Story
Pencarian Tidak Ditemukan
KOMUNITAS
link has been copied
4123
Lapor Hansip
27-08-2020 00:00

TEGAL SALAHAN (Jilid II)

Warning!




TEGAL SALAHAN (Jilid II)(TAMAT)

TEGAL SALAHAN (Jilid II)


Part 1:
Genderuwo Jajan Bakso



Namanya Kang Tarno. Dia ini adalah tetangga ane Gansist. Pekerjaannya, selain sebagai petani juga nyambi berjualan bakso keliling kampung. Kang Tarno memang terkenal sebagai sosok yang sangat rajin dan ulet dalam bekerja.

Ia berjualan dari siang hingga larut malam, berkeliling dari satu desa ke desa lain. Berbeda dengan tukang bakso keliling yang kebanyakan menggunakan gerobak, Kang Tarno berjualan dengan menggunakan rombong yang dipikul. Bukan tanpa sebab. Letak desa yang berada di kaki perbukitan dengan jalanan yang kebanyakan masih berbatu dan naik turun, membuat sedikit kesulitan kalau harus berjualan dengan menggunakan gerobak.

Seperti hari itu, jam sepuluh pagi Kang Tarno sudah siap untuk berangkat berjualan. Setelah membaca Bismillah, dipikulnya rombong bakso yang lumayan berat itu. Ia menyusuri setiap jalanan desa sambil sesekali memukul mukul mangkok dengan menggunakan sendok. "Ting...ting...ting," demikian suara sendok beradu dengan mangkok yang menjadi ciri khas bakso Kang Tarno. Bisa dipastikan setiap terdengar suara itu, maka tak lama lagi Kang Tarno bakalan lewat.

Selain terkenal enak, bakso Kang Tarno juga sangat murah. Satu mangkok hanya ia hargai seribulimaratus rupiah. Tak heran kalau jualan beliau sangat laris. Kami anak anak desa juga sangat menyukainya. Untuk anak anak, Kang Tarno tak pernah mematok harga. Berapapun kami membeli selalu dia layani dengan ramah. Kadang, cukup hanya dengan uang duaratus atau tigaratus perak, kami sudah bisa menikmati satu atau dua buah bola bakso yang ditusuk dengan lidi lalu diolesi kecap dan saos. Terasa sangat lezat dinikmati sambil berjalan pulang dari sekolah.

Namun hari itu sepertinya bukan hari keberuntungan bagi Kang Tarno. Berkeliling desa dari jam sepuluh pagi sampai jam dua sore, baru tiga mangkok bakso yang berhasil ia jual. Kang Tarno tak patah semangat. Ia memutuskan untuk melanjutkan jualannya ke desa sebelah.

Panas terik dan keringat yang bercucuran tak ia pedulikan. Sambil memikul rombong baksonya ia berjalan ke arah utara, menuju ke desa Tarumas. Alhamdulillah, di desa itu ia berhasil menjual lima mangkok bakso.

Sejenak Kang Tarno beristirahat di poskamling yang ada di sudut perempatan jalan. Sambil menikmati sebatang rokoknya, sesekali Kang Tarno kembali memukul mukul mangkok dengan menggunakan sendok, berusaha menarik perhatian para pembeli.

Habis rokok sebatang, tak juga ada pembeli yang datang. Kang Tarnopun kembali memikul rombong baksonya, berjalan ke arah barat, menyusuri jalan raya beraspal menuju ke arah desa Patrolan.

Matahari telah hinggap di punggung bukit Asem di sebelah barat, saat Kang Tarno tiba di desa Patrolan. Beberapa mangkok bakso kembali berhasil ia jual. Saat adzan maghrib berkumandang, Kang Tarno singgah di sebuah warung kopi. Limabelas mangkok bakso telah berhasil ia jual. Jadi ia merasa pantas untuk menghadiahi dirinya dengan secangkir kopi hitam kesukaannya.

