sukijan.santoso
TS
sukijan.santoso
Cinta Itu Enggak Buta, Cinta Justru Mandang Strata

Kamis, 25 November 2021, hariku dimulai dengan perasaan yang kelabu, tak jelas di antara hitam dan putih. Ada sedikit rasa senang sebenarnya, sebab hari Kamis bagiku sama artinya dengan liburan. Namun, rasa senang yang disebabkan hari libur itu, tetap tak mampu mengobati kegundahan dan rasa kecewaku, atas apa yang telah kudapatkan kemarin malam. Ragaku terasa lemas sekali, rasanya tak ingin lepas dari pelukan selimutku yang hangat ini.

Namun, aku harus terlepas sejenak dari pelukan manja selimutku, sebab ponsel pintarku berdering tanda ada pesan masuk entah dari siapa. Kuraih ponsel itu, kuketuk layarnya dua kali agar menyala, lalu kubuka pola kuncinya yang serumit rumus kalkulus. Ada pesan dari Anton di sana.

“Cok, tar siang ke Perpusnas yuuu,” katanya, dengan gaya bahasa yang khas anak zaman sekarang. Aku tak menjawab pesannya itu, karena ajakan ke Perpusnas memang hampir tak pernah kutolak dalam hidupku. Lagi pula, aku merasa harus bertemu dengannya, sebab ada sekelumit cerita yang ingin kusampaikan pada dirinya.

Oh iya, sedikit cerita tentang aku dan Anton, kami berdua adalah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Tangerang Selatan, dan kami sama-sama mengambil jurusan sosiologi di sana. Anton adalah salah satu teman dekatku, atau mungkin boleh dikata teman terdekatku di jurusan itu. Segala hal yang ada di dalam kepalaku, sudah pasti kusampaikan padanya, sebab dialah yang paling kupercaya untuk mendengarkan itu semua. Hari ini, akan kusampaikan curhatan terbaruku, yang apabila diindeks bagaikan bibliografi, entah akan menjadi referensi nomor berapa, sebab sudah terlalu banyak kisah-kisah dan pemikiran yang aku sampaikan kepada sosok Anton ini.

Ragaku yang tadinya terasa begitu lemas, perlahan-lahan kembali mendapatkan semangatnya. Ia mulai mengumpulkan tenaga, lalu bergegas lari ke kamar mandi, tentu untuk membersihkan diri.

******

Jam di ponselku menunjukkan angka 9.00, aku sudah sampai di rumah Anton yang memang sepi bagaikan kuburan. Tak banyak orang berlalu lalang di sekitaran rumahnya, termasuk orang tua Anton yang sudah berangkat kerja sejak tadi pagi. Suasana yang sepi bak kuburan ini, sejujurnya tak selalu memberikan kesan yang negatif, ia justru memberikan manfaat yang sangat aku sukai, yaitu kesunyian dan rasa damai.

Rumah Anton yang sepi kerap kali digunakan sebagai sarana diskusi, sebagai tempat bercerita, juga sebagai wadah untuk mengobrol ngalor ngidul ketika rasa jenuh mencoba untuk membunuh kami yang berkunjung ke sana.

Kuketuk pintu rumahnya, sembari berteriak “Assalamualaikum mamang!” Samar-samar kudengar seseorang berjalan mendekati pintu, orang tersebut kemudian membukanya sembari menjawab dengan mata yang sendu, “Wa’alaikumsalam cok.” Mata sendu yang terlukis di wajah Anton bukanlah tanda akan kesedihan, itu hanyalah tanda bahwa Anton baru bangun dari tidurnya, dia memang mencintai kasur dan selimut melebihi apapun, hahaha.

Seperti biasanya, aku hanya duduk di kursi panjang di teras rumah Anton, sembari menunggu dirinya mandi dan memakai pakaian yang pantas. Tak banyak yang bisa kuceritakan mengenai pemandangan di sini, hanya ada pemukiman yang biasa-biasa saja, tidak mewah tapi juga tidak kumuh.

Waktu berlalu bergitu cepat, hingga akhirnya Anton muncul dengan jaket denim bertuliskan “MUGEN” di punggungnya. “Mau nyerita apaan dulu nih?” kata Anton sembari menyuguhkan secangkir kopi di depanku. “Cewek Ton,” jawabku, sembari meraih cangkir di depan mata. Anton lalu duduk di sampingku, dengan kaki kanan yang menapak kursi panjang itu. “Aduh, dia lagi ya? Udah ada kemajuan kah?”. Anton tampak antusias dengan topik yang kubawa, ia memang bagaikan saudara bagiku, di matanya rasa senangku adalah rasa senangnya juga, dan kesedihanku adalah kesedihannya juga. Saat kulihat matanya yang berbinar menunggu sepenggal kisah yang akan kusampaikan, kutarik napas panjangku terlebih dahulu, karena yang kubawakan kali ini adalah kisah yang tak begitu enak untuk diceritakan.

