lurikaAvatar border
TS
lurika
Welhelmina Amir (COC SFTH-Cinta Lama Bersemi Kembali)


Masih seperti biasa matahari bersinar terang. Sedangkan langit menunjukkan keindahannya lewat warna birunya yang indah, tidak lupa dengan hiasan awan yang seolah melukiskan bentuk-bentuk yang mengagungkan. Seperti saat ini, kala sepasang mata bermanik hitam kecoklatan memandang kagum kearah langit dari balik jendela bus. Entah apa namanya fenomena saat melihat awan seolah berbentuk kuda kencana.

Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyum. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Bus terus berjalan dan Ia masih asik memandang langit biru saat seseorang tiba-tiba duduk disebelahnya. Ia terkejut, seketika menoleh dan Ia terpana dengan sosok yang berada disampingnya itu. Seakan hatinya terjatuh, jantungnya berdebar. Aliran darahnya seakan berhenti. Tatapannya tepat pada kedua bola mata yang hitam kelam. Sorotnya begitu tajam. Air mukanya serius. Rahang-rahangnya begitu tegas. Kulitnya coklat layaknya pria pada umumnya. Hidung dan bibirnya begitu indah terbentuk. Rambutnya rapi dan tertata. Hitam dan berkilau. Defenisi wajah yang sempurna.

"Maaf, kamu tidak apa-apa?", Tanyanya.

Mendengar suaranya yang khas membuat gadis mungil ini terpukau. Ada sesuatu yang dirinya pun tidak bisa Ia jelaskan. "Suara itu...", gumamnya.

"Halo, mbak kamu tidak apa-apa? Sekali lagi pria berwajah tegas itu bertanya.

"Iya, iya. Aku tidak apa-apa", jawabnya dan segera mengendalikan dirinya. Ia lalu memalingkan wajahnya dan kembali menatap langit. Awan yang tadi masih berbentuk kuda kencana. Ia kembali tersenyum.

Sisa perjalanannya ia habiskan dengan mengenang masa remajanya yang indah yang tak bisa Ia lupakan. "Akbar Pratama." batinnya.

***
"Assalamualaikum. Selamat pagi semuanya. Perkenalkan nama aku Akbar Pratama. Kalian bisa memanggilku dengan Akbar saja. Aku lahir di Jakarta, tahun 1991. Waktu umurku lima tahun kami sekeluarga pindah ke Singapura, hingga saat ini. Aku menguasai tiga bahasa. Indonesia, Inggris, dan Melayu." Tutup anak laki-laki yang bergaris wajah tegas.

Murid-murid perempuan kemudian riuh saat Akbar selesai memperkenalkan dirinya. Layaknya gadis-gadis remaja, mereka terpana dengan ketampanan sosok teman baru mereka. Saat Ibu guru menyuruh mereka bertanya kepada Akbar, dengan tak terkendali murid perempuan berebut mengacungkan tangan.

Saat murid perempuan lainnya berebut bertanya, ada satu murid perempuan yang hanya diam dan menatap geli tingkah teman-temannya.

"Diam!" Ibu guru berteriak. Penggaris yang Ia pegang dipukulkan ke atas meja berulang-ulang. Mereka terdiam. "Karena kalian ribut, Ibu tidak mengizinkan kalian bertanya. Kecuali Welhi."

Anak yang dipanggil Welhi membelalakkan matanya. Mulutnya sedikit terbuka. Tidak percaya akan mendapatkan kesempatan bertanya.

"Iya, kamu Welhi. Beri satu pertanyaan untuk mewakili teman-temanmu, sekarang!" Perintah ibu Diana. Murid-murid perempuan tidak terima, mereka mengeluh. Sedangkan murid lelaki menertawakan mereka. Kelas seketika gaduh lagi. Disaat Ibu Diana melerai mereka, Akbar dan Welhi saling menatap satu sama lain.

"Ayo, Welhi apa yang mau kamu tanyakan. Silahkan!"

Welhi tersentak, sebuah pertanyaan mengalir begitu saja dari mulut mungilnya, "Kamu akan berapa lama di Jakarta? Bukankah tadi kamu bilang, keluargamu ada di Singapura hingga saat ini. Lalu untuk apa kamu pindah sekolah?"

Akbar menarik napas sedikit panjang, ada rasa aneh yang menyentuh hatinya saat pertanyaan itu dilontarkan kepadanya, "Aku hanya setahun di Jakarta. Aku ke Jakarta karena ikut kedua orangtuaku yang sedang menjalankan sebuah proyek berjangka waktu setahun. Setelah itu kami akan kembali ke Singapura."