Selepas Maghrib, Kang Tarno kembali melanjutkan jualannya. Kali ini ia menuju ke arah selatan, ke desa Mojoretno. Namun, di desa itu sepi. Tak seorangpun yang tertarik untuk membeli baksonya.

Kang Tarno tak patah semangat. Ia mengubah arah langkahnya menuju ke arah timur. Desa Kedhungsono menjadi harapan terakhirnya. Biasanya di malam hari banyak pemuda desa yang nongkrong di poskamling. Mereka langganan tetap Kang Tarno.

Namun harapan tinggal harapan. Sampai di desa itu keadaan juga tak kalah sepi. Tak ada seorangpun yang nongkrong di poskamling. Kang Tarno menurunkan rombong baksonya, lalu duduk di bangku kayu yang ada di poskamling itu. Untuk mengusir rasa sepi, Pak Tarno menyalakan radio kecil yang memang selalu ia bawa saat berjualan. Siaran wayang kulit menemani laki laki itu menikmati rokok kreteknya. Sesekali ia bersenandung, mengikuti alunan suara sinden yang menembangkan gendhing gendhing jawa dari radio kecilnya.

Sampai hampir tengah malam, tak juga ada pembeli yang datang. Pelan Kang Tarno membuka laci tempat uang di rombong baksonya. Beberapa lembar uang ia keluarkan, lalu ia hitung. Baru balik modal, ditambah sedikit keuntungan.

Kang Tarno menghela nafas. Mungkin memang hanya segitu rezekinya hari ini. Setelah merapikan kembali rombong baksonya, Kang Tarnopun kembali berjalan. Kali ini ia memutuskan untuk pulang saja. Percuma juga kalau dilanjutkan berjualan. Hari sudah lewat tengah malam. Tak ada lagi orang yang berkeliaran di jalan.

Sambil memikul rombong baksonya yang terlihat masih sangat berat, Kang Tarno berjalan ke arah utara, melewati area Tegal Salahan menuju ke desa Kedhungjati.

Meski banyak yang bilang kalau area Tegal Salahan ini angker, namun Kang Tarno tak pernah merasa takut. Toh selama ini, setiap pulang berjualan ia selalu lewat di tempat itu. Dan tak pernah sekalipun ia mengalami hal hal yang aneh.

Namun malam itu ada yang berbeda. Kang Tarno merasakan tengkuknya sedikit merinding saat mendekati buk yang ada diantara tanjakan dan turunan jalan Tegal Salahan. Udara juga terasa lebih dingin. Angin yang bertiup sepoi sepoi membawa aroma bau prengus yang menusuk indera penciumannya.

Kang Tarno menghentikan sejenak langkahnya. Dari tempatnya berdiri, terlihat dua sosok bayangan hitam tinggi besar duduk diatas buk beberapa meter di depannya. Satu di sebelah kanan jalan, satu lagi di sisi seberangnya.

"Djanc*k! Apes tenan dino iki. Wes dodolan ra payu, mulih malah dicegat mbah Ndruwo!" (Djanc*k! Apes benar hari ini. Sudah jualan nggak laku, pulang malah dicegat mbah Ndruwo!) gerutu Kang Tarno dalam hati.

Sempat terbersit niat di hati Kang Tarno untuk berputar balik dan mencari jalan lain. Namun niat itu segera ia urungkan. Jalan memutar terlalu jauh. Bisa bisa baru pagi hari nanti ia sampai di rumah.

Akhirnya, setelah mulutnya komat kamit entah mengucapkan kalimat apa, Kang Tarno kembali berjalan dengan kepala sedikit menunduk, berusaha untuk tidak mengacuhkan keberadaan kedua makhluk itu.

Namun, nasib baik rupanya masih enggan untuk berpihak pada Kang Tarno. Saat ia lewat tepat di depan kedua makhluk itu, serempak kedua sosok hitam itu melompat turun dari atas buk dan menghampirinya. Sontak Kang Tarno segera menurunkan rombong baksonya. Kedua lututnya bergetar hebat. Laki laki itu jatuh terduduk diatas jalan berbatu yang sedikit basah oleh embun.

