aisyahzshaki053Avatar border
TS
aisyahzshaki053
ISTRI YANG TAK DIINGINKAN

Rumah tangga bahagia adalah impian setiap istri. Apalagi bisa hidup bahagia membangun keluarga kecil sendiri, hidup mandiri tanpa bergantung pada orang tua maupun mertua. Sayangnya itu  hanya sebuah harapan saja, Saqila harus rela dengan hidupnya yang seolah hanya jadi benalu.

Saqila membuang napas lelah. Dari subuh tadi pekerjaannya tak kunjung selesai. Kadang dia merasa bukan menantu di rumah itu, lebih mirip pembantu, dituntut selalu menyelesaikan pekerjaan rumah layaknya asisten rumah tangga. Jika  tak selesai karena harus sambil momong anak, tak jarang ia dapat omelan.

Dia bersandar di sisi tempat tidur, meredakan penat sebentar. Menatap anak kecilnya yang sedang tidur pulas, seorang putri yang menjadi penguat selama ini.

"Hm, sehat terus ya, Sayang," gumam Saqila sambil mengusap kepala putri kecilnya.

Huh!

Dia cepat bangkit, menuju dapur, harus pintar memanfaatkan waktu disela anaknya tidur, jika tak begitu, Saqila akan kesulitan melakukan perkerjaan rumah sambil menggendong si buah hati.

"Eaaa ... maaa  ... maaa!" Benar saja. Suara tangis anaknya memanggil, dengan sedikit kecewa dia kembali menuju kamar.

"Kok, boboknya sebentar, Nak? Kerjaan mama masih banyak." Saqila memangku anaknya dan menyusui.

Anaknya tak tidur lagi, rewel dan itu menyulitkan Saqila menyelesaikan tugasnya.

Hari sudah mau sore,  dia belum sempat masak. Hari ini anaknya-Nisa- begitu rewel. Terbayang sudah kalau dia tak masak, suara rombeng mertuanya akan menggema di seluruh ruangan, sama sekali tak akan memahami keadaannya saat ini.

Segera dia ke dapur sambil menggendong Nisa, bagaimanapun dia harus masak, tak ingin adu mulut dengan ibu dari suaminya itu. Tangannya bergerak ke sana kemari mengolah masakan sambil badannya berguncang, demi mendiamkan Nisa yang rewel.

"Kamu sakit ya, Sayang, koq hari ini rewel?" Dipegangnya dahi Nisa. Badannya cukup hangat, pantas saja dari pagi Nisa menangis saja.

Tertt!

Telepon genggamnya bergetar.

[Qila, kamu lupa anterin uang arisan ibu? Itu Bu Neli nanyain, kirain udah dianterin, di rumah kamu ngapain aja?] Pesan dari Bu Asih, mertuanya.

Mertuanya mengomel. Duh ... kenapa bisa lupa. Saqila merutuki kelalaiannya.

[Iya, Bu. Qila anter sekarang.] Balasnya.

[Kebiasaan.] Mertuanya kesal.

Ditinggalkannya dapur yang berserakan, keluar menuju rumah Bu Neli. Nisa masih dalam gendongan, gadis kecilnya terus merengek-rengek, seperti menahan rasa sakit tapi tak mampu bercerita.

"Kirain nggak setor Qil." sambut bu Neli sambil membukakan pintu untuk Saqila dan mempersilakannya masuk.

"Tadi Qila lupa, Bu. Ini Nisa rewel," sahut Saqila, sambil menimang-nimang Nisa yang masih saja rewel.

"Kenapa, Nisa? Sakit ya?" tanya bu Neli penasaran.

"Agak panas badannya," jawab Saqila.

"Bawa ke dokter, Qil, jangan dibiarin." Nasehat Bu Neli sambil menatap Saqila iba, perempuan itu tau bagaimana sikap Bu Asih pada Saqila.

"Iya, Bu."  Saqila tersenyum, lalu pamit pulang.

Bagaimana dia bisa membawa Nisa ke dokter, uang yang diberikan mertuanya hanya cukup untuk membeli sayur dan lauk, itu pun dia harus pintar-pintar mengatur. Dia tak bisa menabung, karena memang semua sudah di pas. Terpaksa dia harus menunggu suaminya pulang.

Tiid...!

"Qila!" ada suara memanggilnya. Saqila menoleh, dia agak mengerutkan kening mengingat siapa yang memanggilnya. Oh, dia baru ingat.

"Eh? Iwan?"

Padahal Iwan sudah dia kenal sejak lama, tapi saking banyaknya yang dia pikirkan, sampai dia tak mengenali.

