• Beranda
  • ...
  • The Lounge
  • Kontroversi Seputar Upaya Untuk "Memaksakan" Vaksin Covid-19 Pada Semua Orang

lonelylontongAvatar border
TS
lonelylontong
Kontroversi Seputar Upaya Untuk "Memaksakan" Vaksin Covid-19 Pada Semua Orang
PART I : Kontroversi Mengenai Vaksin Covid-19.

Ada banyak pendapat dan informasi berseliweran di luar sana yang berkaitan dengan Covid-19.

Keberadaan virus ini sendiri masih baru, bahkan masih muncul varian-varian baru, sehingga dunia ilmu pengetahuan pun masih menyimpan beberapa tanda tanya, baik mengenai virus ini sendiri, maupun tanda tanya mengenai vaksin dan obat-obatan untuk mencegah dan mengobati penyakit baru ini.

Dalam trit TS kali ini, TS ingin berfokus pada masalah vaksin.

Setidaknya ada tiga macam vaksin yang saat ini beredar:
1. Vaksin yang dibuat lewat rekayasa genetika, mRNA vaccines.
2. Vaksin yang dibuat lewat virus covid yang sudah dilemahkan atau mati.
3. Vaksin yang dibuat dari adenovirus, yaitu virus flu yang mirip virus covid, tapi bukan virus covid.

Mayoritas publik, tidak ada yang menjadi perdebatan mengenai penggunaan vaksin untuk mencegah penyebaran penyakit menular seperti covid.

Akan tetapi, toh muncul banyak keraguan mengenai vaksin-vaksin untuk virus covid-19 kali ini.

Keraguan itu bukannya tanpa dasar.

Pertama, waktu pengembangan vaksin yang terlalu cepat.

Jika dibandingkan dengan vaksin-vaksin untuk penyakit lain yang selama ini sudah dilakukan, maka waktu antara dimulainya pengembangan vaksin, sampai vaksin itu mulai didistribusikan untuk umum, sangatlah cepat dan terburu-buru.

Vaksin covid-19 bisa dikatakan sudah terdistribusi, sebelum hasil dan efek sampingnya diamati dalam jangka waktu yang cukup lama.

Ijin penggunaannya pun, jika menilik berbagai badan pemberi ijin dari berbagai negara, adalah ijin untuk digunakan dalam masa emergency.

Kedua, ada banyak sumber dari berbagai media sosial yang menyoroti efek samping berbahaya dari vaksin.

Informasi-informasi ini biasanya berasal dari sumber yang tidak resmi, akan tetapi jumlahnya cukup banyak untuk membuat alis kita naik.

Sebagian besar laporan ini, berkaitan dengan penggunaan vaksin mRNA. Jadi bagi kita yang di Indonesia bisa berlega hati, karena vaksin sinovac yang banyak dipakai di Indonesia, bukan vaksin berdasarkan mRNA.

Ketiga, vaksin Sinovac sendiri, tidak luput dari berita miring. Terutama masalah efikasi.

Banyak informasi tentang kasus di mana mereka yang sudah divaksin Sinovac, bahkan dua kali, ternyata masih bisa terkena covid.

Ke-empat, ada beberapa ahli yang lebih menyarankan kita untuk memperkuat imun tubuh sendiri daripada mengandalkan vaksin.

Kalau banyak berselancar di YouTube, mungkin akan banyak menemukan video-video tentang hal ini. Natural immune response to covid, dsb.

------

Berbagai simpang siur mengenai perlu atau tidaknya menerima vaksin ini, tidak lepas dari masa pengembangan dan pengujian vaksin yang terlalu singkat.

Tidak mungkin misalnya bisa mengukur efek samping jangka panjang dari vaksin, ketika vaksin itu sendiri diuji dan didistribusikan dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun sejak dia selesai dikembangkan.

Tidak mungkin pula memastikan tidak akan muncul efek seperti yang terjadi pada vaksin demam berdarah, sementara virus Covid-nya sendiri masih berkeliaran dan terus bermutasi.

Pertimbangan tentang penggunaan vaksin itu sendiri, pada akhirnya adalah, bahwa kemungkinan vaksin itu membawa hasil positif, jauh lebih besar dibandingkan kemungkinan dia membahayakan penerimanya.

KESIMPULAN :

Resiko-resiko menerima vaksin itu ada, dan efektivitasnya sendiri belum dijamin 100%, akan tetapi resikonya dipandang jauh lebih kecil dibandingkan kemungkinan untuk dia berhasil membuat penerimanya kebal dari covid-19.