Lewat sudut matanya, Kang Tarno mengamati kedua sosok hitam tinggi besar itu. Sangat menyeramkan. Seluruh tubuh makhluk itu diselimuti oleh rambut lebat berwarna keabu abuan yang terlihat kasar. Dan wajahnya, lebih menyeramkan lagi. Mata bulat besar sebesar lampu senter berwarna merah menyala, hidung pesek besar dengan lubang hidung sebesar pantat gelas, dan mulut lebar dengan sepasang taring sebesar pisang raja yang mencuat dari kedua sudut bibirnya.

Yang lebih menyeramkan lagi adalah, salah satu dari kedua sosok itu memiliki payudara yang sangat besar dan panjang, menggelambir turun hampir menutupi seluruh perutnya yang buncit, tanpa ada sehelai benangpun yang menutupinya. Sangat menjijikkan.

"Bakso, rong mangkok!" (Bakso, dua mangkok!" salah satu dari sosok itu menunjuk ke arah rombong bakso Kang Tarno. Suara makhluk itu terdengar sangat serak dan berat.

Kang Tarnopun mulai sibuk meracik dua mangkok bakso pesanan makhluk itu dengan tangan gemetar. Tak butuh waktu lama, dua mangkok bakso siap dihidangkan. Dan tak menunggu lama juga, tanpa memperdulikan kuah bakso yang panas mengepul, kedua makhluk itu menenggak seluruh isi mangkok sampai tandas tak tersisa.

"As*, duduh panas ngono kok nekat diglogok. Opo ra mlonyoh cangkem'e?" (anj*ng, kuah panas gitu kok nekat ditenggak, apa nggak melepuh tuh mulutnya.) batin Kang Tarno heran.

"Imbuh! Rongpuluh mangkok!" (Nambah! Duapuluh mangkok!") kembali makhluk itu menunjuk rombong bakso Kang Tarno.

"Blaik! Kelakon dirampok Ndruwo tenan ki! Rongpuluh mangkok, gek iki mengko dibayar po ora yo?" (Sial! Beneran dirampok Ndruwo ini! Duapuluh mangkok, kira kira ini nanti dibayar apa enggak ya?) gerutu Kang Tarno dalam hati.

Namun laki laki itu tak kuasa menolak permintaan kedua makhluk hitam besar itu. Lenyap sudah seluruh isi dandang baksonya, setetes kuahpun tak ada yang tersisa. Kang Tarno terduduk lemas, membayangkan kerugian besar yang akan ia derita malam itu.

"HAAAIIIIIIIIKKKKKKKK.....!!!!!" kedua makhluk hitam tinggi besar itu bersendawa dengan sangat kerasnya. Bau nafas busuk menguar dari mulut keduanya, membuat Kang Tarno merasa mual bukan kepalang.

"Dhuwit'e!" (Uangnya!) salah satu dari makhluk hitam besar itu mengulurkan beberapa lembar uang puluhan ribu. Entah uang beneran atau bukan, Kang Tarno tak sempat memeriksanya. Laki laki itu langsung memasukkannya begitu saja ke dalam laci rombong baksonya.

Dan begitu kedua makhluk itu menghilang dibalik kegelapan, Kang Tarno juga langsung ngibrit, setengah berlari menaiki tanjakan jalan Tegal Salahan sambil memikul rombong baksonya yang kini terasa sangat ringan.

***

Keesokan harinya, sebelum berangkat ke pasar untuk berbelanja, Kang Tarno menyempatkan diri memeriksa laci rombong baksonya. Dan benar saja, bukan lembaran uang puluhan ribu yang ia temukan, tapi hanya beberapa lembar daun sirih yang mulai mengering. Lemas seketika sekujur tubuh Kang Tarno. Dengan wajah lesu, akhirnya Kang Tarno menceritakan kejadian yang ia alami semalam kepada bapak mertuanya.

