dalledalmintoAvatar border
TS
dalledalminto
Akhir Sepotong Penantian

sumber pict


AKHIR SEPOTONG PENANTIAN


Jendela kaca di ruang tamu menjadi saksi bisu. Selama bertahun-tahun aku hanya bisa memandanginya dari jauh. Dulu, saat dia masih belia sampai sekarang menjadi janda. Tak etis memang. Akan tetapi, rasaku mengalahkan semuanya.

Sedari awal, aku menyatakan cinta padanya, tetapi dia menolak secara halus. Kesopanan yang sangat aku kagumi selain dari kecantikan yang tampak di wajahnya. Meskipun cintaku ditolak, aku tidak bisa berpaling. Aneh, kan?

Setahun, dua tahun, tiga tahun dan kini telah sekian tahun, gairah untuk mencari pasangan menikah rasanya hambar. Hatiku telah terpagut hanya ada nama dia yang termaktub.

Gadis itu semakin ayu. Sampai mataku sulit berpaling. Bagaimana tidak? Karena, jarak rumah kami hanya beberapa meter, bisa dibilang cuma 5 langkah, kek judul lagu. Jadi, aku tak pernah bosan mengintipnya di balik jendela rumahku.

Santi Astanti. Nama gadis yang terpatri dalam diri ini. Saat dia sudah bekerja di suatu pabrik dan aku selalu menyempatkan waktu untuk mengantarkan atau menjemputnya. Dari situ, hatinya pun luluh juga. Akhirnya, cintaku terbalaskan.

Dalam setiap waktu, aku dan Santi berkabar lewat ponsel jadul. Kala itu hanya bisa menerima pesan lewat SMS dan telepon saja. Tiba-tiba suatu hari, Santi mulai jaga jarak. Dia jarang membalas pesanku. Lalu, aku berinisiatif untuk membelikan dia pulsa, tetapi tetap saja dia mengabaikan pesan yang kukirimkan. Kucoba dengan cara lain, aku terpaksa menghubungi, aku meneleponnya. Di seberang sana terdengar Santi menerima teleponku. Namun, ada sesuatu yang mencurigakan. Sepertinya, dia berbicara sambil menahan tangis.

"Kamu menangis. Ada apa? Kamu sakit atau gimana?" tanyaku gelisah. Tak mungkin juga aku langsung bertamu ke rumahnya. Karena sudah larut malam, hidup di desa tak sebebas di kota.

"Aku mau dijodohin sama ibu," ucap Santi di dalam telepon.

Kaget! Aku mendengar kabar itu rasanya nyawaku langsung melayang. Aku dan Santi jadian berpacaran baru sebulan dan aku juga belum ada pikiran untuk meminangnya. Mana bisa aku didahului oleh seseorang yang akan mengikat Santi selamanya. Seketika pikiranku langsung buntu.

"Kamu menerimanya?"

"Enggak, Mas. Aku nggak mau dijodohin. Tapi, ibu selalu memaksaku."

"Nikah aja sama aku, gimana?"

"Aku mau aja, Mas. Tapi ... ibuku menolak karena rumah kita berhadapan langsung. Menurutku rasa-rasanya bukan itu deh, alasannya. Yang aku tau, ibu menjodohkan aku dengan anak orang kaya. Katanya, biar hidupku makmur. Tapi, tetap saja aku nggak mau, aku nggak cinta."

Di dalam telepon Santi terus menangis sesenggukan. Aku hanya bisa menenangkan dan membesarkan hatinya. Ah, menjadi orang miskin serba salah.

"Mas ... maafin aku, ya? Hubungan kita sampai sini saja. Aku akan menerima perjodohan ini. Meskipun terpaksa, karena yang kulakukan juga demi bapak," lanjut Santi.

"Maksudnya?"

"Bapak sakit, Mas. Karena aku sering nolak pinangan orang lain. Bapak malu jadinya, karena sering denger cemoohan orang-orang. Ini memang semua gara-gara ibu!"

Aku menghela napas kasar. Mataku melihat ke atas, menerawang ke langit-langit kamar.

"Baiklah. Ibumu benar, beliau mencari pendamping buatmu supaya kehidupanmu terjamin. Jangan jadi anak durhaka, nurut aja apa kata orang tuamu. Semoga laki-laki itu benar-benar jodoh terbaik untukmu."

Aku langsung mematikan ponsel. Air mata yang tak pernah kukeluarkan, kini tiba-tiba meluncur di pipi. Kuusap dengan kasar. Biarlah dia bahagia dengan pilihan orang tuanya. Lalu, aku ... bagaimana menata hatiku yang baru saja berserakan?

***

Santi Astanti yang kutatap dari kejauhan tetap sama. Cantik dan murah senyum. Namun, sedikit perbedaan. Dia terkadang murung setelah menyapu teras rumahnya.

Mungkin dia sedang memikirkan nasibnya yang menjadi janda tanpa anak. Suaminya meninggal beberapa bulan yang lalu karena terkena sakit gagal jantung. Lalu, ibunya Santi sekarang mengalami stroke ringan setelah mendengar menantunya tiada. Lengkap sudah nasib yang dipikul oleh Santi.

