News
Pencarian Tidak Ditemukan
KOMUNITAS
link has been copied
155
Lapor Hansip
01-06-2020 11:52

Kenapa Lebaran Ramai di Indonesia tapi Sepi di Arab?

Kenapa Lebaran Ramai di Indonesia tapi Sepi di Arab?

Arab bukan Indonesia, dan Indonesia bukan Arab. Sekelompok mahasiswa Indonesia di jazirah Arab sempat mengusulkan takbir keliling. Jawabannya: tidak. Alasannya: bukan adat setempat dan akan bikin gaduh.

Jalanan di kota Tarim, Hadramaut, Yaman, malam itu lengang dan hening. Tak ada takbir keliling atau bocah-bocah berlarian bermain petasan. Padahal, esok sudah tanggal 1 Syawal. Waktunya umat Islam merayakan Idul Fitri, hari raya besar agama mereka.
“Kalau Idul Fitri (di sini) enggak terlalu meriah,” kata Muhammad Ihsan Ramadhan, seorang mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Universitas Al Ahghaff, Yaman—negara di selatan Arab Saudi.
Masyarakat Arab menyambut Idul Fitri lebih tenang karena sehari sesudahnya mereka langsung kembali beribadah.

“Masuk ke Syawal hari kedua, orang-orang di sini langsung puasa Syawal enam hari. Jadi kondisinya hampir sama dengan Ramadhan,” cerita Ihsan kepada kumparan, Selasa (19/5).

Puasa enam hari Syawal memang sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Mengutip dari hadis sahih Muslim, “Barang siapa yang telah melaksanakan puasa Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan berpuasa selama enam hari pada bulan Syawal, maka dia (mendapatkan pahala) sebagaimana orang yang berpuasa selama satu tahun.”

Itu sebabnya, di jazirah Arab, Lebaran tak ubahnya semacam penanda jeda antara akhir Ramadhan dan awal Syawal, tak seistimewa di Indonesia.
Pernah suatu waktu kumpulan mahasiswa Indonesia di Yaman meminta izin kepada ustaz setempat untuk menggelar takbir keliling. Namun ide tersebut ditolak karena dua alasan. Pertama, bukan adat masyarakat Arab; kedua, akan bikin gaduh.

Biasanya, di hari Idul Fitri, warga setempat hanya menggemakan takbir di masjid-masjid mulai dini hari. Memasuki waktu subuh, sebagian warga berziarah ke makam leluhur, sementara lainnya sibuk memberikan zakat kepada mereka yang tidak mampu. Pagi hari, barulah salat Idul Fitri digelar.

Ihsan biasa salat Idul Fitri di Jabanah, tanah lapang di samping pemakaman umum Fruet. Tempat itu hanya akan diisi oleh jemaah laki-laki. Sebab, lagi-lagi beda dengan di Indonesia, di Arab perempuan melaksanakan salat Idul Fitri di rumah masing-masing.
Salat Idul Fitri biasanya tak berlangsung lama. Setelahnya, Ihsan langsung kembali ke asrama untuk berkumpul bersama mahasiswa rantau dari Indonesia. Mereka mengobati rindu tanah air dengan menyiapkan hidangan khas seperti opor dan soto. Hidangan disantap sambil bermaaf-maafan. Sesudah itu, semua kembali ke kegiatan masing-masing.
Hah, sudah? Tak ada acara silaturahmi ke teman atau open house di beberapa tempat seperti di Indonesia?

Nyatanya, memang tidak. Beda dengan di Indonesia yang sedari pagi, siang, hingga malam jamaknya ramai oleh orang-orang yang hendak bersilaturahmi. Paling-paling masyarakat Yaman hanya berkunjung ke rumah tetangga terdekat sebentar. Dan tak sampai tengah hari, mereka sudah kembali ke rumah masing-masing.