"Sudah, tak perlu kamu pikirkan kejadian itu. Sekarang kamu ke pasar saja, belanja. Nih, pakai uang bapak dulu. Nanti kamu jualan saja seperti biasa. Dan daun sirih itu, biarkan saja di dalam laci rombongmu. Jangan dibuang, siapa tahu bisa membawa keberuntungan." begitu nasehat sang bapak mertua, sambil memberikan beberapa lembar uang puluhan ribu untuk modal belanja Kang Tarno.

Meski sedikit bingung, toh Kang Tarno menuruti begitu saja saran dari bapak mertuanya. Dan benar saja. Entah memang kebetulan atau bagaimana, sejak peristiwa itu, jualan bakso Kang Tarno maju pesat. Sekarang ia sudah memiliki kios bakso di pasar kecamatan yang lumayan ramai, dan tak perlu lagi bersusah payah memikul rombong keliling kampung untuk menjajakan baksonya.



*****
Diubah oleh indrag057
profile-picture
profile-picture
profile-picture
santet72 dan 169 lainnya memberi reputasi
164
Masuk untuk memberikan balasan
stories-from-the-heart
Stories from the Heart
40.9K Anggota • 31.3K Threads
TEGAL SALAHAN (Jilid II)
19-10-2020 09:45

Part 24 : Mbah Kendhil

Quote:
Mbah Kendhil


Namaku Sadiyo. Tapi orang orang lebih sering memanggilku Kendhil, karena kondisu fisikku yang kurang sempurna. Aku lahir pada saat negeri ini masih berada dalam cengkeraman penjajah Belanda.

Bapakku mati ditembak Belanda, tepat di depan mataku. Kehormatan ibuku direnggut paksa oleh serdadu KNIL, juga tepat di depan mataku. Aku dan saudara saudaraku hidup terlantar.

Semenjak kecil, hidupku sudah dipenuhi oleh dendam. Dendam kepada orang orang Belanda yang merenggut nyawa bapakku. Dendam kepada serdadu serdadu KNIL yang merenggut kehormatan ibuku. Dan dendam kepada orang oranh yang tak peduli pada penderitaan kami.

Umur duabelas tahun, aku sudah ikut keluar masuk hutan mengikuti para gerilyawan yang menentang Belanda. Selama dua tahun aku banyak belajar dari mereka.

Di usia limabelas tahun, akhirnya aku berhasil menemukan serdadu KNIL yang dulu menodai ibuku. Di tengah malam buta, bersama ketiga orang temanku, akupun berhasil menyatroni rumahnya. Malam itu, akhirnya aku berhasil menuntaskan salah satu dendamku. Bambu runcing kutancapkan tepat di jantung orang itu, saat ia tengah tertidur lelap.

Namun perbuatanku itu harus kubayar mahal. Teriakan anak dan istri orang itu membangunkan serdadu KNIL yang lain. Kami mencoba kabur. Mereka memburu kami. Desingan peluru berterbangan. Dan salah satunya tepat menembus kepala salah satu temanku. Dia tewas tepat di depan mataku. Dan rasa dendam di hatiku semakin bertambah.

Setelah kejadian itu, aku menyadari bahwa untuk melawan para penjajah itu tsk cukup hanya dengan bambu runcing. Mereka punya senapan yang jauh lebih canggih daripada bambu runcing. Aku harus mencari sesuatu yang bisa mengimbangi kecanggihan senapan mereka.

Aku mulai mempelajari ilmu ilmu kuno peninggalan leluhur. Aku belajar dari satu guru ke guru yang lain. Aku juga sering menyepi dan bertirakat di tempat tempat keramat. Dan usahaku tak sia sia, dengan ilmu yang kudapat, aku lebih mudah melawan para penjajah itu.

Usia duapuluh tahun, aku mulai mengenal cinta. Kecantikan kembang desa Kedhungjati menarik perhatianku. Dan cintaku ternyata tak bertepuk sebelah tangan. Akupun memutuskan untuk melamarnya. Kamipun menikah, dan setahun kemudian kami dikaruniai seorang anak laki laki yang sangat tampan.

