Story
Pencarian Tidak Ditemukan
KOMUNITAS
link has been copied
4959
Lapor Hansip
04-08-2021 12:03

SUMUR PATI [Pageblug Di Desa Kedhung Jati 2]





SUMUR PATI
(Pageblug Di Desa Kedhung Jati 2)

(TAMAT)


SUMUR PATI [Pageblug Di Desa Kedhung Jati 2]
gambar diambil dari berita.yahoo.com dengan sedikit perubahan



Sinopsis





Part 1 : Firasat



Sambil bersiul siul kecil Lintang menyusuri jalanan yang gelap dan sepi itu. Kedua tangannya ia masukkan kedalam saku jaket yang ia kenakan dan kancingkan rapat rapat, untuk menahan hawa dingin khas pedesaan yang terasa menggigit sampai ke tulang.

Belum juga setahun ia tinggal di kota untuk menuntut ilmu, namun saat pulang untuk berlibur ke desa seperti sekarang ini, ia sudah merasa sedikit asing dengan suasana desa tempat ia dilahirkan dan dibesarkan itu.

Ya. Tegal Salahan yang sekarang sudah bukan Tegal Salahan yang dulu lagi. Tak ada lagi kesan angker maupun mistis yang dulu selalu meneror warganya disetiap waktu. Beberapa warga bahkan mulai berani mendirikan rumah di area yang dulu dikenal sebagai sarangnya para dedhemit itu. Jalanan yang dulu berbatu, kini juga sudah dicor beton, meski sekarang permukaan jalan itu mulai terlihat kusam dan berlumut karena jarang dilalui kendaraan. Hanya para petani yang setia melewati jalanan itu untuk pergi ke sawah atau ladang mereka.

Lampu lampu penerangan jalan juga sudah dipasang di beberapa titik, hingga jalanan itu tak segelap dulu. Hanya di area sekitar Buk (jembatan kecil) yang berada diantara tanjakan dan turunan jalan itu saja yang masih terlihat gelap dan suram. Entah mengapa, meski sudah beberapa kali dipasang lampu penerangan, selalu saja tak bisa bertahan lama. Hanya dalam hitungan hari, lampu yang dipasang di sekitaran Buk itu akan rusak dan mati. Mungkin para 'penghuni' Buk itu memang tak suka dengan suasana yang terang, entahlah!

Lintang terus melangkah, sesekali menoleh ke kiri dan ke kanan, sekedar menikmati suasana desa yang sudah sekian lama ia rindukan. Tegal Salahan, memang banyak menorehkan kenangan. Semenjak kecil, ia sering bermain main di tempat ini bersama Wulan, salah satu sahabat yang sampai saat ini masih setia berteman dengannya.

Dan karena Wulan juga, malam itu Lintang memaksakan diri untuk menembus gelapnya malam, menuju pondok kayu yang kini mulai nampak di kejauhan. Ia sudah berjanji untuk mengembalikan buku yang beberapa hari lalu ia pinjam dari gadis itu. Sialnya, ia nyaris lupa dengan janjinya, dan baru ingat saat tadi ia sudah bersiap untuk beranjak ke pembaringan. Janji tetaplah janji, ucapan yang harus ia tepati. Apalagi janji kepada gadis bernama Wulan itu. Jika sampai ia tak menepatinya, bisa fatal akibatnya. Lintang sudah hafal betul dengan sifat sahabatnya yang satu itu.

"Tok...! Tok...! Tok...!"Assalamu alaikum!" Lintang mengetuk pintu dan mengucap salam begitu sampai di pondok kayu yang berada di tengah tengah ladang jagung itu. Pondok yang kondisinya masih sama dengan beberapa puluh yang lalu saat ia masih kanak kanak dan sering bermain kesini. Ah, Pakdhe Joko memang orang yang nyentrik. Ayahnya Wulan itu masih mempertahankan bentuk bangunan kayu peninggalan orang tuanya yang terkesan unik itu.

"Tok...! Tok...! Tok...! Lan, sudah tidur to?" kembali Lintang mengetuk, setelah beberapa saat menunggu namun tak ada jawaban. Sepi! Tak ada tanda tanda kalau ada orang didalam pondok itu.

"Tok...! Tok...! Tok...! Wulaaannnn...!" Lintang kembali mengetuk sambil memanggil nama sang sahabat dengan gaya yang khas seperti saat mereka masih kecil dulu. Sepi! Tak ada sahutan. Juga tak ada tanda tanda kalau ada orang yang bergerak dari arah dalam pondok untuk membuka pintu.

