Story
Pencarian Tidak Ditemukan
KOMUNITAS
link has been copied
3756
Lapor Hansip
11-02-2021 17:22

Tumbal Manten Kali Gandhu





TUMBAL MANTEN KALI GANDHU
(TAMAT)




Part 1 :
Lelaki Patah Hati

Sebatang sigaret dan secangkir kopi, mungkin hanya itu obat yang mujarab untuk orang yang sedang patah hati sepertiku. Dan demi secangkir kopi, pagi itu aku rela mengantri di kedai Mbak Romlah, berjubel dengan beberapa orang mahasiswa dan mahasiswi yang memenuhi kedai sederhana itu.

Bukan. Aku bukan seorang mahasiswa seperti mereka. Aku hanyalah seorang laki laki yang sedang patah hati, yang kebetulan terdampar di kota pelajar ini, dan ngekost di dekat kampus yang megah itu.

"Kopi Mas Bay?" seperti biasa, Mbak Romlah selalu tersenyum manis kepada setiap pelanggan di kedainya. Bahkan kepada para mahasiswa yang catatan hutangnya di kedai itu sudah menumpukpun, ia tetap melayaninya dengan senyuman manis.

"Nggih Mbak, seperti biasa ya, pahit, nggak pakai gula," ujarku sambil memaksa ikut duduk berdesak desakan di bangku kayu yang sudah penuh dengan pantat pantat para mahasiswa dan mahasiswi itu.

"Mas Bay, tumben pagi pagi udah nongkrong dimari? Biasa jam segini masih molor di kost'an," celetuk salah seorang dari mereka. Aku tak begitu mengenal anak itu. Mungkin salah satu penghuni kost dimana tempat aku tinggal.

"Memangnya kenapa? Nggak boleh ya?" sungutku sambil membakar ujung sigaret yang terselip di sela sela jariku.

"Ya boleh sih, cuma nggak biasa aja," anak itu tanpa permisi menyomot bungkus sigaretku, lalu mengambil isinya sebatang dan menyulutnya.

Aku berdiri sambil menepuk bahu anak itu. "Nak, sebagai seorang mahasiswa, sebaiknya kamu belajar saja yang rajin ya, nggak usah terlalu usil dengan urusan orang," dengusku sambil melangkah keluar dari kedai itu.

"Mbak Romlah! Kopinya anterin ke kost-an saja ya, sama sekalian mie rebusnya!" seruku dari luar kedai.

"Duh, ngambek nih yeee! Jangan suka ngambek Mas Bay, nanti cepet tua lho!" masih kudengar celetukan salah seorang mahasiswi dari dalam kedai itu.

"Wedhus!!!" umpatku kasar. Kutendang kaleng minuman soda yang tergeletak di tengah jalan, untuk melampiaskan rasa kesalku.

"Woy!" seorang pedagang bubur keliling mengepalkan tangannya ke arahku, saat kaleng soda itu melayang nyaris menghantam kepalanya. Aku hanya nyengir, sambil terus melangkah menuju ke kost-anku.

"Cah edan!" masih kudengar tukang bubur itu menggerutu.

"Opo?! Ngajak gelut po?! Ayo mrene!!!! (Apa?! Ngajak berantem ya?! Ayo, sini!!!), sontak aku berbalik dan memasang wajah sangar, membuat tukang bubur itu lari terbirit birit sambil mendorong gerobaknya.

"As*!" lagi lagi aku mengumpat, kali ini sambil membuka pintu pagar kost-an dengan kasar.

"Ngapa ta Mas? pagi pagi kok udah ngomel ngomel ndak jelas gitu?" suara lembut Wulan, anak pemilik kost, menyambutku.

"Ra popo!" (nggak papa!) sahutku sengak, sambil terus ngeloyor masuk ke kamar. Sekilas masih kulihat Wulan yang menggeleng gelengkan kepalanya melihat tingkahku yang absurd di pagi itu.

Aku menghenyakkan pantat di atas kursi. Mereka, orang orang itu, boleh saja menilaiku seperti apa, karena mereka memang tak merasakan apa yang aku rasakan. Sakit yang aku rasakan, hanya aku seorang yang tahu. Dikhianati oleh orang yang telah sekian lama kita cintai, sakit apalagi yang rasanya lebih sakit daripada dikhianati?

