Aturan itu kayak pasal karet. Ngak ada perpres No 7 tahun 2021 saja, selama ini sudah banyak masyarakat yang dilaporkan atau menjadi korban.
Kata ekstrimisme itu sendiri kata² yang populer di jaman Orba, kalau ngak salah. Disebut ekstrimis dalam laporan nantinya seperti apa, juga masih membingungkan, tafsir, definisinya gimana. Terlihat cara pemerintah memilih kalimat semacam itu seperti menghina akal sehat, sekaligus menakut-nakuti masyarakat, kesannya norak.
Apa jadinya kalau nanti, sampai ngak ketemu dengan yang dibilang atau disebut ekstrimis setelah dilaporkan, bisa jadi interpretasi dari aturan itu macam², bisa jadi disebut ETG', "Ekstrimis Tanpa Gejala", kalau laporannya gitu, kan lucu juga, jadi banyolan.
Orang disebut atau dituduh ekstrimis itu biasanya cukup jelas, langsung terlihat. Tapi kalau orang, masyarakat disuruh mata²in, maka orang yang dianggap ekstrimis malah akan menyembunyikan ekstrimisme nya. Jadi Perpres atau aturan tersebut, malah berpotensi membuat orang yang dicurigai sebagai ekstrimis semakin berhati-hati, makin susah buat dideteksi nantinya sebetulnya. Teroris kalau tahu ada aturan seperti itu juga malah akan merubah caranya di dalam pergaulan di tengah masyarakat, karena tahu dimata-matai, diawasi, diintai, tahu akan dijebak, maka dia akan berbaek-baek cara bicara dan penampilan maupun cara berpikirnya buat mengelabuhi, jadi moderat misalnya, tidak eksrimis. Jadi nanti akan susah membedakan, mana yang moderat karena takut disebut ekstrimis, dan mana yang ekstrimis beneran, atau mana yang ETG. Ngaco juga kan aturannya.
Kalau kriterianya ngak jelas, malah kasihan polisinya karena harus memverifikasi banyaknya laporan² dari masyarakat. Apalagi kalau pemahaman dari masyaralat kurang malah bisa membuat saling curiga mencurigai diantara masyarakat itu sendiri, akhirnya hubungan antara masyarakat ngak harmonis. Misalnya dalam satu RW/Kampung ada warga yang mencurigai tetangganya ( Sesuai penafsiran nya sendiri ), karena dianggap ekstrimis, dengan ciri² A,B,C, dll, kemudian dilaporin, dan yang dilaporkan juga melaporkan balik tetangganya yang melaporkan dirinya ( Tentu juga sesuai penafsiran nya sendiri ) karena dianggap ekstrimis juga, dan kemudian warga² yang lainnya juga begitu. Atau bisa juga nanti ada laporan, misalnya ada dua tetangga ngak akur hidupnya, sering cek cok gitu, tapi kedua anak masing² saling jatuh cinta, pacaran, dan kebetulan ada aturan semacam itu, kemudian salah satu ortunya melaporkan ke polisi dengan aturan itu, pacar anaknya dianggap ekstrimis, bisa saja nanti seperti itu. Kacau bet
Ada semacam prinsip dalam pengendalian politik, dimana kalau pemerintah gagal menghasilkan kesejahteraan, maka pemerintah yang berkuasa akan bicara tentang keamanan nasional. Itulah tukar tambahnya.
Bayangin aja. Dalam keadaan covid, orang disuruh tinggal di rumah, diminta mengurangi kegiatan sosial di luar rumah, tapi dengan aturan itu, masyarakat, diantara tetangga seperti disuruh saling mengintip, saling memata-matai, satu RT, satu RW saling ngintip, jadi berpotensi menimbulkan kerumunan, antar tetangga pada saling berbisik-bisik, janjian mau ketemu bahas soal siapa saja yang ekstrimis, maka terjadilah kerumunan. Jadi Perpres itu, aturan itu malah memancing kerumunan juga sebetulnya. Cara berfikir pemerintah kalau seperti itu bikin ketawa juga. Kalau kata Rocky Gerung itu dungu, disebut dungu itu lebih ke cara berfikir nya, pola pikirnya, jadi ngak menghina orangnya, tapi lebih ke jalan pikiran nya.
Ketika Presiden ngomong bahwa negara tidak boleh kalah, intoleransi akan dibabat habis, kemudian Mahfud MD bilang polisi siber akan diaktifkan, kemudian Hendropriyono menguraikan begini begitu, dan segala macamnya. Semua sinyal² itu sudah bisa diprediksi, apakah negara ini bakalan dipersiapkan menjadi sebuah negara polisi, dalam arti semua kegiatan masyarakat, warga negara bakalan selalu dan terus menerus diawasi, karena semua masyarakat, semua warga negara dianggap ancaman, berpotensi menjadi kriminal. Kalau mau seperti itu ya silahkan...
Kita semua pengen agar terjadi keakraban antar masyarakat, antar warga negara, tapi pemerintah, kekuasaan justru mengumpankan sebuah keadaan baru, yang memungkinkan dimana masyarakat untuk saling curiga mencurigai. Jadi gimana mau terjadi keharmonisan, keakraban kalau setiap orang, masyarakat justru saling mencurigai tetangganya, entah itu di depan rumah, samping rumah, belakang rumah, atau pas di jalan. Ini apa'an coba'
Kalau diliat dari perspektif demokrasi, apalagi HAM, Perpres yang baru di teken Jokowi dan kemudian dipublikasikan secara masif, malah bikin masyarakat gemetar dengernya.
