NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Dilema KSAL Jadi Panglima TNI : Lemah di Blue Water
Spoiler for Peta blue water Indonesia:


Spoiler for video:



“When I find an employee who turns out to be wrong for the job, I feel it’s my fault because I made the decision to hire him.” – Akio Morita (Pendiri Sony Corp)

Sony yang awalnya bernama Tokyo Telecommunications Engineering Corporation di tahun 1946 dengan 20 karyawan, tentu tak akan menjadi raksasa elektronik dunia jika Akio Morita menempatkan karyawannya secara sembarangan. Perlu strategi penempatan karyawan yang tepat demi mempertahankan keberlangsungan dan kemajuan perusahaan atau organisasi produksi dan niaga.

Hal ini pun berlaku di dalam organisasi kekuasaan (negara). JHA Logemann dalam bukunya yang berjudul Over De Theorie van Een Stelling Staatsrecht menjelaskan negara sebagai organisasi kekuasaan ditujukan untuk mengatur masyarakat yang berlandaskan pada kekuasaan. Oleh karena tujuannya mengatur masyarakat, maka pemerintah membentuk perundang-undangan yang wajib ditaati oleh warga negaranya. Namun, tidak berarti penguasa bisa sewenang-wenang.

Buku Muhammad Junaidi tahun 2016 yang berjudul Ilmu Negara: Sebuah Konstruksi Ideal Negara Hukum menjelaskan negara sebagai organisasi kekuasaan juga memiliki tujuan akhir bersama, yakni tujuan penguasa yang sama dengan tujuan masyarakat. Oleh karena itu, penguasa harus menentukan bagaimana cara mengatur dan menyusun negara agar sesuai dengan tujuan akhir yang diinginkan.

Secara nasional, salah satu tujuan dari negara RI berdasarkan pembukaan UUD 1945 alinea 4 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia. Oleh karenanya perlu pertahanan dan pemimpin pertahanan yang tepat demi mencapai tujuan tersebut. Terlebih ketika kita melihat pergerakan geopolitik global saat ini yang tengah dipanaskan dua negara superpower, AS dan China. Pergolakan buntut dari Belt and Road Initiative China atau yang dikenal pula dengan One Belt One Road Initiative (OBOR).

Perlu kita ketahui bersama, proyek Belt and Road Initiative China yang dikatakan untuk memajukan perekonomian Asia Pasific, Afrika dan Eropa Timur serta Tengah disinyalir sebagai bentuk dari neo-imperialisme. Beberapa negara barat menuduh Belt and Road Initiative China sebagai jalur dagang internasional yang China-sentris serta menerapkan kebijakan jebakan utang (debt-trap diplomacy) kepada negara anggotanya untuk membiayai proyek ambisius ini.

Beberapa negara kecil pun ketergantungan utang dari China sehingga terjebak untuk menuruti kepentingan dari China, kata ahli geostrategi India, Brahma Chellaney.

Sumber : The Diplomat[China’s ‘Debt Diplomacy’ Is a Misnomer. Call It ‘Crony Diplomacy.’]

Beberapa pihak pun khawatir ekspansi China akan mengarah ke militer. Para analis mengatakan hampir semua infrastruktur yang dibangun dengan bantuan China dapat digunakan untuk tujuan ekonomi hingga militer. “Jika dapat digunakan untuk mengangkut barang, tentu dapat pula mengangkut pasukan”, kata direktur Reconnecting Asia di CSIS, Jonathan Hillman.

Sumber : The Guardian [What is China's Belt and Road Initiative?]

Taktik dari China ini mulai terlihat di pergolakan Laut China Selatan yang sempat membuat panas China dan AS. Secara berani, China mempertunjukkan kekuatan militernya di kawasan tersebut. Seperti yang sering kita lihat beberapa waktu yang lalu saat China melanggar kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara.

Upaya yang dilakukan China ini sebenarnya demi mengamankan proyek terusan Kra (Kra Canal Project) yang berada di Thailand, agar jalur dagang China dari Hong Kong bisa melewati kanal tersebut tanpa melewati Singapura yang memiliki hubungan erat dengan Inggris.

Namun rencana China di kawasan Green Water/laut dangkal perairan Asia Tenggara seperti Andaman, Natuna Utara, hingga Laut China Selatan pupus setelah September 2020 lalu Thailand membatalkan proyek terusan kra (Kra Canal Project) yang merupakan fitur kunci dari jalur OBOR Laut China.