"Yaa... Setahun doang?!", seru murid-murid perempuan, Welhi terdiam. Dia hanya melempar senyum tipis kepada Akbar.

"Oke, perkenalan selesai. Akbar kamu bisa duduk di samping Putra. Dan kita akan lanjutkan pelajaran." Tutup Ibu Diana.

***
Bus berhenti tepat di depan halte. Sebagian penumpang dari dalam bus bergegas turun. Pak supir menoleh ke arah belakang, "Neng Welhi turun disini?" Tanyanya pada perempuan tiga puluh tahun itu.

"Iya Pak. Aku mau mampir ke toko kue dulu." jawabnya dengan senyum yang ramah.

Pak supir mengangguk, "Oh, begitu. Hati-hati ya, Neng."

"Iya, Pak. Makasih."

"Iya, sama-sama Neng geulis."

Perempuan yang dipanggil Welhi itu melirik kearah pria yang ada disebelahnya. Pria itu sedang tertidur. Dia begitu pulas. Seolah melepas beban yang sedang Ia pikul. Welhi mengamati lagi wajah pria itu dan sekali lagi Ia terpesona. Ia tersenyum lalu bergegas turun dari bus.

Kakinya melangkah menuju ke toko kue, "Banana Cake". Saat sudah di dalam, Ia langsung menuju etalase favoritnya. Di etalase itu terpajang kue Banana Muffindengan toping beraneka ragam. Untuk kali ini, ia memilih Banana Muffin dengan toping gula halus dan choco chips. Langsung pesanannya dibungkus. Setelah selesai membayar Ia langsung beranjak pergi dari toko kue itu.

***
"Ini data-data pasiennya, Dok." Suster Eni menyodorkan sebuah map file berwarna kuning.

"Oke. Akan saya pelajari. Saat pasiennya sudah datang langsung temui saya."

"Baik, Dok."

"Oke. Silahkan keluar."

"Baik, Dok. Saya permisi dulu."

"Yah."

Suster Eni keluar dari ruangan Dokter Akbar. Di ruang tunggu sudah terlihat Welhi duduk menunggu. Suster Eni mendekatinya.

"Ibu Welhi langsung masuk saja karena dokter ibu sudah menunggu."

Welhi tersenyum, "Oh begitu, oke, Sus. Ini ada kue buat dokter Mirna, tolong diantarkan." kata Welhi dan memberikan kotak kue kepada suster Eni.

"Baik, Bu."

"Iya, makasih yah, Sus."

"Sama-sama, Bu."

***
Baru saja duduk, Welhi di kejutkan dengan dokter yang ada dihadapannya.

"Kamu?" ucap Welhi tak percaya mendapati dokter yang ada di hadapannya ini adalah pria yang duduk disebelahnya waktu di bus tadi. Dan terlihat jelas Dokter itu pun sama terkejutnya.

Dokter itu segera menguasai dirinya kembali. Lalu Ia beralih menatap mata Welhi dengan tajam. Dengan masih duduk tegap Ia berkata, "Sejak kapan penyakit ini menggerogotimu Welhemina Amir Pratama."

Jantung Welhi seketika seolah berhenti berdetak mendengar dokter itu menambahkan "Pratama" di belakang namanya. Mulutnya sedikit terbuka karna ketidakpercayaannya. Kedua tangannya menutup mulutnya. Tangannya bergetar. Air matanya jatuh. Ingatannya kembali ke masa enam belas tahun yang lalu.

"Ini apa, Akbar?" Tanya Welhi menerima bungkusan kado berkotak kecil.

"Buka saja." jawab Akbar singkat sambil duduk disebelah Welhi.

Welhi membuka kado itu, "Padahal aku tidak sedang ulang tahun." katanya heran. Saat melihat isi kado itu, Welhi sumringah, "Wah cantik sekali sapu tangannya. Halus dan lembut. Tapi ini kok kenapa ada Pratama di belakang namaku?" Welhi terheran heran dengan sulaman namanya yang ditambah nama belakang Akbar.

"Sengaja. Karna aku berharap kita bisa kayak orang tua kita. Menikah dan menua bersama."

Welhi tertawa, "Hahaha... Idih, lagaknya udah kayak orang dewasa saja. Kita itu masih kecil tahu. Bau kencur kata ibuku. Cinta cinta monyet gitu."

