Story
Pencarian Tidak Ditemukan
KOMUNITAS
link has been copied
5915
Lapor Hansip
16-02-2021 15:01

Desa Misterius Di Pedalaman Kalimantan [ Tamat ]

Desa Tumbal Misterius Di Pedalaman Kalimantan

Salam lekum agan sista semua.

Setelah hampir 10 tahun hiatus, akhirnya ane bikin thread lagi di kaskus. Agak canggung juga, karena sudah 1 dekade cuman sesekali berkunjung. Cuman kali ini ane mau bikin cerita, tentang pengalaman seorang kawan yang menemukan hal ganjil ketika ada project di salah satu desa di pedalaman Kalimantan.

Jadi ceritanya bakal ane jabarin satu-satu di bawah emoticon-Cool

Quote:beberapa gambar ane comot dari google sebagai ilustrasi, bukan dokumentasi pribadi.


Quote:Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib


Quote:Saya mohon dengan sangat untuk tidak meng Copy Paste cerita ini. Semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan bisa menghargai karya orang lain. Terima kasih


Quote:


















































BETA
Diubah oleh benbela
profile-picture
profile-picture
profile-picture
adolfsbasthian dan 295 lainnya memberi reputasi
288
Masuk untuk memberikan balasan
stories-from-the-heart
Stories from the Heart
41.6K Anggota • 31.5K Threads
Desa Tumbal Misterius Di Pedalaman Kalimantan
07-03-2021 19:01
Quote:Original Posted By benbela


Bab VIII : Sosok di Tengah Hutan


Kakek itu terus mengamati kami yang berdiri ketakutan. Ia mengenakan pakaian serba hitam tanpa alas kaki. Garis keriput menyembul di wajahnya yang pucat.

Istriku menggeser badannya, bersembunyi di balik punggungku. Wajahnya ia rapatkan di belakang leherku, sehingga aku bisa merasakan hembusan nafasnya di bawah telingaku.

Andaikan aku sendiri, pasti aku sudah kabur dari tadi. Tapi, dibelakangku ada seorang wanita yang harus kulindungi. Apapun resikonya, aku harus selalu menjaganya.

Aku mundur dua langkah. Istriku kaget kerena wajahnya terantuk bagian belakang kepalaku. Namun, ia tetap mengikuti gerakanku, mundur dua langkah. Aku harus hati-hati dan tidak boleh gegabah. Bisa-bisa, nyawa kami melayang. Aku mengambil posisi bersiap apabila kakek itu menyerang tiba-tiba.

Kakek itu mengambil gerakan, memasukan mandau ke sarungnya di sebelah kiri pinggangnya.

"Kalian mau kemana?" Kakek itu tiba-tiba bertanya sambil matanya mendelik. Mandau di pinggangnya sudah tersarung sempurna.

Aku dan istri masih terdiam.

"Mau ke tempat Pak Kasno? Biar kuantar." ucap kakek itu tegas.

"I-iya kek." ucapku terbata-bata.

Melihat kami masih kebingungan, ia lalu mengambil wadah bambu yang tergantung dari pinggangnya, dan menyerahkan padaku.

"Minum dulu, kalian pasti haus."

Aku menuruti perintahnya, meminum air dari wadah bambu itu lalu menyerahkannya pada istriku. Kami meminum air itu bergantian hingga dahaga di tenggorakan kami mulai hilang.

"Bagaimana rasanya ? Enak? " Kakek kembali bertanya dengan gurat senyum di bibirnya yang keriput. Aku dan istri lega,ternyat lelaki tua di depan kami tidak ada niat jahat. Istriku mengembalikan wadah bambu tadi kepada kakek. 

"Rasanya aneh kek, ada pait campur manis. Juga ada rasa tawar. Beda dengan air putih biasa" jawab istriku.

"Itu air dari akar pohon yang bergelantungan di hutan. Bagus buat obat."

Istriku lalu mencium tangan keriput kakek itu. Aku juga melakukan hal yang sama, mencium tangan kakek yang ada di hadapan kami ini.

"Aku Sriatun kek. Kami dari Jawa."
"Aku Bimo kek. Tugas ngajar di desa ini."

Kakek kembali tersenyum, berusaha menghilangkan sisa-sisa ketakutan di wajah kami.

"Namaku Alang Linggau. Kalian boleh memanggilku bue Alang. Atau cukup bue saja." ujarnya dengan suara datar.

"Biar kuantar saja ke tempak pak Kasno. Kasian kalian, nanti bisa tersesat."

Tanpa diminta, bue Alang langsung berjalan di depan. Tas di tangan istriku diraihnya lalu diseret menyusuri tanah merah yang penuh batu-batu kecil dan kerikil.