"Apa kabar, Qila?" tanya pemuda itu tersenyum pada Saqila, ada rasa yang tak dapat lelaki itu ungkapkan bisa bertemu perempuan yang selama ini dicarinya.

"Baik, Wan," jawab Saqila. Dia tersenyum. Sama gembiranya, ingin sebenarnya Saqila berlama-lama bertanya kabar, sudah sangat lama mereka tak bertemu, tapi tak ada waktu.

Iwan memandangnya lekat, ada rasa rindu pada sahabat yang pernah dia sukai diam-diam dulu itu. Lama dia tak bertemu, sekalinya bertemu terlihat banyak perubahan pada diri Saqila.

Wajah cantik Saqila yang dulu, sudah berubah. Sekarang badanya terlihat kurus, wajahnya kusam tak terurus. Hanya senyum Saqila yang masih terlihat sama. Masih terlihat manis.

Qila. Ah, aku rindu. Hati Iwan berkecamuk.

"Kamu dari mana, mau ke mana, Wan?" Saqila bertanya masih sambil mengguncang gendongan.

"Lagi cari alamat temen, Qila. Pas kamu lewat tadi, aku  seperti kenal, pengen memastikan, makanya aku tunggu di sini, ternyata benar itu kamu," jelas Iwan. Pandangannya tak lepas dari Saqila.

"Oh, keluarga sehat, Wan?"  Tanya Saqila.

"Alhamdulillah," jawab Iwan. "ini anak kamu?" tanyanya kemudian sambil mengusap gendongan bayi Saqila.

"Iya, Wan. Udah ya aku pulang dulu," pamit Saqila buru-buru.

Saqila teringat di rumah belum masak, orang rumah akan segera pulang. Apa kata orang pula kalau orang lain melihatnya sedang mengobrol dengan lelaki lain di luar rumah, dia sudah bersuami.

"Rumah kamu mana, Qila!" Iwan kembali memanggil Saqila yang mulai berjalan menjauh setengah berteriak, ia masih penasaran, seolah tak ingin cepat berpisah dengan teman masa kecilnya.

"Itu di depan, cat merah," jawab Saqila agak resah.

"Aku minta nomor kamu, Qila,"  pinta Iwan, lalu kembali mendekat.

Ragu-ragu Saqila memberikannya, tapi dia pun tak bisa menolak. Ah. Bagaimana kalau suaminya tahu? Saqila bimbang.

"Makasih ya, Qila," Iwan tersenyum.

Saqila angguk.

Iwan pamit, motornya melaju, berlalu pergi meninggalkan Saqila yang memandang punggungnya hingga menghilang dari pandangan.

****

Nisa benar-benar rewel, sulit bagi Saqila memasak dengan keadaan Nisa seperti itu. Sudah segala cara dia lakukan agar anaknya itu tak menangis. Sudah mencoba diberikan asi tapi tetap mengerang, badanya melenting-lenting tak mau diam di gendongan. Saqila merasa kewalahan.

Wahyu--suami Saqila--pulang dari tempat kerja, mendengar suara Nisa yang menangis kejer, dia merasa kesal. Lelah bekerja di toko seharian sementara di rumah disambut dengan tangisan anak kecil, ia naik pitam. Ah, Ingin saja dia memaki istrinya.

Wahyu bergegas menuju kamar, tanpa memedulikan suara tangisan anaknya, tubuhnya begitu lelah. Dia menganggap bahwa Saqila tak mampu menjaga anak, padahal mereka baru memiliki satu anak.

Melihat Wahyu datang, segera Saqila menyusul menuju kamar. Dia ingin meminta tolong suaminya itu, gusar mertuanya marah jika ia tak sempat memasak hari ini.

"Kak ... Qila titip Nisa ya. Qila belum masak," pintanya ragu-ragu.

"Kamu nggak punya mata ya, Qila? Suami baru pulang kerja bukanya di tawarin minum, malah suruh jaga anak. Kamu ngapain aja di rumah, hah? Baru punya anak satu aja sampai nggak sempat masak," marah Wahyu meledak juga akhirnya, biasa ia tak sekesal itu.

Memang Saqila hanya mengurus anak satu, tapi seluruh pekerjaan di rumah mertuanya Saqila yang pegang, ke pasar, memasak, antar jemput Naila--adik Wahyu--sekolah. Tetap saja dia dibilang tak ada kerja, hanya karena tak memiliki penghasilan.

"Udah sana, aku capek," usir  Wahyu pada Saqila.

Lunglai Saqila kembali menuju dapur.

