Story
Pencarian Tidak Ditemukan
KOMUNITAS
link has been copied
902
Lapor Hansip
11-07-2020 15:45

Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA

Heningnya malam antarkan getaran nestapa hatiku,
diri ini onggokan debu kelak tersapu ombak waktu.

saking penggalan tutur Kalih Pingpitu



BAB I
(Raden Rangga)

Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
Gbr diambil dr : islamidia.com

Semilir udara pagi menusuk tulang dan matahari masih sembunyi dalam selimut malam, tapi sayup-sayup sudah terdengar suara kesibukan di beberapa rumah. Bau nasi ditanak, tercium samar-samar, seiring suara kesibukan di dapur. Di rumah lain ada juga yang diwarnai tangisan bayi dan dendang si ibu bernyanyi berusaha menenangkan si jabang bayi.

Perlahan-lahan, sebuah kademangan kecil di pinggiran Kerajaan Watu Galuh, bangun dari tidurnya. Seiring langit pagi yang berubah warna, hari yang baru pun dimulai.

Pintu-pintu rumah mulai terbuka, para lelaki berangkat bekerja, entah itu ke ladang dan sawah, ataupun pekerjaan lainnya seperti berburu, pande besi, pedagang dan sebagainya. Para wanita pun memiliki kesibukannya mereka, ada yang sibuk di dapur, ada pula yang pergi mencuci ke sungai. Sementara yang masih anak-anak mulai berkumpul membentuk kelompok-kelompok, sibuk dengan permainan serta petualangan mereka sendiri.

Denyut-denyut kehidupan mengisi seluruh kademangan, …, kecuali di satu tempat.

Tepat berada di tengah-tengah pemukiman penduduk Kademangan Jati Asih, terlihat sebuah rumah yang pintu dan jendelanya masih tertutup rapat.

Di sekeliling rumah itu terhampar kebun yang cukup luas. Kebun itu dipenuhi tanaman tapi terlihat tidak terawat, dipagari pagar bambu, tapi ala kadarnya saja.

Seperti juga pintu rumah yang masih tertutup, pintu pagar yang sudah legrek itu, juga masih berdiri malas menghalangi jalan masuk orang ke dalam pekarangan.

Suasana di sekitar rumah itu jadi makin sunyi, karena setiap orang yang akan melewati rumah itu akan berjalan dengan hati-hati dan sesedikit mungkin mengeluarkan suara, seperti takut membangunkan seseorang atau sesuatu.

Yang sedang berjalan bersama sambil ngobrol dengan tetangga, begitu mendekati rumah tersebut akan menutup mulut dan baru setelah lewat, mereka kembali mengobrol dengan penuh semangat. Yang berjalan sendirian dan menghibur diri dengan bersiul-siul, akan berhenti bersiul ketika lewat di depan rumah tersebut.

Bahkan anak-anak pun terlihat lebih menahan diri waktu melewati rumah tersebut, meskipun yang namanya anak-anak, sudah tentu susah buat menahan tawa dan canda.

Ketika penduduk Kademangan Jati Asih sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing, rumah itu pun jadi semakin terasa sunyi. Meski letaknya di tengah-tengah rumah-rumah yang lain, kesunyian-nya membuat rumah itu seperti berada di dunia yang berbeda. Sebuah pulau terasing di tengah keramaian.

--------

Matahari perlahan-lahan merayapi langit, selambat siput tapi ajeg dan pasti. Tak pernah terhenti setarikan nafas pun, mengikuti tulisan Sang Maha Pencipta. Langit biru cerah, sesekali disaput awan tipis. Angin berhembus sepoi-sepoi, membuat rumput dan bunga liar bergoyang, mengayunkan tarian tanah surga. Burung-burung mengiringinya dengan kicauan, berpadu dengan gemericiknya air sungai dan suara kesibukan di kejauhan.

Rumah dan pekarangannya yang luas itu, tenggelam dalam tidur dengan nyenyaknya.

----------

Ketika matahari tepat sampai di tengah hari, pintu rumah itu tiba-tiba berderit terbuka perlahan-lahan.

Seorang laki-laki dengan rambut panjang tak berikat, berjalan keluar, gerak-geriknya serba kemalas-malasan, seakan mau berlomba, siapa yang bisa berjalan lebih lambat, melawan matahari yang berada tepat di atas kepalanya.