Aku dan istri segera mengiringi langkah kaki bue Alang. Sesekali, bue Alang mengangkat tas di tangannya bila ada batu cukup besar di tengah jalan. Tas itu kadang ia dorong di depan, kadang ia seret di belakang. Walau sudah tua, bue Alang masih terlihat kuat.

Jujur saja, ada perasaan lega dan tenang berjalan bersama bue Alang. Setidaknya, ada orang kampung yang menemani kami ke tempat tujuan. Rupanya bue Alang baru pulang setelah memeriksa jebakan babi hutan, namun hasilnya nihil.

Sepanjang jalan, bue Alang juga bercerita bahwa dahulu ia adalah pejuang. Melawan Jepang dan Belanda pada perang Barito.

"Kawan-kawanku banyak yang mati kena peluru. Sebagian lagi tewas disiksa Belanda. Jepang lebih kejam lagi. Mereka tidak segan-segan membantai penduduk satu kampung bila ada yang melawan. Kepala semua laki-laki dipenggal, lalu mayatnya dibuang ke sungai. Rumah-rumah dibakar. Banyak penduduk yang sembunyi ke hutan untuk menyelamatkan diri." Bue Alang menghentikan langkahnya, seperti mengingat masa lalu. Sejurus kemudian, ia kembali melangkahkan kakinya.

"Setelah merdeka, kawan yang beruntung, menjadi pegawai pemerintah. Bahkan tidak sedikit jadi pejabat. Sedangkan yang tidak beruntung, ya seperti saya ini. Kembali ke kampung menjadi petani miskin."

"Anak cucu bue dimana?" tanya istriku.

Sambil terus berjalan, bue Alang kembali melanjutkan ceritanya.

"Aku punya lima orang anak. Empat laki-laki, dan satu orang perempuan yang paling bungsu. Tiga orang laki-laki meninggal terseret banjir 10 tahun lalu. Yang perempuan meninggal beberapa hari setelah melahirkan. Anaknya juga tidak berhasil selamat. Setelah itu suaminya pergi entah kemana. Hanya satu orang yang masih hidup sampai sekarang."

"Yang masih hidup, sekarang ada dimana bue? " tanyaku pada bue Alang.

Bue Alang menghentikan langkah kakinya. Raut wajahnya berubah menjadi sedih. Garis-garis keriput di wajahnya semakin mengkerut.

"Setelah banjir 10 tahun lalu, ia pergi entah kemana. Semoga...semoga ia kembali lagi." ucap bue Alang dengan suara tertahan. 

Aku dan istri terdiam, mencoba memahami kesedihan yang ia rasakan.

"Ayo, cepat. Sebentar lagi sampai." lanjut bue Alang.

Hari menjelang sore, kaki kami terus melangkah di bawah pepohonan. Angin berhembus pelan dari celah-celah hutan, menggerakan ranting-ranting dan dedaunan.

Setelah beberapa langkah, kami memasuki halaman gedung sebuah Sekolah Dasar. Papan nama dengan cat yang putih yang terkelupas, berdiri tegak di balik pagar yang tertutup rumput ilalang. Halamannya cukup luas dengan tiang bendera di tengah. Di sekeliling gedung, hanya ada hutan hijau sejauh mata memandang.

Bue Alang mengajak kami berjalan memutar ke belakang gedung dewan guru. Di sana, seorang lelaki berusia sekitar 40an tahun sedang mencangkul. Ia mengenakan baju kaos lusuh dan celana pendek, sedangkan di kedua kakinya terpasang sepatu boot berwarna hitam. Menyadari ada yang datang, lelaki itu kemudian menghentikan aktivitasnya.

"Bueeee..!!! " Lelaki itu berteriak sambil tersenyum lebar. Tangannya melambai-lambai menyuruh kami segera mendekat.

Langkah kami pun semakin cepat menghampiri pria itu.

"Apa kabar bue? " ucapnya dengan raut wajah bahagia. Mungkin, sudah lama tidak ada orang yang berkunjung ke tempatnya.

Lelaki itu lantas mengibas-ibas telapak tangan ke celana pendek yang ia kenakan, membersihkan pasir dan tanah yang menempel. Setelah cukup bersih, lelaki itu mengulurkan tangannya kepada bue Alang. Lalu, ia menyalami aku dan istri  secara bergantian.

"Kasno Suprapto. Kepala sekolah SDN 1 Muara Tapah." Lelaki itu memperkenalkan dirinya,  Ternyata, dialah orang yang kami cari selama ini.