“Jadi pagi sampai siang jalanan sepi kayak kota mati. Warga istirahat. Satu kota itu tidur sampai jam 13.00 siang. Barulah siang sampai sore, mereka isi dengan kegiatan-kegiatan baca Al-Quran dan majelis taklim. Besoknya puasa lagi,” tutur Ihsan.

Tahun 2020 ini adalah tahun keenam Ihsan di Yaman—yang tentu terasa jauh berbeda dengan di kampung halaman sendiri. Di tempat asal Ihsan di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, ada tradisi Hari Raya Ketupat di tanggal 6 Syawal. Setelahnya pun masih banyak acara silaturahmi seperti halalbihalal keluarga besar dan rekan sejawat.

Idul Fitri itu kan identik dengan perayaan hari kemenangan, tanpa harus melebihkan. Tapi kalau ana lihat (di sini) ya cuma lewat saja. (Semacam) jeda,” kata Ihsan yang mengambil studi syariah dan hukum di Yaman.
Akan tetapi, pemandangan berbeda terjadi saat Idul Adha. Perayaan hari kurban itu di Arab lebih semarak dan panjang ketimbang di Indonesia. Sementara libur Idul Adha di Indonesia hanya sehari, di Arab pelajar bisa libur sampai dua bulan!
Masyarakat di sana biasa menyambut Idul Adha dengan kegiatan Tasyabbuh bil Arafah atau serupa dengan ibadah haji di Arab Saudi. Mereka berkumpul di masjid untuk berpuasa dan mengaji. Kegiatan itu berlangsung hingga hari raya Idul Adha 10 Zulhijjah.

Seusai salat Idul Adha pun banyak anak kecil lalu-lalang di jalanan, sementara takbir terus bergema di masjid-masjid hingga tiga hari setelahnya (takbir Idul Adha dianjurkan hingga tanggal 13 Zulhijah. Dan tempat pemotongan hewan ramai dikunjungi untuk persiapan ibadah kurban.

“Orang-orang yang kaya mengeluarkan hartanya, kemudian dibagikan ke fakir miskin. Jadi agak meriah. Kalau dulu potong kurbannya di rumah-rumah. Setiap rumah itu potong kurban, kemudian dibagikan ke tetangga dan masyarakat. Hampir di setiap rumah. Kalau sekarang di tempat pemotongan hewan,” papar Ihsan.

Ramainya Idul Adha di Arab juga terkait kepercayaan yang dianut masyarakat setempat. “Ada beberapa faktor kenapa Idul Adha (di sini) lebih ramai, lebih utama, dan lebih afdal. Mengutip dari Al-Quran surat Al-Kautsar, salatlah kalian kemudian berkurban. Jadi (amalan) apa setelah salat yang paling afdal? Ya berkurban,” jelas Ihsan.

Akar sejarah
Dulu, saat usia kemerdekaan RI masih seumur jagung, tepatnya 1948, Indonesia mulai dilanda gejala disintegrasi. Para elite politik bertengkar dan enggan duduk dalam satu forum. Kondisi ini diperparah dengan munculnya pemberontakan di berbagai daerah seperti DI/TII di Jawa Barat dan PKI di Madiun.

Untuk mencari solusi, Sukarno kemudian memanggil Kiai Abdul Wahab Hasbullah, tokoh pendiri Nahdlatul Ulama, ke Istana Negara. Muncullah saran dari Kiai Wahab agar Bung Karno menyelenggarakan silaturahmi karena sebentar lagi sudah hari raya Idul Fitri.
“Silaturahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain,” jawab Bung Karno.

“Itu gampang. Begini, para elite politik tidak mau bersatu itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram.
Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan,” kata Kiai Wahab. “Sehingga silaturahmi nanti kita pakai istilah ‘halal bi halal’.”
Saran Kiai Wahab itu diterima Bung Karno. Oleh karena itu, pada Idul Fitri tahun 1948, Sukarno mulai mengundang semua tokoh politik untuk menghadiri silaturahmi di Istana Negara yang bertajuk ‘Halal bi Halal’. Dalam acara tersebut, akhirnya para tokoh dapat duduk dalam satu meja sebagai babak baru untuk menyusun persatuan bangsa.