PART II : RENCANA PASSPORT VAKSIN, ATAU SERTIFIKASI VAKSIN.

Kalau bagian pertama membahas tentang vaksinnya itu sendiri.

Maka bagian kedua ini membahas tentang kebijakan pejabat pemerintah dari berbagai negara mengenai vaksinasi itu sendiri.

Simpang siur informasi tentang vaksin covid-19 seperti yang sudah kita bahas di bagian pertama, melahirkan efek di mana ada sejumlah bagian dari masyarakat yang menolak untuk divaksin, dan jumlah ini cukup besar.

Mungkin itulah sebabnya, mulai muncul wacana-wacana dari berbagai negara dan level pemerintahan, yang berupaya "mendorong/memaksa" agar mereka-mereka ini mau divaksin.

Bentuk kebijakan itu, pada umumnya adalah dalam bentuk membatasi kegiatan sosial, orang-orang yang tidak bisa menunjukkan bukti bahwa dirinya sudah divaksin.

Akan tetapi ada beberapa keberatan dengan rencana kebijakan tersebut.

Bagi yang sudah divaksin dan memiliki bukti tentu tidak menjadi masalah.

Akan tetapi bagaimana dengan mereka yang belum divaksin? Baik yang belum divaksin karena tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan untuk divaksin, maupun yang belum divaksin karena merasa ragu dengan keamanan vaksin itu sendiri.

Lagipula ada bukti-bukti bahwa mereka yang sudah divaksin masih bisa terinfeksi Covid-19.

Artinya bukti sudah divaksin, bukanlah bukti bahwa orang tersebut pasti aman dari Covid-19 dan tidak mungkin lagi menjadi pembawa virus Covid-19.

Jadi mengapa sertifikat sudah divaksin yang justru menjadi syarat, dan bukannya bukti hasil tes covid yang menjadi syarat?

Kemudian muncul keberatan lain dari sisi hak asasi manusia, ketika vaksin menjadi keharusan, artinya akan ada kemerdekaan yang dicabut dari seseorang.

Tentu saja ini sudah dipertimbangkan oleh para pejabat pemerintahan di berbagai negara, terutama negara yang demokratis. Itu sebabnya "paksaan" ini diperhalus dengan kebijakan-kebijakan yang bentuknya membatasi akses sosial mereka yang belum menerima vaksinasi, ketimbang dengan mengeluarkan peraturan yang mengharuskan orang untuk menerima vaksinasi.


OPINI PRIBADI TS

TS sendiri jujur belum bisa menerima vaksin, karena memiliki riwayat Autoimun.

Sehingga mungkin opini TS akan bias pada tidak menyetujui kebijakan pemerintah yang bersifat "memaksa" orang untuk menerima vaksin.

Pertama, pertanyaan TS adalah, mengapa bentuk kebijakannya adalah membatasi mereka yang belum divaksin? Mengapa tidak memilih kebijakan yang memberi insentif bagi mereka yang divaksin?

Kedua, sejak dahulu kala, di dalam satu komunitas, sudah umum bila anggota-anggotanya tidak selalu memiliki cara berpikir yang sama tentang suatu masalah.

Sehingga wajar jika kemudian muncul dua kelompok atau lebih, dengan pilihan strategi bertahan hidup yang berbeda.

Dan menurut TS keragaman itu justru sesuatu yang baik, dan memperbesar kans dari komunitas itu untuk bertahan hidup melalui berbagai ancaman bahaya.

Katakanlah sekarang semua orang divaksin, kemudian ternyata muncul efek ADE (Antibody Dependent Enhancement).

Maka seluruh anggota komunitas tersebut akan jatuh sakit parah, karena semuanya menerima vaksin.

Demikian juga sebaliknya, ketika semua menolak divaksin.

Justru dengan respon dan keputusan yang bervariasi, maka kelangsungan hidup komunitas tersebut justru lebih terjamin.

"Don't put all your eggs in one basket."

Jadi vaksin itu baik, program vaksinasi patut didukung, tapi "memaksa" orang untuk divaksin itu tidak bijak.


Sumber referensi
1. https://www.google.com/amp/s/theconv...ologies-145454

2.
https://www.halodoc.com/artikel/vaks...njang-benarkah

3. https://www.nature.com/articles/s41593-020-00771-8

4. https://health-desk.org/articles/wha...id-19-vaccines

5. https://www.euronews.com/2021/08/07/...nsecutive-week

6. https://www.chop.edu/centers-program...t-and-vaccines
alfidanger
Cucigosok
Bibalinhgum
Bibalinhgum dan 8 lainnya memberi reputasi
9
4K
62
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.7KThread82.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.