“Gua kayaknya udah nyerah deh buat ngejar dia, Ton,” jawabku, sembari mengembuskan karbondioksida ke udara.

 

******

 

Rabu, 24 November 2021, di malam itu kusempatkan waktu untuk bercakap-cakap dengan gadis idamanku. Tentu, dia hanyalah gadis idaman, bukan seseorang yang memiliki hubungan spesial denganku. Percakapan kami pun terjadi hanya dengan perantara jaringan internet, bukan dengan bertemu langsung di restoran ternama bak seorang remaja yang sedang pedekate.

“Ada apa dengan “love,” Ay?” Kuketik itu untuk membalas kirimannya yang bernuansa sedih.

“Gua pikir lu juga ngerti deh kenapa.”

“Bucin?”

“Kagakkk, mana ada gua bucin.”

“Terus kenapa? Gua gak paham nih.”

“Gua kayaknya udah nyerah deh buat suka sama cowok.”

Yang ia maksud menyerah di sini sebenarnya berarti menyerah untuk menyukai lelaki yang ia dambakan selama ini, bukan mengarah kepada orientasi seksual. Itu mungkin terdengar seperti satu hal yang biasa, kita semua pasti pernah kan merasakan hal yang seperti itu? Kita pasti pernah kan menyukai seseorang, lalu memutuskan untuk menyerah karena beberapa keadaan? Ya, menyerah bukanlah hal yang aneh dalam sebuah roman. Namun, pernyataannya itu juga bermakna satu hal, bahwa ia masih memiliki perasaan tersebut kepada lelaki yang dulu ia dambakan. Padahal kupikir, ia sudah melupakan sosok tersebut, sehingga ada tempat untukku di dalam hatinya, tapi ternyata aku salah, perasaan manusia memang tak semudah itu untuk dibolak-balikkan.

“Gua kira lu udah enggak mikirin dia lagi, Ay,” kataku, untuk melajutkan percakapan itu.

“Gak semudah itu kali ngelupain orang kayak dia.”

Sebagai seseorang yang sangat analitis, setiap kata yang ia kirimkan merupakan sebuah data yang penting untuk kuanalisis. Ia berkata bahwa tidak mudah untuk melupakan seseorang yang “seperti dia,” yang artinya sosok lelaki yang ia dambakan memang beda dari yang lain, ia sangat otentik, menarik perhatian, dan eksistensinya meninggalkan bekas yang mendalam.

Di era yang semakin modern ini, hanya dengan ketikan pesan saja kita sudah bisa mengguncang pikiran seseorang, dan pesan yang ia ketik pun telah mengguncang diriku. Oh, ternyata selama ini aku salah, tak ada tempat untukku di dalam hatinya.

******

“Jadi Ton, selama ini ternyata dia masih mikirin cowok itu, gak ada tempat buat gua ternyata ya. Gua bukannya gak mau berjuang lebih jauh lagi Ton, tapi buat nyamain cowok yang dia suka, itu berat banget. Cowok yang dia suka itu jauh lebih ganteng daripada gua, artinya kalo gua mau nyamain dia, ya gua harus keluar modal kan buat ini itu, buat perawatan wajah lah, buat beli pakean yang keren lah. Sedangkan, lu tahu sendiri gua orangnya kayak gimana. Jangankan ngemodal buat fashion, jangankan beli skincare, buat modal kuliah aja masih pas-pasan gua.”

Anton hanya tersenyum sembari mengangguk-anggukkan kepala, ia lalu menyeruput kopinya hingga habis tak tersisa. Ia lalu menarik napas agak panjang, tampak seperti ingin menceramahiku.

“Jadi gini cok, kita kan anak sosio ya, buya juga udah ngejelasin panjang lebar yang namanya stratifikasi sosial ke kita-kita,” katanya, sembari mengembuskan C02 ke udara.

“Stratifikasi? Apa hubungannya anjir.”

Anton lalu meletakkan cangkir kopi yang sedari tadi digenggamnya, lalu menarik napas lagi bagai membuat ancang-ancang.

