• Beranda
  • ...
  • Health
  • Mengenal Tindakan Medis "Do Not Resuscitate" #RabuRandom

marywiguna13Avatar border
TS
marywiguna13 
Mengenal Tindakan Medis "Do Not Resuscitate" #RabuRandom


Para dokter di Jackson Memorial Hospital di Miami menghadapi sebuah dilema ketika seorang pasien pria yang berumur 70 tahun, yang sedang tidak sadarkan diri dibawa ke ruang gawat darurat. Pria tersebut memiliki tato di bagian dadanya dengan tulisan "Do Not Resuscitate" di bagian dadanya. Tato dengan kata "Not" yang digarisbawahi dan tandatangan yang disertakan di bawahnya tersebut tampak seperti menyampaikan sebuah permintaan yang serius tentang harapan akhir hidup sang pasien.


Namun, hal tersebut justru membuat tim medis bergulat dengan segudang pertanyaan etika dan hukum. Apakah tato tersebut merupakan representasi akurat dari apa yang diinginkan oleh pasien? Apakah mereka harus menghormati dan melaksanakan apa yang tertulis dalam tato tersebut? Ataukah tato tersebut hanyalah sebuah tato tanpa memiliki makna?

Gregory Holt, seorang dokter perawatan kritis dan penulis utama makalah yang memaparkan perjuangan tim medis untuk mendapatkan jawaban atas kasus yang terjadi, mengatakan bahwa pasien tersebut tinggal disebuah panti jompo dan memiliki riwayat penyakit paru. Namun, dia ditemukan mabuk dan tidak sadarkan diri di jalan dan dibawa ke Jackson Memorial. Dia tidak memiliki identitas, tidak ada keluarga atau teman yang datang untuk melihat keadaannya yang sedang kritis, bahkan tidak ada cara untuk memberi tahu dokter apakah pasien tersebut ingin hidup atau mati. Selain itu, pasien tersebut juga mengalami infeksi yang menyebabkan septic shock, yang menyebabkan kegagalan organ dan tekanan darah yang sangat rendah.

Begitu pasien tersebut tiba di Jackson Memorial Hospital dan diketahui bahwa tekanan darahnya mulai turun, Gregory yang merupakan seorang dokter ruang gawat darurat, menyatakan setuju untuk tidak menghormati tato tersebut, dengan menjalankan prinsip untuk tidak memilih jalan yang tidak dapat diubah ketika menghadapi sebuah ketidakpastian. Tim medis di ruang gawat darurat memberi pasien tersebut cairan infus, antibiotik, obat tekanan darah, dan masker untuk bernafas, untuk mengulur waktu agar tim medis bisa membuat keputusan untuk memberi pasien tersebut hidup atau mati.

Karena pasien yang sedang ditangani tidak sadarkan diri dan para dokter di Jackson Memorial Hospital belum pernah melihat tato "Do Not Resuscitate" seperti yang dimiliki oleh pasien tersebut, maka mereka memanggil seorang konsultan etika untuk membahas masalah hukum dan etika. Dan konsultan tersebut menentukan bahwa dokter bisa menganggap tato yang dimiliki oleh pasien tersebut sebagai cerminan akurat dari keinginan pasien. Pekerja sosial kemudian melakukan pelacakan informasi atas dokumen DNR yang pasien tersebut miliki, dan hal tersebut tentu saja membuat para dokter menjadi lega. Pasien yang namanya tidak pernah dipublikasikan tersebut, pada akhirnya meninggal keesokan paginya.

Seorang profesor bioetika dan kepala divisi etika medis di Fakultas Kedokteran Universitas New York yang bernama Arthur Caplan mengatakan bahwa tidak ada hukum untuk mengabaikan tato yang menginstruksikan tenaga medis untuk tidak melakukan resusitasi terhadap si pemilik tato. Namun di sisi lain, membiarkan seorang pasien meninggal tanpa disertai dokumen hukum yang menjadi pendukung bisa menjadi sebuah masalah. Jadi, jalan yang lebih aman adalah melakukan sesuatu terhadapnya karena dokter secara rutin harus membuat keputusan yang sulit dalam waktu yang singkat.

Selain itu, Arthur juga mengatakan bahwa tato "Do Not Resuscitate" bukanlah pengganti hal untuk menentukan keputusan hidup atau mati seseorang. Namun, tato yang baik sebenarnya adalah sebuah dokumen yang berguna untuk mendukung surat wasiat atau arahan lanjutan dalam persoalan medis. Pasien juga harus memastikan keluarga dan teman agar mengetahui keinginan mereka. Karena begitu keluarga atau teman menghubungi 911, maka tim medis darurat akan segera melakukan tindakan terhadap pasien.


