Story
Pencarian Tidak Ditemukan
KOMUNITAS
link has been copied
4123
Lapor Hansip
27-08-2020 00:00

TEGAL SALAHAN (Jilid II)

Warning!




TEGAL SALAHAN (Jilid II)(TAMAT)

TEGAL SALAHAN (Jilid II)


Part 1:
Genderuwo Jajan Bakso



Namanya Kang Tarno. Dia ini adalah tetangga ane Gansist. Pekerjaannya, selain sebagai petani juga nyambi berjualan bakso keliling kampung. Kang Tarno memang terkenal sebagai sosok yang sangat rajin dan ulet dalam bekerja.

Ia berjualan dari siang hingga larut malam, berkeliling dari satu desa ke desa lain. Berbeda dengan tukang bakso keliling yang kebanyakan menggunakan gerobak, Kang Tarno berjualan dengan menggunakan rombong yang dipikul. Bukan tanpa sebab. Letak desa yang berada di kaki perbukitan dengan jalanan yang kebanyakan masih berbatu dan naik turun, membuat sedikit kesulitan kalau harus berjualan dengan menggunakan gerobak.

Seperti hari itu, jam sepuluh pagi Kang Tarno sudah siap untuk berangkat berjualan. Setelah membaca Bismillah, dipikulnya rombong bakso yang lumayan berat itu. Ia menyusuri setiap jalanan desa sambil sesekali memukul mukul mangkok dengan menggunakan sendok. "Ting...ting...ting," demikian suara sendok beradu dengan mangkok yang menjadi ciri khas bakso Kang Tarno. Bisa dipastikan setiap terdengar suara itu, maka tak lama lagi Kang Tarno bakalan lewat.

Selain terkenal enak, bakso Kang Tarno juga sangat murah. Satu mangkok hanya ia hargai seribulimaratus rupiah. Tak heran kalau jualan beliau sangat laris. Kami anak anak desa juga sangat menyukainya. Untuk anak anak, Kang Tarno tak pernah mematok harga. Berapapun kami membeli selalu dia layani dengan ramah. Kadang, cukup hanya dengan uang duaratus atau tigaratus perak, kami sudah bisa menikmati satu atau dua buah bola bakso yang ditusuk dengan lidi lalu diolesi kecap dan saos. Terasa sangat lezat dinikmati sambil berjalan pulang dari sekolah.

Namun hari itu sepertinya bukan hari keberuntungan bagi Kang Tarno. Berkeliling desa dari jam sepuluh pagi sampai jam dua sore, baru tiga mangkok bakso yang berhasil ia jual. Kang Tarno tak patah semangat. Ia memutuskan untuk melanjutkan jualannya ke desa sebelah.

Panas terik dan keringat yang bercucuran tak ia pedulikan. Sambil memikul rombong baksonya ia berjalan ke arah utara, menuju ke desa Tarumas. Alhamdulillah, di desa itu ia berhasil menjual lima mangkok bakso.

Sejenak Kang Tarno beristirahat di poskamling yang ada di sudut perempatan jalan. Sambil menikmati sebatang rokoknya, sesekali Kang Tarno kembali memukul mukul mangkok dengan menggunakan sendok, berusaha menarik perhatian para pembeli.

Habis rokok sebatang, tak juga ada pembeli yang datang. Kang Tarnopun kembali memikul rombong baksonya, berjalan ke arah barat, menyusuri jalan raya beraspal menuju ke arah desa Patrolan.

Matahari telah hinggap di punggung bukit Asem di sebelah barat, saat Kang Tarno tiba di desa Patrolan. Beberapa mangkok bakso kembali berhasil ia jual. Saat adzan maghrib berkumandang, Kang Tarno singgah di sebuah warung kopi. Limabelas mangkok bakso telah berhasil ia jual. Jadi ia merasa pantas untuk menghadiahi dirinya dengan secangkir kopi hitam kesukaannya.

Selepas Maghrib, Kang Tarno kembali melanjutkan jualannya. Kali ini ia menuju ke arah selatan, ke desa Mojoretno. Namun, di desa itu sepi. Tak seorangpun yang tertarik untuk membeli baksonya.

Kang Tarno tak patah semangat. Ia mengubah arah langkahnya menuju ke arah timur. Desa Kedhungsono menjadi harapan terakhirnya. Biasanya di malam hari banyak pemuda desa yang nongkrong di poskamling. Mereka langganan tetap Kang Tarno.