"Apakah mereka sedang pergi?" gumam Lintang sambil memperhatikan suasana di sekelilingnya. Lampu bohlam berkekuatan lima watt yang tergantung di teras pondok itu sudah cukup untuk menerangi suasana di sekitar pondok. Jeep tua berwarna hitam milik Pakdhe Joko yang kini telah diwariskan kepada Wulan nampak terparkir di halaman pondok.

"Ah, mungkin mereka sudah pada tidur, kalau pergi tentu mereka akan membawa mobil ini," gumam Lintang sambil beranjak untuk meninggalkan tempat itu. Sudah tiga kali ia mengucap salam, dan tak ada jawaban. Itu berarti kehadirannya di tempat itu sedang tidak diinginkan, begitu kepercayaan orang orang di desa ini.

"Krrrooaakkkk...!!!"

"Eh, suara apa itu?" langkah Lintang terhenti saat sampai di halaman pondok. Suara serak bernada rendah itu terdengar samar dari arah kanannya. Suara mirip orang tercekik, atau seperti suara sendawa orang yang kekenyangan sehabis makan.

"Krrrooaakkkk...!!!"

Kembali suara itu terdengar. Lintang menoleh dan tanpa sadar melangkah ke arah kanan, arah darimana suara itu berasal. Arah dimana rumah gedhong milik Pak Jarwo berada. Warga baru yang membeli sebagian lahan milik Pakdhe Joko itu belum lama ini membangun rumah gedhong itu. Bahkan bangunannya belum sempurna, masih ada beberapa bagian yang harus diselesaikan.

"Krrrooaakkkkk...!!!"

Kembali suara itu terdengar. Dan kini semakin jelas. Benar! Arahnya dari bangunan rumah Pak Jarwo. Tapi suara apa? Perasaan Lintang mulai tak enak. Tanpa sadar, ia meraba kalung benang lawe dengan bandul bungkusan kain kumal yang melingkar di lehernya. Ada hawa hangat yang menjalar dari kalung warisan Pak Modin itu. Dan hawa hangat itu terasa semakin kuat, seiring dengan langkahnya yang semakin mendekat ke rumah Pak Jarwo.

"Krrrooaakkkkk...!!!"

Lagi lagi suara itu terdengar. Lintang semakin mendekat ke arah rumah gedhong itu.

"Krrrooaakkkkk...!!!"

Arah belakang rumah, desis Lintang sambil melangkah memutar untuk menuju ke arah belakang rumah itu.

"Krrrooaakkkkk...!!!"

Sumur! Lintang yakin, suara itu berasal dari dalam sumur yang berada di kebun belakang rumah Pak Jarwo. Lintang tak sempat berpikir, semenjak kapan ada sumur di tempat itu, karena sorot lampu bohlam berkekuatan lima watt yang menerangi area sumur itu sudah memperlihatkan pemandangan yang membuat bulu kuduknya merinding tiba tiba.

Sepotong tangan berwarna hitam menggapai keluar dari dalam lubang sumur itu, lalu berpegangan erat pada tembok pembatas bibir sumur yang berbentuk bulat melingkat. Tangan kurus hitam dengan jari jemari panjang melebihi ukuran jari manusia normal pada umumnya, dengan kuku kuku yang juga tak kalah panjang dan berujung runcing.

"Astaghfirullah! Apa itu?" desis Lintang yang kini hanya bisa berdiri terpaku beberapa langkah dari sumur itu.

"Krrrooaakkkkk...!!!"

Belum habis rasa keterkejutan Lintang, suara aneh itu kembali terdengar, disusul dengan kemunculan sepotong kaki yang juga keluar dari dalam sumur. Kaki kurus panjang berwarna hitam itu menekuk membentuk huruf V terbalik dengan telapak menapak di atas tembok bibir sumur.

"Krrrooaakkkkk...!!!"

Bayangan bulat hitam menyusul kemudian, pelan pelan naik ke permukaan. Sosok kepala yang juga berwarna hitam dengan rambut panjang acak acakan, sebagian tergerai menutupi wajah sang sosok yang sangat menyeramkan. Wajah tirus kurus dengan tulang rahang yang bertonjolan, sepasang mata bolong menghitam, serta mulut yang menganga memanjang ke bawah hingga menampakkan rongga yang juga gelap menghitam, kini jelas terlihat oleh Lintang.

"Krrrooaakkkkk...!!!"

Makhluk aneh itu bergerak pelan dengan gerakan aneh, keluar dari dalam lubang sumur sambil mengeluarkan suara yang juga aneh. Gerakan yang sangat lambat, terkesan kaku dan patah patah. Sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri, juga dengan gerakan yang patah patah.

