si.matamalaikat
TS
si.matamalaikat
Rumitnya Pembelian F-35, Hanya Dijual Kepada Negara 'Loyalis Sejati' Paman Sam
Jet tempur generasi kelima yang bernama F-35 Lightning II saat ini menjadi generasi jet tempur paling modern, dengan teknologi stealth yang dibanggakan, membuat jet tempur ini menjadi sulit di deteksi radar. Meski disebut canggih dan modern, jet tempur ini masih dihinggapi beberapa masalah.

Meskipun begitu, sosok jet tempur generasi 5 ini masih cukup diminati oleh para sekutu Amerika. Bisa dibilang F-35 adalah jet tempur yang dijual khusus untuk negara loyalis Paman Sam. Dari beberapa daftar negara yang sudah memesan jet tempur ini, semuanya merupakan sekutu strategis Paman Sam.

Paman Sam memang tidak mau sembarangan dalam menjual jet tempur buatannya ini, mereka hanya mau menjualnya kepada sekutu strategisnya. Kilas balik saat menjelang akhir tahun 2020 lalu, ketika ada berita yang menyebut ketertarikan Indonesia untuk membeli F-35. Kemudian permintaan tersebut ditolak secara halus oleh Paman Sam, mereka lantas menawarkan F-15 EX dan F/A-18 Super Hornet Block III. Menurut Amerika, Indonesia lebih cocok memakai jet tempur tersebut saat ini.

Hal itu dikarenakan masa produksi F-35 juga cukup lama, bisa jadi Indonesia baru menerima jet tempur ini 10 tahun lagi, mengingat negara yang antre memesan sudah banyak. F-15 dan F/A-18 disebut lebih siap diproduksi dan digunakan untuk kebutuhan Indonesia. Penolakan Amerika tersebut secara tegas menyiratkan bahwa Indonesia "bukan sekutu strategis Amerika".





Ilustrasi: F-35.com



Loyalitas Sangat Diharapakan dari Para Sekutu


Meski jet tempur ini hanya dijual ke sekutu strategis, namun tidak semua negara sekutu diberi kesempatan memilikinya. Contohnya pada kasus Turki, negara tersebut ngotot membeli sistem pertahanan udara (S-400) buatan Rusia, hal tersebut merupakan bentuk tidak loyalnya Turki kepada Amerika. Nyatanya tidak semua sekutu Amerika dianggap loyal, Paman Sam tidak menginginkan sekutunya bermain di dua kaki.

Talak pun kemudian dijatuhkan kepada Turki, pembelian F-35 untuk Turki dibatalkan, Turki ditendang dari proyek pengembangan F-35. Padahal mereka memesan sekitar 100 unit F-35 dalam program tahun 2019. Kabar terakhir, Turki menggandeng firma hukum internasional (Arnold & Porter) yang ada di Washington untuk melobi pemerintah AS agar mengembalikannya dalam program pesawat jet tempur F-35.

Dari kasus Turki ini bisa disimpulkan bahwa "loyalitas"sangat diharapkan dari para sekutu Amerika, meski menjadi sekutu, belum tentu mereka dianggap loyal oleh Paman Sam. Lalu bagaimana dengan negara yang punya banyak fulus ? Seperti UEA contohnya, 'Negeri Sultan' ini juga berminat pada F-35. Bisa dibilang UEA masih menjadi 'mitra abu-abu' bagi AS, mengingat mereka juga memakai persenjataan buatan Rusia seperti Pantsir-S1. Mereka juga memiliki drone tempur buatan China.




Ilustrasi: aviationblogs



Meski Punya Banyak Fulus, Bukan Berarti Semuanya Akan Berjalan dengan Mulus


Meski tidak termasuk 'sekutu strategis', dengan gelontoran fulusnya, UEA bisa menjadi pasar potensial untuk F-35. Tentu AS harus bisa menjual jet generasi 5 ini sebanyak mungkin, untuk menutup biaya produksi dan pengembangan yang cukup mahal. Dan menjual F-35 ke UEA bisa jadi solusinya.