Ketika berada di luar rumah sakit, pemerintah Florida mewajibkan warganya untuk tidak melakukan pernyataan resusitasi yang dicetak di atas kertas kuning dan ditandatangani oleh dokter dan pasien, atau perwaliannya. Namun, ketika berada di dalam rumah sakit, dokter dapat berbicara dengan pasien, pihak keluarga, atau teman pasien untuk menentukan apa keinginan akhir hidup yang dimiliki oleh pasien.

*************************************************


Apa itu "Do Not Resuscitate"?

Menurut Wikipedia, perintah "Do Not Resuscitate" (DNR), atau "Do Not Attempt Resuscitation" (DNAR), atau "Do Not Attempt Cardiopulmonary Resuscitation" (DNACPR), atau "no code", atau "allow natural death", merupakan sebuah perintah medis secara lisan atau tertulis, yang menunjukkan bahwa seseorang tidak boleh menerima tindakan Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) jika jantung seseorang tersebut berhenti berdetak.

"Do Not Resuscitate" merupakan istilah yang umum digunakan di Amerika, Kanada, dan Selandia Baru. Sedangkan dibeberapa wilayah, mereka menggunakan istilah "Do Not Intubate" (DNI), walaupun 98% tindakan intubasi tidak terkait dengan serangan jantung. Karena tindakan intubasi banyak dilakukan untuk penyakit pneumonia dan dalam proses pembedahan. Pihak rumah sakit kadang menggunakan status no codeyang berarti sebuah peringatan bagi tim Cardiopulmonary Resuscitation (CPR). Jika seorang pasien benar-benar ingin diresusitasi, maka status yang digunakan adalah full code. Dan jika seorang pasien hanya ingin diresusitasi dalam kondisi tertentu, maka status yang digunakan adalah partial code.

*************************************************

Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada tahun 2006-2009 terhadap 26 orang pasien yang memiliki status "Do Not Resuscitate" dan 16 orang pasien yang memiliki status "full code" di Toronto, Kanada, mereka memutuskan untuk memilih status "Do Not Resuscitate" karena didasarkan atas faktor pribadi seperti persoalan kesehatan dan gaya hidup, faktor relasional seperti hubungan dengan keluarga atau masyarakat secara keseluruhan, dan faktor filosofis.

Selain itu, pasien juga menyebutkan tentang resiko yang akan didapatkan jika mereka mendapatkan tindakan Cardiopulmonary Resuscitation (CPR). Karena dari sebuah artikel Kanada yang berjudul CPR Not for All Terminally Ill Patient menyebutkan bahwa, adalah hal yang tidak tepat untuk menawarkan Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) ketika dokter mengetahui bahwa seorang pasien memiliki penyakit terminal dan Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) yang dilakukan akan sia-sia.

Resiko yang muncul jika Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) dilakukan diantaranya adalah cedera fisik seperti patah tulang yang mempengaruhi sekitar 13% pasien yang mendapatkan tindakan tersebut. Selain itu, masalah mental juga dapat mempengaruhi pasien sebelum dan sesudah mereka mendapatkan tindakan Cardiopulmonary Resuscitation (CPR). Sesudahnya, 1 dari 100 orang mengalami koma, 5-10 dari 100 orang membutuhkan lebih banyak bantuan dalam kehidupan sehari-hari, dan 5-21 dari 100 orang mengalami penurunan mental walaupun mereka masih memiliki kemampuan untuk bersikap mandiri.

Walaupun beberapa negara memberlakukan perintah "Do Not Resuscitate", namun beberapa negara justru melarang perintah tersebut. Seperti di China dan Korea Selatan, perintah "Do Not Resuscitate" dilarang dengan asas keadilan, karena tindakan Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) harus dilakukan sama pada setiap orang dalam kondisi dan tempat yang sama. Inggris juga melarang perintah "Do Not Resuscitate" karena orang yang diberikan label "Do Not Resuscitate" memiliki kemungkinan untuk ditelantarkan dan tidak mendapatkan tindakan medis yang layak. Aspek lain yang banyak digunakan untuk menolak perintah "Do Not Resuscitate" adalah aspek etis dan kaidah agama. Agama tidak memberikan kuasa pada manusia untuk dapat menentukan hidup dan mati seseorang sebagaimana keputusan perintah "Do Not Resuscitate" yang dianggap dapat menentukan hidup dan mati seseorang.