Lintang bergidik ngeri, saat makhluk itu telah berhasil keluar dari dalam lubang sumur dan merangkak diatas tanah. Sosok yang sama lalu menyusul, merangkak keluar dari dalam lubang sumur. Lalu disusul dengan sosok yang ketiga, keempat, dan entah berapa banyak lagi, Lintang tak sempat menghitung, karena sosok sosok yang telah berhasil keluar dari dalam sumur langsung melesat terbang ke arah utara, menuju ke arah desa Kedhung Jati.

Suara aneh mereka yang kini terdengar melengking tinggi terdengar menusuk gendang telinga Lintang, membuat pemuda itu refleks menutup telinganya dengan kedua telapak tangannya. Meski begitu, suara suara itu masih tetap terdengar, disusul dengan jerit kematian yang terdengar susul menyusul dari arah desa Kedhung Jati.

"Gawat! Ini..." belum sempat Lintang menyelesaikan kalimatnya, pemuda itu kembali dibuat tercekat oleh sosok terakhir yang keluar dari dalam sumur itu, yang menoleh dan menatap ke arahnya dengan tatapan penuh kebencian.

"Jangan...! Jangan...!" perlahan Lintang mundur, saat sosok itu mulai bergerak mendekat ke arahnya, lalu dengan sebuah sentakan yang tiba tiba melompat dan menerjang ke arahnya.

"Whuaaaa...!!!"

"Gubraaakkk...!!!"

Lintang menjerit seiring dengan tubuhnya yang terhempas keatas tanah berumput..., eh, bukan, ini...., bukan tanah berumput, tapi lantai keramik, lalu..., bantal, guling, dan selimut.

"Asem! Ternyata cuma mimpi," gerutu pemuda itu sambil berusaha bangkit dan menyalakan lampu kamar kostnya. Suasana kamar jadi terang benderang kini, memperlihatkan permukaan tempat tidur yang berantakan serta bantal, guling, dan selimut yang berserakan jatuh ke lantai. Lintang meringis. Ia merasa malu sendiri. Sampai sebesar ini, kebiasaan buruk itu belum juga hilang dari dirinya. Selalu terjatuh dari atas tempat tidur saat bermimpi buruk.

Mimpi buruk! Lintang tertegun. Mimpi buruk yang baru saja ia alami, terasa sangat begitu nyata, seolah memberi pertanda bahwa akan terjadi sesuatu hal yang buruk di desanya.

Ah, mudah mudahan ini hanya sekedar mimpi, gumam pemuda itu sambil membereskan kembali tempat tidurnya yang berantakan, lalu kembali meringkuk dibawah selimut.

"Tulalit...! Tulalit...!" dering ponsel mengejutkan Lintang yang hampir kembali terlelap. Dengan malas ia meraih ponselnya yang tergeletak diatas meja. Dan begitu melihat nama Wulan terpampang di layar ponselnya, rasa kantuk pemuda itupun lenyap seketika. Buru buru digesernya tombol hijau ke arah kanan, dan suara cempreng khas milik Wulan segera menyapa telinganya.

"Mbul! Wis turu po?"

****

"Wulaaannn...! Pulang! Sudah mau Maghrib ini!" suara teriakan Mbak Romlah menggema di sore yang cerah itu, meneriaki sang anak yang masih asyik bermain gundhu bersama teman temannya di kebun samping rumahnya.

"Iya Maakkk...!!! Sebentar lagi! Lagi nanggung nih!" sahut sang anak, juga dengan berteriak.

"Sebentar! Sebentar! Kamu nggak denger apa, sudah adzan tuh!" seru Mbak Romlah lagi, sambil terus sibuk dengan sapu lidi di tangannya. Sampah sampah dedauanan kering yang tadi berserakan, kini telah terkumpul di sudut halaman.

"Iya Mak! Sebentar lagi!"

"Wooo...!!! Bocah ndableg!" habis kesabaran, Mbak Romlah lalu melemparkan sapu lidi yang dipegangnya, lalu menyincingkan daster yang dikenakannya, dan dengan langkah lebar menghampiri sang anak.

"Aduh! Sakit Mak!" sontak anak perempuan itu menjerit saat tiba tiba tangan sang emak telah menarik daun telinganya.