"Mas Bayu," terdengar suara dari balik pintu, disusul dengan ketukan pelan.

"Siapa?" tanyaku basa basi, karena aku sudah sangat hafal dengan suara itu.

"Lilis Mas. Disuruh emak buat nganterin kopi pesenan Mas Bayu," sahut suara itu lagi.

"Masuk, aja!" seruku lagi sambil cepat cepat menyalakan laptopku.

"Taruh dimana Mas kopinya?" kata gadis itu setelah masuk ke kamarku.

"Letakkan saja di meja situ," sahutku tanpa menoleh. Bisa tambah puyeng aku kalau sampai terlalu lama melihat gadis tomboy yang selalu berpenampilan sexy itu. Lihat saja, pagi pagi begini ia sudah kelayapan cuma dengan mengenakan celana pendek sebatas paha dan kaos oblong yang super ketat.

"Lagi ngerjain apa sih Mas? Kok kayaknya serius banget?" sambil masih memegang nampan gadis itu mendekat ke arahku.

"Halah! Sudah, pulang sana! Ngganggu saja! Aku lagi sibuk nih!" sentakku sedikit kesal.

"Dih! Galak amat sih! Awas lho, galak galak nanti gantengnya ilang," anak itu tergelak sambil melangkah meninggalkan kamarku.

Bodo amat, batinku sambil menyambar cangkir kopi dan menyeruput sedikit isinya. Aroma wangi uap kopi bisa sedikit menyegarkan pikiranku.

"Mas Bayu," lagi lagi pintu diketuk. Kali ini suara Wulan yang terdengar. "Ada Mbak Rena tuh di depan, mau ketemu Mas Bayu katanya."

Sial! Mau apa lagi gadis itu mencariku? Mau minta maaf padaku? Mau menjelaskan kejadian yang sebenarnya? Membuat segudang alibi dan alasan? Cih! Tak akan semudah itu, setelah jelas jelas tertangkap basah berduaan dengan laki laki lain!

"Bilang saja aku nggak ada!" seruku.

"Tapi Mas ...!"

"Udah! Bilang aja aku nggak ada, atau sekalian bilang sama dia, aku udah pindah, nggak ngekos di sini lagi!" sentakku kesal.

"Tapi aku sudah terlanjur bilang kalau Mas Bayu ada di kamar," seru Wulan dari balik pintu.

"Aish! Gimana sih?! Ya sudah, bilang aja sama dia, aku sudah nggak mau lagi ketemu sama dia!" seruku tak mau kalah.

"Tapi Mas ...."

"Halah! Tinggal bilang begitu apa susahnya sih? Dari tadi topa tapi melulu. Sudah, jangan ganggu! Aku lagi sibuk nih!" sentakku lagi.

"Bodoh!" dengusku kesal saat kudengar langkah kaki Wulan menjauh. Rasa kesal kembali membuncah dalam dadaku, teringat peristiwa beberapa hari yang lalu. Peristiwa yang membuatku mengucapkan kata putus kepada gadis yang telah sekian lama menemaniku menjalani kerasnya hidup di kota pelajar ini.

"Mas ...!" baru saja aku meraih sendok untuk mengaduk mie rebus yang tadi diantarkan oleh Lilis, kembali terdengar suara Wulan mengetuk pintu.

"Apa lagi sih?!" kali ini aku beranjak bangkit dan membuka pintu.

"Ada tamu yang nyari Mas Bayu," jawab Wulan.

"Hai Bay, apa kabar?" seorang gadis cantik berambut panjang yang berdiri di belakang Wulan menyapaku, membuatku terbengong sampai sepersekian detik lamanya.

"Woy! Malah bengong lho!" gadis itu menampar pelan pipiku.

"Ya Tuhan, mimpi buruk apa aku semalam, sampai sampai hari ini kaudatangkan tamu yang seperti ini untukku," seruku dengan nada memelas.

"Asem!" gadis itu memukul lenganku pelan. Aku hanya tertawa tergelak. Namun tawaku terhenti seketika, saat menyadari bahwa dibelakang gadis itu telah berdiri seorang pria tampan nan rupawan.

"Eh, siapa?" ujarku setengah berbisik, sambil melirik laki laki itu.