Meski telah menikah, namun perjuanganku terus berlanjut. Selama para penjajah itu belum enyah dari negeri ini, aku tak akan berhenti. Apalagi kini, dengan kemampuan yang aku miliki, aku semakin dipercaya oleh para pejuang yang lain untuk memimpin mereka.

Aku juga masih terus mengasah ilmuku. Hingga suatu ketika, aku mendengar ada seorang guru yang sangat sakti di lereng gunung Lawu. Konon ilmunya sangat tinggi, kebal segala macam senjata dan memiliki aji panglimunan.

Tanpa membuang waktu, akupun berangkat ke Lereng Lawu. Bukan hal yang mudah untuk menemui kakek misterius itu. Dan lebih tidak mudah lagi untuk mendapatkan ilmunya. Ilmu yang ia miliki kebanyakan ilmu hitam, dan bersekutu dengan para jin dan siluman penghuni gunung Lawu.

Untuk bisa mendapatkan ilmunya, aku harus rela meninggalkan segala macam kesenangan duniawi, yang berarti aku harus meninggalkan anak dan istri yang sangat sangat aku sayangi.

Tapi rasa dendamku mengalahkan segalanya. Belanda yang dulu menembak bapakku masih bebas berkeliaran. Aku harus menuntaskan dendamku. Syarat yang berat itupun aku terima. Kutinggalkan anak dan istriku demi menuntaskan rasa dendamku.

Seratus hari menyepi di lereng Lawu, akhirnya aku berhasil menguasai semua ilmu kakek misterius itu. Akupun turun gunung. Dan dengan bekal yang aku dapatkan dari kakek misterius itu, akhirnya berhasil juga aku membalaskan kematian bapakku.

Tak tanggung tanggung, di siang bolong di tengah keramaian aku menyerbu tangsi Belanda di kota kecamatan seorang diri. Di tengah berondongan peluru aku mengamuk bagai singa kelaparan. Puluhan serdadu belanda tewas di tanganku. Dan ratusan atau bahkan mungkin ribuan peluru yang diberondongkan ke arahku, tak satupun yang berhasil melukaiku.

Dengan ilmu baruku itu, aku semakin percaya diri. Aku semakin sering melancarkan serangan serangan ke tempat tempat vital markas Belanda, membuat mereka pusing tujuh keliling. Bahkan mereka sampai mengadakan sayembara dan menjanjikan hadiah besar bagi siapa saja yang berhasil menghabisiku. Tapi siapa yang berani dengan si Kendhil yang kini telah menjelma menjadi momok menyeramkan itu.

Sampai akhirnya, Belandapun berhasil kami usir dari negeri ini. Tapi perjuanganku ternyata belum berhasil. Belanda pergi, digantikan oleh Jepang yang juga ingin menguasai negeri ini. Mereka lebih kejam dan licik. Tapi aku tak gentar sedikitpun. Perjuanganku aku lanjutkan sampai akhirnya Jepangpun enyah dari negeri ini.

Indonesiapun memproklamasikan kemerdekaannya. Meski begitu, perjuangan belum berakhir. Belanda masih berusaha untuk kembali menjejakkan kaki di bumi pertiwi ini. Tentu saja kami melawan dengan sekuat tenaga.

Ada yang menawariku untuk bergabung menjadi tentara. Tapi aku tak tertarik. Seiring dengan kondisi negeri yang mulai berangsur membaik, aku memutuskan untuk kembali ke desa dan menjadi seorang petani.

Tapi sepertinya kehadiranku kurang bisa diterima di desa kelahiranku sendiri. Ilmu yang kumiliki membuat warga desa sedikit menjaga jarak denganku. Aku maklum dengan apa yang mereka rasakan. Dan aku juga tak merasa sakit hati. Mungkin memang sudah menjadi takdirku untuk hidup seperti ini.

