Alya917Avatar border
TS
Alya917
Review "Entrok" Karya Okky Madasari

[url=https://www.S E N S O R/book/show/7876993-entrok]Sumber Gambar[/url]

Kata siapa baca novel fiksi itu gak ada gunanya. Masih ada kok novel-novel yang menyelipkan ilmu pengetahuan di dalamnya. Dengan kata lain novel fiksi juga masih ada bobotnya, bukan fiktif semuanya. 

Nah, kebetulan saya baru baca novel yang menurut saya sangat berbobot. Berbobot untuk siapa? Untuk anak muda yang sekarang lagi di rumah aja nungguin pandemi kapan kelar. 

Identitas Novel:

Judul buku: Entrok
Pengarang: Okky Madasari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tanggal Terbit: 21 April 2010
ISBN: 978979225898 
Tebal halaman: 288 halaman; 20 cm

Blurb:
Marni, perempuan Jawa buta huruf yang masih memuja leluhur. Melalui sesajen dia menemukan dewa-dewanya, memanjatkan harapannya. Tak pernah dia mengenal Tuhan yang datang dari
negeri nun jauh di sana. Dengan caranya sendiri dia mempertahankan hidup. Menukar keringat dengan sepeser demi sepeser uang. Adakah yang salah selama dia tidak mencuri, menipu, atau membunuh?

Rahayu, anak Marni. Generasi baru yang dibentuk oleh sekolah dan berbagai kemudahan hidup. Pemeluk agama Tuhan yang taat. Penjunjung akal sehat. Berdiri tegak melawan leluhur, sekalipun ibu kandungnya sendiri. Adakah yang salah jika mereka berbeda?

Marni dan Rahayu, dua orang yang terikat darah namun menjadi orang asing bagi satu sama lain selama bertahun-tahun. Bagi Marni, Rahayu adalah manusia tak punya jiwa. Bagi Rahayu, Marni adalah pendosa. Keduanya hidup dalam pemikiran masing-masing tanpa pernah ada titik temu.

Lalu bunyi sepatu-sepatu tinggi itu, yang senantiasa mengganggu dan merusak jiwa. Mereka menjadi penguasa masa, yang memainkan kuasa sesuai keinginan. Mengubah warna langit dan sawah menjadi merah, mengubah darah menjadi kuning. Senapan teracung di
mana-mana.

Marni dan Rahayu, dua generasi yang tak pernah bisa mengerti, akhirnya menyadari ada satu titik singgung dalam hidup mereka. Keduanya sama-sama menjadi korban orang-orang yang punya
kuasa, sama-sama melawan senjata.

Review:
Novel ini terbit tepat saya berusia 10 tahun. Namun, jangan sangka kalau saya membacanya saat itu. Saya baru membacanya tahun 2021, awal November ini!—Itu pun dapat rekomendasi dari kawan baru, anak sastra bahasa Inggris.

Kali pertama saya mendengar judul novel "Entrok", respons saya "Wow". Padahal saya gak tahu itu istilah apa, sempat saya kira itu istilah dari bahasa asing. Setelah mencoba untuk baca, ternyata terdapat footnote di novel ini tertulis kalau entrok itu artinya bra. Okey, sampai di situ saya suka dengan diksi yang dipakai di novel ini. Ketimbang istilah bra atau BH yang dipakai di novel ini? Bayangkan, betapa tidak sastrais nanti jadinya. Ya, to?

Nah, isi ceritanya gimana, sih? Eits, tenang saya gak akan membeberkan isi cerita secara detail. Jadi, intinya novel ini bercerita pakai alur mundur yang mengisahkan nenek-ibu-anak (3 generasi berbeda). Dan lebih uniknya lagi, tema, latar tempat, latar waktu yang diusung novel ini jauuuuuuuh dari kata klise. Sumpah, ini novel gak sama kayak novel kebanyakan.

Kenapa? Pertama, mengangkat tentang isu perempuan, toleransi dan ketidakadilan. Kedua, latar waktunya itu tempo dulu, alias pada masa orde baru. Tenang, walau begitu novel ini gak akan sama kemasannya dengan buku pelajaran sejarah di sekolah, hehe. Ketiga, latar tempat cerita novel ini itu di desa nun jauh dari kota. Jadi, jangan harap ada tokoh CEO lengkap dengan perusahaan apalagi mansion mevvah.

Singkatnya, yang saya tangkap dari novel ini adalah tentang perempuan yang kerap kali disetir dalam berbagai lapisan kehidupan. Perempuan tidak perlu mimpi untuk mengubah nasib nelangsanya, tapi, tokoh Sumarni dalam novel ini berani mendobrak hal itu.

Selain itu saya juga belajar tentang hubungan anak dan orang tua, konteksnya di novel ini adalah anak dan ibu. Sumarni dan Rahayu memiliki keyakinan berbeda pada Tuhan. Namun, tak ada yang patut disalahkan, karena Sumarni memang tak pernah dikenalkan dengan Tuhannya Rahayu, pun sebaliknya. Jadi, yang perlu di-underlined adalah bakti dan berbuat baik pada ibu tetap harus dilakukan, sekali pun berada di jalan berbeda.

Kelebihan:
Menurut saya, novel ini diceritakan dengan sudut pandang perempuan yang sangat unik. Tiap babnya diceritakan secara bergantian dari sudut pandang ibu (Sumarni) dan anaknya (Rahayu). Selain itu penggambaran masa orde baru begitu hidup, dari mulai pemilu, PKI, KTP ET dan soal kelas sosial. Dan unsur budaya Jawa dalam novel ini juga digambarkan secara proporsional.

Kekurangan:
Saya sedikit sulit memahami istilah-istilah Jawa dalam buku ini yang tak ada catatan kakinya. Mungkin hal itu karena bahasa Jawa bukan bahasa ibu saya. Karena itu saya harus membuka mbah Google untuk mengetahui maknanya. Contohnya; macak, gendakan, pawon, keleleran, kemenyek, ngelangut, gundik, kledek, kulakan dan potang-potang.

Terakhir, ritual saya selepas baca buku atau novel adalah mengumpulkan kutipannya. Inilah tiga kutipan yang menyentuh menurut saya.

"Hari itu aku sadar, tak ada seorang pun
yang bisa kuharapkan untuk memberi apa yang kuminta, meskipun masih punya hubungan darah."


"Aku menyimpan harapan dan
mimpi. Setidaknya untuk entrok. Cukup dengan harapan itu saja aku bisa melakukan apa saja."


"Dua perempuan bertengkar dan berkelahi memperebutkan suami. Dan sekarang aku mengalaminya. Bukan berebut suami, tapi semua ini bersumber dari laki-laki. Apakah memang seperti ini nasib perempuan?"

Diubah oleh Alya917 02-12-2021 04:13
asamboigan
Gludin
muh.al.fathir
muh.al.fathir dan 13 lainnya memberi reputasi
14
9.4K
34
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Buku
Buku
icon
7.7KThread4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.