"Oh ya, kenalkan, ini calon suamiku," jawab gadis itu.

"Bayu," aku menyambut uluran tangan laki laki itu.

"Bejo," ujar laki laki itu.

What?!!" nyaris saja tawaku meledak mendengar laki laki itu menyebutkan namanya. Laki laki segagah dan setampan itu namanya Bejo?

"Kenapa?" Seruni, gadis itu mendelik ke arahku.

"Hahaha ...! Ndak papa. Ayo, kita ngobrol di ruang tamu. Bisa digerebek sama ibu kost nanti kalau kita lama lama disini," ujarku mengalihkan pembicaraan.

"Jadi, angin apa yang tiba tiba membawamu kemari? Sudah sekian purnama lho, kamu tak pernah mengunjungi sahabat seperjuanganmu ini," ujarku setelah kami duduk di sofa ruang tamu. Tanganku sibuk mengirim chat kepada Lilis, memesan minuman dan sekedar makanan ringan untuk tamu tamu spesialku ini.

"Dasar pengarang amatiran. Mentang mentang sudah jadi penulis terkenal, bahasanya jadi sok formal begitu," kini Seruni yang tergelak.

"Nih, aku kesini cuma mau nganterin ini kok, datang ya nanti," sambung gadis itu lagi, sambil menyodorkan sebuak kartu undangan bersampul keemasan.

"Hmmm, tega kamu ya, mengirim undangan disaat aku sedang patah hati seperti ini," gumamku sambil menerima kartu undangan itu.

"Hah? Patah hati? Apa aku nggak salah dengar? Orang sepertimu bisa patah hati?" lagi lagi Seruni tergelak.

"Jangan tertawa diatas penderitaan orang," dengusku sambil membolak balik kartu undangan itu. "Jadi, kamu mau nikahnya di kampungmu? Jauh amat Nek."

"Halah, Jogja - Wonogiri seberapa jauh sih? Dan, karena seperti yang kamu bilang tadi, karena kita adalah sahabat seperjuangan sejak lama, maka kamu akan menjadi tamu spesialku. Lusa, kita berangkat sama sama ke kampungku. Harus! Nggak boleh nolak!" tegas Seruni.

"Lusa? Jangan gila dong. Disini disebutkan kalau resepsinya masih sebulan lagi. Mau ngapain aku ikut kesana lusa?"

"Eits, sudah kubilang tadi, kamu nggak boleh nolak. Dan kalau apa yang kamu bilang tadi itu benar, kalau kamu sedang patah hati, itu kebetulan. Aku bisa mencarikan obat untukmu di kampungku."

"Halah, kau pikir gampang apa mencari obat patah hati?"

"Jangan meremehkan Seruni binti Martono Bay. Percayalah, banyak yang bisa kau dapatkan disana. Gadis gadis desa yang cantik? Banyak di desaku. Penggemar berat dari tulisan tulisanmu? Ada maniak yang tergila gila dengan hasil karyamu di desaku. Bahkan kau bisa memecahkan sebuah misteri yang selama beratus ratus tahun tak pernah bisa di pecahkan di desaku. Bagaimana? Masih belum tertarik juga?"

"Hmmm, baiklah, baiklah, demi sahabat seperjuanganku ini, lusa aku akan ikut," kataku akhirnya.

"Nah, gitu dong, itu baru namanya sahabatku," kembali Seruni memukul pelan lenganku.

Obrolan kami terhenti sejenak, saat Lilis datang mengantarkan minuman dan makanan kecil yang tadi kupesan. Ada sedikit rasa bahagia menelusup di relung hatiku, melihat sahabat lamaku ini telah menemukan jodohnya. Rasa sakit hati akibat ulah Rena beberapa hari yang lalupun bisa sedikit aku lupakan.

bersambung
Diubah oleh indrag057
profile-picture
profile-picture
profile-picture
aripinastiko612 dan 182 lainnya memberi reputasi
183
Masuk untuk memberikan balasan
stories-from-the-heart
Stories from the Heart
41.5K Anggota • 31.5K Threads
Tumbal Manten Kali Gandhu
23-03-2021 03:25

Part 36 : Akhir Sebuah Janji

Quote:Rasa lelah tak lagi kurasakan, saat kulihat Retno Palupi menangis sesenggukan sambil memeluk tubuh sang kakek tergeletak tak berdaya. Pelan aku melangkah mendekatinya. Dan dengan pelan juga kuusap kedua bahu gadis malang itu.