Untuk mengurangi rasa khawatir warga desa, aku sengaja membangun gubuk di tengah tengah ladangku di Tegal Salahan, terpisah dengan rumah rumah warga yang lain. Hidup sendiri dan menyepi memang tak enak, tapi aku merasa lebih nyaman. Untuk mengusir rasa sepi, aku sengaja memelihara beberapa ekor anjing yang bisa aku jadikan teman. Bukan anjing sembarangan, tapi anjing siluman yang kudapatkan dari salah satu penghuni Tegal Salahan.

Ya, dari dahulu kala Tegal Salahan memang dikenal sebagai tempat yang angker. Dan hanya aku satu satunya orang yang berani tinggal dan menggarap ladang di daerah itu. Namun lambat laun, warga desa yang lain juga mulai memberanikan diri untuk membuka lahan di sekitar situ. Aku jadi tak begitu kesepian lagi. Kadang ada satu dua warga yang memberanikan diri untuk singgah di gubukku. Meski aku tahu mereka singgah karena terpaksa.

Ya, mereka rata rata singgah karena butuh bantuanku. Mengingat Tegal Salahan adalah tempat wingit, jadi tak mudah untuk membuka lahan pertanian di tempat ini. Lahan yang ingin digarap harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum bisa digarap. Dibersihkan dari semak dan rerumputan, juga dari pengaruh mistis para penghuninya.

Dengan senang hati akupun membantu mereka. Dengan kemampuan yang aku miliki, dedhemit penghuni tanah garapan milik warga aku pindahkan ke sekitar kali kecil yang ada di antara jalan tanjakan dan turunan Tegal Salahan. Ada sebuah buk kecil buatan Belanda di tempat itu. Dan tempat itulah yang aku pilih untuk mengumpulkan para dedhemit itu.

Senang rasanya bisa sedikit membantu para penduduk desa. Merekapun mulai bersikap sedikit lebih ramah kepadaku. Kadang ada yang menyempatkan singgah ke gubukku sebelum pergi ke ladang, sekedar membawakan sedikit makanan, atau segenggam tembakau.

Anak dan istri yang kutinghalkan dulu, ternyata juga tak melupakanku. Beberapa kali mereka datang mengunjungiku, dan membujukku untuk ikut tinggal bersama mereka. Tapi aku selalu menolak. Malu rasanya jika mengingat dulu aku meninggalkan mereka begitu saja.

Hingga peristiwa itu terjadi. Negeri yang baru seumur jagung ini kembali dilanda keresahan. Aku tak begitu paham dengan yang namanya politik. Tapi dari desas desus yang aku dengar, kondisi politik sedang panas. Orang saling sikut, saling fitnah, bahkan saling bunuh hanya berbeda pandangan politik.

Hingga pada suatu malam, desa Kedhungjati geger. Orang orang tak dikenal menyerbu desa kami. Orang orang yang dicurigai sebagai pengkhianat bangsa diciduk dan diangkut paksa. Awalnya aku tak begitu tahu, sampai ada yang mendobrak pintu gubukku.

Aku hanya bisa pasrah diseret keluar. Tangan dan kakiku diikat, lalu dilempar keatas truk. Darahku mendidih saat itu, mendapat perlakuan yang tak manusiawi begitu. Tapi amarah kucoba untuk ku tahan. Biar bagaimanapun mereka adalah saudaraku sebangsa setanah air. Tak mungkin aku menyakiti mereka.

Aku dan beberapa orang yang senasib denganku dibawa ke sebuah jembatan yang dibawahnya mengalir deras sebuah sungai yang sangat besar. Disini aku menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan. Satu persatu dari kami dibantai di tempat itu.

Senapan menyalak, golok dan celurit terayun, dan mayat mayat bersimbah darah melayang jatuh ke sungai, untuk selanjutnya hanyut mengambang terbawa arus. Aku hanya bisa memejamkan mata menyaksikan pemandangan itu. Saudara saudara sebangsaku yang dulu aku perjuangkan kemerdekaannya, kini justru saling bunuh.