Petang itu, selepas Magrib aku duduk bersama dengan ibu dan bapak di ruang tengah. Aku ingin mengutarakan yang selama ini aku simpan. Dan, sekarang waktu yang tepat.

"Ada apa, Rif?"

"Arif berniat melamar Santi, Bu?"

"Apa kamu sudah memikirkannya?" tanya ibuku seraya menatap ke arah bapak di sampingnya.

"Arif sudah mantap untuk melamarnya. Karena, dulu tidak jadi karena suatu alasan."

"Terserah kamu saja. Apa pun yang kamu lakukan, ibu dan bapak setuju, asal itu baik."

Bibirku tersenyum lepas. Akhirnya, aku bisa meminang pujaan hatiku.

Tak menunggu lama, sehabis salat Isya aku dan kedua orang tuaku datang ke rumah Santi. Santi yang saat itu sedang melipat baju seketika terkejut dengan kedatangan kami.

"Ada apa, ya, Bude, Pakde?" tanya Santi sesekali melirikku.

"Ada bapakmu?" tanya bapakku.

"Ada di dalam, Pakde. Sebentar, saya panggilkan."

Santi beranjak ke dalam. Beberapa menit kemudian, dia keluar dengan nampan tangan membawa empat gelas teh hangat yang di taruh di atas meja. Bapaknya Santi langsung duduk di samping anak perempuannya.

"Ada keperluan penting apa Pak Slamet sampai memanggilku?" tanya Pak Ridwan gugup.

"Begini, Pak Ridwan, kami selaku orang tua Arif menyampaikan bahwa anak kami ini ingin melamar Santi minggu depan. Jadi, bagaimana, Nak Santi?" Bapakku beralih menanyai Santi. Wanita itu tampak terkejut.

"Eh ... ini mendadak sekali Pakde," jawab Santi dengan menunduk.

"Begini saja Pak Slamet mari kita ke teras depan. Biar mereka membicarakan dari hati ke hati," ucap Pak Ridwan membuatku tersenyum. Kulihat Santi yang tampak malu juga dengan ulah bapaknya.

Para orang tua ke luar meninggalkan kami berdua di ruang tamu. Aku menjadi canggung.

"Gimana, San? Kamu nerima aku apa nggak? Ah, begini aja. Kamu harus nerima lamaranku minggu depan." Aku terkekeh dengan ucapanku.

"Kenapa Mas Arif mau sama janda? Banyak gadis lebih cantik selain aku. Apalagi status mereka beda denganku."

"Kamu bilang apa, sih! Aku serius mau melamar kamu. Dan, aku nggak mandang kamu itu janda kek, tua kek, yang penting cintaku tulus padamu sejak dulu," ujarku meyakinkan.

Santi menangis lirih. Aku menenangkannya.

"Cinta tak memandang status, San. Entah itu miskin atau kaya. Janda atau perawan. Tua atau muda. Yang terpenting, niatku tulus untuk membahagiakanmu. Kamu pantas bahagia, San. Aku sedih melihatmu murung setiap hari."

"Aku tau ketulusanmu, Mas. Tapi, aku lebih takut membuat keluarga Mas Arif kecewa karena statusku."

"Keluargaku tidak seburuk yang kamu pikirkan. Kamu tau itu, kan," ucapku terus meyakinkannya.

"Ya Allah, aku sampai berburuk sangka pada keluarga, Mas Arif. Aku minta maaf atas kelancanganku," jawab Santi sambil beristigfar.

"Kita dulu pernah menjalin cinta, ya ... meskipun putus di tengah jalan. Jadi, hari ini aku akan menyatukannya kembali. Tidak ada ruginya, kan. Orang tuamu akan bahagia dan orang tuaku juga akan senang jika anak lekakinya tidak jadi perjaka tua."

Santi langsung tertawa terbahak. "Iya, Mas. Aku mau."

"Mau apa?" tanyaku lagi sedikit bercanda.

"Iih ... ya, mau nikah sama Mas Arif," jawab Santi dengan menutup wajahnya karena malu.

Seperti janjiku, minggu ini begitu cepat datang. Akhirnya, hari yang ditunggu telah tiba.

Keluarga dari orang tuaku berjalan beriringan ke rumah Santi. Semuanya membawa hantaran dengan berbagai macam isi dan hiasan nan cantik. Setelah sampai, kusalami orang tua Santi dan dia juga menyalamiku dengan takjim.

Obrolan yang dilontarkan tak lebih menyanjung kami berdua. Setelah itu, kami pun tukar cincin.

Wanitaku yang nantinya menjadi pendamping di semua keluh kesahku dan suka maupun duka. Semoga tidak ada cobaan lagi untuknya. Cukup kubahagiakan dia dengan ijab kabul dan kata 'sah'. Karena, aku yakin akan ridha-Nya.

Quote:



Tamat

Bantul, 7 Juli 2022
bukhorigan
terbitcomyt
terbitcomyt dan bukhorigan memberi reputasi
13
1.5K
25
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.