"Maafkan aku Retno, ini semua salahku. Andai saja ..., andai saja aku tak bertindak nekat, semua ini mungkin tak perlu terjadi. Maafkan semua keegoisanku Retno, maafkan ...."

Tak ada jawaban. Hanya isak tangis dari gadis itu yang terdengar, sambil merengkuh kepala sang kakek ke dalam pangkuannya.

Lemas sekujur tubuhku, membuatku jatuh terduduk di samping gadis malang itu. Rasa bersalah membuat lidahku menjadi kelu, tak mampu berkata kata lagi. Dalam keremangan malam, kulihat wajah kakek tua pikun itu kini diam tak bergerak itu. Matanya tertutup rapat. Dari kedua lubang hidung dan sudut bibirnya nampak bekas darah kental yang mengalir. Sementara kedua tangan si kakek, yang sebelah masih memegang erat tongkat kesayangannya. Sedang tangan satunya lagi menggenggam sebilah keris.

"Mbah Kung, bangun Mbah! Jangan tinggalkan aku! Ingat janjimu dulu Mbah! Mbah Kung tak akan pergi sebelum melihat aku bahagia dipersunting oleh seorang laki laki tampan! Tepati janjimu Mbah! Masih banyak janji yang belum kau penuhi kepada cucu semata wayangmu ini Mbah! Tapi kenapa Mbah Kung justru pergi di saat seperti ini?! Bahkan sebelum cucumu ini ..."

"Uhuk! Uhuk! Anak bodoh!" tiba tiba tubuh kakek tua itu menggeliat, disusul dengan suara batuk batuk yang keluar dari mulutnya. Darah kental kembali muncrat dari mulut si kakek tua itu, membasahi celana jeans yang dikenakan oleh Retno Palupi.

"Mbah Kung, syukurlah, simbah ...."

"Kenapa kau menangis heh?! Sudah kubilang ..., sudah sering kubilang kalau ..., aku ..., paling tidak suka melihat cucuku semata wayang ini menangis!" ujar kakek itu terbata bata.

"Masih ada harapan Ret, lebih baik cepat kita bawa kakekmu ke rumah sakit," bisikku pada Retno Palupi.

"Kamu ... kamu pemuda ... yang nggak punya ... sopan santun ya. Bicara dengan berbisik bisik begitu ... di hadapan ... orang tua ..., sungguh tidak sopan!" kakek itu menghardikku, sambil tangannya yang memegang tongkat sedikit terangkat. Mungkin niatnya hendak memukulku. Namun tenaganya sudah terlalu lemah. Tangan itu kembali terkulai di atas tanah.

"Kita ke rumah sakit ya Mbah, biar ...."

"Retno," kakek itu memotong ucapan Retnon Palupi. "Hentikan .... tangismu! Apa kau .... tak senang melihat kakekmu ini .... bahagia hah?! Hidup selama lebih dari seratus tahun .... itu sangat membosankan! Dan hanya .... kematian yang paling diharapkan .... oleh orang sepertiku ini. Jadi .... jangan kau tangisi kakekmu yang sedang menyambut kebahagiaannya ini. Mati .... dengan cara seperti ini .... merupakan cara kematian yang sangat menyenangkan. Jangan coba coba .... untuk mengobatiku atau membawaku ke rumah sakit. Karena aku nggak mau kalau aku nanti tak jadi mati!"

"Mbah ...."

"Iya. Simbah tahu. Simbah masih punya janji kepadamu. Dan, sebelum nyawa simbah yang cuma selembar ini melayang, simbah akan tepati janji simbah. Kau anak muda, siapa namamu?" mata kakek tua itu menatap nanar ke arahku.

"Simbah boleh memanggilku Bambang," kataku pelan, sambil memegang tangan kakek itu. "Aku suka nama itu Mbah."