Terlepas pro kontra yang terjadi, pengambilan keputusan perintah "Do Not Resuscitate" sangat rumit untuk dilakukan. Keputusan tersebut harus didiskusikan dengan baik antara dokter dan tenaga kesehatan profesional, serta harus atas permintaan dari yang bersangkutan atau keluarga dekatnya. Selain itu, kasus medis yang dialami oleh seseorang memiliki angka keberhasilan pengobatan yang rendah, pasien tidak sada secara permanen, pasien berada dalam kondisi terminal, atau adanya fungsi diskronik dimana kerugian akan lebih banyak didapatkan ketimbang keuntungan jika tindakan resusitasi dilakukan.

*************************************************

Selain kasus di atas, ada tiga macam kasus penting yang juga menjadi dasar hak bagi seorang pasien untuk menolak intervensi medis seperti tindakan resusitasi dan memilih untuk mengakhiri hidup.

Quote:


Pada tanggal 25 Februari 1990 ketika berumur 26 tahun, Theresa Schiavo mengalami serangan jantung di rumahnya di St. Petersburg, Florida. Dia berhasil diresusitasi, namun dia justru mengalami kerusakan di bagian otak yang parah karena kekurangan oksigen dan mengalami koma. Setelah dua setengah bulan tanpa ada perbaikan, diagnosis kondisi Theresa diubah menjadi status vegetatif persisten. Selama dua tahun berikutnya, dokter mencoba berbagai jenis terapi termasuk terapi okupasi, terapi wicara, terapi fisik, dan terapi eksperimental lainnya. Mereka berharap mampu mengembalikan Theresa ke tahap keadaan sadar, namun terapi yang dilakukan tidak membuahkan hasil.

Pada tahun 1998, suami Theresa yang bernama Michael Schiavo mengajukan petisi ke Sixth Circuit Court of Florida untuk melepas selang makanan pada tubuh Theresa sesuai dengan hukum yang berlaku di Florida. Namun, pengajuan petisi tersebut ditentang oleh orangtua Theresa yang bernama Robert dan Mary Schindler. Pengadilan memutuskan bahwa Theresa tidak menginginkan adanya tindakan lanjutan untuk memperpanjang hidupnya. Oleh karena itu, pada tanggal 24 April 2001, selang makanannya dilepas untuk pertama kalinya, dan hanya diperbolehkan untuk dipasang kembali beberapa hari kemudian.

Pada tanggal 25 Februari 2005, seorang hakim di Pinellas County kembali memerintahkan pelepasan selang makanan Theresa secara permanen. Namun, keputusan hakim tersebut sempat diwarnai beberapa pengajuan naik banding dan intervensi pemerintah federal. Bahkan presiden Bush menandatangani sebuah undang-undang untuk yang memindahkan kasus tersebut ke pengadilan federal. Setelah pengajuan naik banding melalui sistem pengadilan federal yang menguatkan keputusan awal untuk melepas selang makanan pada tubuh Theresa, pada akhirnya tanggal 18 Maret 2005 selang makanan pada tubuh Theresa resmi dilepas. Dan Theresa meninggal pada tanggal 31 Maret 2005.

Quote:


Pada tanggal 11 Januari 1983, Nancy Cruzan yang saat itu berumur 25 tahun, kehilangan kendali mobilnya ketika mengemudi di malam hari di dekat Carthage, Missouri. Nancy terlempar keluar dari kendaraan dan mendarat dalam keadaan tertelungkup disebuah parit yang berisi air. Paramedis menemukan kondisinya tanpa tanda-tanda vital, namun mereka berhasil melakukan tindakan resusitasi terhadapnya. Setelah mengalami koma selama tiga minggu, Nancy didiagnosis masuk ke dalam status vegetatif persisten dan ahli bedah memasukkan selang makanan untuk perawatan jangka panjangnya.

Pada tahun 1988, orangtua Nancy meminta dokternya untuk melepas selang makanan pada tubuh Nancy. Namun, pihak rumah sakit menolak untuk melakukannya tanpa adanya perintah dari pengadilan. Karena jika selang makanan dilepaskan, maka hal tersebut akan menyebabkan kematian bagi Nancy. Orangtua Nancy kemudian mengajukan permintaan mereka ke pengadilan, dan pengadilan memutuskan bahwa Nancy telah secara efektif mengarahkan untuk menarik bantuan hidup jika dia sakit atau terluka karena dia tidak ingin melanjutkan hidupnya kecuali dia bisa hidup setidaknya setengah normal. Hal tersebut pernah diberitahukan pada temannya sebelum Nancy mengalami kecelakaan.