Lalu terjadi pula kudeta militer di Myanmar yang disebutkan oleh junta militer disebabkan karena Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar sejak 2016 terlalu dekat dengan China. Kondisi yang tidak disukai para Jenderal Myanmar.

Sumber : Timesnownews [Double blow for China after Thailand scraps Kra Canal project, delays submarine deal amid public pressure]
Sumber : Kompas [Militer Myanmar Menolak Jadi Boneka China, Justru Ingin Kerja Sama dengan Barat]

Perubahan peta geopolitik seperti itu pula menjadi alasan mengapa Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksdya TNI Aan Kurnia menegaskan situasi keamanan di Laut Natuna Utara aman terkendali serta meminta nelayan Indonesia tidak perlu khawatir melaut.

Sumber : Sindonews [Kepala Bakamla: Laut Natuna Utara Aman, Nelayan Tak Perlu Khawatir]

Pernyataan Bakamla sekaligus memastikan bahwa Indonesia tidak memiliki ancaman perbatasan di perairan Asia Tenggara.

Oleh karena rencana China gagal di Kra Canal, mereka lantas mengubah rencana ke Plan B, yakni menggeser jalur laut OBOR China ke perairan antara Sulawesi dan Papua melintasi Laut Banda dan Laut Arafuru (termasuk kawasan Blue Water/laut dalam) guna menembus perairan Samudera Hindia antara Indonesia dan Australia.

Sebagai informasi, rencana cadangan China ke arah timur tersebut turut menjadi perhatian karena negara tirai bambu itu telah menginvestasikan infrastruktur di negara-negara oseania seperti Papua Nugini.

Sumber : The Australian [Belt and Road brings China to PNG and our doorstep]

Langkah China mengubah rencananya tersebut lah yang ditantang AS dan sekutunya. Baru-baru ini, AS, Australia, dan Inggris menyepakati kerja sama pertahanan AUKUS yang memungkinkan Negeri Kanguru membangun kapal selam bertenaga nuklir. Pakta ini disebut-sebut untuk membendung pengaruh China di Indo-Pasifik.

Pakta ini mengundang kekhawatiran negara-negara Asia Tenggara akan adanya perang terbuka. Namun soal itu sebenarnya pun kita tidak perlu terlalu khawatir. Sebab meski Joe Biden telah mengindikasikan secara luas tetap melakukan pendekatan keras ke China yang sebelumnya diambil oleh Donald Trump, namun ia melakukannya dengan berkoordinasi dengan sekutu.

Hubungan kami dengan China akan kompetitif pada saat yang seharusnya, kolaboratif ketika bisa, dan bermusuhan ketika harus," kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken.

Sumber  : Kontan [Amerika: Hubungan kami dengan China kolaboratif ketika bisa, bermusuhan ketika harus]

Dengan kata lain, ketegangan bersenjata sekitar Pasifik otomatis akan meredam dipacu oleh rivalitas aliansi-aliansi kawasan yang bukan bertujuan menyulut konflik terbuka, melainkan hanya sekedar ‘adu gank’ semata. Lagipula, bukan karakternya rezim Demokrat AS untuk menjadi pemain kunci menciptakan konflik, karena prinsip dasar Demokrat AS adalah kekuatan bersama trans Atlantik Utara. Konflik lebih dipacu oleh NATO di kawasan sekitar Uni Eropa yang meliputi Afrika Utara – Timur Tengah – Eropa Timur. Demokrat AS lebih banyak berperan memfasilitasi diplomasi multilateral, alias ‘adu gank’.

Tidak percaya? tengok saja memanasnya konflik Asia Tengah (Afghanistan dan sekitarnya) yang berbatasan dengan kawasan Timur Tengah dan Eropa Timur dari Laut Hitam jelas menunjukkan bahwa arah konflik global saat rezim Biden berkuasa ada di daratan. Sedangkan potensi konflik di kawasan Asia Pasifik, meredam sementara.

Sumber: CNN Indonesia [Mengenal AUKUS, Kesepakatan Kapal Selam Nuklir Bikin Gaduh]

Akan tetapi, tak bisa dipungkiri, pembentukan pakta AUKUS menjadikan Indonesia berada di persimpangan dua kekuatan besar. Pengamat militer Ade Muhammad mengatakan Inggris sudah menegaskan tidak akan menerima posisi netral. Artinya, negara-negara terkait termasuk Indonesia harus mendukung atau menentang karena sikap non-blok justru akan dianggap sebagai lawan.