"Ah, iya. Bayu. Nama yang sangat bagus Le. Kau, meski terlihat agak bodoh, tapi aku tahu kau pemuda yang baik. Jadi, kuharap kau tak keberatan, kalau sebelum aku menghembuskan nafas terakhirku ini, aku menitipkan cucu kesayanganku ini padamu. Jaga baik baik cucuku ini ya Le, jangan pernah sekali kali engkau membuatnya menangis."

Aku hanya mengangguk, sementara isak Retno Palupi semakin jelas terdengar.

"Oh ya, satu lagi. Keris ini," kakek tua itu menyerahkan keris yang dipegangnya kepadaku. "Keris ini, meski aku sudah melenyapkan semua dhemit yang bersemayam di dalam keris ini, tapi tak ada salahnya kalau keris ini kalian lenyapkan saja. Daripada suatu saat nanti kembali menimbulkan malapetaka."

"Baik Mbah," aku menerima keris iti dengan tangan gemetar. "Aku berjanji akan melaksanakan pesan simbah ini."

"Kalian tentu sudah sangat lelah setelah menggali makam Nyai Retno Selasih tadi. Jadi, besok pagi kalian tak perlu lagi menggali makam baru untukku. Kukira aku akan sangat bahagia jika dikubur bersama leluhurku yang makamnya telah kujaga secara turun temurun itu."

Isak tangis Retno Palupi semakin menjadi jadi, hingga aku tanpa sadar merengkuh bahunya dan menariknya ke dalam pelukanku.

"Simbah rasa, sudah cukup pesan dari simbah. Kalian lihat, sudah ada bidadari yang diutus untuk menjemput simbah. Coba kalian lihat itu, bidadari yang sangat cantik jelita. Ah, tentu aku tak akan pernah merasa kesepian di liang kubur nanti, karena ditemani oleh bidadari secantik itu," dengan tangan lemahnya mbah Karyo menunjuk ke arah pintu punden. Seperti dikomando aku dan Retno Palupi menoleh ke arah yang ditunjuk oleh laki laki tua itu.

"Seruni?!" hampir serempak aku dan Retno Palupi berseru saat melihat gadis itu berdiri mematung di pintu punden.

"Boleh aku masuk?" suara gadis itu nyaris tak terdengar. Aku menatap ke arah Retno Palupi, meminta persetujuannya. Gadis itu hanya mengangguk lemah. Pelan Seruni melangkah masuk ke dalam punden, lalu ikut duduk di sebelahku.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" bisik Seruni.

"Mbah Kuuuuunnnggggg ....!!!" belum sempat aku menjawab, Retno Palupi kembali meraung saat mendapati sang kakek kini benar benar telah pergi.

****

Mendung hitam menggelayut di ufuk timur sana. Langit seolah ikut berduka. Gerimis yang turun rintik rintik bagaikan air mata bidadari yang tumpah membasahi bumi, menangisi kepergian seorang Mbah Karyo yang dimakamkan pagi itu.

Punden yang biasanya sunyi senyap itu kini dipenuhi oleh para pelayat. Bukan saja dari warga desa Kajang, tapi juga keluarga besar Karto Martono dari desa Ngantiyan. Tak ada yang mempermasalahkan lagi soal pantangan dan sumpah kutukan itu. Atas permintaan Seruni, semua keluarga Karto Martono datang ke punden Kajang. Bahkan gadis itu rela menunda acara pernikahannya demi untuk memberi penghormatan terakhir kepada Mbah Karyo.

Isak tangis terdengar pilu diantara doa doa yang dikumandangkan oleh para pelayat. Retno Palupi yang biasanya selalu tampil tegar itu kini seolah tak berdaya dalam pelukanku. Gadis itu bahkan sempat histeris saat gundukan tanah merah itu mulai menimbun peti mati yang berisi jasad sang kakek.

Hari semakin siang. Gerimispun mulai mereda. Satu persatu para pelayat mulai membubarkan diri. Demikian juga dengan keluarga Karto Martono. Mereka kembali ke desa Ngantiyan dengan membawa pesan untuk seluruh warga desanya. Pesan bahwa mulai hari ini, tak ada lagi pantangan dan larangan untuk datang ke Desa Kajang.

Tinggal kami bertiga. Aku, Retno Palupi, dan Seruni yang masih berdiri tepekur disamping makam Mbah Karyo.

