naimatunn5260
TS
naimatunn5260
Bukan Inginku
#BUKAN_INGINKU

“Dika! Ibu nggak setuju kamu menikah lagi!” teriak Ibu mertuaku lantang. Menolak keinginan anak lanangnya menikah lagi.

Kuremas baju dada ini. Sungguh sakit sekali ya Allah, saat lelaki yang telah sebelas tahun menikahiku itu, hari ini ijin untuk menikah lagi.

“Bu, Dika ingin punya anak. Sebelas tahun Dika menikah dengan Hilda, tak ada tanda-tanda kehamilan,” bantah Mas Dika. Semakin memperdalam luka di dalam sini. “Apa Ibu tak ingin memiliki cucu?”

Ibu terlihat membuang muka. Wajahnya terlihat sangat murka.

“Ibu ingin sekali memiliki cucu. Tapi anak kalian. Dari Rahim Hilda bukan dari rahim wanita lain!” ucap Ibu tajam.

Kupejamkan mata yang terus mengeluarkan air mata. Sungguh perasaan hancur di dalam sini tak bisa aku jelaskan dengan kata. Terus kuremas baju dada ini. Untuk mengontrol emosi yang siap naik ke ubun-ubun.

“Tapi, Bu! Sebelas tahun! Tapi, Hilda tak ada tanda-tanda kehamilan,” ucap Mas Dika masih kekeuh. Dia terus memojokanku, atas belum adanya zuriat dalam pernikahan ini.

Ya Allah ... kuatkan hamba!

“Dika! Ibu malu dengan sikapmu! Di mana hatimu! Kehamilan itu mutlak kuasa Allah. Bukan keinginan Hilda juga. Ibu yakin Hilda juga tak mau ada di posisi ini! Ibumu ini juga perempuan Dika! Ibu tahu persis bagaimana sakit dan perihnya perasaan Hilda saat kamu ijin meminta nikah lagi!” sungut Ibu dengan napas yang memburu.

Astagfirullah ... hati ini semakin terasa bergemuruh hebat. Sesak sekali ya Allah. Aku memang masih diam. Karena masih terus menata hati, yang terasa sangat sesak ini.

“Pokok Dika tetap kekeuh ingin menikah lagi. Karena Dika ingin punya anak. Dan kamu Hilda, jangan berpikir aku egois. Harusnya kamu yang jangan egois! Kalau kamu tak bisa punya anak, bukan berarti aku harus tak punya anak jugakan?” ucap Mas Dika. Semakin menghujam tajam di dalam sini. Semakin menggores hati yang selama ini setia akan suka dukanya pernikahan ini.

“Dika!” teriak Ibu dengan nada lantang. Matanya melotot tajam, mengarah ke Mas Dika. Anak laki-laki satu-satunya.

Saat ibu terlihat melotot tajam seperti itu, aku lihat ekspresi Mas Dika sedikit menciut. Ia nampak sedikit menunduk dan terlihat sedikit salah tingkah.

“Apa kamu lupa, siapa yang membiayaimu saat kamu terkena usus buntu? Apa kamu lupa, saat kamu kecelakaan empat tahun yang lalu, siapa yang setia mendampingimu? Apa kamu lupa, dana dari mana biaya terapi kamu pasca kecelakaan?” tanya Ibu dengan ekspresi melotot.

Mas Dika terlihat nyengir dan mengacak rambutnya kasar. Matanya terlihat tak fokus.

“Kamu lupa Dika? Siapa yang begitu tulus denganmu? Hilda! Bahkan ia sampai rela menjual tanah warisan orang tuanya, demi bisa melihatmu berjalan kembali! Demi bisa rutin membawamu terapi tanpa absen. Apa kamu lupa itu semua!” sungut Ibu lantang. Nada suara itu aku dengar sangat bergetar. Ada nada suara kecewa yang mendalam.

Mas Dika terlihat meneguk ludah. Mengacak kasar rambutnya lagi. Aku, masih memilih diam.

“Dika ingat itu semua, Bu! Dika nggak lupa. Tapi Dika menginginkan hadirnya seorang anak. Anak Dika, darah daging Dika!” balas Mas Dika, semakin terasa menggores luka di dalam sini.

Aku lihat dada Ibu terlihat naik turun. Emosinya aku lihat sudah sangat memuncak.

“Kalau kamu ingat, kenapa kamu tega melukai hati wanita yang sangat tulus mencintaimu, Dika! Kamu mungkin bisa memiliki anak dari perempuan lain. Tapi, kamu tak akan menemukan cinta setulus cinta Hilda padamu!” ucap Ibu yang masih terus membelaku.

Ibu Wiji Astuti. Ibu Mertua yang sangat baik menurutku. Mertua idaman para menantu yang memiliki masalah sama denganku. Masalah susahnya mendapatkan garis dua, tanda kehamilan.

“Apa kamu lupa, Dika! Saat kita di usir Bank, karena almarhum bapakmu terlilit hutang, hingga akhirnya semua di sita, siapa yang membantu kita saat itu? Almarhum orang tuanya Hilda, Dika! Apa kamu lupa itu? Hingga tega kamu melukai hati anak mereka? Hah? Ibu nggak habis pikir!” sungut Ibu lagi. Mencoba untuk mengingatkan anak lanangnya.

