cangkeman.net
TS
cangkeman.net
Alfatihah Pertama dan Gesekan Kebudayaan Orang Tua dan Anak


Cangkeman.net - Minggu kemarin, saya akhirnya pulang kampung juga setelah sekian lama tidak pulang kampung. Kembali ke tempat di mana masa kecil berada akan selalu penuh dengan banyak hal yang dapat dijadikan pelajaran. Mungkin karena saya jarang pulang kampung yah, jadi setiap pulang kampung saya selalu memperhatikan hal-hal dengan sedetail mungkin untuk menyimpannya dalam-dalam dan menjadikannya bekal untuk kembali ke tanah rantau.

Saat pulang kampung kemarin, kebetulan saya pulang ditemani oleh teman masa kecil saya yang sekarang sudah menjadi sepupu ipar saya. Dia juga yang kini menjabat sebagai Presiden Cangkeman seumur hidup. Nah karena saya ditemani Pak Presiden Cangkeman, maka sedikit banyak kegiatan saya di kampung yah bersama-sama dengan beliau.

Perlu diketahui, teman saya ini sebelum menjadi Presiden Cangkeman, ia pernah nyantri di salah satu Pesantren di Kabupaten Tegal. Tepatnya di Pondok Pesantren Darussalam yang terletak di Desa Kalibakung, Kabupaten Tegal. Jadi kalau beliau pulang kampung, pasti menyempatkan diri untuk ke pesantrennya untuk sekadar napak tilas dan sowan dengan Pak Kyai dan Bu Nyai di sana.

Saat pulang kampung kemarin itulah saya diajak oleh temanku itu ke pesantren di mana ia dulu pernah menuntut ilmu menjadi santri dan ustad. Sebenarnya sih ini bukan pertama kali saya mengunjungi pesantren ini. Tapi ini menjadi yang pertama saya mengunjungi rumah Pak Kyai dan Bu Nyai pengasuh pondok pesantren tersebut.

Setelah salat maghrib di masjid pesantren. Rombongan kami yang tentu dipimpin oleh Pak Presiden dan istrinya itu mulai memasuki rumah Pak Kyai. Setelah berbasi-basi dan melakukan ritual sungkeman dengan Pak Kyai, kami mulai mendengarkan wejangan-wejangan dari Pak Kyai dan Bu Nyai.

Sebenarnya ada banyak wejangan dari beliau-beliau ini. Paling banyak sih tentang kehidupan menuju dewasa dan setelah berumah tangga. Yah sesuailah dengan usia-usia kami. Tapi ada satu wejangan dari Bu Nyai yang saya ingat-ingat sampai sekarang dan mungkin akan saya ajarkan kepada orang-orang juga. Bu Nyai bilang, "Kalau bisa, kalau punya anak, ajarin anaknya sendiri, apalagi Alfatihah. Anak kalau bisa itu dapat membaca Alfatihah karena ajaran orang tuannya, bukan ajaran orang lain."

Bu Nyai juga melanjutkan, "Alfatihah itu dibaca minimal sehari 17 kali saat salat. Itu amal jariyah yang sangat berlimpah untuk orang tua."

Walaupun saya belum punya anak dan juga belum menikah, saya langsung tertegun dan mengaminkan apa yang diucapkan Bu Nyai. Terlebih dengan mengingat realita di lapangan tentang hubungan anak dan orang tua orang-orang di sekitar saya.

Sebagai orang yang berantakan dalam beragama. Sebenarnya saya enggak terlalu peduli dengan pahala dan dosa apalagi pahala berlipat yang dijanjikan seperti yang Bu Nyai bilang. Tapi saya dapat mengambil inti pesan dari Bu Nyai, bahwa hal-hal dasar untuk seorang anak, alangkah baiknya diajarkan langsung oleh orang tuanya.

Hal yang disampaiakn Bu Nyai ini menurut saya sangat penting untuk diajarkan kususnya untuk para pasangan muda atau pun orang-orang yang akan bermulai untuk kimpoi, beranak, dan berbahagia.

Saya melihat ini bukan dari segi agamannya sih. Saya melihat ini dari segi sosial hubungan antara orang tua dan anak. Orang tua dan anak khususnya di jaman ini akan banyak terjadi konflik karena perbenturan budaya yang begitu njomplang antara masa hidup orang tua dengan masa hidup anaknya. Hal ini tentu banyak disebabkan oleh melesatnya perkembangan teknologi.

Gesekan-gesekan kebudayaan inilah yang sejatinya dapat diminimalisir atau bahkan dapat diatasi dengan mengajarkan Alfatihah pertama kepada anak. Karena hal-hal dasar yang sering diapakai oleh seorang anak selama hidupnya, maka akan terpatri dalam memori si anak tentang siapa yang mengajarinya. Dengan sendirinya si anak ketika dewasa akan memiliki rasa hormat yang lebih terhadap yang pertama kali memberitahukannya.

Mungkin Ibu-Bapak sekarang telah menyiapkan dana yang mahal-mahal untuk menyewa guru yang mumpuni, menyekolahkan anaknya di sekolah yang top cer. Semuanya sudah tertata dengan disesuaikan rencana keuangan dan segala sesuatunnya. Tapi kadang mereka lupa bahwa sekolah, guru, dan para pengajar itu sifatnya hanya sementara menemani hidup anaknya. Justru orang tualah yang akan lebih lama menemani sang anak dan nantinya mereka juga berharap dirawat oleh anaknya di masa tua nanti.

Namun, bagaimana seorang anak mempunyai rasa kasih sayang yang lebih ketika mereka semasa kecilnya tidak menyimpan memori tentang rasa kasih sayang pengajaran dari orang tuanya. Hal-hal dasar bekal kehidupan yang mereka peroleh bukan dari orang tuannya, melainkan dari orang lain. Maka tanpa sadar, jika dewasa nanti si anak menganggap orang tua hanya sebagai orang yang memberi makan dan melahirkan saja. Tidak ada sambung rasa yang kuat di situ. Karena melahirkan memang keinginan orang tua itu sendiri, sementara memberi makan juga bisa dilakukan oleh pemelihara binatang kepada peliharaannya.

Sepanjang perjalanan pulang dari pesantren tersebut saya terus memikirkan wejangan dari Bu Nyai tersebut. Ternyata hal-hal seperti mengajari anak pertama kali membaca Alfatihah yang sering dilupakan, malah dapat ber-impact besar terhadap keberlangsungan tumbuh kembang anak dan hubungan antara orang tua dan anak di masa nanti.

Beberapa hari kemudian setelah berkunjung ke Pesantren tersebut, saya kembali ke tanah rantau. Wejangan Bu Nyai akan saya ingat dan akan saya sebarkan kepada teman-teman yang akan kimpoi, beranak, dan berbahagia. Mungkin juga akan berguna untuk diri saya pribadi. Aaamiiinn...

Tulisan ini ditulis oleh Fatio Nurul Efendi di Cangkeman pada tanggal 21 Mei 2022.
eni050885
eni050885 memberi reputasi
13
1.6K
24
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.4KThread81.2KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.