News
Pencarian Tidak Ditemukan
KOMUNITAS
link has been copied
328
Lapor Hansip
27-05-2020 12:23

Uji Toleransi Agama, Kafirfobia, dan Empat Pertanyaan itu


Quote:Dengan cara apa kiranya toleransi agama seseorang dapat diuji? Berthold Damshäuser, pakar isu tema Indonesia dari Universitas Bonn, Jerman berbagi pandangannya atas toleransi beragama.

Saya suka memakai “metode” ini: mengajukan empat pertanyaan kepada orang beragama, khususnya kepada mereka yang beragama Abrahamitis, khususnya lagi kepada mereka yang beragama Islam (kebanyakan teman saya yang masih sungguh beragama kebetulan orang Islam).

Keempat pertanyaan itu berbunyi sebagai berikut:
1. Apakah orang Nasrani dan orang Yahudi boleh masuk surga?
2. Apakah orang beragama Hindu, Buddha atau Khonghucu juga boleh masuk surga?
3. Apakah orang ateis boleh masuk surga?
4. Siapa yang lebih disukai Tuhan: Orang beragama yang jahat (misalnya pembunuh
    keji) atau orang ateis yang selalu berbuat baik?

Jawaban yang paling sering saya dengar kira-kira seperti ini: 1) “Boleh, karena Nasrani dan Yahudi percaya kepada Tuhan yang sama; 2) “Rasanya, tidak boleh”;  3) “Tidak boleh”; dan 4) “Hmm, sulit sekali pertanyaannya, tapi yang pasti ateis tidak dicintai Allah”.

Dapat dibayangkan bahwa jawaban atas pertanyaan itu bisa lebih “keras”, bisa lebih bersifat eksklusif, tetapi menurut saya, jawaban seperti yang di atas pun membuktikan bahwa tingkat toleransi penjawab masih jauh dari optimal.

Paling sedikit secara tidak langsung, penjawab tidak menerima kepercayaan yang berbeda, baik kepercayaan mereka yang tidak beragama Abrahamitis dan tidak merupakan Ahlul Kitab alias "Pemilik Kitab Suci" maupun –dan apalagi–  keyakinan mereka yang ateis. Kedua kelompok itu ‘dikafirkan‘, peluang mereka untuk masuk surga dinafikan. Dan sebenarnya juga dijadikan manusia kelas rendah, manusia yang terkutuk masuk neraka, manusia yang tidak dicintai Tuhan.

Belum lama ini “metode uji toleransi” berbentuk empat pertanyaan itu saya terapkan pada seorang tamu lembaga saya, Jurusan Studi Asia Tenggara Universitas Bonn. Tamu yang kami undang untuk berceramah itu adalah seorang ulama Indonesia “moderat” dan simpatis yang banyak memuji toleransi beragama di Indonesia emoticon-Leh Uga dan juga sempat mengeluhkan “islamofobia” atau diskriminasi agama Islam di negara-negara Barat. Reaksinya menarik: Sepertinya ia menyadari “bahaya” dan kepelikan teologis pertanyaan itu, dan memilih menjawab secara  tidak langsung, yaitu: “Sebaiknya semua itu kita serahkan saja kepada Tuhan.”

Saya kecewa, juga sedikit kesal atas jawaban piawai itu. Menyadari bahwa dalam rangka forum tidak mungkin untuk mengajukan pertanyaan lebih lanjut, saya –bukan tanpa ironi– memuji jawaban canggih itu dan mengatakan: “Terima kasih atas  jawaban bagus itu. Ini  berarti bahwa kita semua tak perlu berfobia. Kafirfobia pun tidak perlu.” Lalu, karena duduk dekat dengan tamu ulama itu, saya berdiri dan mengulurkan tangan. Tentu ia terima, dan kami berjabat tangan. Tak ada ironi di situ.

Menyerahkan masalah surga kepada Tuhan, menyerahkan juga perihal kekafiran dan dampaknya kepada Tuhan tentu sikap yang cukup bijaksana. Namun, pertanyaan yang timbul adalah, bagaimana bayangan kita tentang Tuhan, bagaimana citra kita tentang Tuhan. Bagi orang yang yakin bahwa Tuhan lebih mencintai pembunuh yang beragama dibandingkan ateis yang baik budi, Tuhan itu adalah “pribadi” yang mengutamakan kepentingan sendiri, yaitu bahwa manusia percaya kepadaNya. Tuhan demikian cenderung bertindak di Seberang yang Baik dan yang Jahat (meminjam judul karya filosofis Friedrich Nietzsche).