Sambil meregangkan badan, laki-laki itu menatap langit yang sudah terang benderang. Lalu lama terdiam, seperti orang lupa ingatan.

Waktu terus berlalu. Angin berhembus silir-silir. Suara bebek berkuak sayup-sayup terdengar di kejauhan. Gemericik suara air sungai kecil di belakang rumah, dan laki-laki itu hanya diam menatapi langit.

Sampai tiba-tiba terdengar perutnya berkeruyuk, “Kruuuk.....kluthuk kluthuk...”

Laki-laki itu pun menundukkan kepala, mengamati perutnya sendiri dan bergumam, “Oalah...ra duwe isin... saben dina njaluk diiseni...(terjemahan : dasar tak tahu malu, setiap hari minta diisi)

Kalau dilihat dari dekat, laki-laki itu tak terlalu tua, wajahnya tidak tampan, namun memiliki lekuk-lekuk garis wajah yang tegas dan berwibawa. Alisnya tebal dan membentuk garis yang tajam, memayungi matanya yang kemalas-malasan. Bibir-nya sedikit tersenyum, terlihat ringan tak ada beban hidup.

Sayangnya penampilan yang mestinya menarik itu, terpolusi dengan bau pemalas yang melekat erat pada dirinya. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, kesan pemalas itu terpatri di sudut-sudut ekspresi gerak-gerik tubuhnya.

Masih dengan kemalas-malasan laki-laki itu pergi ke dapur di belakang rumah. Di antara onggokan sisa kayu bakar, terlihat masih ada sisa-sisa singkong dengan kulit menghitam.

Diambilnya mangkok dari bathok kelapa dan tak lama kemudian dia menyibukkan diri mengupas kulit singkong yang sudah hangus itu dengan jari-jari tangannya.

Tangannya terlihat liat dan kokoh, dengan otot padat dan pembuluh menyembul menghiasi lengan. Telapak tangan dan jari-jari-nya terlihat keras dengan kulit tebal dan bekas luka di sana sini.

Tak berapa lama kemudian, laki-laki itu sudah bersantai di halaman belakang rumahnya. Berteduh di bawah pohon yang rindang. Dengan nikmatnya dia mengunyah singkong bakar sambil menekuni beberapa gulungan daun lontar.

Mulutnya tak berhenti mengunyah, sementara matanya menyusuri huruf demi huruf. Ketika membaca sorot matanya tampak serius, hilang bau malas yang tadi menguar dari aura tubuhnya. Mengamati sorot matanya, seperti melihat ke permukaan danau yang dalam, tenang tanpa riak gelombang.

------

Tiba-tiba sorot mata yang tenang itu berubah menjadi tajam.

Daun telinganya bergerak-gerak seperti telinga kelinci. Sesaat kemudian alisnya berkerut. Jarinya menggurat-gurat tanah, menghitung-hitung sesuatu.

“Hmm.... sepertinya raja tua itu akhirnya mangkat juga...”, desisnya.

Dengan hati-hati dia meletakkan gulungan-gulungan lontar ke dalam sebuah kotak kayu, kemudian menutupnya baik-baik. Laki-laki itu pun bangkit berdiri dan berjalan ke dalam rumah. Ketika dia keluar ke halaman depan, kotak kayu yang berisi gulungan lontar itu sudah tidak berada di tangan-nya.

Penampilannya juga sudah berubah.

Rambutnya sudah digelung dan dirapikan, meskipun masih terlihat kemalas-malasan, namun aura wibawa yang terpendam, sedikit terpancar dari penampilannya sekarang ini.

Dia bersihkan amben bambu yang ada di depan rumahnya, sesudah itu dia siapkan satu kendi besar air minum dan 4 buah gelas dari potongan bambu. Sisa singkong bakar yang belum habis dia makan, dia hidangkan pula di sebuah piring dari tanah liat.

Laki-laki itu mengamat-amati hidangan yang sudah dia siapkan, sepotong singkong yang terlalu kecil dia ambil dan dilontarkan ke mulutnya sendiri., “Hehee... lumayan...”

Entah, maksudnya sajian di amben itu yang lumayan enak dilihat, atau singkong yang dia kunyah yang lumayan rasanya.

Setelah menyiapkan semuanya, dia pun pergi untuk membuka pintu pagar pekarangan. Baru saja dia membuka pagar, di ujung jalan terlihat empat orang laki-laki berlari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya.