Hingga tiba giliranku. Tubuhku yang terikat didorong dengan paksa ke tepi jembatan, lalu tanpa basa basi lagi sebilah golok melayang tepat menebas leherku.

"Praaannngggg ....!!!" bukan leherku yang putus, tapi golok itu yang patah jadi dua.

Aku tertawa tergelak, membuat orang orang itu terkesiap. Lalu beberapa orang memberondongkan senapannya ke arahku.

Habis sudah kesabaranku. Dengan sekali hentak, tali yang mengikatku putus. Aku maju beberapa langkah. Kupungut beberapa butir peluru yang berhamburan di tanah, lalu kukunyah dan kutelan.

"Kalian!!! Kalian harus menjadi Tuhan terlebih dahulu untuk bisa membunuhku!!!" geramku menahan amarah saat itu.

Beberapa orang masih berusaha untuk menahanku saat aku hendak melangkah pergi. Namun dengan amarah meluap kubentak mereka.

"Jangan pernah lagi mengganggu hidupku, kalau kalian semua tak mau kucincang dan kujadikan santapan untuk anjing anjing peliharaanku!!!" bentakan yang aku lambari dengan ajian yang kumiliki, ternyata cukup membuat mereka gentar. Merekapun membiarkan aku pergi dengan membawa luka hati yang sangat dalam.

Setelah kejadian itu, aku jadi merasa tak ada gairah lagi untuk hidup. Untuk apa hidup kalau hanya menyaksikan saudara sebangsaku saling bunuh? Untuk apa aku hidup jika hanya untuk menyaksikan negeri yang dulu aku perjuangkan dijadikan ajang perrbutan kekuasaan? Untuk apa aku hidup kalau hanya untuk menyaksikan negeri yang dulu aku perjuangkan kini hancur oleh ketamakan anak anaknya sendiri?

Hingga sebulan kemudian, datan dua orang warga yang katanya diutus oleh Bayan Desa. Desa sedang dilanda pageblug katanya, dan mereka butuh bantuanku. Ah, akhirnya mereka masih membutuhkanku juga. Meski awalnya aku enggan membantu karena teringat perlakuan mereka padaku sebulan yang lalu, toh hati kecilku merasa tak tega juga.

Biar bagaimanapun, mereka masih saudaraku. Tak mungkin kubiarkan mereka mati konyol di depanku. Malamnya, akupun datang ke desa. Kutemui kedua orang itu. Kuajak mereka untuk menyelesaikan pageblug yang melanda desa.

Aku tahu, salah satu dari kedua orang itu memiliki potensi untuk melanjutkan perjuanganku. Jadi secara diam diam kuselipkan sedikit ilmuku padanya, agar kelak ada yang melanjutkan perjuanganku untuk melindungi desa ini.

Pageblug telah usai, dan aku merasa kewajibanku juga telah usai. Usiaku semakin senja, sudah waktunya aku mencari ketenangan jiwa yang paling hakiki.

Dengan tekad mantab, kutinggalkan desa kelahiranku. Kemana aku akan pergi, cukup aku dan Tuhan yang tahu. Selamat tinggal Kedhungjati, aku akan terus menjagamu sampai kapanpun, meski aku tak berada di sini lagi.

*****
Diubah oleh indrag057
profile-picture
profile-picture
profile-picture
arthur.utut2517 dan 65 lainnya memberi reputasi
66 0
66
profile picture
KASKUS Addict
22-10-2020 17:18
Aahhh ... Begitu toh, masih ada yg selamat dr tragedi 65 ... Yg banyak menghilangkan banyak" ajaran leluhur dulu ..
2
Memuat data ...
1 - 1 dari 1 balasan
icon-hot-thread
Hot Threads
Stories from the Heart
short-story-42--bus-pengelana
Copyright © 2024, Kaskus Networks, PT Darta Media Indonesia