Kenali Lebih Dalam Tentang Tradisi Carok Di Madura

Carok adalah pemulihan harga diri ketika diinjak-injak oleh orang lain yang berhubungan dengan harta, tahta, tanah, dan wanita demi kehormatan. Dalam ungkapan Madura Lebbi Bagus Pote Tollang atembang Pote Mata (lebih baik mati, daripada hidup menanggung malu).

Carok diartikan pembunuhan sebagai upaya balas dendam, akan tetapi carok memiliki makna yang berbeda bagi masyarakat Madura karena berkaitan dengan pemulihan harga diri.

Carok merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa pada masyarakat Madura, penyelesaian tersebut merupakan penyelesaian dengan menggunakan jalur kekerasaan. Penyelesaian dengan jalan kekerasaan ini sering kali menutup kemungkinan penyelesaian sengketa secara damai.



Carok sebenarnya kebiasaan yang relatif baru, pada abad 12 saat Kerajaan Madura dipimpin Prabu Cakraningrat juga pada abad 14 di bawah Joko Tole, carok tidak dikenal. Begitu pula pada saat kepemimpinan Panembahan Semolo putra Sunan Kudus memerintah Madura di abad 17. Barulah pada abad 18 carok mulai dikenal masyarakat Madura. Kala itu, Madura adalah daerah yang jauh dari pusat pemerintahan VOC di Surabaya. Tak ada yang mengontrol secara langsung, mirip tanah wild wild west di era koboi.

Ada banyak penyebab carok, sebagian besar penyebabnya karena istri yang diganggu. Orang Madura menganggap istri adalah bhantalla pate, alias landasan kematian. Mengganggu istri sama dengan melecehkan kehormatan seorang pria.

Selain soal istri, perkara lain yang banyak terjadi didasari oleh rebutan tanah atau warisan. Tanah juga dianggap sebagai segala bentuk penghidupan seperti air dan merupakan satu hal yang benar-benar dijaga oleh orang Madura. Carok tak selalu terjadi karena persoalan besar yang melibatkan kehormatan, carok bisa juga terjadi karena salah paham atau bahkan berawal saling mengejek.