Melihat lelaki pemalas itu, ke empat laki-laki itu yang sedang berlari itu menghentikan larinya. Mereka berjalan cepat dengan sedikit membungkukkan badan, menunjukkan rasa hormat.

“Aduh den... ketiwasan den... ketiwasan.... Raden Rangga... kademangan kita tertimpa musibah.” Ujar salah satu dari empat orang laki-laki itu dengan nafas masih memburu, begitu mereka sampai di hadapan si lelaki pemalas.

Di antara mereka berempat, dialah yang tertua dan berjalan paling depan.

Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu dengan tenang menepuk-nepuk pundak laki-laki tua itu, “Sudah...sudah...cup...cup...cup... Seperti langit mau rubuh saja...”

“Eh... ya...” Ki Demang bingung tak tahu harus menjawab apa.

Suasana yang tadinya tegang jadi sedikit cair. Entah siapa, Ki Demang mendengar salah seorang pengikutnya tertawa kecil. Karena tak mungkin dia marah pada Raden Rangga, akhirnya dia cuma bisa melotot pada tiga orang lain yang ikut datang bersama dia.

“Ki Demang jangan panik dulu. Mari masuk ke dalam, baru nanti ceritakan perlahan-lahan, apa yang terjadi, hingga Ki Demang jadi panik seperti sekarang ini.” Ujar Raden Rangga tidak memperpanjang godaannya pada Ki Demang.

Tanpa menunggu empat tamunya dia berjalan menuju ke amben di depan rumah.

Ketenangan-nya menular ke empat laki-laki yang lain. Tinggal sebersit rasa cemas masih menghiasi raut wajah mereka. Laki-laki yang dipanggil Raden Rangga itu memang jauh lebih muda dari mereka berempat. Namun, wibawa dan ketenangan yang memancar dari dirinya, membuat mereka merasa menemukan pegangan yang bisa mereka percaya dalam menghadapi semua masalah.

“Minum dulu.”, ujar Rangga singkat.

Empat lelaki itu melihat empat buah gelas yang sudah disediakan, tepat empat sesuai jumlah mereka yang datang. Lalu teringat pula, Rangga yang pemalas dan hampir tidak pernah keluar dari rumah, sudah menunggu mereka di depan pagar, ketika mereka tiba.

Ki Demang dan tiga orang pengikutnya saling berpandangan. Dari sorot mata mereka, terlihat rasa kagum. Selesai mereka minum beberapa teguk, Rangga mengangsurkan singkong bakar ke arah mereka.

“Baik sekarang coba Ki Demang coba ceritakan dengan runut, tidak perlu terburu-buru,” kata Rangga berwibawa.

----------


“Pagi ini, datang menemui kami, seorang cantrik asuhan Resi Natadharma, membawa kabar genting...” Sampai di situ, Ki Demang terlihat berat untuk melanjutkan.

Raden Rangga tidak berkata apa-apa, hanya menunggu Ki Demang melanjutkan penuturannya.

Akhirnya Ki Demang pun melanjutkan degan terbata-bata, “Sang prabu dikabarkan sudah berpulang seminggu yang lalu.... dan putera mahkota Pangeran Puguh yang sekarang bertakhta, dengan gelar Prabu Jannapati.”

Ki Demang dan tiga lelaki yang lain, mengamati baik-baik raut wajah Rangga, berharap melihat dia menunjukkan reaksi tertentu. Namun mereka hanya bisa menelan rasa penasaran, karena wajah Rangga biasa-biasa saja, tak bergejolak sedikit pun.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

“Resi Natadharma mengingatkan, sikap raja yang sekarang, bisa jadi berbeda dengan almarhum kanjeng prabu yang sudah wafat”, jawab Ki Demang.

“Itu saja?”, tanya Rangga.

Ki Demang tampak ragu-ragu sebelum menambahkan, “Ini bukan pesan dari Resi Natadharma, tapi dari cerita cantrik yang menjadi utusan. Menurutnya, akan ada pembersihan oleh raja yang baru. Terlihat satuan-satuan pasukan dari beberapa kadipaten, yang diminta berkumpul ke ibu kota.”

“Sementara Pangeran Adiyasa, adik Pangeran Puguh, yang sebelumnya sempat didukung beberapa orang menteri dan penasehat agar dipilih menjadi putera mahkota, pergi tetirah ke Kadipaten Banyu Urip, sehari setelah upacara pengangkatan Prabu Jannapati.”