Begitu juga suatu tuhan yang menutup pintu surga bagi mereka yang tidak beragama atau tidak percaya kepadanya. Betapa tak rahim tuhan seperti itu. Dan, dari mereka yang meyakini tuhan seperti itu, toleransi agama tidak dapat terlalu diharapkan.

Sebaliknya, manusia yang meyakini Tuhan yang Maha Pemaaf, Tuhan penuh rahmat, Tuhan yang tidak pernah murka, Tuhan yang tidak menghakimi, dll. bisa diduga memiliki toleransi tinggi terhadap mereka yang beragama atau berkeyakinan berbeda.

Saya sendiri mengharapkan Tuhan demikian, tidak sanggup percaya kepada suatu tuhan yang tidak bersedia mencintai mereka yang tidak percaya kepadanya. Tuhan yang saya harapkan atau percaya itu sangatlah toleran, juga adil, dan sama sekali tidak merasakan kafirfobia.

Tidak jarang Tuhan yang saya percaya itu dilecehkan. Dilecehkan sebagai pemurka, pembalas dendam, dll. Para peleceh itu justru orang beragama, dan lecehan mereka bagi saya lebih pahit dibandingkan ketidakpercayaan kaum ateis yang memang tidak sanggup percaya. Bahkan kitab kudus (Bibel, Perjanjian Lama) mengandung kalimat yang melecehkan citra saya tentang Tuhan.

Paling sedikit saya cukup bingung membaca kalimat yang berbunyi sebagai berikut: Tuhan murka atas segala bangsa, dan hatiNya panas atas segenap tentara mereka. Ia telah mengkhususkan mereka untuk ditumpas  dan menyerahkan mereka untuk dibantai. (Jesaya 34,2) Atau: Aku, Tuhan, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapak  kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku. (Keluaran 20, 5).

Tetapi, ya, saya patut toleran terhadap para peleceh ataupun lecehan. Siapa tahu bayangan saya tentang Tuhan salah, hanya berdasarkan citra yang subjektif. Saya juga patut toleran terhadap intoleransi, selama intoleransi itu sekadar perasaan atau keyakinan yang tidak bermuara ke tindakan jahat. Saya juga patut memaafkan mereka yang saya anggap peleceh, karena Tuhan saya adalah Maha Pemaaf.


SUMBER

aneh, kok jawabannya berbelit belit ya
malah sebut surga biarkan tuhan yg menentukan
gw jadi pengen nanya ulama indonesia yg di undang tersebut
mengenai tafsiran
QS. Ali Imran/3: 85

emoticon-Cipok
profile-picture
profile-picture
profile-picture
scorpiolama dan 15 lainnya memberi reputasi
10
Masuk untuk memberikan balasan
berita-dan-politik
Berita dan Politik
39.7K Anggota • 669.2K Threads
Uji Toleransi Agama, Kafirfobia, dan Empat Pertanyaan itu
27-05-2020 13:23
Atheisme itu berangkat dari rasa apatisme terhadap agama yang tidak bisa mengubah perilaku manusia.
Maka untuk menyerang atheisme, bukan dengan cara berdebat tentang ada / tidak adanya Tuhan,
cukup dengan mengamalkan isi ajaran agamamu di dalam setiap perilakumu,

bila agamamu meminta kasih, berikanlah
bila agamamu mendapatkan damai, bagikanlah
bila agamamu mengajarkan ketaatan, ikutilah
bila agamamu memperbolehkan pembunuhan, murtad saja
profile-picture
profile-picture
profile-picture
Air.Gate dan 9 lainnya memberi reputasi
10 0
10
profile picture
KASKUS Maniac
27-05-2020 13:30
Masak ga bisa.. di tempat ane dulu banyak pemabok dan pemalak Alhamdulillah setelah ada ustadz yg dakwah yg mabok dan malak sudah pada insyaf.. dan tdk meresahakan masyarakat lagi
1
profile picture
KASKUS Geek
27-05-2020 15:47
@seher.kena
bagus
"katanya" yg sangat indah

emoticon-Angel
0
Memuat data ...
1 - 2 dari 2 balasan
icon-hot-thread
Hot Threads
Copyright © 2024, Kaskus Networks, PT Darta Media Indonesia