Namun harapan tinggal harapan. Sampai di desa itu keadaan juga tak kalah sepi. Tak ada seorangpun yang nongkrong di poskamling. Kang Tarno menurunkan rombong baksonya, lalu duduk di bangku kayu yang ada di poskamling itu. Untuk mengusir rasa sepi, Pak Tarno menyalakan radio kecil yang memang selalu ia bawa saat berjualan. Siaran wayang kulit menemani laki laki itu menikmati rokok kreteknya. Sesekali ia bersenandung, mengikuti alunan suara sinden yang menembangkan gendhing gendhing jawa dari radio kecilnya.

Sampai hampir tengah malam, tak juga ada pembeli yang datang. Pelan Kang Tarno membuka laci tempat uang di rombong baksonya. Beberapa lembar uang ia keluarkan, lalu ia hitung. Baru balik modal, ditambah sedikit keuntungan.

Kang Tarno menghela nafas. Mungkin memang hanya segitu rezekinya hari ini. Setelah merapikan kembali rombong baksonya, Kang Tarnopun kembali berjalan. Kali ini ia memutuskan untuk pulang saja. Percuma juga kalau dilanjutkan berjualan. Hari sudah lewat tengah malam. Tak ada lagi orang yang berkeliaran di jalan.

Sambil memikul rombong baksonya yang terlihat masih sangat berat, Kang Tarno berjalan ke arah utara, melewati area Tegal Salahan menuju ke desa Kedhungjati.

Meski banyak yang bilang kalau area Tegal Salahan ini angker, namun Kang Tarno tak pernah merasa takut. Toh selama ini, setiap pulang berjualan ia selalu lewat di tempat itu. Dan tak pernah sekalipun ia mengalami hal hal yang aneh.

Namun malam itu ada yang berbeda. Kang Tarno merasakan tengkuknya sedikit merinding saat mendekati buk yang ada diantara tanjakan dan turunan jalan Tegal Salahan. Udara juga terasa lebih dingin. Angin yang bertiup sepoi sepoi membawa aroma bau prengus yang menusuk indera penciumannya.

Kang Tarno menghentikan sejenak langkahnya. Dari tempatnya berdiri, terlihat dua sosok bayangan hitam tinggi besar duduk diatas buk beberapa meter di depannya. Satu di sebelah kanan jalan, satu lagi di sisi seberangnya.

"Djanc*k! Apes tenan dino iki. Wes dodolan ra payu, mulih malah dicegat mbah Ndruwo!" (Djanc*k! Apes benar hari ini. Sudah jualan nggak laku, pulang malah dicegat mbah Ndruwo!) gerutu Kang Tarno dalam hati.

Sempat terbersit niat di hati Kang Tarno untuk berputar balik dan mencari jalan lain. Namun niat itu segera ia urungkan. Jalan memutar terlalu jauh. Bisa bisa baru pagi hari nanti ia sampai di rumah.

Akhirnya, setelah mulutnya komat kamit entah mengucapkan kalimat apa, Kang Tarno kembali berjalan dengan kepala sedikit menunduk, berusaha untuk tidak mengacuhkan keberadaan kedua makhluk itu.

Namun, nasib baik rupanya masih enggan untuk berpihak pada Kang Tarno. Saat ia lewat tepat di depan kedua makhluk itu, serempak kedua sosok hitam itu melompat turun dari atas buk dan menghampirinya. Sontak Kang Tarno segera menurunkan rombong baksonya. Kedua lututnya bergetar hebat. Laki laki itu jatuh terduduk diatas jalan berbatu yang sedikit basah oleh embun.

Lewat sudut matanya, Kang Tarno mengamati kedua sosok hitam tinggi besar itu. Sangat menyeramkan. Seluruh tubuh makhluk itu diselimuti oleh rambut lebat berwarna keabu abuan yang terlihat kasar. Dan wajahnya, lebih menyeramkan lagi. Mata bulat besar sebesar lampu senter berwarna merah menyala, hidung pesek besar dengan lubang hidung sebesar pantat gelas, dan mulut lebar dengan sepasang taring sebesar pisang raja yang mencuat dari kedua sudut bibirnya.

Yang lebih menyeramkan lagi adalah, salah satu dari kedua sosok itu memiliki payudara yang sangat besar dan panjang, menggelambir turun hampir menutupi seluruh perutnya yang buncit, tanpa ada sehelai benangpun yang menutupinya. Sangat menjijikkan.

"Bakso, rong mangkok!" (Bakso, dua mangkok!" salah satu dari sosok itu menunjuk ke arah rombong bakso Kang Tarno. Suara makhluk itu terdengar sangat serak dan berat.