“Itu saja?”, untuk ketiga kalinya Rangga bertanya.

Ki Demang terlihat ragu, tapi akhirnya menganggukkan kepala, “Itu saja Den.”

Rangga tersenyum, “Kalau tidak ada yang lain, aku ingin melanjutkan tidur siangku.”

Ki Demang dan tiga tamu yang lain saling berpandangan.

Seorang dari mereka, seorang laki-laki setengah baya dengan badan kekar dan berkumis tebal, memberanikan diri untuk bertanya pada Rangga, “Raden... apa kita tidak perlu bersiap-siap?”

“Bersiap-siap untuk apa Ki Jagabaya?”, Rangga balik bertanya.

“Siap-siap... eh... bagaimana tentang kabar akan ada pembersihan...”, ragu-ragu Ki Jagabaya berusaha menjawab.

Raden Rangga tertawa kecil, lalu berdiri dari duduknya, dan mengangguk ke arah pintu keluar. Ke-empat tetamunya pun, terpaksa ikut berdiri dan dengan setengah hati berjalan pergi.

Ketika Ki Demang berjalan melewati dirinya, Rangga menepuk pundak lelaki tua itu, “Jangan kalian pikirkan tentang ruwetnya urusan di ibu kota. Aku kenal baik siapa itu Pangeran Puguh, percayalah, kademangan ini baik-baik saja.”

Mendengar jawaban Rangga, hati ke-empat tamunya pun jadi sedikit lega. Mereka tidak percaya pada raja yang baru ini, tapi mereka percaya Rangga. Rangga mengantar mereka sampai ke pagar depan, selama berjalan dia terlihat diam dan berpikir. Ke-empat tamunya itu tidak berani mengganggu.

Ketika mereka hendak berpamitan, Rangga berkata, “Setidaknya untuk saat ini, biarkan semuanya berjalan seperti biasa.”

Ki Demang dan Ki Jagabaya saling berpandangan, wajah mereka terlihat hikmat. Resi Natadharma tidak mungkin mengirimkan utusan jika tidak ada berita yang sifatnya genting. Namun bila gosip dari cantrik itu benar, mereka pun tidak bisa membayangkan apa yang bisa dilakukan kademangan kecil seperti kademangan mereka menghadapi satuan khusus sebuah kerajaan. Itu sebabnya mereka merasa panik. Ketenangan dan jaminan dari Rangga memang menguatkan hati mereka, tapi tetap saja rasa terancam itu tidak hilang dari hati mereka.

“Kami mengerti Den”, jawab mereka hampir serempak.

“Aku akan meninggalkan Kademangan Jati Asih untuk beberapa waktu. Tidak lama ... tidak akan lebih dari seminggu. Kalau ada yang mencariku, Ki Demang suruh saja dia menunggu, atau meninggalkan pesan.”, Rangga menambahkan.

“Apakah kepergian Raden perlu kami rahasiakan?”, tanya Ki Demang.

Rangga menggelengkan kepala, “Tidak usah, hanya akan membuat kecurigaan yang tak perlu.”

Rangga masih menunggu Ki Demang dan yang lain hilang di ujung jalan, sebelum dia kembali ke dalam rumah. Tak ingin kepergiannya dilihat banyak orang, baru setelah mendekati tengah malam, Rangga berjalan meninggalkan Kademangan Jati Asih.

Membawa buntalan di atas pundak, Rangga berjalan menelusuri pematang-pematang sawah, jauh dari rumah-rumah penduduk. Sesekali terlihat sekelompok peronda yang berjalan mengitari jalan-jalan di Kademangan Jati Asih, namun tidak sulit bagi Rangga untuk bersembunyi dari pandangan mata mereka. Hanya dengan berhenti bergerak saja, dalam sepersekian tarikan nafas, keberadaan-nya seperti mengabur dari kesadaran orang-orang lain di sekelilingnya. Jangankan dari kejauhan dan tersembunyi dalam gelap. Rangga bisa saja berdiri satu meter di depan mereka, tanpa mereka sadar ada orang di depannya.

Rangga tidak berlari, hanya berjalan saja, bahkan langkah-langkahnya tidak terlihat cepat bergegas, tapi tubuhnya ringan seperti tertiup angin. Kalau memakai jubah putih, sudah terlihat melayang-layang seperti arwah gentayangan.