"Makanya kalau orang tua ngomong itu didengerin! Kamu nggak denger itu di Mushalla Kang Sholeh udah adzan? Itu tandanya udah Maghrib! Pamali kalau anak kecil masih keluyuran di waktu Maghrib! Digondhol wewe gombel (sejenis hantu yang suka menculik anak anak) baru tau rasa kamu!" Sambil terus mengomel Mbak Romlah menarik tangan sang anak dan mengajaknya pulang. Teman teman Wulan sendiri, yang sejak tadi ikut asyik main bersama, langsung berhamburan pulang begitu melihat kemunculan Mbak Romlah yang memang dikenal galak itu.

"Ah, emak ini, zaman udah maju gini kok masih takut sama wewe gombel. Wewe gombel itu kan makhluk halus Mak, mana bisa menyentuh kita. Paling bisanya cuma nakut nakutin doang!" gerutu sang anak sambil mengusap usap daun telinganya yang memerah akibat jeweran sang emak tadi.

"Eh, kamu ini ya, kalau dibilangin orang tua kok sukanya membantah lho! Siapa yang ngajarin begitu hah?! Siapa?!" nada suara Mbak Romlah semakin meninggi, membuat Mas Joko, sang suami yang baru pulang dari ladang itu geleng geleng kepala.

"Ini ada apa to, maghrib maghrib kok pada ribut?" ujar laki laki itu sambil meletakkan cangkul yang disandangnya di sudut teras pondok.

"Nah, ini nih, akibatnya kalau sampeyan terlalu memanjakan anak Pak. Sampeyan lihat sendiri kan? Sekarang dia sudah berani membantah kalau dinasehati!" sungut Mbak Romlah, masih dengan nada kesal.

"Wulan, mbok jangan suka membantah kalau dibilangin sama emak, ndak baik lho," lembut Mas Joko mengusap kepala sang anak.

"Habisnya, emak itu lho, apa apa kok dikaitkan sama hantu. Main sore sore takut dighondhol wewe gombel, main ke kali juga katanya takut digondhol ilu ilu (ilu ilu=sejenis hantu air penghuni sungai) , padahal kan hantu itu makhluk halus ya Pak, mana bisa mereka menyentuh dan menyakiti kita, paling bisanya cuma nakut nakutin doang," ujar sang anak membela diri.

Mas Joko tersenyum mendengar penuturan sang anak itu. Ia memang sosok laki laki yang sangat penyabar dan bijaksana. Tak heran kalau semua warga Kedhung Jati sangat menghormatinya.

"Wulan, memang benar, makhkuk halus itu mungkin ndak bisa menyentuh dan menyakiti manusia. Dan kita memang ndak harus takut sama makhluk halus. Tapi, kita mesti waspada Ndhuk, karena meskipun mereka tak bisa menyentuh dan menyakiti kita, tapi mereka bisa mempengaruhi jalan pikiran kita. Ingat, segala macam makhluk halus, jin, setan, iblis, siluman, atau semacamnya, mereka paling suka menyesatkan manusia. Dan jika hati dan pikiran manusia sudah dipengaruhi dan dirasuki oleh mereka, maka manusia bisa melakukan apa saja, termasuk menyakiti atau bahkan membunuh sekalipun. Jadi ingat, meski kamu ndak takut sama setan, tapi kamu harus selalu waspada, paham to?" dengan sabar laki laki itu menasehati sang anak.

Wulan kecil mengangguk. Kata kata yang diucapkan oleh sang ayah itu, begitu membekas di dalam benaknya, bahkan sampai sekarang saat ia sudah dewasa. Tanpa sadar Wulan tersenyum. Rasa kangennya kepada sang ayah, juga sang emak, semakin menjadi jadi. Tapi apa daya, ujian tengah semester yang tengah ia hadapi saat ini, membuatnya harus menunda rencananya untuk pulang ke desa.

"Tak!" suara berdetak dari ujung runcing pensil yang digunakan oleh Wulan, menggema di seluruh penjuru kamar kost yang sepi itu, membuyarkan lamunan si gadis berwajah manis itu. Wulan melengak, lalu pelan pelan mendekatkan ujung pensil yang telah patah itu ke depan wajahnya dan mengamatinya dengan mata nanar.

"Aneh! Perasaan aku menggunakannya biasa biasa saja, kok bisa patah gini sih?" gumam gadis itu pelan, sepelan tangannya yang kembali bergerak turun dan meletakkan pensil itu diatas meja.