"Semua sudah selesai sekarang. Kalian boleh pergi," bisik Retno Palupi diantara desau angin pagi yang mengusik rimbunnya dedaunan beringin tua itu.

"Tidak Retno! Masih ada satu janji lagi yang harus kutepati kepada Mbah Karyo," ujarku.

"Ah, Bayu. Kau belum mengerti juga ternyata. Apa kau tak sadar bahwa saat nyawanya sudah diujung tandukpun selera humor Mbah Kung masih belum hilang juga?" gadis itu menatapku nanar.

"Mbah Karyo mungkin bercanda Ret, tapi aku tidak. Janji itu serius aku ucapkan. Dan aku akan benar benar menepatinya."

"Eh, apa yang kalian bicarakan ini sebenarnya? Apakah masih ada sesuatu yang salah?" Seruni ikut bicara.

"Tak ada yang salah Runi, tapi ..."

"Tidak Bayu," Retno Palupi dengan cepat memotong ucapanku. "Kau tak perlu merasa terikat hanya karena sebuah janji. Kau belum lupa kan, gara gara kau yang terlalu mudah mengucapkan janji kepada Nyai Retno Selasih, semua hal buruk ini akhirnya terjadi. Lagipula, jika niatmu untuk menikahiku itu hanya berdasarkan janji yang kau ucapkan kepada kakekku, lebih baik lupakan saja. Karena aku menginginkan seorang laki laki yang benar benar mencintaiku dengan tulus, bukan laki laki yang menikahiku karena dipaksa oleh sebuah janji yang ia ucapkan!" tegas Retno Palupi.

"Eh, jadi kalian ...."

"Kau salah Retno," kini aku yang memotong ucapan Seruni. "Jauh jauh hari sebelum aku mengenal kakekmu, bahkan jauh jauh hari sebelum aku mengenalmu, saat pertama kali aku melihatmu mandi di kali ...."

"Bukan melihat! Tapi mengintip!" tegas Retno Palupi.

"Ah, terserah kamulah. Pokoknya saat pertama kali aku melihatmu waktu itu, aku sudah merasa bahwa aku tertarik padamu. Kau berbeda dengan gadis gadis yang lain Retno. Sangat berbeda. Itu yang membuatku tertarik kepadamu."

"Semudah itukah kau jatuh cinta Bayu? Bahkan kepada orang yang sama sekali belum kau kenal?" dahi Retno Palupi mengernyit.

"Faktanya memang seperti itu kan, meski sebenarnya aku bukan type laki laki yang mudah jatuh cinta, tapi dirimu sepertinya termasuk dalam pengecualian Ret. Jadi benar, aku jatuh cinta padamu bahkan sebelum aku mengenalmu. Dan setelah aku berhasil mengenalmu, rasa itu kian tumbuh subur di hatiku. Jadi kumohon, ijinkan aku untuk menepati janjiku pada kakekmu itu."

"Cih! Ternyata selain keras kepala kau juga seorang perayu ulung ya," Retno Palupi mendecih.

"Jadi? Apa jawabanmu?" desakku tak sabar.

"Jika kutolak, aku takut kau akan menjadi gila Bay."

"Jadi?"

Retno Palupi mengangguk samar, membuatku nyaris melompat kegirangan kalau saja tak ingat bahwa kami sedang berada di samping makam yang tanahnya masih basah. Alhasil aku hanya bisa bersorak dalam hati.

"Kalian ini," lagi lagi Seruni menyela. "Benar benar ya. Tapi cocok sih, kalian sama sama orang yang aneh dan sulit dipahami. Entah akan menjadi sebuah keluarga yang seperti apa jika kalian beneran menikah nanti."

"Oh ya Runi, bagaiman dengan rencana pernikahanmu?" tanyaku pada gadis itu.

"Emmmm, bagaimana kalau kita bicarakan di rumahku saja. Hitung hitung sebagai ucapan terima kasih dan juga permintaan maafku karena telah banyak merepotkan kalian, secara resmi aku mengundang kalian untuk datang ke rumahku pagi ini," jawab gadis itu.

"Kalian?" Retno Palupi menatap nanar ke arah Seruni. "Apa itu. Berarti ...."

