Pernikahan kami sangat meriah dan mungkin bisa disebut berlebihan untuk sekelas kami orang kampung. Ada penampilan seni dari dua kebudayaan, penyanyi lokal, debus, sampai pak Bupati pun hadir turut meramaikan. Ya bayangkan saja 200 juta menguap dalam sehari demi semua gemerlap yang tujuannya untuk dipamerkan ke orang banyak. Kalau bukan karena desakan orang tua dan calon mertua, mana mungkin kami mau melakukan hal sebodoh itu.

Ok kembali ke cerita sesuai judul thread ini. Resepsi yang dihadiri ratusan tamu undangan itu cukup melelahkan bagi kami sepasang pengantin. Bungkuk berdiri ratusan kali disertai dengan pipi yang dituntut terus mengukir senyum, sampai-sampai pipi terasa kaku, pinggang nyeri dan betis cekot-cekot. Belum lagi ngikuti ritual adat yang banyak banget tetekbengeknya. Dan ritual adat yang diselenggarakan ini merupakan dua budaya yang berbeda, dilakukan bergantian. Satu aja udah ribet minta ampun, leh ini kena combo. Hampir non stop dari pagi sampai malam hari. Cuma ada istirahat di jam sholat dan makan. Sungguh bikin capek.

Sekitar jam setengah sepuluh malam acara formal selesai. Kami dipersilahkan meninggalkan singgasana. Tapi dentuman bass musik dari speaker tinggi bertingkat itu terus menggelegar. Musik beraganti nge-beat. Tiba saatnya acara para 'jantan'. Orang kampung kami menyebutnya tripingan. Ya semacam dugem, tapi kampungan.

Belumlah kami sepasang pengantin sempurna keluar dari tenda, kursi-kursi di bagian depan sudah disusun disingkirkan ke pinggir. Para bujang yang tadinya cuma nangkring di motor masing-masing di tepi jalan langsung merangsek memadati panggung dan bagian depan panggung. Mereka joget-joget kayak orang kesurupan. TS dari kejauhan cuma menghembuskan nafas panjang. Miris lihatnya. Pasalnya sudah rahasia umum kalau sesi begituan suka ada yang pakai doping minuman keras dan obat terlarang. Kricuhan kerap terjadi, biasanya didalangi oleh mereka yang joget dalam keadaan mabuk. Nabrak sana sini, bikin rusuh.

Demi Tuhan yang memegang kendali atas nyawa ini TS menceritakan ini apa adanya. Saat malam pertama kebersamaan TS dengan istri terjadi kericuhan. Yang TS khawatirkan terjadi. Para bujang baku hantam. TS dan istri yang tadinya sudah di dalam kamar dan mau melakukan aktivitas mantaf-mantaf jadi bergegas berpakaian lagi. Saat akan keluar, emak sudah nunggu di bingkai pintu depan rumah. "Gak usah keluar! Sudah aman." Kata emak. Di sampingnya ada bibik berotot, uwak kurus tinggi dan almarhum kakek berkumis putih tipis. Ngadapi emak seorang saja sudah gak mungkin. Nah ini ditambah ada yang lain yang sama-sama punya kengerian tersendiri.

Satu-satunya pilihan TS saat itu adalah nurut sekalipun rasa khawatir sangat besar. Jelas emak berbohong. Apanya yang sudah aman, suara ribut seperti gerombolan monyet bertengkar berebut makanan gitu masih terdengar nyaring.Terlebih suara musik sudah berhenti.

TS masuk kamar, menenangkan istri yang ketakutan. Beberapa saat kemudian TS telpon teman dekat yang ada di lokasi, katanya sudah datang pak RW dan kepala adat. Dengar sudah ada kepala adat TS langsung legah. Jangankan manusia, konon katanya harimau pun nurut dengan beliau. Pak kepala adat ini juga satu-satunya guru silat di kampung kami. Sosoknya sangat disegani. 

Sekitar sejam kemudian musik kembali berdentum. Ada laporan masuk dari teman, katanya semua terkendali, pak kepala adat malah ikut joget sekarang. TS ngakak puas sampai keluar air mata. Bersyukur banget gak sampai ada yang mati konyol di hari bahagia kami.