"Ah, kenapa perasaanku jadi tak enak begini ya? Bapak, emak, dan Ndaru, kenapa aku terus terusan teringat dengan mereka? Sekedar kangen, atau....?" gadis itu lalu membuka laci meja belajarnya, mengeluarkan smartpohne kesayangannya, lalu menscroll layar dari benda pipih itu, mencari sebuah nama dari kontak seseorang yang selama ini selalu setia menjadi sahabat setianya. Lintang 'Gembul'. Begitu nama itu terpampang di layar ponselnya, Wulan segera menekan tombol call.

"Yaaaa..., kenapa Lan?" terdengar suara bernada malas dari seberang sana. Sejenak Wulan melirik jam yang tergantung di dinding. Sudah lewat tengah malam. Wulan sedikit menyesal karena telah mengganggu istirahat sahabatnya itu.

"Wis turu po Mbul?" (sudah tidur ya Mbul?)

"Hu-um! Ngopo sih tilpun yahmene?" (Hu-um! Ngapain sih telpon jam segini?)

"Sesok balik yuk Mbul." (Besok pulang yuk Mbul.)

"Balik? Balik nang ngendi?" (Pulang? Pulang kemana?)

"Kedhung Jati lah! Aku kangen sama emak!" (Kedhung Jati lah! Aku kangen sama emak.)

"Ngawur! Sesok kan lagi lekas ujian semester! Edan po malah ngajak balik!" (Ngawur! Besok kan baru mulai ujian semester! Gila apa malah ngajak pulang!)

"Perasaanku nggak enak Mbul," nada bicara Wulan mulai serius. "Aku merasa akan terjadi sesuatu hal yang buruk di desa."

"Halah! Mungkin perasaanmu saja itu Lan, karena kamu sudah kangen sama emakmu. Lagipula kalau ada apa apa pasti Budhe Romlah juga sudah ngabarin to?"

"Tapi Mbul...!"

"Sudahlah Lan, kita fokus sama ujian kita aja dulu. Cuma seminggu ini. Habis itu nanti kita pulang, oke?"


"Ummm..., iya deh!" akhirnya Wulan menyerah. "Tapi, bener kamu nggak ada firasat apa apa kan Mbul?"

Lintang terdiam sejenak. Mimpi buruk yang baru saja ia alami, sepertinya memang tak bisa dikesampingkan begitu saja.

"Mbul?!" suara Wulan mengejutkan Lintang.

"Eh, iya..., emmm, kenapa kamu nanya seperti itu?"

"Ya kan selama ini instingmu lebih tajam daripada aku Mbul. Kalau ada apa apa pasti kamu sudah merasakannya kan?"

"Ah, enggak kok, aku nggak dapat firasat apa apa."

"Beneran?"

"Iya."

"Ya sudah kalau begitu. Tapi nanti kalau ada apa apa cepat kabari aku ya Mbul."

"Iya bawel! Lagian kan besok juga kita ketemu di kampus. Sudah ah, aku mau tidur lagi. Masih ngantuk nih."

"Iya deh. Tidur lagi gih. Tapi ingat, kalau sampai kamu bohong kepadaku, dan ternyata terjadi sesuatu hal yang buruk di desa, itu berarti kamu jahat Mbul! Dan orang jahat pantas untuk dihukum! Ingat itu!"

Wulan mengakhiri panggilan, sementara Lintang mendesah panjang setelah meletakkan ponselnya. Wulan, maafkan aku kalau kali ini harus membohongimu!

bersambung
Diubah oleh indrag057
profile-picture
profile-picture
profile-picture
azhuramasda dan 177 lainnya memberi reputasi
168
Masuk untuk memberikan balasan
stories-from-the-heart
Stories from the Heart
40.9K Anggota • 31.3K Threads
SUMUR PATI [Pageblug Di Desa Kedhung Jati 2]
04-08-2021 12:04

Part 2 : Sumur

Quote:Pagi yang cerah di hari Jumat. Matahari masih malu malu untuk menampakkan sinarnya di ufuk timur sana. Embun masih membasahi rerumputan. Hawa dingin juga masih terasa menusuk tulang. Meski begitu geliat kehidupan mulai nampak di Desa Kedhung Jati. Anak anak berseragam putih merah tampak menghiasi jalanan desa, diselingi oleh para bapak yang berangkat ke sawah atau ladang sambil memikul cangkul, serta para ibu yang menggendong bakul berisi hasil panen mereka untuk dijual ke pasar.

Semua orang nampak sibuk. Semua orang sadar akan kewajiban mereka masing masing. Kegiatan yang sudah menjadi rutinitas mereka setiap hari, mereka jalani dengan hati riang, diiringi oleh merdunya kicauan burung yang hinggap diatas dahan serta canda tawa anak anak yang bermain di halaman rumah mereka masing masing.