“Indonesia memang sudah saatnya mengakhiri politik non-blok yang utopis dan tidak realistis dalam kondisi dunia yang semakin kompleks serta dinamis,” ujar Ade pada 17 September 2021.

Ade melanjutkan, pada saatnya Indonesia harus memilih apakah beraliansi dengan kekuatan AUKUS atau bergabung dengan China. Hal ini tentu membutuhkan perhitungan politik strategis yang matang.

Kendati demikian, Ade melihat Indonesia mulai condong kepada kekuatan barat. Salah satu gesturnya dapat dilihat dengan latihan perang besar-besaran Garuda Shield yang digelar TNI AD beberapa waktu lalu. Indonesia juga baru saja memperluas kerjasama pertahanan dan keamanan dengan Australia, yang salah satu hasilnya berupa hibah kendaraan taktis ke TNI AD.

Sumber : KataData [Menyikapi Pakta AUKUS, Indonesia Harus Segera Berpihak]

Lantas apa yang telah dilakukan Indonesia untuk mengantisipasi plan B China? Sejauh ini armada laut Indonesia belum memadai untuk mengamankan perairan Banda dan Arafuru dari ancaman. Kasus Nanggala saja sudah menunjukkan ketidakmampuan TNI AL di perairan dalam Indonesia.

Sumber : CNN Indonesia [Dibantu Militer China, TNI AL Angkat Liferaft KRI Nanggala]

Jadi, kunci mencegah OBOR Laut China di kawasan tersebut sudah jelas, yakni Aliansi ASEAN – Australia hinga Asia Timur, dan tentunya kekuatan darat di Sulawesi – Maluku – Nusa Tenggara – Papua. Agar hal ini terwujud, harus menempatkan posisi pengawal pertahanan pada sosok yang tepat, alias Panglima TNI yang baru haruslah sosok yang mampu membendung infiltrasi China di kawasan Timur Indonesia. Sesuai dengan tujuan negeri ini, harus ada orang yang tepat untuk bertugas melindungi segenap bangsa Indonesia.

Setelah membaca peta geopolitik yang diapaparkan, maka pemilihan Panglima TNI nanti harus mempertimbangkan dua hal. Yakni Green Water dan Blue Water.

1. Green Water (kawasan laut dangkal perairan Asia Tenggara – Rencana terusan kra – Laut Andaman) sudah aman dari ancaman China.
2. Blue Water (kawasan laut dalam dari Selat Bali – Selat Makassar – Laut Banda – Laut Arafuru hingga Melanesia) kini paling terancam dengan kehadiran China.

Salah satu calon Panglima TNI, yakni KSAL Yudo Margono dulunya menjabat Pangkogabwilhan I yang fokus pada pengamanan Green Water. Namun karena Green Water telah aman dari ancaman China, maka wilayah Blue Water yang selanjutnya harus ia fokuskan seandainya dia menjadi Panglima TNI. Namun Blue Water bukan wilayah keahlian KSAL. Terlihat dari ketidakmampuan TNI AL menemukan KRI Nanggala, apalagi mengangkatnya. Justru akhirnya China yang mengerahkan tekonologinya untuk menemukan kapal selam naas tersebut. Artinya China memiliki kemampuan menyuusup ke perairan Blue Water Indonesia, bahkan bisa dilakukan tanpa sepengetahuan Indonesia.

Secara kalkulasi sederhana seperti itu saja, sudah sangat tidak memungkinkan bagi KSAL menjadi Panglima TNI jika kita berbicara keamanan di kawasan Blue Water. Hal yang bisa dioptimalisasi untuk kawasan tersebut hanyalah memperkuat Udara dan Darat.

Jadi sebetulnya, pilihan presiden tersisa pada KSAU dan KSAD sebagai calon panglima TNI baru.

Lagipula jika kita berbicara soal tradisi rotasi matra, anggota Komisi I DPR RI Dave Laksono mengatakan bahwa rotasi matra hanyalah suatu tradisi dan tidak mengikat. Dave menambahkan, siapa pun Panglima TNI yang ditentukan presiden, tentu adalah perwira terbaik TNI yang akan terus melakukan regenerasi, modernisasi, dan reformasi dalam tubuh TNI.

