Benny-K
TS
Benny-K
Siasat Busuk Belanda Menumpas Entong Gendut




Melihat banyaknya warga Condet yang teraniaya akibat kezaliman para tuan tanah, Entong Gendut bergerak melawan pasukan Belanda.

Taba, seorang petani Batu Ampar, lemas duduk bersimpuh. Di hadapannya hakim landrad (pengadilan-red) Meester Cornelis (sekarang Jatinegara) memvonisnya untuk membayar pajak (blasting) kepada tuan tanah distrik Pasar Rebo, Jaan Ameent, pada 14 Mei 1914. Upeti yang harus dibayarkan sebesar 7.20 gulden plus tambahan ongkos perkara. Jika tidak, semua aset lahan miliknya akan disita.

Di era pertama abad ke-20, konflik tanah kerap terjadi antra penduduk petani dengan para tuan tanah. Apalagi tuan tanah sering memanfaatkan peraturan Gubernemen tahun 1912, sehingga getol mengadukan para petani yang gagal membayar pajaknya. Dalam kurun waktu 1912-1915, ada sekitar 2.800 kasus pengadilan pada petani karena tak dapat membayar pajak.

Akibatnya, banyak petani mengalami kebangkrutan karena harta benda miliknya dijual, disita, atau dibakar. Lama kelamaan, hal ini menimbulkan dendam dan kebencian petani kepada tuan tanah. Begitu juga nasib yang dialami Taba. Warga yang marah mendengar vonis itu berkumpul di kebun Jaimin, tak jauh dari lahan Taba.

Warga berteriak, memaki, dan berdoa agar eksekusi lahan Taba dibatalkan. Tapi, tetap saja eksekusi dijalankan. Warga tak bisa berbuat apa-apa, kecuali menahan amarah yang berkecamuk di dalam dada. Kemarahan juga dirasakan Entong Gendut, jagoan Condet, yang menyaksikan kesewenang-wenangan tuan tanah partikelir.

Baca juga: Setelah entong gendut ditembak di kali ciliwung

Entong Gendut melihat sudah banyak warga yang melawan membela haknya ditangkapi dan disiksa personel marsose (atau marechaussee merupakan pasukan khusus beranggotakan campuran antara pribumi dan Belanda). Entah sudah berapa jumlah penduduk yang ditangkapi. Mereka yang menentang direndam di rawa-rawa Asem Baris selama sehari semalam tanpa diberi makan dan minum. Sejak itulah, Entong Gendut melakukan pemberontakan kepada tuan tanah yang menguasai lahan partikelir.



Ilustrasi Entong Gendut  -  Foto : Dok Detikcom

Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia IV (2008) yang ditulis dan disusun Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, kiprah Entong Gendut terjadi sekitar April-Mei 1916 di kawasan Condet, yang kala itu masih bernama Tanjong Oost. Dalam melakukan aksi protesnya terhadap kesewenang-wenangan tuan tanah plus yang didukung pemerintahan Belanda, Entong Gendut bermusyawarah terlebih dahulu dengan tokoh masyarakat Batu Ampar dan Condet.

Di antaranya Haji Maliki, Haji Asmat Awab, Modin, dan sejumlah habib yang banyak tinggal di tempat itu. Entong Gendut yang dikenal memiliki ilmu pencak silat aliran Silau Macan itu mengkoordinir para pemuda untuk melakukan perlawaan. Aksi pertama yang dilakukan yaitu mengumpulkan warga di rumah kepala kampung setempat (mandor) yang dinilai terlalu berpihak kepada tuan tanah. Aksi itu tak sampai membuat rusuh.

Baru pada 5 April 1916, Entong Gendut membawa anak buahnya berjumlah 300 orang mendatangi landhuis (rumah peristirahatan) di Tanjong Oost (Tanjung Timur). Rumah itu merupakan Villa Nova milik Lady Rollinson, tuan tanah partikelir di Cililitan Besar. Saat itu di villanya tengah diselenggarakan pesta dengan menampilkan tari topeng. Undangan banyak yang datang, termasuk tuan tanah Pasar Rebo Jaan Ameent.

Tepat tengah malam pukul 23.00 WIB, terdengar teriakan sahut-menyahut dari kelompok Entong Gendut agar kerumunan di villa bubar. Melihat acaranya terganggu, Jaan Ameent tersinggung. Asisten Wedana Pasar Rebo R. Pringgodimejo melakukan dialog agar Entong Gendut dan massa membubarkan diri dan pulang ke rumah mereka.

Pengaduan Jaan Ameent rupanya ditindaklanjuti secara serius oleh Wedana Meester Cornelis. Ia memanggil Entong agar datang menghadapnya. Tapi Entong menolaknya. Sejumlah personel marsose dan suruhan Wedana dan Mantri Polisi datang ke Batu Ampar untuk memberi pelajaran kepada Entong Gendut.

Dilihatnya, Entong Gendut tengah duduk santai dikelilingi sekitar 50 orang pemuda yang siap siaga dengan golok terhunus. Utusan itu menanyakan kenapa pesta di Villa Nova dibubarkan. “Demi agama yang saya anut. Di sana marak praktek perjudian,” jawab Entong dengan geram.



Villa Nova, Pasar Rebo, tahun 1930  -  Foto: KITLV

Saat itu terjadi debat sengit antara Entong Gendut dan utusan Wedana. Entong Gendut menyalahkan sikap gubernemen yang terlalu berpihak kepada kepentingan tuan tanah dan Belanda. Padahal kebanyakan wedana, asisten wedana dan marsose juga merupakan orang pribumi.