Begitu juga dengan Mas Yudi. Salah satu warga desa Kedhung Jati itu tak mau ketinggalan. Sepagi itu ia sudah menjalankan motor tuanya perlahan menyusuri jalanan Tegal Salahan sambil bersiul siul kecil. Sudah seminggu ini ia mendapat job untuk membantu Lik Diman menggali sumur di rumah Pak Jarwo, salah seorang warga baru yang mendirikan rumah di area Tegal Salahan.

Meski tugasnya hanya sekedar membantu, karena yang ahli dalam menggali sumur memang Lik Diman, namun upah yang diterima oleh Mas Yudi cukup lumayan. Pak Jarwo memang dikenal sebagai orang yang kaya raya. Lihat saja rumah yang dibangunnya yang sudah hampir mirip dengan istana itu. Juga kendaraan roda empat yang dimilikinya, entah apa jenis dan mereknya, Mas Yudi tak terlalu paham. Yang ia tau, hanya Pak Jarwo yang memiliki mobil sejenis itu di seantero desa ini. Mobil yang kalau berjalan suaranya nyaris tak terdengar. Mobil yang kalau lalat hinggap di bodynya saja bisa terpeleset karena sangking mulusnya. Mobil yang meski hanya dalam mimpipun Mas Yudi yakin tak akan sanggup untuk memilikinya.

Angan Mas Yudi terus melambung, sampai tak sadar ia telah sampai diatas tanjakan jalan Tegal Salahan. Motor tua yang dikendarainya ia belokkan ke arah barat, lalu mengurangi laju kendaraannya itu saat melintas dihalaman rumah Mas Joko.

"Pagi Mas," sapa Mas Yudi padi si pemilik pondok kayu sederhana itu, yang tengah duduk diatas lincak (balai balai bambu) di teras rumahnya. Disebelahnya nampak Mbak Romlah, istri Mas Joko yang tengah sibuk menyuapi Ndaru, anak bungsu mereka yang baru berusia lima tahun.

"Eh, Yud, belum selesai juga toh nggali sumurnya?" sahut Mas Joko ramah.

"Belum Mas. Sudah hampir limabelas meter tapi belum ketemu sumber juga. Maklumlah Mas, lagi musim kemarau begini, mana tanahnya keras banget, banyak batunya juga. Jadi agak lambat deh kerjanya," Mas Yudi mematikan mesin motornya.

"Sini, mampir dulu Yud, ngopi ngopi dulu. Masih pagi ini. Lik Diman juga sepertinya belum datang kok," ujar Mas Joko lagi, yang segera diamini oleh Mas Yudi. Laki laki itu segera turun dari sepeda motornya lalu masuk ke teras pondok kayu itu dan ikut duduk diatas lincak, setelah sebelumnya menyempatkan diri untuk menowel pipi Ndaru yang gembul itu.

"Kok tumben ya Yud, sudah sedalam itu belum keluar air juga? Padahal biasanya warga sini bikin sumur nggak sampai sedalam itu sudah ketemu sumber," kata Mas Joko sambil menyalakan rokok kreteknya. Sementara Mbak Romlah masuk ke pondok lalu tak lama keluar lagi sambil membawa secangkir kopi untuk Mas Yudi.

"Makasih Mbak," Mas Yudi menyambut cangkir kopi yang dihidangkan untuknya itu. "Ndak tau juga aku Mas. Tapi kalau kata Lik Diman sih, memang lokasinya yang salah."

"Salah gimana maksudmu Yud?"

"Awalnya kan Lik Diman bilang kalau bagusnya bikin sumurnya itu disebelah kiri rumah itu Mas, yang bersebelahan dengan bangunan dapur itu lho. Lik Diman pasti tau lah mana mana tempat yang banyak sumber airnya, secara dia sudah ahli. Tapi Pak Jarwo itu ngotot mau bikin sumurnya dibelakang rumah, biar nggak merusak pemandangan katanya. Ya akhirnya kita nurut nurut aja, wong dia yang punya duit kok. Tapi ya gini jadinya, kerjanya jadi lambat, sudah seminggu belum kelar kelar juga. Lik Diman bahkan sudah pesimis kalau bisa menemukan sumber disitu."

"Iya juga sih, setahuku memang kalau mau bikin sumur itu memang harus mencari lokasi yang tepat gitu. Tapi ya mudah mudahan saja nanti bisa ketemu sumber Yud. Sayang kan kalau sudah dikerjain capek capek tapi ternyata nggak ada hasilnya," ujar Mas Joko.