Kenapa di rumah ini tak ada yang peduli, Nisa bukan hanya anaknya saja, Wahyu juga ayahnya, tetapi tak sedikit pun tampak rasa iba di mata lelaki itu.

💥💥💥

Di dapur Nisa menangis berterusan, sangat sulit menenangkan anak kecilnya itu, tak biasa Nisa begini. Mana mungkin juga dia bisa memasak dengan keadaan Nisa begitu. Terpaksa dia kembali ke kamar untuk memberikan asi sambil memudurkannya. Namun Nisa masih menolak dan terus menangis.

Wahyu yang berbaring di tempat tidur tetap saja diam, tak peduli dengan istrinya yang kerepotan menghentikan tangisan Nisa. Dia asyik dengan gawainya, dengan dunianya. Seolah tangisan anaknya itu adalah hal biasa.

"Kak, Qila minta uang, buat bawa Nisa ke dokter.  Sepertinya Nisa demam, dari pagi rewel terus."

Saqila mencoba mengajak bicara suaminya itu. Wahyu yang di ajak bicara tak menyahut, masih asyik dengan benda kotak pipih di tangannya.

"Kak?" Saqila mengguncang kaki suaminya.

"Kenapa sih aku nggak bisa tenang di rumah ini? Ada saja yang ganggu, aku cape, Saqila mau istirahat!" bentak Wahyu, kekesalannya kembali meluap.

"Qila cuma minta uang buat bawa Nisa ke dokter, Nisa sakit, Kak," ucapnya ikut kesal dengan tanggapan suaminya.

"Coba kamu kalau dikasih uang sama ibu tuh diirit, jangan suka-suka kamu habiskan sampai nggak bisa nabung sedikit untuk hal seperti ini, apa kamu bisa nggak menghasilkan uang? jangan  pintar minta aja. Jangan jadi istri yang bisanya menyusahkan," omel wahyu yang merasa tak tahan dengan sikap Saqila.

"Astagfirullah. Nisa ini anak kita, Kak." Hati Saqila perih, matanya panas menahan air di pelupuk matanya yang sudah tak terbendung.

"Aku nggak pegang uang, sana minta sama Ibu." Tanpa memedulikan, Wahyu berbaring membelakangi Saqila.

___

    Sementara di ruang makan, mertuanya sedang mengomel, merasa lelah pulang kerja, tetapi di rumah tak ada makanan yang terhidang seperti biasa. Ia kembali ke ruang tamu menghampiri suaminya sambil mengoceh.

"Si Qila ngapain aja sih di rumah, sampai nggak sempat masak?" Marah Bu Asih, kesal ketika ke dapur tak ada makanan terhidang di meja, dia lapar.

"Punya mantu kok malas sekali, sudah enak-enak  tinggal di rumah ini, tapi tak tau terima kasih," ocehnya lagi.

"Rumah nggak usah mengontrak, uang belanja tiap hari dikasih, kurang apa lagi coba? Enak nggak usah kerja cari uang, ongkang kaki di rumah. Masa cuma masak aja nggak sempat. Kalau gini terus bisa stres ibu, apa fungsinya dia di sini, kalau untuk mengurus rumah segini aja nggak becus." Bu Asih masih mengoceh. Suaranya sengaja di keraskan agar didengar menantunya.

Pak Hilman hanya menggeleng melihat istrinya marah-marah. Dia sudah bosan mendengar, tiap hari ada saja yang istrinya keluhkan, apalagi jika menyangkut menantunya, bisa panjang urusan.

"Bapak juga diam-diam aja, harusnya bapak dulu bisa larang, waktu Wahyu mau melamar si Qila itu, lihat sekarang, ibu yang reot," celetuk Bu Asih mulai mencari jalan pertengkaran dengan suaminya.

"Lho, kok nyalahin bapak?" sahut pak Hilman. Pandangannya tak berpaling dari koran yang  dipegangnya.

"Iya. Memang harus salahkan siapa lagi, sudah tau dari dulu ibu nggak setuju, Bapak yang menyetujui mereka menikah," ungkit Bu Asih.

"Sudahlah, Bu. Bapak juga capek." Pak Hilman memilih bangkit, pergi ke kamarnya, malas melayani ocehan istrinya yang tak akan berhenti.

Saqila menitikkan air mata, mendengar ucapan mertua yang jelas terdengar olehnya, niatnya meminta uang untuk berobat Nisa ia urungkan.

***
rinandya
zafranramon
jiyanq
jiyanq dan 7 lainnya memberi reputasi
6
4.1K
43
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.