Ada hal menarik terkait penjualan F-35 ke UEA. Pada masa pemerintahan Donald Trump, Amerika telah memberi lampu hijau untuk pembelian F-35 ke Uni Emirat Arab dengan nilai miliaran dollar. Lampu hijau diberikan setelah Uni Emirat Arab setuju untuk melakukan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Namun, saat jabatan Presiden dipegang oleh Joe Biden, rencana pengadaan F-35 untuk UEA telah dibekukan, meski tak berarti dibatalkan.

Pembekuan sementara tersebut mendapat protes dari UEA dan juga Raytheon (produsen senjata AS), hal ini menyebabkan kesepakatan senilai lebih dari US$ 500 juta harus dibatalkan sementara waktu. Pembekuan ini tentu membawa angin segar bagi Israel, pasalnya Negeri Yahudi tersebut secara tegas menolak penjualan F-35 kepada UEA, karena takut kekuatan mereka tersaingi.




Foto: U.S. Air Force photo/Staff Sgt. Madelyn Brown



Dari kasus UEA, meski mereka punya banyak fulus tidak berarti semuanya akan berjalan dengan mulus. Selain punya banyak fulus, salah satu alasan negeri sultan itu diberi izin membeli F-35 adalah karena mereka mau menormalisasi hubungan dengan Israel. Sialnya, pemerintahan di AS yang berganti kepemimpinan membuat mereka belum bisa melanjutkan kesepakatan pembelian F-35.

Joe Biden berbeda dengan Trump yang terkesan arogan dan gila perang, Biden lebih kalem dan mementingkan isu kemanusiaan. Ia tidak ingin senjata buatan Amerika disalahgunakan, dalam kasus UEA, mereka sebenarnya turut membantu Saudi dalam memerangi kelompok Houthi di Yaman.

Hal tersebut juga yang menjadi pertimbangan Biden untuk membekukan penjualan F-35 untuk UEA, lantaran korban jiwa yang berjatuhan selama konflik antara Saudi dan Yaman semakin banyak.




Ilustrasi: scalespot.com



Dalam penjualan F-35, Amerika juga melihat aspek dominasi keunggulan militer untuk para sekutunya. Untuk itu Paman Sam berkepentingan menjaga keunggulan kekuatan udara beberapa sekutunya, contohnya bisa kita lihat pada Australia dan Singapura. Di kawasan Asia Pasifik, kedua negara ini menjadi prioritas bagi Amerika, guna menghadapi ancaman China. Maka kebetuhan persenjataan bagi keduanya selalu dikedepankan.

Begitu juga dalam rencana penjualan F-35 ke UEA, dimana isu penjualan itu saat ini masih menuai protes dari Isarel, dulu AS sempat menawarkan F-22 Raptor untuk Israel, namun kini mereka sudah melepas F-35 untuk dipakai Negeri Yahudi tersebut. Hal itu membuat Israel menjadi negara yang unggul dalam kekuatan udara di kawasan Timur Tengah. Sementara bagi sekutu yang lain masih belum diberi akses memboyong F-35.

Jika di Asia Pasifik, Singapura dan Australia menjadi yang diutamakan. Maka di Timur Tengah, Israel yang diutamakan untuk menghadapi Iran. Baru setelah itu negara lain di sekitar Iran mendapatkan gilirannya. Memang penjualan jet tempur ini cukup rumit, jika menjadi sekutu harus menunjukkan loyalitas, jika punya fulus pun belum tentu semua akan berjalan mulus. Semua itu berkaitan dengan haluan politik dan pertahanan sebuah negara.




Foto: Reuters



Punya Haluan Politik dan Pertahanan yang Jelas


Untuk bisa membeli F-35 sebuah negara harus punya haluan politik dan tujuan yang jelas, kalau pun belum jelas setidaknya negara tersebut totalitas memakai persenjataan buatan barat dan sekutunya. Misalnya Australia dan Singapura, sudah jelas kedua negara adalah sekutu AS yang terpercaya dan totalitas menggunakan persenjataan buatan AS alias standard NATO.

