rahma.syndromeAvatar border
TS
rahma.syndrome
(Sad Story) Ombak Tak Bersuara


Suara debur ombak yang membungkus keheningan menjadi melodi terindah di telinga Karmin. Cahaya bulan yang tampak samar menambah syahdunya malam ini. Berbagai macam memori berbaur menjadi satu membuat sebuah jembatan menuju kenangan.

“Aku merindukanmu,” ucap Karmin di sela helaan napasnya.

Karmin berbaring di atas pasir sambil menatap langit malam. Ia membiarkan angin malam membelai-belai tubuhnya, menciptakan rasa dingin yang sebenarnya menusuk. Tapi ia tak terusik oleh rasa dingin itu. Ia justru terusik dengan kenangan bersama istrinya yang sudah pergi untuk selamanya.

Sudah dua bulan Karmin hidup bersama dua anaknya. Sejak kepergian istrinya, Karmin benar-benar kehilangan arah. Ia tak tahu apa yang harus dia lakukan di dunia yang begitu keras ini. Pekerjaan tak punya, mengurus anak tak bisa, bahkan belahan jiwa pun sudah tiada.

Karmin memang tak memiliki pekerjaan tetap. Sesekali ia bekerja sebagai tukang bangunan, itupun jika ada warga yang membutuhkan jasanya. Mencari ikan? Tidak! Ia tak memiliki keberanian untuk mengarungi laut. Ia trauma karena ayahnya meninggal di telan ganasnya ombak.

Malam ini Karmin benar-benar larut dalam kesedihannya. Ia menyeka air mata yang keluar tanpa izin. Malam dan kesedihan memang sukses menjatuhkan air mata dari tempatnya.

Rasa sesak sekaligus perih membuat Karmin seperti tuli. Ia tak lagi bisa mendengar suara debur ombak. Ia hanya mendengar suara isak tangisnya sendiri. Kedua tangannya menangkup wajah, meredam suara itu agar tak terdengar pilu.

Cukup lama ia menangis. Sebenarnya ia tak mau menjadi laki-laki yang cengeng. Tapi mau bagaimana lagi, air mata selalu mewakili bibir yang tak lagi mampu berucap.

Ketika malam semakin larut, Karmin memilih untuk pulang. Mungkin anaknya membutuhkan dirinya. Setelah ini ia akan berusaha lebih keras lagi untuk mengurus anak dan melanjutkan hidupnya.

Meskipun berpisah, tapi bukan berarti tak bersama. Karmin sangat yakin jika sang istri masih setia menemaninya. Meskipun alamnya sudah berbeda, namun perasannya masih tetap sama. Itulah kekuatan terbesar Karmin. Cinta yang masih ia rasakan dan rasa sayang yang tak pernah hilang membuat Karmin ingin terus melanjutkan hidup.

“Ayah,” panggil si bungsu dengan nada sendu.

“Kenapa sayang?” tanya Karmin lembut.

“Laper,” rengeknya. Tangan kanan si bungsu memegangi perutnya, sedangkan tangan kirinya menggoyang-goyang lengan Karmin.

Karmin diam sejenak, memikirkan makanan apa yang bisa ia masak. Sejak siang tadi anaknya belum makan. Bukan hanya anaknya, ia sendiri belum makan bahkan sejak tadi pagi. Uang yang dimilikinya tinggal sedikit, sedangkan ia tak kunjung mendapat pekerjaan.

“Sebentar ya, Ayah ke tempat Budhe dulu.” Karmin menuntun si bungsu untuk duduk di kursi. Sementara si sulung sudah tertidur lelap.

Dengan langkah gontai, Karmin berjalan keluar rumah menuju kediaman kakak iparnya. Ia ingin meminjam uang untuk membeli beras dan mie instan di warung. Sebenarnya Karmin sangat malu untuk berhutang, tapi mau bagaimana lagi, ia tak memiliki pilihan lain.

“Karmin...Karmin, mbok yo kamu tu kerja. Di tinggal istri kok langsung kapiran. Kalo disini gak dapet kerja ya keluar kota. Siapa tau rezekimu di luar sana,” celetuk kaka ipar Karmin sambil menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan.

“Emang kamu gak kasian sama anak-anak? Mereka juga butuh makan, butuh biaya untuk sekolah,” tambahnya.

“Kalo saya keluar kota, mereka mau saya tinggal sama siapa?” tanya Karmin seraya menerima uang pinjaman dari kaka iparnya.

“Di titipin ke saya juga gak apa-apa kok, yang penting kamu bisa cari kerja, bisa hidup sama anak-anakmu.”

Sepanjang jalan ke warung, Karmin terus memikirkan perkatan kakak iparnya itu. Ia memang butuh melihat dunia luar dan mencari peruntungan. Tak mungkin ia berdiam diri sementara untuk mencari pekerjaan sangat sulit.

Setelah membeli beras dan mie instan, Karmin segera pulang. Ia memasak ala kadarnya untuk kedua anak dan dirinya. Makan malam ini menjadi makan malam yang menyenangkan bagi Karmin. Bagaimana tidak, sepanjang makan anaknya berceloteh banyak hal.

Melihat anaknya yang begitu ceria, Karmin menjadi semangat untuk mencari uang. Ia memutuskan untuk keluar kota untuk mencari pekerjaan. Awalnya sangat berat karena harus meninggalkan sang buah hati, tapi mau bagaimana lagi.

Satu bulan berlalu, Karmin hidup di perantauan dengan susah payah. Uang yang ia dapatkan dari bekerja ia kirim kepada anaknya. Ia hanya menyisakan sedikit untuk makan, bahkan kadang masih kurang.
Karmin tinggal di sebuah rumah yang tak layak di sebut rumah. Bocor sana-sini, kotor, dan rusak. Rumah itu lebih layak di sebut sebagai gudang.

Meskipun begitu, Karmin tak pernah mengeluh. Ia justru semangat dan pantang menyerah. Seiring berjalannya waktu, kehidupan Karmin semakin membaik. Tapi hidup tak selamanya membaik, tubuh Karmin justru semakin lemah dan mudah sakit.

Hidup jauh dari keluarga membuatnya semakin menderita oleh rsa sakit. Sampai akhirnya tubuh Karmin tak sanggup lagi menahan rasa sakit. Mata indah miliknya perlahan tertutup. Meinggalkan dua malaikat kecil yang masih sangat membutuhkan kasih sayangnya.

Karmin pergi untuk selamanya, menyusul sang istri di alam sana. Senyumnya mengembang saat bertemu dengan sang istri, tapi di sisi lain, dia merasa bersalah karena harus meninggalkan buah hatinya. Dia hanya bisa berharap semoga anaknya menjadi orang yang sukses.

Quote:
Diubah oleh rahma.syndrome 15-08-2022 01:35
bintusany063
aghata716
provocator3301
provocator3301 dan 34 lainnya memberi reputasi
35
11.3K
45
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.