Rangga dengan cepat sampai ke perbatasan Kademangan, tak ada halangan yang berarti selama perjalanan.

Namun, ketika setapak saja kakinya baru melangkah meninggalkan batas kademangan Jati Asih, tiba-tiba satu sosok berkelebat cepat, jauh lebih cepat dari gerakan Rangga, menghadang jalannya. Suara angin berkesiur mengikuti lontaran sepasang kepalan tangan ke arah dada Rangga.

Rangga tidak kalah cepat bereaksi, tubuhnya menyurut mundur, seringan bulu yang tertiup angin. Dua tangannya bergerak menyambut kepalan lawan dengan telapak tangan yang terbuka. Ketika kedua pasang tangan itu bertemu, tidak terdengar suara benturan yang keras. Bahkan hampir-hampir tidak ada suara benturan sedikitpun. Namun tenaga yang dibawa dua tinju itu teredam oleh dua telapak tangan Rangga.

Dengan ringan tubuh Rangga melayang mundur, memasuki kembali tapal batas Kadengan Jati Asih, sementara sosok yang menyerang dirinya juga tidak maju memburu.

Matahari masih jauh dari terbitnya, ketika Rangga sampai di batas terluar Kademangan Jati asih. Orang-orang yang normal, masih nyenyak dalam tidurnya, tapi di garis perbatasan Kademangan Jati Asih, diapit dua gapura penanda batas, berdiri dua sosok saling berhadapan, dengan kaki terpentang menancap kukuh di bumi.


Bersambung ke bab II

Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA

Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
Diubah oleh lonelylontong
profile-picture
profile-picture
profile-picture
ciptoroso dan 54 lainnya memberi reputasi
53
Masuk untuk memberikan balasan
stories-from-the-heart
Stories from the Heart
41.6K Anggota • 31.5K Threads
Cerita Silat Bersambung --- MAHAKALA YAJNA
12-07-2020 00:23
Hamparan ladang ilalang jadi ambang batas dua dunia.
Nafas kesatria memenuhi udara, deru pukulannya m3m3kakkan telinga.
Otot kawat balung besi. Keduanya tangguh tak tergoyahkan oleh takut dan derita.


– Pinutur Papat Pingpitu

PART TWO
(Ki Ageng Aras)


Udara pagi itu dihiasi kabut tipis, langit berwarna nila menjelang munculnya matahari. Namun udara di perbatasan Kademangan Jati Asih terasa memanas, bergolak oleh percikan api yang seakan memancar dari dua orang laki-laki yang sama-sama berkemauan kuat.

“Raden Rangga... lama kita tidak bertemu, tampaknya ilmu panglimunan-mu semakin matang saja.” Laki-laki yang menghadang jalan Rangga membuka mulut.

“Heehee... bagaimana lagi ki, selama bertahun-tahun, setiap hari aku tidak ada kerjaan yang lain kecuali mengasah ilmu. Tapi nyatanya ilmu panglimunan-ku belum bisa bersembunyi dari tajamnya mata Ki Ageng Aras.”, jawab Rangga.

“Betul juga..., sepertinya Raden Rangga perlu mengasah ilmu lebih matang lagi. Bagaimana menurut raden? Apakah raden tidak berpikir demikian?” Laki-laki yang bernama Ki Ageng Aras itu menganggukkan kepala, menunjuk ke arah Kademangan Jati Asih.

Rangga menggelengkan kepala, “Aku ingin menengok Dimas Pangeran Puguh, sekalian nyekar ke makam Paman Prabu Anglang Bhuanna. Ki Ageng Aras tak perlu kuatir, setelah bertemu Dimas Puguh, sudah pasti aku akan kembali ke Jati Asih.”

“Jangan berkeras den, bukankah dulu Raden Rangga sendiri yang berjanji pada Baginda Prabu akan menghabiskan waktu di Jati Asih?” Ki Ageng Aras tak bergeming.

“Ki Ageng..., aku harap Ki Ageng tidak terlalu kaku menjalankan titah Pamanda Prabu. Dengan mangkatnya pamanda prabu, situasinya jadi berbeda saat ini. Ki Ageng tidak perlu kuatir, tidak ada niatan sedikitpun dalam hati ini untuk menuntut hak-ku atas tahta Kerajaan Watu Galuh. Jika aku sekarang pergi meninggalkan Jati Asih, tidak lebih hanya karena ingin menenangkan hati Adi Puguh. Aku rasa Ki Ageng pun tentu tahu, bagaimana sifat Adi Puguh.” Dengan tenang Rangga berusaha menjelaskan.