Sementara hal tersebut diatas tidak berlaku bagi UEA dan Turki, pada kasus Turki meski menjadi sekutu dekat, namun negara ini terbukti tidak loyal 100% pada Paman Sam. Sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk membeli F-35. Sementara pada kasus UEA, selain punya banyak fulus, alasan mereka diberi izin membeli F-35 karena negara tersebut mau menormalisasi hubungan dengan Israel. Meskipun UEA sejak lama juga mengadopsi senjata buatan Rusia dan China.

Terhambatnya pembelian F-35 yang dialami oleh UEA saat ini akibat terjadinya pergantian penguasa. Sebenarnya jika mengacu pada perjanjian yang dilakukan dengan Donald Trump, seharusnya UEA tidak menerima pembekuan pembelian F-35. Karena sesuai janji Trump, jika UEA bersedia menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, mereka bisa membeli F-35. Namun, janji tinggal janji, di era Joe Biden agaknya untuk memenuhi janji tersebut adalah hal yang sulit.




Ilustrasi: lockheedmartin.com



Pasti ada yang bertanya, lalu bagaimana dengan Indonesia ? Seperti yang sudah banyak diberitakan, sebenarnya Indonesia berencana membeli jet tempur generasi 4.5 buatan Rusia yang bernama Su-35. Hal ini dilakukan untuk mengimbangi kekuatan udara Australia dan Singapura yang sudah mendapat restu untuk membeli F-35.

Australia secara bertahap sudah mulai menerima beberapa unit F-35A, sementara Singapura masih menunggu pesanannya tiba. Negara kecil yang tajir ini memilih varian F-35B yang punya kemampuan take off dan landing secara vertikal layaknya helikopter.

Ketika pengadaan Sukhoi Su-35 mulai ramai diberitakan media internasional, Indonesia lantas terbentur undang-undng bernama Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA).Peraturan yang diberlakukan oleh AS ini membuat Indonesia akan kehilangan kekuatan udara untuk mengimbangi apa yang dimiliki oleh Australia dan Singapura.




Ilustrasi: lockheedmartin.com



Dalam aturan CAATSA, negara yang membeli produk Rusia akan terkena embargo suku cadang dan senjata, sialnya Indonesia banyak memakai produk Amerika. Jika nekad membeli, sudah pasti pesawat, kapal, dan helikopter buatan AS dan sekutunya akan segera pensiun dini. Mengingat jika terkena 'embargo', maka Indonesia tak lagi mendapat pasokan suku cadang untuk persenjataannya.

Dengan doktrin 'politik bebas aktif',dari dulu Indonesia tidak mau memihak ke pihak barat maupun timur, negeri kita memilih jadi negara netral alias non-blok. Doktrin politik ini memang efektif pada era Presiden Sukarno, sudah menjadi rahasia umum jika Indonesia pada era 1950-1960 menjadi negara dengan militer terkuat di kawasan Asia Pasifik.

Beragam alutsista buatan blok barat dan timur berhasil dimiliki, pemakaian alutsista tersebut guna mendukung Operasi Trikora. Dalam operasi tersebut, Indonesia ingin merebut kembali Irian Barat, yang waktu itu masih kekeuh dipertahankan oleh Belanda.




Foto: Reuters



Setelah Sukarno lengser akibat tragedi G30S, haluan politik Indonesia dibawah kuasa Suharto lebih condong ke barat. Berbagai persenjataan barat digunakan, mulai dari yang bekas sampai gres. Indonesia baru kembali berpaling ke blok timur setelah mendapat embargo dari Amerika pada tahun 1998-2005.

Saat itu, Indonesia kembali bereuni dengan Uni Soviet yang sudah terlahir kembali menjadi negara bernama Rusia. Sukhoi Su-27 adalah slah satu hadiah reuni yang diberikan Rusia kepada Indonesia waktu itu. Setelah embargo dicabut tahun 2005, Indonesia pun memanfaatkan situasi dengan coba memakai persenjataan dari dua negara adidaya tersebut. Namun, seiring perkembangan zaman, maka Indonesia tak lagi bisa mengandalkan cara tersebut.

