janahjoy35Avatar border
TS
janahjoy35
Komala


Prolog


"Bikin malu Bapak, kamu!" bentak Guntur sambil menunjuk tepat muka Komala yang kuyu.

"Udah, Pak..." Widya berkata lirih mencoba menenangkan emosi Guntur.

Guntur menghela napas, frustasi. "Saya malu sama kamu, Wid. Saya yang minta kamu untuk membesarkan dia, dulu. Tapi, lihat! beraninya dia menaruh kotoran di muka kita." kata Guntur sambil menjatuhkan tubuhnya ke sofa.

"Qodarullah, semua sudah terjadi." Widya mendekati Komala, mengelus sayang anak angkatnya yang kembali menangis tersedu.

"Maafin Mala, Pak." Komala bersimpuh di kaki Guntur.

Guntur mengusap wajahnya, memejamkan matanya. Perlahan, bahunya mulai bergetar. Guntur, pensiunan polisi pangkat bintang 2 itu menangis.

1. Komala, namanya.

Saat itu musim penghujan. Hampir setiap sore, hujan deras mengguyur kota. Guntur tiba dirumah dengan wajah pucat dan cemas.

"Widya, kita harus berangkat ke Purwakarta. Sekarang!" katanya sambil terburu-buru mengganti baju dinasnya.

"Ada apa, Pak?" Tanya Widya, cemas.

"Adikku, gugur saat bertugas, Widya." Guntur terduduk di sisi ranjang.

"Innalillahi... Guruh, Pak?"

"Iya, Guruh. Siapa lagi adikku, Wid?"

"Bapak sabar, Bapak tenang dulu. Aku siapin keperluan kita untuk kesana." Kata Widya sambil bergegas mengambil koper untuk mengkemas beberapa baju miliknya dan Guntur.

***

Opel kapitan p2 melaju menerobos hujan.

"Perjalanan masih sangat jauh, Bapak tidur aja dulu." Kata Widya sambil membantu Guntur mengancingkan jaketnya.

"Kasian sekali adikku itu, Widya. Dia belum sempat bertemu dengan anaknya." kata Guntur dengan pandangan menerawang keluar kaca mobil. "Pelan amat kamu bawa mobilnya, Run." keluh Guntur pada supirnya, Harun.

"Gak apa, pelan-pelan aja, Run. Hujan, bahaya kalau ngebut." Widya memperingatkan Harun yang mulai menginjak pedal gas. "Memangnya Lastri sudah melahirkan, Pak?"

"Pagi tadi aku dapat kabar gembira kelahiran keponakanku itu, Widya. Sorenya aku dapat kabar duka kematian ayahnya. Malang sekali keponakanku, Widya. Malang sekali nasib Guruh, Widya." Guntur memejamkan matanya lalu menyandarkan kepalanya di jok. 

Widya diam. Jika sudah seperti ini, tandanya Guntur sudah tidak mau di ganggu apalagi di tanya-tanya. Widya hanya menepuk-nepuk lengan suaminya yang usianya terpaut 20 tahun itu.

***

Nuansa duka begitu kental di kediaman rumah Lastri. Riuh sesak keluarga dan tetangga yang turut hadir untuk berbelasungkawa tidak bisa menghilangkan kesan sunyi dan sepi dari perasaan Lastri yang baru saja menjadi janda.

Lastri masih terbaring lemah di kamar saat Widya dan Guntur sampai dirumah mereka.

"Pak Guntur, untung Bapak sudah datang." kata Soleh, tetangga sekaligus pesuruh keluarga Guntur di Purwakarta.

"Kenapa, Pak Soleh?"

"Neng Lastri, Pak. Sejak menerima kabar meninggalnya Pak Guruh, Neng Lastri mendadak diem, tidak mau nyusuin anaknya. Kasian anaknya, nangis terus belum kena ASI," kata Soleh sambil mengekori Guntur yang menerobos masuk ke kemar utama.

Suara tangisan bayi menggema di dalam kamar. Bayi itu meronta dalam balutan selendang, tangannya mengais-ngais mencari pelukan hangat sang ibu. Sementara Lastri, Ibu sang bayi, hanya menatap kosong jendela kamar yang basah karena tampias air hujan.

"Widya! tolong Widya!" seru Guntur memanggil istrinya yang langsung sibuk membantu menyiapkan perlengkapan untuk menyambut jenazah Guruh.

"Iya, Pak. Sebentar." kata Widya sambil berjalan cepat menemui suaminya di kamar utama.

"Tolong anak itu, Widya. Aku tidak tega mendengar tangisannya."

Widya langsung menggendong bayi yang baru lahir itu. Di dekapnya bayi itu dengan penuh kasih sayang. "Pak Soleh, saya bisa minta tolong air hangat?"

"Boleh, Bu." Soleh bergegas menuju dapur.

Widya menatap wajah bayi yang mulai berangsung reda tangisnya. "Cantik sekali anakmu, Lasti." kata Widya.

Tiba-tiba saja, Lasti tertawa terbahak-bahak. Lalu menangis, meraung sejadinya membuat semua orang yang ada dirumah itu kaget sekaligus heran.

"Aku tidak mau anak itu!" seru Lastri dengan tatapan nyalang ke arah Widya yang tengah menggendong anaknya. "Aku hanya mau suamiku. Aku tak bisa tanpa suamiku!" jeritnya.

"Widya, tolong bawa dan jaga dulu anak ini. Sebentar lagi mobil yang bawa jenazah Guruh datang." Kata Guntur sambil menggiring Widya yang tengah menggendong bayi keluar kamar.

"Iya! Bawa pergi anak itu! Aku tidak ingin anak itu tanpa suamiku!" teriak Lastri.

"Pak Soleh, tolong kunci pintu kamar Bu Lastri!" perintah Guntur kepada Soleh yang baru datang tergopoh-gopoh membawa segelas air.

"Ba- baik, Pak. Ini air?" Pak Soleh terlihat bingung.

Guntur langsung mengambil gelas yang di bawa Soleh dan menyusul Widya ke kamar tamu.

***

"Kita kasih nama siapa bayi ini, Pak?" tanya Widya.

"'Komala, namanya.' itu yang pernah dikatakan Guruh padaku, dulu." Guntur mengusap wajahnya gusar. "Widya, apakan kamu bersedia merawat anak ini? Aku tidak tega kalau harus menitip anak di Pak Soleh. Dia dan istrinya sudah sangat tua. Kamu liat sendiri, Lastri tidak menginginkan anak ini, bahkan dia seperti orang gila, sekarang."

Mata Widya terbelalak saking kaget. "Aku sudah berencana meminta bayi ini untuk aku rawat, Pak. Tentu aku mau." kata Widya, gembira.

"Terimakasih, Widya." Guntur mencium kening istrinya. "Sungguh kamu adalah pemberian Tuhan yang terindah." katanya, membuat Widya tersipu.

"Kamu pemberian Tuhan yang terindah." Widya mengecup sayang pipi Komala.

Guntur tersenyum melihat istrinya yang begitu tulus mencintai keponakannya.

***

 


Quote:



Rainbow555
olasaja
medh1221
medh1221 dan 9 lainnya memberi reputasi
10
1.3K
23
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.