Sumber : Sindonews [DPR Sebut Rotasi Matra untuk Kursi Panglima TNI Hanya Tradisi, Tidak Mengikat]

Pernyataan Komisi I tersebut selaras dengan pernyataan setneg soal kriteria-kriteria calon Panglima TNI terpilih, dimana salah satu kriteria yakni ‘pembenahan dan pemberdayaan internal TNI’. Sayang, KSAL tidak fokus pada hal tersebut.

Berbeda dengan gerakan KSAD yang fokus membenahi internal TNI AD, dengan gebrakan Garuda Shield bersama US Army. Begitu pula dengan KSAU yang selama setahun terakhir bersama Panglima TNI, fokus membangun aliansi udara dengan Thailand – Malaysia – Singapura – Indonesia untuk kawasan Green Water, disertai penguatan aliansi udara Indonesia – ASEAN – Asia Timur – Pasifik Selatan untuk kawasan Blue Water.

Fakta-fakta tersebut menyebabkan kekhawatiran penulis akan pemilihan KSAL yang ‘kurang’ dalam war game di kawasan Blue Water sebagai Panglima TNI -meski KSAL belakangan akhirnya merapat juga ke AS- malah akan membuka pintu bagi agresi China di blue water Indonesia.

Bahkan baru-baru ini, dalam mengadakan latihan militer bersama dengan negara lain saja, AL memilih untuk melakukan latihan dengan Singapura di Laut Natuna yang berada di perairan Green Water yang berlangsung pada 13 – 20 September 2021. Latihan tersebut bisa dibilang hanya untuk memastikan apakah kawasan Green Water sudah tak lagi dibayang-bayangi ancaman China.

Sumber : Okezone [Unjuk Kekuatan, TNI AL dan AL Singapura Gelar Latihan Besar-besaran di Natuna]

Setelah latihan yang dilakukan TNI AL di Green Water, pada sore hari di 20 September 2021, Presiden Jokowi dikabarkan dihubungi oleh PM Australia Scott Morrison. Kemenlu mengatakan komunikasi telepon di antara kedua kepala negara tersebut berkaitan dengan pembahasan isu terkini, yakni terkait kemitraan AUKUS.

Sumber : Detik [Presiden Jokowi Ditelepon PM Australia soal Situasi Terkini Kemitraan AUKUS]

Sebelumnya, Australia juga telah menyatakan ke negara-negara ASEAN lainnya bahwa mereka tidak perlu khawatir akan pakta AUKUS.

Hal yang menarik untuk jadi perhatian adalah pakta AUKUS memungkinkan Australia membuat kapal selam bertenaga nuklir yang mampu menjelajah tanpa batas dan lebih sulit dideteksi karena tak harus rutin ke permukaan. Artinya, ada potensi dari Australia untuk menggunakan kapal selam di laut dalam alias Blue Water. Selain itu, anggota pakta AUKUS yakin AS dan Inggris terkenal pula dengan kepiawaian militer di perairan laut dalam.

Dengan kata lain, pakta AUKUS akan fokus pada kawasan Blue Water yang tak dikuasai oleh KSAL.

Sumber : Merdeka [Australia Bakal Punya Kapal Selam Nuklir, Apa Kelebihan dan Kelemahannya?]

Jika pada akhirnya pemerintah memilih KSAL sebagai Panglima TNI, hanya karena faktor tradisi, seperti ‘salah ucap’ Wapres Maruf Amin yang menganggap KSAL sebagai Panglima TNI berikutnya, justru akan menimbulkan pertanyaan. Apakah tradisi lebih penting daripada Hankam? Apakah tradisi lebih penting ketimbang tujuan negara melindungi segenap rakyat Indonesia?

Atau jangan-jangan memang demikian agenda para boneka China di Indonesia? Memilih Panglima TNI dari matra laut yang lemah dalam war game di Blue Water untuk memuluskan Plan B jalur obot laut China? Apakah pemerintah akan memilih Panglima TNI yang di kawasan Blue Water tidak mampu menemukan dan mengangkat kapal selam Nanggal dan harus meminta bantuan China?










Diubah oleh NegaraTerbaru 23-09-2021 14:33
jlamp
dewimetal
koi7
koi7 dan 14 lainnya memberi reputasi
13
6K
60
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.6KThread81.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.