Kalau pemerintah mencurigai adanya teroris, ekstremis ya udah diem² aja kirim intel kemudian tangkap aja kan, atau jebak aja, sehingga terjadi silent operation soal begituan, selesai. Tapi ini pemerintah terkesan malah terang²an mencurigai, menuduh semua rakyat berpotensi jadi ekstrimis, karena itu harus saling lapor melaporkan. Sebab bagaimana pun juga peraturan itu muncul karena kecurigaan, akhirnya menjadi tuduhan.
Jadi sekali lagi, kalau pemerintah mencurigai adanya ekstrimis ya udah lakukan silent operation, kirim intelijen, sebar intelijen. Sebenarnya kegiatan memata-matai itu tugasnya aparat, intelijen ( Dalam hal ini ), bukan masyarakat. TNI sendiri ( 3 Matra ) punya badan intelijen sendiri², Mabes TNI punya BAIS TNI. Polri pun juga sama, punya badan intelijen sendiri, Baintelkam. Dan kemudian ada BIN, yang lingkupnya lebih luas ( Dalam dan Luar Negeri ) dibawah kendali langsung Presiden. Jadi bukan malah menyuruh semua orang jadi intelijen, jadi intel. Kalau jalan pikiran pemerintah seperti itu, yang ada malah nanti dianggap semua orang potensial jadi penjahat, jadi ekstrimis, jadi teroris, maka harus saling lapor melaporkan, jadi malah makin absurd, udah bukan gila lagi. Sudah diluar akal sehat, udah diluar paradigma Pancasila, udah diluar paradigma keakraban, paradigma relationship dan pasti bukan cara² demokratis.
Selama ini, publik di Indonesia kalau bicara soal ekstrimis, teroris, radikalisme, biasanya konotasinya ke umat Islam ( Saya non muslim ya ), dan seperti diketahui bersama bahwa mayoritas di Indonesia itu masyarakat nya beragama Islam. Nah kalau aturan tersebut malah menimbulkan kecurigaan, saling curiga, menimbulkan ketidakakraban, menimbulkan ketidaknyamanan di antara umat itu sendiri bisa jadi berbahaya. Kalau nanti akan seperti itu, dan akan seperti itu, yang ada, yang terjadi bisa terjadi perpecahan, bener² pecah belah. Karena dianggap bahwa sebagian moeslim adalah radikal, dan sebagian dianggap ekstrimis, dan segala macem. Karena itu mesti diamat-amati oleh sebagian yang dianggap baik, kalau cara berpikir nya seperti itu malah mempercepat devided nation. Jadi negara justru terus menerus memecah belah bangsanya sendiri dengan aturan² yang konyol. Dan kekonyolan itu berakar dari ketidakmampuan pemerintah untuk mendistribusikan kemakmuran dan keadilan.
Jadi nanti kalau ada orang lapar, frustasi, putus asa karena ekonomi memburuk, harapan masa depannya jadi kabur, lalu dia bikin sedikit kegiatan di rumahnya, misalnya dia nyeloteh di halamannya, lalu tetangganya denger, dan kemudian dilaporkan ke polisi, khan gila kalau gitu.
George Orwell ( Inggris ) pernah nulis buku, judulnya "1984" ( Novel yang pertama kali diterbitkan pada 1949 dan telah menjadi bacaan wajib di banyak sekolah menengah atas dan universitas sejak saat itu ) yang mengisahkan negara distopian dengan pemerintahan totaliter yang memantau warganya sampai ke ranah pribadi. Buku itu juga menjadi tema iklan televisi terkenal dari perusahaan Apple yang memperkenalkan komputer Macintosh pertamanya pada 1984. Pemerintahan versi Orwell disebut "Big Brother" dengan slogan "Big Brother is watching you" ( Pemerintah mengawasi Anda ). Itu novel semacam satire untuk memperlihatkan aktivitas dari negara Soviet tentang mata mematai, lalu ada juga orang kemudian yang menghubung-hubungkan dengan Hitler juga. Jadi Perpres tersebut semacam versi Indonesia dari Republic Orwellian atau bisa juga semacam Republic of Fear ( Judul buku, saat Sadam Hussein memerintah dengan kapasitas polisi militer dan intelijen, jadinya rakyat terancam )
Jadi pemimpin besar melihat dari atas, karena itu pemimpin besar mengirim sinyal kepada semua orang, kalian harus saling menjaga, ingat tetangga kalian potensi ekstrimis, kemudian ada orang yang bilang "oh iya juga ya tetangga saya banyak yang berpotensi, kemudian banyak masyarakat yang bilang " oh ya juga ternyata tetangga saya juga banyak yang berpotensi". Jadi seluruh tetangga itu nantinya saling mengamati. Lalu yang disebut kehidupan bertetangga itu yang gimana, kalau setiap pagar dipasangi CCTV, pada beli alat penyadap, microphone mini, dan semua tetangga saling mengintai. Konyol.
Ngak ada salahnya mengingatkan pemerintah, agar jangan sampai nantinya pada aplikasi di lapangan itu menjadi buruk ( Dan biasanya memang buruk ) diluar dugaan. Jangan sampai juga keakraban antar warga negara hilang.