Negara bagian Missouri dan wali ad litemNancy mengajukan banding atas keputusan tersebut. Hal yang sama juga dilakukan oleh orangtua Nancy, dan pada tahun 1989 Mahkamah Agung setuju untuk mengadili kasus tersebut. Orangtua Nancy kemudian mengumpulkan bukti tambahan bahwa Nancy ingin alat bantu hidupnya dihentikan, sedangkan negara bagian Missouri justru menarik diri dari kasus tersebut pada bulan September 1990. Hakim Jasper County Probate yang bernama Charles Teel memutuskan bahwa orangtua Nancy telah memberi bukti yang jelas dan meyakinkan. Oleh karena itu, dia mengeluarkan perintah pengadilan untuk melepas selang makanan Nancy yang dilakuka pada tanggal 14 Desember 1990, dan Nancy meninggal pada tanggal 26 Desember 1990.

Quote:


Pada tanggal 15 April 1975, beberapa hari setelah pindah ke rumah barunya, Karen yang saat itu baru berumur 21 tahun, menghadiri sebuah pesta ulang tahun temannya disebuah bar lokal yang terletak di Lake Lackawanna, Byram. Karen hampir tidak makan apa-apa selama dua hari, namun di pesta tersebut dia justru minum beberapa gelas gin dan tonik, serta mengkonsumsi valium. Tidak lama setelah itu, dia pingsan dan segera dibawa pulang ke rumahnya untuk ditidurkan. Namun, 15 menit kemudian ketika teman-teman memeriksanya, mereka menemukan bahwa dia sudah tidak bernafas. Mereka memanggil ambulan, dan tindakan resusitasi dari mulut ke mulut sempat dilakukan. Namun, Karen tetap dia tidak sadar kembali.

Dalam keadaan koma, Karen dirawat selama sembilan hari di Newton Memorial Hospital di Newton, New Jersey, sebelum dipindahkan ke Saint Clare Hospital karena dia masih tetap dalam kondisi tidak responsif. Karen menderita kerusakan otak ireversibel setelah dia mengalami kegagalan pernapasan dalam waktu lama, dan membuatnya masuk ke status vegetatif persisten dimana pada tubuhnya dipasang selang makanan dan ventilator untuk membantunya tetap bernapas. Dan selama beberapa bulan berikutnya, dia tetap berada di rumah sakit dan kondisinya semakin memburuk.

Orangtua Karen sempat meminta untuk melepaskan ventilator dari tubuhnya karena pasti menyebabkan rasa sakit. Namun, permintaan tersebut ditolak pihak rumah sakit karena jaksa penuntut Morris County, New Jersey, akan membawa hal tersebut ke jalur hukum jika pihak rumah sakit memenuhi permintaan orangtua Karen. Pada tanggal 12 September 1975, orangtua Karen kemudian mengajukan permintaan untuk melepas ventilator pada tubuh Karen. Namun, permintaan tersebut kembali ditolak oleh hakim pengadilan tinggi New Jersey yang bernama Robert Muir, dengan alasan bahwa pelepasan ventilator melanggar undang-undang tentang pembunuhan New Jersey.

Pengacara orangtua Karen kemudian mengajukan banding atas keputusan tersebut ke Mahkamah Agung New Jersey. Pada tanggal 31 Maret 1976, Mahkamah Agung mengabulkan permintaan orangtua Karen. Ketika ventilator pada tubuh Karen dilepaskan, dia sempat mengejutkan banyak orang dengan terus bernapas tanpa bantuan ventilator tersebut. Karena kemudian dipindahkan ke panti jompo dan diberi makan dengan nutrisi buatan selama sembilan tahun, hingga dia meninggal karena gagal pernapasan pada tanggal 11 Juni 1985.

*************************************************

Sekian, dan terimakasih.

*
*
*
*
*

sumber 1, sumber 2, sumber 3, sumber 4, sumber 5, sumber 6, sumber 7

provocator3301
sposolo
cungkringoke
cungkringoke dan 10 lainnya memberi reputasi
11
5.2K
34
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Health
Health
icon
24.6KThread9.8KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.