Kisah tersebut diceritakan Rais Syuriyah Pengurus Besar NU, Kiai Masdar Farid Mas’udi, dalam NU Online. Sejak 1948 itulah instansi-instansi pemerintah mulai menyelenggarakan halalbihalal.
Halalbihalal kemudian mulai menjadi tradisi masyarakat secara luas, terutama muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama. “Jadi Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah, sementara Kiai Wahab menggerakkan warga dari bawah.”
“Jadilah halalbihalal sebagai kegiatan rutin dan budaya Indonesia saat Hari Raya Idul Fitri seperti sekarang,” ujar Kiai Masdar.

Soal kenapa Idul Fitri dirayakan begitu meriah, menurut Yon Machmudi, juga terkait tradisi yang sudah mengakar di Indonesia. Sebelum datangnya Islam, masyarakat Indonesia dalam tradisi agama Hindu-Buddha sudah terbiasa mengekspose perayaan hari-hari besar secara meriah. Biasanya dengan berjalan kaki, pawai, dan arak-arakan di jalanan.

Tradisi tersebut tak begitu saja tercabut saat Islam datang dan menjadi agama mayoritas. Itulah mengapa, merujuk pada pendapat antropolog Koentjaraningrat, kemudian muncul istilah Islam sinkretis—yang berarti hasil penyelarasan dua atau lebih prinsip yang berlainan hingga membentuk suatu prinsip baru yang berbeda dengan prinsip-prinsip sebelumnya.

Tradisi-tradisi “sinkretis” yang berkembang di Indonesia hingga kini antara lain membangunkan sahur dengan ronda atau pengeras suara masjid, dan takbir keliling—praktik yang justru tak ada di negara-negara Arab.

“Keagamaan di Indonesia itu lebih ekspresif, lebih dinyatakan ke publik. Perayaannya lebih besar dibandingkan di negara-negara Arab,” kata Yon.
Terlebih, imbuhnya, “Puasa itu kan sesuatu yang berat… sehingga setelah orang berpuasa, keberhasilannya dirayakan.”

https://m.kumparan.com/kumparannews/...TBZem2uQq/full

Ada perbedaan
profile-picture
profile-picture
profile-picture
jembloengjava dan 47 lainnya memberi reputasi
48
Masuk untuk memberikan balasan
berita-dan-politik
Berita dan Politik
40.2K Anggota • 669.8K Threads
Kenapa Lebaran Ramai di Indonesia tapi Sepi di Arab?
01-06-2020 12:15
NEW NORMAL itu nyata tong !

yg takut sama new normal cuma banci medsos, banci travelling, anak mamah, tante girang, pelakor, pramuria, bocah ansos, yutuber, vlogger, bocah tiktok, bocah bimbel, banci hesteg

yg lahan caper, ngalay dan updet statusnya digempur sama korona emoticon-Ngakak

NEW NORMAL is the day ABNORMAL PEOPLE LIFES die
emoticon-Leh Uga

saran : loe mustinya kemarin belajar macul sawah bertani berkebun daripada bolak balik bimbel morotin emak buapak loe nongkrong di kafe sambil autis cengar cengir depan kamera emoticon-Embarrassment

sebentar lagi grab gojek juga akan mampus kalo food source dari desa2 udah mulai tersendat. gagal ngisi supply kafe2 halu itu. wake up coeg !! emoticon-Betty (S)

sahabat manusia itu tanah, bukan kamera & gadget emoticon-Betty (S)


ambyaaar lahan banci2 medsos emoticon-Angkat Beer
v
v


Quote:Original Posted By valmightyreborn

NEW NORMAL adalah MATINYA HIPEREALITA

Kenapa Lebaran Ramai di Indonesia tapi Sepi di Arab?