Ki Ageng Aras terdiam untuk beberapa lama. Sifat raja yang baru naik takhta ini memang sudah bukan suatu rahasia. Itu pula sebabnya beberapa menteri dan pejabat dalam istana, sempat berusaha agar adiknya Pangeran Adiyasa bisa menggantikan posisinya sebagai putera mahkota.

“Apa sekarang Raden Rangga berniat menelan ludah sendiri?” Ki Ageng Aras mengeraskan hati, rahangnya bergemeretak menahan kegalauan dalam hati.

“Bukankah waktu itu Ki Ageng Aras juga hadir? Atau mungkin Ki Ageng Aras lupa? Di depan pamanda dan sekalian adipati, aku mengucap sumpah tak akan menuntut balas atas kematian Ramanda Prabu Jaya Lesmana, dan selama pamanda memerintah Kerajaan Watu Galuh, aku akan mengasingkan diri. Setapak-pun tidak akan meninggalkan Kademangan Jati Asih ini.” Jawab Rangga atas tuduhan Ki Ageng Aras.

Ki Ageng Aras terdiam, terbayang kembali dalam benaknya peristiwa di masa lampau, ketika raja yang sah dari Kerajaan Watu Galuh mangkat di usia yang terbilang masih muda. Penyebab kematiannya pun mengundang tanda tanya.

---

Saat itu udara di Balairung Agung terasa pekat oleh ketegangan. Layon Prabu Jaya Lesmana masih terbaring di atas tandu kayu berhiaskan ukir-ukiran burung garuda. Bunga-bunga ditabur menutupi badannya dan di sekeliling tandu dibakar kayu gaharu.

Suasana hikmat yang harusnya mengiringi upacara pembakaran jenazah sang prabu, berubah menjadi suasana tegang bercampur kemarahan, ketika adik kandung sang prabu sendiri datang bersama sepasukan prajurit terpilih, mengajukan tuntutan atas takhta kerajaan.

Rangga yang waktu itu masih berusia dua belas tahun, berdiri dengan tegak, berhadapan dengan paman-nya Pangeran Israya, yang kemudian nantinya menjadi raja dengan gelar Prabu Anglang Bhuanna.

Berjajar berdiri di belakang Rangga, deretan senapati, menteri dan pejabat-pejabat lain yang setia pada ayahnya. Sementara di belakang Pangeran Israya, berdiri mereka yang berpendapat bahwa Rangga terlalu muda untuk menjadi raja menggantikan ayahnya. Di luar balai, ratusan prajurit pilihan dipimpin senapati-senapati yang mumpuni berdiri dengan tangan menyentuh gagang senjata masing-masing.

Ki Ageng Aras yang waktu itu masih di puncak kematangannya, berdiri di sisi kanan Pangeran Israya. Meskipun dia pengikut setia Pangeran Israya, wajah Rangga yang masih belia itu menggetarkan hatinya.

“Tahan senjatamu!”, hardik Rangga muda, ketika para senapati yang sedang berduka itu melompat berdiri dengan tangan sudah meggenggam ujung keris masing-masing.

Tidak bisa dibayangkan kemarahan pejabat-pejabat yang setia pada Prabu Jaya Lesmana. Ketika jenazah sang prabu belum disempurnakan, tiba-tiba orang yang dicurigai membunuh sang prabu dengan cara yang licik, muncul dengan membawa pasukan lengkap. Apalagi ketika melihat banyak dari rekan-rekan mereka sendiri, justru berdiri di sisi kiri dan kanan orang tersebut.

Namun, dari seorang anak yang baru berumur dua belas tahun, terpancar wibawa yang mampu menahan tangan dan kaki mereka.

“Raden...” Seorang di antara mereka membuka mulut, tapi kata-kata yang hendak keluar segera terhenti, ketika melihat Rangga mengangkat tangannya.

Anak sedang beranjak dewasa itu, dengan tenang membalikkan badan, dan mengitarkan pandangan pada mereka yang setia pada ayahnya, “Jika kalian sungguh teguh dalam kesetiaan kalian terhadap Ramanda Prabu Jaya Lesmana, maka dengarkan baik-baik kata-kataku ini.”