"Ya memang, tapi beneran aku ingin menikah sama kamu, Welhi."

"Apa ini tidak kecepatan kita berbicara ini Akbar? Perjalanan kita masih jauh. Kita baru kelas dua SMP."

"Entahlah, yang jelas aku ingin kamu. Nama belakangku yang disematkan di belakang namamu adalah buktinya. Dan ini mamaku sendiri yang menyulamnya. Jadi kamu bisa mengerti kan, seberapa kita di support."

Welhi mengangguk.

***
"Ini kamu?" Tanya Welhi yang sudah kembali dalam kesadarannya. Akbar masih menatapnya lamat lamat.

"Iya. Ini aku. Akbar Pratama."

Welhi tertawa kecil di iringi air mata yang masih mengalir. Ia masih tidak percaya apa yang terjadi saat ini. Semuanya begitu mengejutkan. Sosok yang Ia pikir tidak akan mungkin bertemu lagi kini ada tepat di depannya. Cinta masa kecil yang Ia pikir hanya tinggal kenangan apakah akan bersemi kembali ataukah akan berakhir sebelum bersemi. Seperti kehidupan cinta sebelumnya.

"Kapan ini terjadi?" Akbar menyentuh tangan Welhi. Aliran hangat menjalar ke tubuh Welhi. Genggaman ini sama persis ketika Akbar menggenggamnya waktu dulu. Welhi menundukkan kepalanya berusaha menyembunyikan kelemahannya.

"Dua tahun yang lalu. Ya, diagnosis itu dua tahun yang lalu." Welhi menangis.

"Berhenti menangis. Aku tidak bisa memelukmu. Karena ibu kita melarangnya."

Welhi terperanjat mendengar kata kata Akbar. Ia semakin tambah tidak percaya Akbar masih memegang teguh janjinya kepada ibu mereka dulu.

"Ibu dan mama memang mensupport hubungan kalian. Tapi tidak untuk macam-macam. Di luar sana begitu jelas hubungan yang bebas. kami tidak mau itu terjadi pada kalian dan melarang kalian untuk tidak bersama di zaman sekarang ini, sepertinya sia-sia. Karna gejolak asmara kalian terlihat begitu membuncah. Kami hanya ingin kalian berjanji tidak akan terjadi apa-apa dengan diri kalian. Saling jaga, saling mengingatkan, dan saling berlomba meraih mimpi. Sekolah yang benar dulu. Raih mimpimu. Karna ada masanya kalian merasakan cinta yang sesungguhnya. Nikmati masa remaja kalian ini dengan melakukan hal yang positif. Dan ingat kami melarang keras kalian berpelukan, sandar-sandaran di pundak, berciuman apalagi sampai melakukan hal yang tidak-tidak. Paham kalian?!".

Ultimatum ibunya yang dulu terdengar jelas di telinga Welhi. Ia semakin menangis menjadi jadi.

"Sudah cukup. Sekarang kita temui ayah dan ibumu." Akbar beranjak dari duduknya. Welhi mencegatnya. Akbar menatap heran.

"Ayah dan ibu sudah meninggal, Akbar." Welhi menahan sesak di dadanya. Akbar terduduk. Tidak menyangka akan mendengar kabar menyakitkan yang begitu bertubi-tubi, "Ayah dan ibu mengalami kecelakaan saat di Papua. Mobil mereka tabrakan. Mereka meninggal di tempat. Mereka ke Papua untuk mengecek pembangunan hotel mereka di sana" lanjut Welhi.

Ia semakin terpuruk mengenang dirinya harus berjuang sendiri untuk melanjutkan hidup, "Aku sendirian Akbar. Benar-benar sendiri." Cerita Welhi membuat Akbar menyesal. Membuat ia merasa gagal menjadi seorang laki-laki.

Saat orang yang Ia cintai sebenarnya sedang mengalami musibah tiada hentinya, Ia malahan sedang asik asiknya menjalin cinta dengan wanita lain bahkan lebih dari satu. Tapi itu tidak lagi. Semua sudah berakhir. Dan tujuan hidupnya telah ia temukan kembali. Cinta yang selama ini ia umbar ke wanita lain bukanlah cinta sebenarnya. Inilah cintanya. Cinta yang dulu sempat terpisah kini akan mereka rajut kembali.

"Bukan. Bukan merajut tapi akan aku kokohkan cinta kita." Batinnya.