" Saya Bimo pak. Bimo Santoso, guru baru yang tugas ngajar olahraga di sini." Aku menyambut uluran tangannya. Mendengar perkataanku, senyum pak Kasno semakin lebar. Dua bola matanya membesar di bawah dahinya.

"Bagus..bagus. Kita memang butuh tambahan guru buat ngajar anak-anak di sini. "

Pak Kasno lalu mengulurkan tangan pada istriku.

"Saya Sriatun pak. Istrinya mas Bimo."

Pak Kasno memandang wajah istriku dengan tertegun, seperti ada yang mengganjal.

" Yaudah...kita masuk dulu. Kalian pasti masih cape. Istirahat di dalam." ujar pak Kasno seperti memendam sesuatu.

"Saya permisi dulu. Saya harus ke kebun." ujar bue Alang.

Pak Kasno memandang wajah bue Alang, lalu mengulurkan tangannya sekali lagi.

"Makasih bue, udah mau ngantarkan mereka. Kapan-kapan mampir lagi."

Bue Alang hanya tersenyum sambil mengangguk. Ia kemudian berbalik, melangkahkan kakinya dan menghilang di balik gedung ruang guru.

"Ayo, ke rumah" ucap pak Kasno. Setelah menaroh cangkul di bawah tangga, ia melepas sepatu bootnya dan meletakan di tangga paling bawah. Aku dan istriku juga melakukan hal yang sama.

Pak Kasno dengan tergesa-gesa membantu membawakan tas istriku meniti tangga, lalu menaruh tas di teras di samping pagar kayu. Aku dan istri menyusul di belakangnya, meniti tangga dengan perlahan.

Perumahan guru ini memang cukup tinggi dari tanah, sekitar 3 meter. Bentuknya berupa rumah panggung, ciri khas rumah di pedalaman Kalimantan. Rumah pak Kasno terletak paling ujung di sebelah kanan. Ada empat pintu lagi yang bersebelahan langsung dengan rumah pak Kasno, namun terlihat kosong tanpa penghuni.

"Ayo masuk, istirahat dulu." Ujar pak Kasno dengan senyum lebarnya. Entah kenapa, pas Kasno sepertinya orang paling ceria yang kami temui di desa ini.

Aku dan istri segera duduk di ruang tamu yang sederhana, tanpa kursi dan meja, hanya beralas karpet plastik.

"Tunggu sebentar, saya buatkan minum dulu." Pak Kasno kemudian berjalan ke arah dapur.

Guna menghilangkan penat, aku segera berdiri mendekati jendela di sebelah samping. Sejurus kemudian, istriku juga mengikuti. Kami memandang hutan luas yang membentang. Memikirkan tentang segala peristiwa yang kami alami, memikirkan tentang masa depan kami di tanah perantauan.

"Mas, lihat. Itu bue Alang." kata istriku.

Benar saja, samar-samar terlihat bue Alang berjalan di antara pepohonan. Tidak lama, sesosok perempuan tua muncul dari balik pohon. Ia berjalan membungkuk dengan tongkat, mendekati bue Alang.

"Itu nenek yang tadi mas. Ngapain mereka di hutan?"

Aku hanya diam saja, terus memperhatikan tingkah sepasang kakek nenek itu di kejauhan. Mereka terlihat berdebat, lalu bue Alang menyerahkan sesuatu pada nenek itu. Ternyata, bue Alang menyerahkan wadah bambu tempat air minum tadi.

Lalu, dengan susah payah mereka berdua berjongkok di atas tanah. Wadah bambu itu  diletakan di depan mereka. Si nenek terlihat menggerak-gerakan telapak tangannya dengan teratur, beberapa jengkal diatas wadah bambu.

Tiba-tiba, wadah bambu itu terbakar. Nyala api segera menari-nari tertiup angin. Aku dan istri terdiam melihat kejadian itu. Kami berdua saling pandang tanpa suara. Lidah kami tercekat di tenggorokan.

Bue Alang dan nenek itu menghilang ke dalam hutan, meninggalkan wadah bambu yang masih menyala dimakan api.

..bersambung...



Sampai jumpa malam Jumat ya gansis semua emoticon-Big Grin

Terima kasih udah setia pada thread ane.
Diubah oleh benbela
profile-picture
profile-picture
profile-picture
itkgid dan 83 lainnya memberi reputasi
84 0
84
profile picture
Kaskuser
12-04-2021 17:08
Manehhhhh ...
emoticon-Cendol Gan
0
Memuat data ...
1 - 1 dari 1 balasan
icon-hot-thread
Hot Threads
Inspirasi Harian
pentingnya-deep-work
Copyright © 2024, Kaskus Networks, PT Darta Media Indonesia