Pertama2 saya akan bilang
New Normal ini sebenarnya adalah back to normal. Justru kehidupan kemarin itu yg abnormal


Kedua, saya akan cerita apa itu hiperealita ?
sederhananya ketika anda beli segelas kopi starbuck seharga 40an ribu. Mengapa segelas kopi bisa begitu mahal ? anggaplah harga dasar kopi itu 7 ribu, maka 33 ribu sisanya anda membayar harga sewa sofa outlet dan membeli simbol starbuck. Angka 33 ribu itulah hiperealita. Sebuah kondisi mental yg menganggap sesuatu itu nyata dan kita butuhkan melebihi kebutuhan dasar kita sendiri.

(fyi istilah hiperalita diperkenalkan oleh filsuf prancis bernama Jean Baudrillard dalam bukunya tentang Simulacra)

Kita sesungguhnya tidak akan menemui hiperealita sedahsyat kemarin andai saja tidak ditemukan yg namanya facebook, instagram, twitter, dan teman2nya.

Tiba2 datanglah covid19. Mendadak kita semua takut keluar rumah, takut berkerumun, aktivitas di luar dibatasi. Apa2 serba dari rumah. Lalu bagaimana nasib para hiperealista? (sebutan saya untuk pelaku hiperealita)

Starbuck sepi, kafe sepi, mall sepi. Tidak ada orang yg meng-uplod imej2 mereka di outlet2 pendongkrak citra diri itu. Masihkah relevan kebutuhan akan luxury, prestise dan status hari ini ? masih mungkinkah kita membutuhkan itu ? atau kita langsung ke puncak pertanyaannya : masihkah dibutuhkan hal2 seperti itu hari ini ?

Pandemi covid19 ini ibarat tombol reset.
Sekali ditekan langsung semua berbondong2 menuju ke titik awal. Kita sudah merasakan psbb, di mana pada masa itu kita diarahkan untuk melakukan segala hal yg kita butuhkan saja. Ini kabar buruk untuk usaha seperti pariwisata, hotel, mall, kafe2 dan semua usaha yg menjadikan CITRA, LUXURY atau PRESTISE sebagai core bisnisnya.

'Pembatasan sosial' itu adalah hantu bagi usaha2 tadi. Di mana letak kesalahannya kalau begini ?

benarkah kehidupan sosial benar2 dibatasi ?

Sebetulnya tidak salah. Karena yg terjadi sesungguhnya bukanlah pembatasan sosial tetapi mengembalikan kehidupan sosial kita ke titik yg wajar ketika kehidupan sosial kita sudah benar2 overdosis (40k for a glass of coffee ?? )

Kesalahannya adalah Starbuck dkk, membasiskan bisnisnya kepada materi yg imajiner (citra, luxury, prestise, status). Kalau anda mengira starbuck dkk itu menjual minuman/makanan sebetulnya tidak bisnis mereka adalah jual-beli simbol. Simbol akan berubah menjadi status manakala kehidupan sosial manusia didorong sampai puncak di luar kebutuhan wajar manusia, dan ketika ruang manusia untuk saling bertemu hancur lebur seperti hari ini saat itulah simbol2 itu runtuh nilai jualnya.

Apakah ini pertanda buruk ? Yap ini pertanda buruk, yg menunjukan betapa lugunya kita kemarin selama ini rutin bekerja 8 jam sehari, 5 hari seminggu hanya untuk mengongkosi kebutuhan imajiner (hiperealita) kita. Kemarin kita benar-benar dijauhkan dari apa yg benar-benar kita butuhkan. Kita malah membiayai ilusi.

New Normal, adalah hancurnya sebuah abnormalitas dan kembalinya sebuah kehidupan normal. Sebelum revolusi industri, kehidupan itu relatif sangat normal. manusia setara bekerja untuk kebutuhannya. Ketika 'ngopi' mereka ya ngopi untuk menghilangkan penat. Kedai kopi pun sebagai ruang publik untuk saling guyub berinteraksi, bukan ruang halusinasi atau untuk menyendiri. Selesai ngopi kembali ke kehidupannya. (bukannya pindah kasta) Upah yg mereka dapat pun untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Bukan untuk 'membeli' merek.