***
"Saya terima nikah dan kimpoinya Welhelmina Binti Amir Suryo Agung dengan mas kimpoi 24 karat seberat 30 gram dibayar tunai."

Dengan satu tarikan nafas, ijab kabul itu terucap begitu lancar. Mata Welhi berkaca kaca mendapati dirinya kini resmi menjadi seorang istri. Suasana menjadi haru. Pernikahan yang digelar sederhana namun sangat terasa sakralnya. Di sebelah kanan pengantin, ada orang tua Akbar yang memancarkan kebahagian. Mamanya menangis haru. Sedangkan ayahnya begitu bangga menyaksikan anak satu satunya telah resmi melepas masa lajangnya. Dalam hati mereka sangat bahagia, karena yang menjadi istri pewaris mereka adalah Welhi. Yang memang sudah mereka inginkan sejak lama.

***
"Terima kasih Akbar. Kamu menepati janji kamu enam belas tahun yang lalu tepat di hari perpisahan kita. Masih ingat, kan?" kata Welhi yang saat ini sedang duduk bermanja dalam pelukan suaminya.

"Tentu saja aku ingat." jawab Akbar.
Pikiran mereka berdua pun kembali ke masa remaja mereka. Masa di mana mereka masih memgenakan baju putih biru.

"Kamu jangan sedih yah, terus ingat kisah kita. Aku janji akan datang menjemputmu. Menjadikan mu ratu seperti namamu. Dan jika aku tdk kembali, aku pun berjanji akan selalu mendoakanmu agar kamu mendapatkan pengganti yg lebih baik dariku."

"Aku bahagia banget Akbar. Sungguh bahkan jika Tuhan memgambil nyawaku sekarang aku siap." Kata Welhi lirih. Akbar beranjak dari posisinya. Menempelkan telunjuknya di atas bibir Welhi.

"Jangan pernah berkata begitu. Kamu akan terus hidup. Aku suami dan doktermu akan melakukan apa pun untuk kesembuhanmu." Akbar mencoba menyemangati Welhi. Walaupun Ia tahu kemungkinan untuk hidup penderita kanker payudara stadium 4 hanya 20 sampai 25% saja. Akbar berjanji dengan dirinya sendiri di sisa hidup ini, hanya akan ada kebahagian untuk istrinya.

Welhi meraih kedua tangan Akbar, lalu menciumnya. Tiba tiba Welhi merasakan mual. Ia batuk dan juga sesak napas. Melihat itu Akbar panik.

"Welhi kamu kenapa?"

Welhi tak bisa menjawab sesak napasnya semakin bertambah. Welhi terlihat semakin kewalahan dan membuatnya pingsan. Akbar tidak menunggu lama. Dia langsung menggendong istrinya dan membawanya ke Rumah Sakit.

Sepuluh menit kemudian mereka tiba di Rumah Sakit. Dengan sigap Akbar menggendong istrinya. Suster Eny melihat kedatangan dokter Akbar bergegas membantu. Welhi di periksa langsung oleh Akbar-suaminya. Akbar didampingi oleh dokter Mirna dan suster Eni.

"Sel kankernya sudah menyebar ke paru paru dan hati." Kata dokter Mirna dengan berat, sambil menunjukkan hasil rongent dari Welhi. "Memang sulit Akbar, tapi tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Dia punya kamu. Bahagiakan dia di sisa hidupnya. Dia lama menjadi pasienku, aku tahu betul yang Ia butuhkan hanya support." Nasehat dokter Mirna yang lebih tua dari Akbar, "kamu itu kuat Akbar, lebih dari apa yang aku pikirkan. Kamu pasti bisa mengatasi semuanya." Lanjut dokter Mirna. Ia beranjak dari duduknya, "Kamu juga harus jaga kesehatanmu. Karena kamu tahu sendiri apa yang harus kamu lakukan untuk dirimu." Tutup dokter Mirna lalu pergi meninggalkan Akbar yang masih terdiam mendapati kenyataan bahwa istrinya tidak akan bisa hidup lebih lama lagi.

***
Disuatu sore, saat matahari perlahan tenggelam, Welhi berdiri di balkon rumahnya. Ia memandang takjub ke langit. Akbar perlahan mendekatinya dari arah belakang. Ia memeluk hangat perempuan yang Ia cintai dan kini sudah menjadi istrinya enam bulan terakhir. Tidak ada hari yang mereka lewati tanpa berbahagia. Tiap hari hanya ada cinta, romantisme, dan canda tawa. Akbar mengeratkan pelukannya. Welhi menikmati pelukan dari suaminya itu.