"Iya Mas, aku juga berharap begitu," Mas Yudi menyeruput sedikit kopinya yang masih panas mengepul itu. "Oh ya Mas, Wulan sekarang jarang pulang ya?"

"Iya Yud. Lagi persiapan menghadapi ujian katanya. Mudah mudahan saja ujiannya lancar Yud, dan kuliahnya bisa cepat selesai."

"Amiiinnnn...!"

Tengah asyik keduanya mengobrol, dari kejauhan nampak Lik Diman berjalan santai ke arah mereka sambil memanggul cangkul. Kedua orang itu lalu berdiri dan mengikuti langkah Lik Diman menuju ke rumah Pak Jarwo. Meski tak diminta untuk membantu, namun sebagai seorang tetangga dekat Mas Joko merasa berkewajiban untuk ikut membantu pekerjaan menggali sumur itu meski tak setiap hari. Sudah menjadi kebiasaan memang, hidup di desa, semangat gotong royongnya masih sangat kental. Disaat ada warga yang kerepotan, maka warga yang lain tanpa diminta akan segera datang membantu.

***

Hari semakin meninggi. Matahari mulai menampakkan kegarangan sinarnya. Keringatpun mulai bercucuran membasahi tubuh mereka yang sedang bekerja. Lik Diman yang didhapuk sebagai tukang gali sudah semenjak pagi tadi turun ke lubang yang dalam itu. Menggali dan terus menggali hingga lubang itu semakin dalam dan dalam. Sementara diatas Mas Yudi dan Mas Joko bergantian menarik tanah bekas galian dengan menggunakan tali tambang dan katrol. Mereka bekerja dengan sangat giat, meski si tuan rumah sendiri tak pernah mengawasi pekerjaan mereka. Pak Jarwo terlalu sibuk dengan bisnisnya di kota. Hanya Bu Jarwo, sang istri yang berada di rumah.

Tengah asyik bekerja, tiba tiba seorang laki laki tua berpakaian kumal dan bertubuh dekil datang menghampiri mereka sambil menceracau tak jelas. Warga desa mengenal laki laki itu sebagai Si Klanthung, orang gila yang sering berkeliaran di desa itu.

"Lagi ngopo Lik?" (lagi ngapain Lik?) seru Si Klanthung sambil tersenyum senyum sendiri seperti orang stress, eh, memang dia stress ding!

"Lagi mbutgawe ki! Wis kono ojo ngrusuhi! Dolan sing adoh kono!" (Lagi kerja! Sudah sana, jangan ganggu! Main yang jauh sana!) sungut Mas Yudi yang sepertinya merasa sedikit terganggu dengan kedatangan Si Klanthung.

"Hehehe! Ojo galak galak to Lik! Wong mung ditakoni wae kok muring muring lho!" (Hehehe! Jangan galak galak apa Lik! Wong cuma ditanya saja kok marah marah lho!) Si Klanthung terkekeh, lalu berjalan mendekat ke bibir lubang yang sedang digali dan melongok ke dalamnya.

"Iki lagi ndhudhuk opo to?" (ini lagi nggali apaan to?) gumam Si Klanthung sambil melongok kedalam lubang.

"Hei! Jangan melongok longok begitu! Nanti kamu jatuh, bikin kita repot saja!" seru Mas Joko memperingatkan.

"Wah, susuh dhemit iki! Susuh dhemit kok didhudhuk lho! Edan sampeyan kabeh iki! Nek nganti dhemite ucul, ciloko sampeyan kabeh!" (wah, sarang dhemit ini! Sarang dhemit kok digali lho! Gila kalian semua ini! Kalau sampai dhemitnya lepas, celaka kalian semua!) sungut Si Klanthung seolah tak memperdulikan hardikan Mas Joko barusan.

"Wah, dasar orang sableng! Lha kok malah kita yang dikatain gila! Sudah Mas, kasih makanan saja itu Si Klanthung biar cepet pergi! Ganggu orang kerja saja!" gerutu Mas Yudhi.

Mas Jokopun segera mengambil beberapa potong singkong rebus yang tadi disediakan oleh Bu Jarwo dan memberikannya kepada Si Klanthung. "Nih, tak kasih singkong rebus, tapi habis ini kamu main yang jauh sana ya, jangan ganggu orang lagi kerja," kata Mas Joko sambil memberikan beberapa potong singkong rebus yang sudah ia bungkus dengan daun pisang itu kepada Si Klanthung.

Namun bukannya menerima makanan yang diberikan oleh Mas Joko, Si Klanthung justru terus asyik melongok longok kedalam lubang sambil menceracau tak jelas.