"Ya, kata 'kalian' itu berarti kamu dan Bayu Ret. Kumohon jangan menolak. Aku sudah memberanikan diri untuk menginjakkan kakiku di tanah Kajang. Kini giliranmu untuk menginjakkan kaki di tanah Ngantiyan, agar menjadi bukti bahwa sumpah kutukan itu telah benar benar sirna dari kedua desa ini."

"Cih! Kalian berdua memang paling pintar kalau bicara ya," kembali Retno Palupi mendecih.

"Ayolah Ret, sudah puluhan tahun kita hidup bertetangga, hanya dibatasi oleh aliran Kali Gandhu ini, tapi kita seperti musuh bebuyutan yang tak bisa saling mengenal. Sudah saatnya kita untuk ...."

"Iya iya, aku paham. Aku juga tak bisa menolak undanganmu itu Runi."

"Nah, gitu dong. Jadi tunggu apalagi, ayo kita berangkat sekarang."

"Harus secepat ini ya?"

"Hal yang baik tak boleh ditunda tunda Ret, mendengar pembicaraan kalian tadi, aku jadi punya ide yang sangat briliant."

"Jangan didengarkan Ret, ide dari Seruni biasanya bukan ide yang baik."

"Hei, begitu ya sekarang kamu sama aku Bay, mentang mentang sudah ada Retno, lalu ..."

"Ide apa yang kau maksud itu Run?"

"Begini, rencana pernikahanku kan ditunda sampai seminggu lagi. Dan mendengar pembicaraan kalian berdua tadi, yang sepertinya juga sudah saling cocok, bagaimana kalau kita nikahnya sama sama saja."

"Hah?!"

"Kenapa kaget begitu? Kau tak ingin segera meresmikan hubungan kalian?"

"Kan sudah kubilang, ide dari Seruni pasti bukanlah ide yang baik."

"Tapi aku setuju dengan ide itu."

"Eh, jadi ..."

"Kenapa Bay? Jangan bilang kalau kau belum siap setelah tadi bersikeras untuk menepati janjimu kepada kakekku."

"Bukannya begitu, tapi ..., masa harus secepat itu."

"Makin cepat makin baik Bay. Benar kata Seruni, niat yang baik harus segera dilaksanakan. Tak boleh ditunda tunda."

"Iya iya, terserah kalian saja lah. Satu lawan dua, sudah pasti aku yang kalah."

"Oh ya Runi, kemarin itu, sebenarnya kamu menghilang kemana? Dan kenapa tiba tiba bisa muncul di punden?"

"Aku tersesat, saat kembali dari punden Kajang kemarin siang itu, aku seperti kehilangan arah dan tak tau jalan pulang ke Ngantiyan. Beruntung aku bertemu dengan seorang perempuan yang wajahnya sangat mirip sengan denganmu Ret. Kukira dia ibumu, ternyata bukan. Perempuan itulah yang mengantarku sampai ke punden Kajang kembali."

"Nyai Retno Selasih."

"Eh, siapa?"

"Ah, bukan siapa siapa. Lupakan saja."

"Bayuuuuu, jahat kamu sekarang ya. Mentang mentang sudah punya Retno Palupi, sekarang berani meledekku yaaa ..."

Kami bertiga tergelak, meski salah satu dari tawa itu terdengar agak sumbang karena terlalu banyak menangis. Makin lama, suara kami semakin terdengar menjauh, seiring dengan menjauhnya bayangan kami bertiga dari punden itu. Lalu suara itu akhirnya benar benar menghilang, tak terdengar lagi di kedua pasang telinga milik dua orang yang diam diam sejak tadi memperhatikan kami bertiga. Sepasang laki laki dan perempuan yang mengenakan busana pengantin jawa lengkap, yang berdiri diantara rimbunnya daun pohon beringin tua itu sambil tersenyum. Senyum kebahagiaan.


--==TAMAT==--
Diubah oleh indrag057
profile-picture
profile-picture
profile-picture
bebyzha dan 99 lainnya memberi reputasi
100 0
100
profile picture
KASKUS Freak
23-03-2021 20:53
@simounlebon wakaka, bahasa apa tuh badabest gan
1
Memuat data ...
1 - 1 dari 1 balasan
icon-hot-thread
Hot Threads
Stories from the Heart
Copyright © 2024, Kaskus Networks, PT Darta Media Indonesia