“Lu pasti sering denger kan ungkapan kalau “cinta itu buta”? Ya gua yakin semua orang tahu ungkapan itu. Masalahnya kita anak sosiologi ya, kita gak bisa nganggep satu pernyataan itu benar hanya karena semua orang percaya, kita bicara berdasarkan fakta bukan dogma, kita menentukan segala sesuatu berdasarkan data bukan stigma.”

Aku hanya mengangguk pelan, sembari menanti sambungan ceramahnya yang mendalam itu.

“Ungkapan “cinta itu buta,” itu cuma bullshit alias tai kebo. Orang suka sama lu karena strata lu, kalo strata lu levelnya beneran paling bawah, jangan ngarep banyak deh, entar sakit hati.”

Anton lalu menyalakan ponsel pintarnya, lalu menunjukkan padaku sebuah foto yang berisi dua buah piramid.

“Gua kemarin baca riset orang, gua lupa risetnya siapa, males buka laptop gua. Yang pasti nih ya, cewek itu selalu nyari cowok yang stratanya ada di atas dia. Cowok yang stratanya sama kayak si cewek, punya kesempatan kecil buat diterima. Cowok yang stratanya ada di bawah si cewek, hampir pasti ditolak sama dia. Lu bisa lihat diagramnya di foto ini.”

“Ini emang udah jadi sifat alamiah cewek cok. Ribuan tahun yang lalu, yang namanya cewek pasti nyari sosok lelaki yang kuat, yang bisa ngelindungin dia dari binatang buas, yang bisa ngasih dia rasa aman, dan tentunya ngasih dia makan lewat hasil berburu, STRATA ITU UDAH ADA DARI ZAMAN MANUSIA PURBA! Sekarang manusia udah modern, yang nentuin strata makin banyak. Lu gak bisa ada di kasta paling atas hanya karena lu berotot, lagian manusia mana juga yang masih hidup dengan berburu ya, hahaha. Lu harus banyak duit, pergaulan harus luas, lu harus enak dilihat, dan lu harus punya kekuasaan yang bisa bikin lu dan orang di sekitar lu merasa aman.”

Anton lalu meletakkan ponsel pintarnya di samping cangkir yang sudah kosong melompong.

“Sekarang gua tanya sama lu cok, dari semua faktor yang nentuin strata lu, mana yang lu pikir udah lu punya? Berapa banyak duit di dompet lu? Seluas apa pergaulan lu? Seberapa tampan lu di mata cewek-cewek dengan penampilan yang seadanya gini? Dan peranan apa yang lu punya di dalam masyarakat? Gua bukannya mau ngejatuhin lu, sebagai seorang teman, gua cuma pengen lu sadar secepatnya tentang kelebihan dan kekurangan lu. Lu orang baik, lu punya banyak kelebihan, tapi itu belum cukup buat naikin strata lu, itu belum cukup buat bikin lu kelihatan menarik di mata cewek yang lu suka, lu harus sadar secepatnya daripada menyesal di kemudian hari.”

Aku hanya bisa tertegun tatkala Anton menjelaskan kultumnya yang benar-benar didasari atas penelitian sosiologis, dan ia sendiri tampak belum usai dengan kultumnya tadi.

“Oh iya cok, gua udah sering ngelihat kejadian kayak gini dalem idup gua ya. Gua yakin, dia itu suka sama cowok yang stratanya di atas dia, dan dia gak bisa berbuat apa-apa tentang hal tersebut. Pun begitu elu, lu suka sama cewek yang stratanya satu tingkat di atas lu, lu gak bakal bisa ngapa-ngapain selain jadi badut yang setia ngedengerin kegelisahan dia soal cowok yang stratanya dua tingkat di atas lu. Nah, sekarang elu ngeluh ke gua karena lu “ketolak” sama cewek yang lu suka, dan cewek yang lu suka juga “ketolak” sama cowok lain, gua jadi mikir mungkin ada di luar sana cewek yang juga “ketolak” sama lu karena stratanya di bawah lu, gimana tuh?”

Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, karena selama ini, tak ada satupun perempuan yang menunjukkan tanda-tanda tertarik terhadap diriku.

“Kayaknya gak ada deh cewek yang tertarik sama gua Ton, gua deketnya ya sama dia aja, gak ada yang lain lagi.”

Anton lalu meraih ponsel pintarnya lagi, tentu ia nyalakan ponsel itu terlebih dahulu, lalu membuka kuncinya sebelum akhirnya membuka galeri untuk menunjukkan sebuah foto padaku.

“Gua sebenarnya gak beneran nanya sih, gua cuma ngetes kepekaan lu aja. Tapi gini, gua tuh punya temen yang suka sama lu cok.”