Aku perhatikan Mas Dika, matanya terlihat memerah. Kemudian mata itu terlihat berkaca-kaca.

“Dika ingat, Bu! Dika ingat semuanya ... tapi ....” ucap Mas Dika lirih, seraya menunduk. Tak melanjutkan ucapannya itu.

“Tapi kenapa kamu tega ingin menduakan cintanya?” sungut Ibu melanjutkan ucapan Mas Dika. Mas Dika terlihat menggeleng pelan. Kemudian terlihat air mata menetes begitu saja.

“Tapi Dika sudah menghamili perempuan lain, Bu. Dan dia memaksa akan menggugurkan jika Dika tak mau menikahinya. Tolong ijinkan aku menikahinya! Aku ingin memiliki anak. Anak dari darah dagingku,” jelas Mas Dika, cukup membuatku tercengang.

“Apa???” teriak Ibu.

Glegaaaarr ....

Bagai di sambar petir di siang hari, aku mendengar penjelasan itu. Aku lihat Ibu beranjak dan mendekati anak lanangnya.

Plaaaakkk ....

Satu tamparan mendarat begitu saja di pipi Mas Dika.

Plaaakk ....

Lagi. Dua kali ibu menamparnya. Sorot mata murka sangat terlihat jelas.

“Pergi kamu dari rumah ini! Ibu jijik melihatmu! Bahkan Ibu menyesal telah melahirkanmu! Mulai detik ini kamu bukan anakku! Anakku hanya Hilda! Dan kamu mulai detik ini Ibu anggap telah mati! Memalukan!” sungut Ibu.

Gleeegaaaarr .... saat Ibu baru saja menghentikan ucapannya, suara petir terdengar menyambar. Tak berselang lama, hujan turun dengan derasnya.

“PERGI!!!” teriak Ibu lagi, mengusir Mas Dika dalam keadaan baru saja turun hujan dengan sambaran kilat dan petir.

Mas Dika terlihat menganga. Kemudian dengan sangat berat ia beranjak. Semakin erat aku meremas baju dada ini. Sungguh hati ini sangat pilu.

“Mas ....” sapaku sebelum ia melangkah keluar. Ia terlihat menghentikan langkah kakinya. Kemudian menoleh pelan ke arahku.

“Aku pikir kamu tahu betul bagaimana hatiku. Bagaimana inginku. Kamu tahu sekali, kalau ini bukan inginku? Bukan kuasaku. Ini semua mutlak kuasa Allah dan kamu tahu itu.” Ucapku dengan nada yang sangat berat, seolah tercekat.

Aku menoleh ke arah Ibu, wanita yang sangat aku hormati itu nampak tegar, walau pipinya telah basah dengan air mata.

“Maafkan aku Hilda!” ucap Mas Dika, dengan berat aku menganggukan kepala ini.

“Aku pasti memaafkanmu! Tapi, aku hanya minta satu hal darimu, sebelum kamu menikahi perempuan yang telah hamil anakmu itu,” ucapku mengajukan syarat.

“Katakan syarat apa yang kamu minta? Aku pasti kabulkan, asal kamu memberiku ijin dan merestuiku, untuk menikah lagi Aku menginginkan anak itu Hilda,” tanya Mas Dika. Aku menoleh ke arah Ibu, ia nampak membelalakan mata memandangku.

“Silahkan menikah lagi! Karena perempuan itu sudah terlanjur hamil anakmu! Tapi, jatuhkan talak padaku! Agar kamu bisa leluasa untuk menikah lagi,” pintaku.

Aku lihat mata Mas Dika membulat. Dan aku lihat Ibu menjatuhkan badannya dengan lemas di sofa.

"Maaf ... aku jatuhkan talak satu untukmu!"

Gleegaaar ....

Lagi aku mendengar suara petir menyambar-nyambar. Ternyata Mas Dika memang menginginkan anak itu, yang entah dari rahim wanita mana.

Sebelas tahun pengorbananku, nampaknya sudah tak ia pikirkan lagi.

Ya Allah ... jika tak ada janin yang berkembang di rahimku, itu semua mutlak kuasaMU. Bukan inginku.

"PERGI KAMU! JANGAN BALIK LAGI KE RUMAH INI!!! BAHKAN SAAT IBUMU INI SUDAH TIADA NANTI, JANGAN DATANG KE MAKAMKU! HARAM BAGIMU MEMBAWA APAPUN KELUAR DARI RUMAH INI! KELUARLAH HANYA DENGAN APA YANG MENEMPEL DI BADANMU!"

Teriak Ibu lantang. Cukup membuatku tercengang. Hingga akhirnya aku lihat Mas Dika tetap memilih pergi.

Astagfirullah ... ini semua bukan inginku!

....................................
hudannasrullahjiyanqa.rizzky
a.rizzky dan 6 lainnya memberi reputasi
7
1.3K
16
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.