Kang Tarnopun mulai sibuk meracik dua mangkok bakso pesanan makhluk itu dengan tangan gemetar. Tak butuh waktu lama, dua mangkok bakso siap dihidangkan. Dan tak menunggu lama juga, tanpa memperdulikan kuah bakso yang panas mengepul, kedua makhluk itu menenggak seluruh isi mangkok sampai tandas tak tersisa.

"As*, duduh panas ngono kok nekat diglogok. Opo ra mlonyoh cangkem'e?" (anj*ng, kuah panas gitu kok nekat ditenggak, apa nggak melepuh tuh mulutnya.) batin Kang Tarno heran.

"Imbuh! Rongpuluh mangkok!" (Nambah! Duapuluh mangkok!") kembali makhluk itu menunjuk rombong bakso Kang Tarno.

"Blaik! Kelakon dirampok Ndruwo tenan ki! Rongpuluh mangkok, gek iki mengko dibayar po ora yo?" (Sial! Beneran dirampok Ndruwo ini! Duapuluh mangkok, kira kira ini nanti dibayar apa enggak ya?) gerutu Kang Tarno dalam hati.

Namun laki laki itu tak kuasa menolak permintaan kedua makhluk hitam besar itu. Lenyap sudah seluruh isi dandang baksonya, setetes kuahpun tak ada yang tersisa. Kang Tarno terduduk lemas, membayangkan kerugian besar yang akan ia derita malam itu.

"HAAAIIIIIIIIKKKKKKKK.....!!!!!" kedua makhluk hitam tinggi besar itu bersendawa dengan sangat kerasnya. Bau nafas busuk menguar dari mulut keduanya, membuat Kang Tarno merasa mual bukan kepalang.

"Dhuwit'e!" (Uangnya!) salah satu dari makhluk hitam besar itu mengulurkan beberapa lembar uang puluhan ribu. Entah uang beneran atau bukan, Kang Tarno tak sempat memeriksanya. Laki laki itu langsung memasukkannya begitu saja ke dalam laci rombong baksonya.

Dan begitu kedua makhluk itu menghilang dibalik kegelapan, Kang Tarno juga langsung ngibrit, setengah berlari menaiki tanjakan jalan Tegal Salahan sambil memikul rombong baksonya yang kini terasa sangat ringan.

***

Keesokan harinya, sebelum berangkat ke pasar untuk berbelanja, Kang Tarno menyempatkan diri memeriksa laci rombong baksonya. Dan benar saja, bukan lembaran uang puluhan ribu yang ia temukan, tapi hanya beberapa lembar daun sirih yang mulai mengering. Lemas seketika sekujur tubuh Kang Tarno. Dengan wajah lesu, akhirnya Kang Tarno menceritakan kejadian yang ia alami semalam kepada bapak mertuanya.

"Sudah, tak perlu kamu pikirkan kejadian itu. Sekarang kamu ke pasar saja, belanja. Nih, pakai uang bapak dulu. Nanti kamu jualan saja seperti biasa. Dan daun sirih itu, biarkan saja di dalam laci rombongmu. Jangan dibuang, siapa tahu bisa membawa keberuntungan." begitu nasehat sang bapak mertua, sambil memberikan beberapa lembar uang puluhan ribu untuk modal belanja Kang Tarno.

Meski sedikit bingung, toh Kang Tarno menuruti begitu saja saran dari bapak mertuanya. Dan benar saja. Entah memang kebetulan atau bagaimana, sejak peristiwa itu, jualan bakso Kang Tarno maju pesat. Sekarang ia sudah memiliki kios bakso di pasar kecamatan yang lumayan ramai, dan tak perlu lagi bersusah payah memikul rombong keliling kampung untuk menjajakan baksonya.



*****
Diubah oleh indrag057
profile-picture
profile-picture
profile-picture
widi0407 dan 170 lainnya memberi reputasi
165
Masuk untuk memberikan balasan
stories-from-the-heart
Stories from the Heart
41.4K Anggota • 31.4K Threads
TEGAL SALAHAN (Jilid II)
16-10-2020 01:28

Part 23h : Pageblug Di Desa Kedhungjati [Bag. VIII]

Quote:Bapak dan Pak Dul terbengong takjub saat memasuki istana itu. Semua kelihatan serba mewah, megah, dan gemerlapan. Suara gamelan masih terdengar mengalun, berada di sudut ruangam dan ditabuh oleh sosok sosok bermuka rata berpakaian adat jawa. Dan selayaknya di tempat hajatan, nampak juga para tamu undangan yang duduk di tempat yang telah disediakan sambil menikmati hidangan yang telah disediakan.