Aku mengernyitkan dahi, merasa tak percaya dengan perkataannya.

“Yang bener Ton? Siape tuh?”

Anton lalu menunjukkan foto yang sedari tadi dipandangnya di dalam ponsel yang ia genggam.

“Nih lu lihat, dia ini temen gua dari kelas sebelah. Gua tahu dia suka sama lu ya karena dia sendiri yang cerita ke gua cok.”

Kuambil ponselnya, lalu kulihat foto itu dengan saksama. Di dalamnya, terlihat sosok perempuan yang memang aku kenal, meski boleh dibilang kami tak begitu dekat di dunia nyata.

“Lu lihat foto itu, coba lu inget-inget siapa dia. Gua yakin lu kenal, tapi lu enggak tertarik kan sama dia? Coba lu tanya ke diri lu sendiri, kenapa lu gak tertarik? Udah jelas cok, karena lu sendiri punya standar, LU MANDANG STRATA JUGA! Lu perhatiin baik-baik foto itu, secara tampang dia biasa aja, dilihat dari gaya busananya juga gak wah-wah amat, apalagi kalo lihat fetish lu yang sukanya sama cewek yang bisa ngomong bahasa Inggris, aduuuh gak kebayang dah, dia soalnya gak begitu ngerti English cok. Terus nih ya, dia masuk FISIP dapet UKT golongan I, bisa lu bayangin kan bagaimana kondisi keuangan dia, sedangkan ekonomi sendiri nentuin strata seseorang di masyarakat. Satu-satunya kelebihan dia, dia suka sama lu, dia ngarepin lu, dia nunggu elu.”

Seluruh perkataan yang dilontarkan oleh Anton benar-benar menusuk ke dalam diriku, ia menyadarkanku bahwa apa yang orang lain lakukan padaku, ternyata secara tak sadar telah kulakukan kepada orang lain. Sosok perempuan yang ada di dalam foto itu, aku mengenalnya, ia adalah perempuan yang baik dan ramah, tapi tidak begitu dikenal orang di perguruan tinggi tempatku belajar kini.

“Sekarang lu sadar kan? Gak ada yang namanya “cinta itu buta,” sekali lagi itu tuh cuma bullshit alias tai kebo.”

“Sekarang gini cok, lu udah tahu kan kalau di luar sana ada cewek lain yang suka sama lu, jadi langkah selanjutnya yang mau lu lakuin itu apa? Apa lu mau ngejar cewek lain yang stratanya di atas lu, terus lu ngejar dia sampe lu menderita, sampe lu ngebadut tapi ujungnya gak dapet apa-apa, atau lu mau terima cewek yang beneran suka sama lu, ngarepin lu jauh di sana, meskipun stratanya ada di bawah lu?”

 

“Itu semuanya terserah lu, lu lebih tahu yang terbaik buat diri lu ketimbang gua ya. Lu bisa aja ngejar cewek yang stratanya ada di atas lu sampe berhasil, tapi resikonya ya lu harus kerja ekstra biar strata lu bisa naik, itu kenyataan yang harus lu hadepin kalo lu mau ngejar yang mahal-mahal. Tapi kalo lu nerima temen gua ini, biarpun secara strata dia ada di bawah lu, tapi bisa gua jamin dia ini beneran suka sama lu. Lu gak perlu maksain buat ngelakuin hal-hal yang lu gak suka, lu gak perlu kerja ekstra, belajar ekstra, atau bertingkah sok keren cuma buat bikin dia terpukau, temen gua ini udah suka sama lu apa adanya.”

 

“Hadeh sorry ye kalo omongan gua terlalu frontal, gua begini karena lu sahabat gua cok, kalo bicara sama lu yang gua pengen kasih tahu itu ya kenyataan. Karena di mata gua, kenyataan yang pahit itu lebih baik daripada kebohongan yang manis. Kenyataan yang pahit ngasih lu gambaran terbaik akan kehidupan, nunjukkin lu cara-cara buat jadi versi terbaik dari diri lu. Tapi kebohongan yang manis, dia itu cuma ilusi, ilusi yang bikin lu terlena dengan keadaan, ilusi yang bikin lu mikir kalo semuanya baik-baik aja, padahal aslinya ya gak baik-baik aja.”

 

“Terserah lu mau nerima temen gua itu apa enggak, yang penting berangkat dulu ke Perpusnas cok, keburu sore ini anjirrr.”

******

aryanti.storyembuhbangetprovocator3301
provocator3301 dan 42 lainnya memberi reputasi
41
9.9K
96
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.