuwi podho ngeyel! Wis dikandhani nek susuh dhemit malah didhudhah! Dadine yo ngene iki! Dhemite ucul kabeh!" (darimana lagi kalau bukan dari Tegal Salahan! Orang orang itu pada ngeyel! Sudah dibilangin kalau sarang dhemit, malah digali! Jadinya ya seperti ini, dhemitnya lepas semua!)

"Susuh dhemit? Didhudhah? Maksude piye to Kang?" (sarang dhrmit? Digali? Maksudnya gimana Kang?)

"Jare arep nggawe sumur," (katanya mau bikin sumur) Klanthung menjawab setelah menyalakan rokok yang tadi diberikan oleh Lintang. "Lha nggawe sumur wae kok pas nggon susuh dhemit! Mbok yo nggolek papan liyo! Dhasare wong ndhableg! Dikandahani malah maido, dumeh sing ngandhani wong ora waras!" (lha bikin sumur saja kok tepat di tempat sarang dhemit! Mbok ya nyari tempat yang lain. Dasarnya orang susah dikasih tau! Dibilangin malah marah marah! Mentang mentang yang ngasih tau orang nggak waras)

"Sopo sing nggawe sumur Kang?" (siapa yang bikin sumur Kang?)

"Kae lho, wong sugih sing manggon neng tilas tegal'e Mbah Kendhil!" (itu lho, orang kaya yang tinggal di bekas ladangnya Mbah Kendhil)

Lintang semakin terkejut mendengar ucapan laki gila itu. Semua yang dikatakan oleh Klanthung barusan, jika dihubung hubungkan dengan mimpi yang dialaminya beberapa hari yang lalu, bisa memberi gambaran tentang apa yang sebnarnya telah terjadi di desa ini.

"Yo wis! Matur nuwun Kang! Monggo nek arep golek dhemit maneh! Aku tak nang omahe Pak Modin!" (ya sudah! Terimakasih Kang! Silahkan kalau mau lanjut nyari dhemit! Aku tak kerumah Pak Modin dulu)

"Yo! Ngati ati Lik! Nang omahe Pak Modin lagi ono ontran ontran." (Ya. Hati hati Lik! Di rumahnya Pak Modin lagi ada huru hara tuh!)

Klanthung berlalu sambil menyeret karungnya. Sedang Lintang kembali berjalan pelan menuju ke rumah Pak Modin yang berada di pertengahan desa. Sambil berjalan, pikran pemuda itu mulai sibuk mengatur rencana. Apa yang barusan dikatakan oleh Klanthung, serta mimpi yang dialaminya beberapa hari yang lalu, membuat Lintang semakin yakin, bahwa tragedi yang sedang melanda desa ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Dan itu tak bisa diatasi hanya dengan mengandalkan kekuatan fisik semata.

****

Sementara itu di rumah Pak Dul Modin, Wulan yang baru tiba sudah disambut oleh pemandangan yang sanggup membuat darahnya mendidih. Bagaimana tidak, di halaman rumah yang luas itu nampak gumpalan cahaya kuning keemasan yang berkelebatan cepat ditengah keroyokan beberapa warga yang sedang kesurupan, juga makhluk makhluk aneh berbentuk mayat hidup yang juga dirasuki oleh iblis iblis berkemampuan tinggi. Sementara dari dalam rumah, Wulan bisa merasakan aura ketakutan yang teramat sangat, terpancar dari orang orang yang hanya bisa bersembunyi tanpa bisa berbuat banyak.

" Bedebah!" Wulan mendengus kasar, melihat sang guru yang sedang dipermainkan oleh iblis iblis terkutuk itu. Jelas kalau kali ini Bu Ratih mendapat lawan yang seimbang. Iblis iblis itu seolah sedang mempermainkan Bu Ratih.

Saat Bu Ratih berusaha menyerang salah satu lawannya, baik itu warga yang sedang kesurupan ataupun mayat hidup, maka iblis yang merasuki mereka dengan cepat segera keluar dan berpindah ke tubuh orang atau mayat hidup yang sudah terlebih dahulu ditumbangkan oleh Bu Ratih.

Gerakan iblis iblis itu sangatlah cepat. Beberapa kali serangan Bu Ratih yang berusaha menyerang iblis iblis itu dengan mudah bisa dihindari. Sekali dua kali memang sambaran cahaya kuning keemasan yang melesat dari tubuh Bu Ratih berhasil menngenai sosok iblis iblis itu. Tapi sepertinya tak berpengaruh banyak.

Cahaya kuning keemasan berhawa panas yang sanggup membakar apa saja yang diterjangnya itu justru seolah terserap kedalam tubuh iblis iblis itu, dan justru membuat mereka semakin kuat.

"Iblis terkutuk jahanam! Beraninya kalian mempermainkan guruku!" Wulan berteriak lantang. Matanya berbinar memancarkan cahaya kemerahan. Kedua tangannya terkepal keras, lalu dari kepalan tangan itu mulai memancar cahaya kemerahan yang semakin lama semakin terang dan membesar, untuk akhirnya menyala dan berkobar menjadi kobaran api yang dengan cepat menjalar membungkus tubuhnya.

"HIYAAAAAAAAA....!!!" diiringi suara teriakan keras menggelegar, tubuh yang telah berkobar terbungkus api itu melesat kedepan. Gumpalan gumpalan api sebesar bola sepak segera berterbangan terlempar dari tubuh itu, menghajar iblis iblis yang sedang berpesta pora.

"Whuuuusss....!!!"

"Blaaarrrr....!!!"

"Jedhuaaarrrr...!!!"

"GRROOOAAARRR...!!!"

Suara ledakan ledakan semakin gencar terdengar. Sebagian dari iblis iblis itu lalu mengalihkan serangan mereka kepada Wulan. Sementara Bu Ratih, menyadari ada bantuan datang, semakin bersemangat menyerang. Pertarungan semakin dahsyat, membuat tempat itu semakin porak poranda. Korban korban semakin banyak berjatuhan. Kedua perempuan yang sudah dilanda amarah itu sudah tak peduli lagi dengan orang orang kesurupan yang menjadi lawan mereka. Keduanya tak sadar, bahwa yang mereka bantai saat itu justru adalah para warga kesurupan yang seharusnya harus mereka lindungi. Sementara iblis iblis yang merasuki tubuh tubuh itu, sama sekali tak terpengaruh oleh serangan Bu Ratih dan Wulan.

Warga yang masih selamat dan bersembunyi di dalam rumah hanya bisa berharap harap cemas. Orang yang mereka tunggu tunggu akhirnya datang juga. Namun kedatangannya bukan menyelesaikan masalah, tapi justru menambah masalah.

"Arrgghhh...!!!" Ramadhan yang sudah terkapar dan babak belur karena tadi sempat dihajar habis habisan oleh sang kakak hanya bisa mengerang lirih. "Ini..., ini tidak bisa dibiarkan! Aku harus segera bertindak! Aku..., ah, dimana Lintang gembul? Kenapa Wulan datang seorang diri? Ah, sepertinya....., eh, itu kan.....?!"


bersambung
Diubah oleh indrag057
profile-picture
profile-picture
profile-picture
bebyzha dan 69 lainnya memberi reputasi
70 0
70
profile picture
KASKUS Freak
24-09-2021 19:34
@shamdani996 wakaka, kapak perangemoticon-Big Grin
1
Memuat data ...
1 - 1 dari 1 balasan
icon-hot-thread
Hot Threads
Stories from the Heart
gua-kesenangan
1/1
Copyright © 2024, Kaskus Networks, PT Darta Media Indonesia