Apalagi setelah terbit aturan CATSAA, membuat posisi Indonesia serba sulit. Mau tidak mau, negeri ini harus memilih, barat atau timur ? Namun, pada akhirnya posisi Indonesia tetaplah abu-abu. Tidak mau memihak barat atau pun timur, hal inilah yang menyebabkan Amerika ragu memberikan F-35 kepada Indonesia. Nasib negara kita bisa dibilang mirip UEA, akan tetapi perbedannya terdapat pada jumlah 'fulus'.

Dengan fulus tak terbatas seperti yang dimiliki UEA, mereka bisa memborong persenjataan blok timur guna menekan balik Amerika. Bahkan jika UEA di embargo, mereka masih bisa memiliki taring dengan beralih memakai senjata buatan Rusia dan China.


GIF

Ilustrasi: fullafterburner.weebly.com



Cara sederhana untuk menguji Amerika dalam memperlakukan mitranya, apakah masuk kelas mitra dekat (sekutu) atau mitra biasa (abu-abu) adalah dengan meminta pembelian F-35. Meski Indonesia pernah punya keinginan membeli F-35, nyatanya Indonesia tak diberi izin memboyong F-35. Negeri ini masih dianggap sebagai mitra abu-abu bagi Amerika.

Dalam doktrin pertahanan, Indonesia juga belum begitu jelas. Meski menganut doktrin defensive, akan tetapi saat ada kapal China yang beberapa kali melanggar batas wilayah laut NKRI, negeri ini tak berani bersikap tegas. Salah satu alasannya karena Indonesia sangat bergantung kepada China, sudah jadi rahasia umum jika infrastruktur yang dibangun di Indonesia adalah hasil hutang dari China. Ketergantungan kepada China ini juga jadi pertimbangan AS untuk tidak rela menjual F-35 ke Indonesia.

Pembelian jet tempur generasi 5 ini memang cukup rumit, setidaknya ada 3 faktor yang memengaruhi penjualan F-35 menurut TS, pertama adalah loyalitas, yang kedua adalah haluan politik dan pertahanan, sementara yang terakhir adalah uang.Poin pertama dan kedua adalah hal yang menjadi pertimbangan utama Amerika, jika poin tersebut sudah sesuai dengan apa yang mereka inginkan, tentu mereka tidak akan berlama-lama dalam mengambil keputusan.




Ilustrasi: military.com



Tulisan dalam thread ini adalah opini pribadi TS, tentu setiap orang punya pendapatnya masing-masing, mohon koreksinya. Saat ini negara loyalis sejati Amerika yang sudah memesan F-35 antara lain adalah Jepang, Korea Selatan, Singapura, Australia, Inggris, Norwegia, Belanda, Denmark, Italia, serta Israel. Jadi tidak berlebihan jika ane menyebut bahwa F-35 hanya dijual kepada mereka "loyalis sejati" Negeri Paman Sam.

Demikian sedikit pembahasan panjang tentang F-35 dari sisi penjualannya, memang cukup rumit untuk membeli jet tempur nomor wahid ini. Tak sekadar faktor uang yang menentukan, akan tetapi faktor kepentingan dan keuntungan secara politik juga ikut berperan dalam penjualannya.

Terimakasiah sudah membaca tulisan ini dari awal hingga akhir, bagi agan yang punya pendapat soal jet tempur generasi 5 ini, jangan lupa untuk ikut berkomentar dibawah. Sampai jumpa di pembahasan yang lainnya emoticon-Angkat Beer




Referensi: 1.2.3.4
Ilustrasi Gambar: google image serta berbagai sumber
Diubah oleh si.matamalaikat 18-04-2021 02:36
rony25donkerhenryriel
riel dan 54 lainnya memberi reputasi
55
13.9K
128
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Militer dan Kepolisian
Militer dan Kepolisian
icon
2.2KThread2.1KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.