"Neng njero jugangan iki akeh dhemite lho Lik! Sampeyan ga wedi to?" (didalam lubang ini banyak dhemitnya lho Lik! Sampeyan ndak takut to?) desis Si Klanthung sambil menatap tajam ke arah Mas Joko yang berdiri disebelahnya.

Mas Joko sampai tercekat mendapat tatapan seperti itu. Ia sudah cukup lama mengenal laki laki tak waras itu. Namun baru kali ini ia melihat sorot mata laki laki stress itu terasa begitu menusuk ke matanya. Mas Joko sampai merinding melihatnya. Dan belum habis rasa keheranan yang dirasakan oleh laki laki iti, sebuah suara terdengar menggema dari dalam lubang, membuat laki laki itu terjingkat kaget.

"Craakkk...!!!"

"As*!"

Suara berderak seperti suara ujung cangkul yang mengenai benda keras, lalu disusul dengan suara umpatan dari Lik Diman, sukses membuat Mas Joko dan Mas Yudi seperti dikomando melongok kedalam lubang. Sementara Si Klanthung justru mundur pelan pelan menjauh dari bibir lubang, lalu berlari dengan sangat cepat menuju ke arah desa.

"Wis, ucul tenan iki! Ucul kabeh dhemit'e! Ciloko sampeyan kabeh Lik!" (Wis, lepas beneran ini! Lepas semua dhemitnya! Celaka kalian semua Lik!) teriakan Si Klanthung terdengar semakin menjauh. Mas Joko dan Mas Yudi sudah tak begitu memperhatikan lagi tingkah si laki laki stress itu. Perhatian mereka tertuju kepada Lik Diman yang nampak memanjat naik ke atas lubang dengan sangat terburu buru, seolah sedang ketakutan akan sesuatu yang baru saja ia temukan didasar lubang sana.

"Kenapa Lik?" hampir bersamaan Mas Joko dan Mas Yudi bertanya, begitu laki laki bertubuh gempal itu sampai diatas.

Lik Diman diam sejenak, sambil matanya menatap nanar kesekelilingnya seperti orang kebingungan, lalu laki laki itu meliuk liukkan pinggangnya kekiri dan kekanan hingga terdengar suara bergemeretak dari tulang tulang punggungnya yang saling beradu.

"Capek to Lik?" tanya Mas Yudi lagi. "Istirahat saja dulu kalau capek. Nanti biar gantian aku yang turun."

Lik Diman masih diam seribu bahasa, seolah tak mendengar ucapan Mas Yudi barusan. Laki laki itu justru mengulurkan tangan kanannya ke belakang kepala dan menarik rambutnya yang agak gondrong itu, sementara tangan kirinya menopang dagunya, lalu memutar kepalanya kekiri dan kekanan hingga tersengar bunyi "krek! krek!" dari tulang tulang lehernya yang bergesekan.

Mas Joko dan Mas Yudi saling pandang sesaat, merasa sedikit aneh dengan tingkah Lik Diman itu. Apalagi saat tangan kanan Lik Diman semakin kuat menarik rambut di belakang kepalanya ke kanan dan tangan kirinya mendorong dagunya ke arah kiri dengan sekuat tenaga.

"Hegh!" terdengar suara Lik Diman melenguh, seiring dengan semakin kuat kedua tangannya memutar kepalanya hingga urat urat di lengan dan lehernya bertonjolan keluar.

"Lik, apa yang..."

"Hegh! Kraakkk...!" belum sempat Mas Yudi menyelesaikan kalimatnya, Lik Diman sudah ambruk keatas tanah dengan tubuh mengejang dan kepala yang terpuntir kebelakang hingga 180 derajat. Laki laki itu tewas setelah memelintir kepalanya sendiri!

"Astaghfirullah...!!!"


bersambung
Diubah oleh indrag057
profile-picture
profile-picture
profile-picture
bebyzha dan 76 lainnya memberi reputasi
77 0
77
profile picture
KASKUS Geek
05-08-2021 07:34
@heiji000 yaa namanya takdir ga ada yg tau gan, mungkin udah garisnya Lik Diman harus meninggal seperti itu...
Eh si Klantung bisa normal juga yak..
1
profile picture
KASKUS Plus
05-08-2021 08:03
@yunie617 biasanya yg ga normal saat seperti itu bisa jadi normal dadakan ya sist....
1
Memuat data ...
1 - 2 dari 2 balasan
icon-hot-thread
Hot Threads
Copyright © 2024, Kaskus Networks, PT Darta Media Indonesia