"Kalian tunggu saja disini, aku akan ngobrol sebentar dengan teman lamaku ini," kata Mbah Kendhil kepada bapak dan Pak Dul.

"Hehehe, silahkan, kalian nikmati pestanya, jangan sungkan sungkan, anggap saja di rumah sendiri," si Wewe Gombel terkekeh.

Bapak san Pak Dul masih terbengong di tempatnya. Sedangkan Mbah Kendhil mengikuti Si Wewe Gombel masuk kedalam sebuah ruangan yang ada di dalam istana itu.

Pak Dul dan bapak sejenak memperhatikan semua makhluk yang ada di tempat itu. Hampir semua makhluk halus hadir. Namun sepertinya mereka sama sekali tak mengacuhkan kehadiran bapak dan Pak Dul.

"Dul, aku lapar," bisik bapak pelan.

"Tahan saja laparmu. Kita di tempat dedhemit ini. Belum tentu hidangan yang disediakan cocok dengan lidah kita," Pak Dul ikut berbisik.

"Tapi ...."

"Coba kau perhatikan baik baik, apa yang dimakan oleh para tamu itu," bisik Pak Dul sambil menunjuk ke arah para ramu yang nampak asyik menikmati hidangan.

Bapakpun menajamkan pandangannya. Dan rasa lapar di perutnya berubah menjadi rasa mual saat melihat apa yang dimakan oleh para tamu itu. Di sebuah sudut, sesosok kuntilanak sedang asyik menggerogoti daging panggang. Bukan daging sapi atau kambing, melainkan sepotong lengan manusia utuh lengkap dengan jari jemarinya.

Di sudut lain, sesosok genderuwo sedang asyik menyeruput kuah sop salam panci besar. Bukan sop ayam atau kambing, tapi sop kepala manusia utuh lengkap dengan rambut rambutnya.

Ada lagi sesosok manusia berkepala harimau yang sibuk menggerogoti sepotong kaki manusia, dan masih banyak lagi hidangan hidangan ekstrim yang membuat perut bapak semakin mual.

"Ya sudah, ayo kita duduk disana saja," kata bapak akhirnya sambil menunjuk ke tempat yang agak jauh dari tempat para tamu itu duduk.

"Nggak jadi makan?" ledek Pak Dul sambil menahan senyum.

"Nggak nafsu," dengus bapak sambil melangkah menjauh dari tempat itu.

Mereka lalu duduk di pojokan, sambil tetap memperhatikan suasana pesta itu. Beberapa penari nampak sedang melenggok lenggok di atas panggung. Berbeda dengan makhluk makhluk yang lainnya yang rata rata berwajah seram dan menjijikkan, para penari ini memiliki paras yang sangat rupawan. Cantik jelita dan berusia masih sangat muda.

"Penarinya cantik cantik ya Dul, beda dengan para penabuh gamelan dan para tamu itu." bisik bapak lagi.

"Ah, biar cantik juga mereka bukan manusia Min. Aku ndak tertarik."

"Ya paling tidak kita bisa nonton hiburan gratis Dul. Kapan lagi bisa lihat gadis gadis secantik mereka. Mana menarinya juga luwes banget, mirip penari keraton."

"Lha ini kan memang di keraton Min, keraton dhemit! Sudah, ndak usah ngelantur ngomongnya. Daripada ngomong yang enggak enggak begitu, lebih baik kita pikirkan bagaimana nasib kita nanti. Kita sedang di alam gaib ini, dan desa kita juga sedang dalam bahaya. Kamu kok malah mikir perempuan."

"Hehehe, daripada ndak ada yang diomongin Dul. Eh, kira kira di dalam sana simbah sedang apa ya?"

"Mana aku tahu? Kita tunggu saja, mudah mudahan simbah cepet keluar. Sudah ndak betah aku di tempat ini."

Benar saja, tak lama kemudian nampak Mbah Kendhil keluar dari dalam ruangan yang tadi dimasukinya, diikuti oleh Si Wewe Gombel. Mereka nampak sedang membicarakan sesuatu. Di tangannya, mbah Kendhil juga nampak menenteng sebuah kendhi besar. Bapak dan Pak Dulpun segera berdiri dan menghampiri Mbah Kendhil.

"Gimana Mbah?" tanya Pak Dul tak sabar.

"Beres. Ayo kita pulang," sahut Mbah Kendhil sambil melangkah keluar dari bangunan istana itu. Bapak dan Pak Dulpun mengikutinya.

"Eh, tunggu," seru Mbah Kendhil saat tiba di depan gerbang keraton. "Kalian tadi di dalam ngapain saja?"