Ketika kondisi di atas dihantam kejadian luar biasa seperti pandemi, kemungkinan tidak akan se-dramatis seperti yg terjadi hari ini. Hari ini ribuan pekerja menggantungkan hidupnya pada bisnis imajiner seperti mall, starbuck dkk. Bisa terbayang efek domino kehancurannya... rubuh satu sirna banyak. Ribuan pekerja terancam kehidupannya seiring hilangnya pekerjaan mereka. Mereka teralienasi dari pekerjaannya sehingga merasa bukan siapa2 dan tidak berdaya ketika hilang profesinya.

Sudah waktunya dunia2 usaha imajiner itu merombak plan bisnisnya ke usaha2 yang nyata (riil) dan beradaptasi bila ingin survive hari ini. Alih2 mempertahankan bisnis yg sama seolah2 kita masih hidup di dunia kemarin. (gagal move on)

New Normal adalah sebuah terapi psikis dan efek kejut bagi kita untuk memikirkan ulang, untuk introspeksi betapa rapuhnya kehidupan sosial kita kemarin bak jaring laba2 besar. Tertata, tersistem dan terstruktur rapih dan massif tetapi tidak kita sadari begitu rapuh dan labil ketika sebuah batu menimpanya.

New Normal mendorong kita untuk fokus dan mengefisiensikan tenaga dan pikiran kita untuk hal-hal yg kita butuhkan saja. Dan petunjuk atas matinya kebutuhan2 halusinasi kita. Seolah2 hidup kita serba dicukupkan. Kita didorong memikirkan kembali apa yg benar-benar kita butuhkan. Kembali ke jati diri dan fungsi diri kita yg nyata.

It's all done. We' are shifting.
Change or we die. Get real.
Dunia kita yg kemarin sudah mati

Dunia hari ini ibarat sebuah rumah sakit yg besar. Dan kita tergeletak di dalamnya dan hanya berpikir untuk tetap sehat dan tetap hidup. Pernah lihat orang selfie saat tergeletak sekarat di rumah sakit ? Itulah matinya hiperealita

Jika Baudrillard di tahun 80an lalu sudah memikirkan kondisi hiperealita, sesungguhnya saat itu dia sudah melihat bahaya dan sedang menyalakan simbol SOS (save our soul) itu kepada kita agar kita lekas sadar dan menyelamatkan diri bahwa kita berdiri di atas bom waktu.

New Normal ? Welcome normal life
Keep waras, keep alive


profile-picture
profile-picture
profile-picture
aldonistic dan 16 lainnya memberi reputasi
15 2
13
profile picture
KASKUS Maniac
01-06-2020 15:16

starbucks masi bisa delivery. banyak tuh yg posting lagi wfh sambil foto laptop dan gelas starbucks
malah warkop 5ribu segelas langganan ane yg tutup tup.
1
profile picture
Kaskuser
01-06-2020 15:44
@amatir91 halu itu tong. gak bertahan lama itu tong. kfc dah potong gaji karyawan. airy room dah tutup lapak. count down' s just starting emoticon-Embarrassment
0
profile picture
KASKUS Maniac
01-06-2020 17:12
@pamecahndas gak bertahan lama, tpi masih bisa bertahan. dripda warkop langganan gw langsung kolaps.
0
profile picture
Kaskuser
01-06-2020 20:44
NIKE's down ! Quote:Original Posted By juraganind0
Kenapa Lebaran Ramai di Indonesia tapi Sepi di Arab?

Sumber
https://finance.detik.com/bursa-dan-...-2226-karyawan

Distributor nike

0
Memuat data ...
1 - 4 dari 4 balasan
icon-hot-thread
Hot Threads
Copyright © 2024, Kaskus Networks, PT Darta Media Indonesia