"Sampai detik ini aku masih belum bisa berhenti untuk bersyukur atas semua yang kamu lakukan untukku. Aku perempuan pengidap kanker payudara yang tidak tahu akan bisa bertahan hidup sampai kapan. Waktumu kamu habiskan hanya untuk merawat penyakitku. Tidak sekali pun aku mendengarmu mengeluh. Apalagi melihatmu lelah. Aku sangat beruntung bisa memilikimu." Airmata Welhi mengalir.

Akbar membalik tubuh Welhi menghadapnya. Ia meraih wajah mungil istrinya dan berkata, "Dengarkan aku, kamu adalah satu-satunya alasan untuk aku berjuang hidup. Apapun itu."

Welhi menenggelamkan dirinya dalam pelukan Akbar. Ia mendengar degup jantung suaminya. Ia menangis tapi bahagia. "Akbar, maukah kamu membacakan puisi yang kamu tuliskan untuk aku. Aku mau mendengarnya langsung dari mulutmu", pinta Welhi.

Akbar melepas dekapannya. "Tentu saja." Ia melangkah menuju nakas di samping tempat tidur. Ia membuka laci dan mengambil secarik kertas yang tertata rapi di dalam sebuah amplop berwarna biru.

Wahai kau nun jauh disana
Bolehkah aku meminta
Pinta ini terselip harap
Untuk kau menerimanya

Wahai dirimu disana
Ada rasa begitu dalam
Sedalam jarak laut memisahkan
Sedalam hati tak bertuan

Adakah ada ku masih bersemayam?
Dalam hati nurani jiwamu?
Dalam pikir akalmu?
Dalam tawa bibirmu?

Wahai dirimu disana
Kabulkan pinta penuh harap
Dari jiwa yang terpatri hadirmu
Dari kalbu yang menyebut namamu

Wahai dirimu disana
Izinkan aku merindu
Dirimu tuk kembali
Bersama memadu kasih suci

Akbar mulai membaca puisinya. Ia begitu menghayati kata demi kata. Ia tenggelam dalam irama puisinya, sampai tak bisa mendengar kalimat terakhir dari istrinya.
"Akbar, aku pergi ya." Ucap Welhi sangat lirih.

Akbar membacakan puisinya hingga akhir. Jantungnya berdegup kecang. Tangan istrinya terlepas dalam dekapannya. Ia merasakan tubuh istrinya dingin. Sudah tak bernapas lagi. Di dekapnya lebih erat tubuh istrinya. Sangat erat. Ia tak bisa menahan lagi air matanya. Rasanya ingin Ia berteriak. Tapi tak sanggup Ia lakukan. Hatinya sakit sekali.

***
Penguburan telah usai. Para pelayat silih berganti mengucapkan bela sungkawa dan juga menguatkan Akbar agar bisa ikhlas melepas kepergian istrinya. Di sela itu, Akbar mendapatkan telpon dari seseorang,

"Hallo Dokter Akbar. Saya dokter Tora, maaf karena sudah lancang berbicara ini, tapi ini harus di lakukan segera mungkin. Saya ingin mengabarkan jika pendonor jantung yang cocok untuk anda sudah ada. Dan kita bisa melakukan transplantasi secepatnya."

"Itu tidak diperlukan lagi dokter. Alasan untuk aku hidup sudah tidak ada. Saat ini aku hanya ingin segera menyusul istriku." Kata Akbar lalu menutup telponnya.

***
"Sungguh cinta mereka abadi. Sekarang kalian tidak butuh waktu lama untuk bisa kembali bertemu di surganya Allah anak anakku." Lirih mama Inggrid.

"Bertemu, menjalin, berpisah, bersemi kembali dan kembali pulang ke sisi Allah bersama. Itulah kalian." Kata papa Chairil yang berusaha tegar di hadapan makam anak dan menantunya.

Satu persatu pelayat meninggalkan makam Welhi dan Akbar. Tak sedikit dari mereka yang kagum dengan kisah cinta yang di takdirkan Maha Kuasa untuk sepasang suami istri itu.


SELESAI...


Pic by : pinterest

Puisi by Lurika Izinkan Aku Merindu
Diubah oleh lurika 27-08-2022 03:00
bukhorigan
bukhorigan memberi reputasi
7
1.3K
55
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.