"Nggak ngapa ngapain Mbah, kami cuma duduk duduk saja menunggu simbah," jawab Pak Dul.

"Kalian ndak makan atau minum sesuatu kan?"

"Ndak Mbah, boro boro makan atau minum, melihat hidangannya saja kami sudah mual."

"Bagus! Jangan membawa apapun keluar dari tempat ini, meski itu hanya sebuah batu kerikil. Juga jangan tinggalkan benda apapun milik kalian di tempat ini meski hanya sehelai rambut kalian. Kalian paham?!"

"Iya Mbah, kami paham," sahut bapak dan Pak Dul hampir bersamaan.

"Ya sudah, ayo kita pulang. Ingat, ikuti saja langkahku, dan jangan sekali kali menoleh ke belakang sebelum seratus langkah." bapak dan Pak Dul menurut. Mereka mengikuti langkah Mbah Kendhil tanpa banyak bersuara.

"Kita sudah sampai. Sekarang kalian kedipkan mata kalian tiga kali," kata Mbah Kendhil setelah mereka berjalan agak jauh. Bapak dan Pak Dulpun lagi lagi hanya menurut. Mereka mengedipkan mata tiga kali. Dan ajaib, semua pemandangan yang tadi mereka lihat telah lenyap, berganti suasana gelap dan sepi di halaman rumah Mbah Kendhil.

"Nih, bawa ini pulang," Mbah Kendhil memberikan kendhi yang dibawanya kepada Pak Dul.

"Apa ini Mbah?" tanya Pak Dul heran sambil menerima kendhi itu.

"Kamu ndak tau kalau benda itu namanya kendhi?"

"Ya tau Mbah, tapi maksudku kendhi ini buat apa?"

"Bagikan air dalam kendhi itu kepada semua warga desa, tanpa terkecuali, baik laki laki maupun perempuan, dari bayi, anak anak, sampai orang tua. Pokoknya semua harus kebagian, meski hanya setetes. Paham?"

"Iya Mbah, kami paham," jawab bapak dan Pak Dul.

"Ya sudah kalau sudah paham, cepat pulang sana. Aku ngantuk, mau tidur," Mbah Kendhilpun segera melangkah ke teras dan membuka pintu kamarnya. Sedang bapak dan Pak Dul segera berbalik dan berjalan menuju ke arah desa.

Namun baru beberapa langkah, Pak Dul seperti ingat sesuatu. Ia menghentikan langkahnya dan kembali berbalik memanggil Mbah Kendhil yang sudah bersiap untuk menutup pintu.

"Mbah!"

"Apa lagi?!"

"Apa sekarang kami sudah bisa dilihat orang?"

"Ah, iya. Aku lupa belum mencabut mantraku," seru Mbah Kendhil sambil menepuk jidatnya.

"Nah, kan. Untung aku ingat."

"Ya sudah, kalian pulang saja. Nanti begitu kalian sudah kencing juga mantraku bakalan hilang dengan sendirinya, dan kalian akan kelihatan lagi," seru Mbah Kendhil sambil menutup pintu. Namun baru beberapa detik pintu itu kembali terbuka. "Bilang juga pada Bayan, setelah masalah ini selesai, minta dia supaya mengangkat kamu Dul, menjadi Modin. Desa ini kan belum punya Modin. Dan kamu Min, minta sama Bayan untuk mengangkatmu menjadi sobak (orang yang tugasnya mengurus saluran irigasi), sobak yang sekarang sudah terlalu tua. Anggap saja itu hadiah atas kwrja keras kalian malam ini!"

Pintu kembali ditutup oleh Mbah Kendhil. Bapak dan Pak Dul hanya saling pandang, tak mengerti dengan kelakuan orang tua aneh itu. Tapi mereka merasa sedikit lega. Paling tidak malam itu mereka telah mendapatkan sesuatu untuk mengatasi masalah di desanya. Mudah mudahan air dalam kendhi ini benar benar bisa mengatasi pageblug yang sedang melanda desa Kedhungjati.

bersambung
Diubah oleh indrag057
profile-picture
profile-picture
profile-picture
MFriza85 dan 46 lainnya memberi reputasi
47 0
47
profile picture
KASKUS Freak
16-10-2020 23:51
@kkjavu bisa jadi gan, zaman sekarang mah apa apa duit, sampai ilmu dan pengetahuan pun dikomersialkan
1
Memuat data ...
1 - 1 dari 1 balasan
icon-hot-thread
Hot Threads
Stories from the Heart
short-story-51--siksa-kubur
Stories from the Heart
Stories from the Heart
Copyright © 2024, Kaskus Networks, PT Darta Media Indonesia