“Kata-kata Rangga Wijaya, pewaris langsung dan satu-satunya dari Prabu Jaya Lesmana.” Suara Rangga yang masih belum pecah, terdengar jernih dalam keheningan balairung agung.

“Di ujung kulon sana, datang orang-orang berkulit pucat dari tanah nun jauh di seberang. Tidak seperti tamu-tamu dari negeri seberang yang datang di masa lampau. Mereka yang datang kali ini, tidak mengenal adat dan tidak punya unggah-ungguh. Namun mereka memiliki ilmu perang yang tangguh dan lidah yang licin. Sementara di wetan dan pesisir utara, ada adipati-adipati yang berkuasa yang terus mengamati Kerajaan Watu Galuh, menunggu-nunggu saat kita menunjukkan kelemahan.” Dengan lancar Rangga muda bertutur.

Setiap kata terdengar jelas, tidak terburu-buru, tidak pula terbata-bata. Di bawah sorot mata ratusan orang yang berusia jauh lebih dewasa dari dirinya, Rangga tidak terlihat gentar.

Selesai menegur mereka yang berdiri di belakangnya, Rangga berbalik menghadapi paman-nya, Pangeran Israya. Pada saat itu, untuk sekilas sorot matanya masih sempat beradu dengan pandang mata Ki Ageng Aras.

Sampai sekarang, setelah puluhan tahun berlalu, jantung Ki Ageng Aras masih berdegup keras, jika dia mengingat sorot tajam mata Rangga saat itu. Dia tidak menyangka, sorot mata seorang anak bisa mengguncang keyakinan-nya, untuk sesaat lamanya Ki Ageng Aras menjadi ragu atas pilihannya bersumpah setia pada Pangeran Israya.

“Pamanda Israya, aku tahu apa yang pamanda inginkan.”, kata Rangga.

Paman dan keponakan saling bertatap mata, keduanya berdiri dengan tegak dan pancaran mata yang teguh. Dua orang yang berbeda umur, berbeda keyakinan, tapi sama-sama teguh dalam keyakinannya masing-masing.

“Akan aku serahkan takhta Kerajaan Watu Galuh ini sepenuhnya pada Pamanda, dengan syarat Pamanda harus bersumpah untuk tidak menyakiti seujung rambut pun, mereka-mereka yang saat ini berdiri dalam kesetiaan mereka pada ayahanda prabu.”

Beberapa orang pejabat yang setia berusaha menyela ucapan Rangga, namun dengan satu tatapan yang tajam, Rangga membungkam mereka semua. Wibawa Rangga sebagai pewaris takhta dan rasa setia mereka pada Prabu Jaya Lesmana, membuat mereka tunduk sepenuh hati pada anak kecil itu. Jika ada sedikit keraguan dalam hati mereka, keraguan itu pupus setelah mendengar tutur kata Rangga yang dengan singkat menjelaskan secara tepat keadaan kerajaan mereka saat ini.

Meskipun terlihat rasa tak puas dalam sorot mata mereka, tapi tidak ada seorangpun yang bergerak di luar perintah Rangga, seorang anak yang baru berumur dua belas tahun.

“Aku tidak punya keinginan untuk menumpahkan darah putera-putera terbaik Kerajaan Watu Galuh, tapi apa jaminannya bahwa mereka tidak akan berusaha memberontak, atau menjegal kebijakan-kebijakan yang aku titahkan sebagai seorang raja?”, Pangeran Israya menjawab dengan tenang, tidak ada nada menghina ataupun merendahkan.

Sikap Pangeran Israya yang menghadapi Rangga selayaknya lawan yang sepadan dan sederajat, bukan seorang anak kecil, membuat kesan para pengikut setia almarhum Prabu Jaya Lesmana kepadanya membaik. Suasana tegang di balairung agung itu pun perlahan menurun. Sikap Rangga sudah jelas tergambar dari ucapannya. Sebagai pewaris takhta, dia tidak menghendaki terjadi pecah perang saudara di dalam negerinya sendiri. Sikap Pangeran Israya yang memberikan ruang untuk berdiplomasi juga menyiratkan hal yang sama.

“Apakah Pamanda mempercayaiku?”, tanya Rangga.