Karena debat semakin memanas. Tiba-tiba Entong Gendut berteriak, “Aye gendrik ni tanah bakal jadi laut…!”. Utusan gubernemen tak berani bertindak konyol. Apalagi dilihatnya para pemuda pengikut Entong Gendut sudah siap siaga.

Setelah peristiwa itu, pemerintahan kolonial Belanda begitu memperhatikan wilayah Tangjong Oost. Mereka khawatir akan muncul bibit pemberontakan di kawasan itu. Mereka pun semakin murka ketika Wedana Meester Cornelis menerima sepucuk surat dari Entong Gendut yang meminta agar mereka datang ke Condet untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada penduduk.

Tak tinggal diam, Belanda menyiapkan operasi khusus untuk menangkap Entong Gendut. Operasi ini langsung dipimpin oleh Wedana Meester Cornelis dan Mantri Polisi. Dalam buku Banditry in West Java 1869-1942 (2011) karya Margreet van Till disebutkan, operasi penumpasan pemberontakan Entong Gendut terekam sejumlah media Belanda.

Berbeda dengan kondisi Condet saat ini, Margreet menuliskan kondisi Condet atau Tanjong Oost (Tanjung Timur) tahun 1916, seperti digambarkan sejumlah wartawan Eropa dan Eurasia di Bataviaasvch Nieuwsblad, merupakan kawasan perkebunan. Kehidupan masyarakat yang terbelakang kontras dengan kehidupan para tuan tanah.

Pada April 1916, pasukan marsose yang dipimpin Wedana Meester Cornelis mengepung rumah Entong Gendut di Batu Ampar. Moncong-moncong senapan sudah mengarah ke sasaran, tinggal menunggu aba-aba. Marsose tahu di hadapannya juga terlihat barisan pemuda yang berilmu silat tinggi tenggah bersiap-siap melawannya.

Entong Gendut tengah salat di dalam rumahnya. Suara teriakan wedana tak dihiraukannya. Entong Gendut seolah sengaja membiarkan pasukan marsose menunggu lama. Usai salat, Entong Gendut keluar rumah. Ia terlihat menggenggam tombak yang ditutupi kain putih dan di pinggangnya terselip sebilah golok. Tangannya yang lain memegang bendera warna merah dengan gambar bulan sabit berwarna putih.

Sorotan matanya tajam menatap wedana dan marsose yang mulai gentar. Saat itu Entong Gendut mengatakan tak akan tunduk kepada siapa pun termasuk Belanda. “Sabilullah… Sabilullah…!” teriak Entong yang lantas diamini pasukannya dari balik rimbun pepohonan. Pertempuran tak terelakan dan kemenangan berpihak pada kelompok Entong Gendut. Marsose banyak yang mati dan Wedana pun ditahan.



Ilustrasi Korps Marsose  -  Foto: KITLV

Pemerintah kolonial Belanda marah bukan kepalang mengetahui Wedana Meester Cornelis ditawan pasukan Entong Gendut, dan marsosenya banyak yang mati di tangan penduduk yang bertangan kosong, golok pendek, dan berkarat. Lantas pemerintah saat itu mengirimkan bala bantuan kekuataan besar pasukan marsose.

Kali ini Belanda menerapkan siasat baru dengan menjebak Entong Gendut. Mereka mendapatkan bocoran dari penghianat agar Entong Gendut bisa digiring ke kawasan Balekambang di tepi sungai Ciliwung. Benar saja, ketika pasukan marsose kocar-kacir dikejar pasukan Entong Gendut hingga tepi sungai, beberapa teman Entong Gendut memperingatkan agar tak menyeberang sungai.

Tapi karena kemarahan sudah sampai di ubun-ubunnya, Entong Gendut  tak peduli. Ia terus memburu pasukan marsose. Sesuai informasi dari pengkhianat, marsose di seberang sungai sudah menunggu Entong Gendut menyeberng sungai. Benar saja, begitu Entong menyeberang dan berada di tengah sungai Ciliwung, tubuhnya dihujani timah panas.

Margreet van Till menyebutkan ada tiga marsose yang berhasil menembak mati Entong, yaitu Reisner, Bodewitz dan Brown. Mendengar kematian Entong, warga Condet berdukacita. Sebaliknya, pihak Belanda dan gubernemen bersorak-sorai kegirangan karena berhasil membunuh jagoan Condet. Suara dentingan ‘toast’ gelas beradu di antara para pejabat militer Belanda, merayakan kesuksesan operasi penumpasan Entong Gendut di Tanjong Oost.

Tak berhenti sampai situ. Pasukan Belanda melancarkan aksi penangkapan penduduk bekas pendukung Entong Gendut di mana pun berada. Pasukan marsose kini petantang-petenteng keluar masuk kampung di Tanjong Oost. Mereka menggeledahi rumah yang mencari buronan. Situasinya mirip dengan pantun lokal yang terkenal di Condet.

Ular kadut mati di kobak

Burung betet makanin laron

Entong Gendut mati ditembak

Orang Condet pada buron




Baca juga: Setelah entong gendut ditembak di kali ciliwung



Sumber


Diubah oleh Benny-K 22-04-2022 06:47
indrag057iisskywalkerbadbironk
badbironk dan 20 lainnya memberi reputasi
21
5.7K
68
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.4KThread81.3KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.