“Aku mempercayaimu.” Jawab Pangeran Israya tegas tanpa ada terbersit keraguan sedikitpun.

Rangga pun mengucapkan sumpah di hadapan semua yang hadir. Sumpah yang membuat dia menghabiskan hampir dua puluh tahun di pengasingan. Seorang keturunan bangsawan, bahkan sejatinya seorang putera mahkota, namun harus hidup jauh dari kemewahan dan kemudahan. Memiliki puluhan dan mungkin ratusan pengikut yang setia, namun harus hidup dengan kerja tangan-nya sendiri.

----

Perlahan angan-angan Ki Ageng Arsa mengendap. Kulit Rangga yang gelap terbakar matahari, telapak tangannya yang kasar oleh pekerjaan di ladang, tak lepas dari pandang mata Ki Ageng Aras yang tajam. Tanpa bisa dicegah, hati Ki Ageng Aras merasa terenyuh, membandingkan Rangga dua puluh tahun yang lalu, dan Rangga yang sekarang ada di hadapannya.

Pikirannya pun mulai membandingkan Rangga dengan Pangeran Puguh dan Pangeran Adiyasa, dua putera Prabu Anglang Bhuanna yang paling menonjol di antara saudara-saudaranya.

“Ki Ageng, biarkan aku lewat.” Kata-kata Rangga memecahkan lamunan Ki Ageng Aras.

Untuk beberapa lamanya Ki Ageng Aras tak bisa mengambil keputusan, hatinya terombang-ambing antara gejolak rasa dan tanggung jawab pada tugasnya.

Pada akhirnya, keutamaan-nya sebagai seorang kesatria-lah yang menang, “Tidak Raden, sumpah raden pada Prabu Anglang Bhuanna memang terbatas sampai Sang Prabu tutup usia.”

“Namun, tidak demikian dengan tugas yang diembankan Sang Prabu padaku. Titahnya padaku tegas mengatakan, setapak kaki saja Raden Rangga meninggalkan kademangan ini, maka Raden Rangga harus berhadapan denganku. Sebaliknya siapa saja yang berniat buruk pada raden, dia harus berhadapan pula denganku.” Ki Ageng Aras mengucapkan kata demi kata dengan mantap, setiap kata dia ucapkan dengan keyakinan.

Ki Ageng Aras menambahkan pula, “Silahkan Raden Rangga kembali ke rumah. Jangan khawatirkan Prabu Jannapati, jika sang prabu lupa akan janji ayahanda-nya, aku yang bertanggung jawab untuk mengingatkan dia.”

Rangga tersenyum tipis, “Aku megerti sekarang, mengapa pamanda begitu menaruh kepercayaan pada Ki Ageng.”

Mendengar nada suara Rangga, Ki Ageng Aras menghela nafas panjang, “Raden tetap berkeras untuk pergi ke ibu kota?”

Raden Rangga menganggukkan kepala, jawabnya, “Aku dengan ketetapan hatiku. Ki Ageng dengan kesetiaan Ki Ageng pada nilai-nilai seorang kesatria.”

“Apa Raden Rangga tidak mau memikirkan lagi keputusan raden?” Ki Ageng Aras masih berusaha membuat Rangga membatalkan niatnya.

Sebagai jawaban, Raden Rangga mengambil kuda-kuda dan sikap bersiap, “Ki Ageng, bersiaplah.”

“Hmm... Jika raden berkeras. Silahkan raden yang memulai, selama raden tidak beranjak melewati batas kademangan, bukan tugasku untuk menghentikan langkah raden.” Jawab Ki Ageng Aras, kedua kakinya sedikit ditekuk dan matanya mengawasi setiap gerak-gerik Rangga dengan tajam.

Bersambung ke Bab III
Diubah oleh lonelylontong
profile-picture
profile-picture
profile-picture
danjau dan 8 lainnya memberi reputasi
9 0
9
profile picture
KASKUS Freak
12-07-2020 11:46
@pulaukapok Nggak jg gan, 100% fiksi.

Cm campur2 aja yg ane tahu dr budaya+sejarah, buat bikin latar belakang, dll.
0
profile picture
KASKUS Freak
12-07-2020 11:55
1
Memuat data ...
1 - 2 dari 2 balasan
icon-hot-thread
Hot Threads
Stories from the Heart
Copyright © 2024, Kaskus Networks, PT Darta Media Indonesia