LordFaries4.0Avatar border
TS
LordFaries4.0
Sejarah Arab-Indonesia
Suku Arab-Indonesia (bahasa Arab: عرب إندونيسي‎) adalah penduduk Indonesia yang memiliki darah Arab dan Pribumi Indonesia. Pada awal kedatangan, mereka umumnya tinggal di perkampungan Arab yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Pada zaman penjajahan Belanda mereka dianggap sebagai bangsa Timur Asing bersama dengan suku Tionghoa-Indonesia dan suku India-Indonesia.

Setelah terjadinya fitnah besar di antara umat Islam yang menyebabkan terbunuhnya khalifah keempat Ali bin Abi Thalib, mulailah terjadi perpindahan (hijrah) besar-besaran dari kaum keturunannya ke berbagai penjuru dunia. Ketika Imam Ahmad Al-Muhajir hijrah dari Irak ke daerah Hadramaut di Yaman, keturunan Ali bin Abi Thalib ini membawa serta 70 orang keluarga dan pengikutnya.

Sejak itu berkembanglah keturunannya hingga menjadi kabilah terbesar di Hadramaut, dan dari kota Hadramaut inilah asal-mula utama dari berbagai koloni Arab yang menetap dan bercampur menjadi warganegara di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya. Selain di Indonesia, Orang Hadhrami ini juga banyak terdapat di Oman, India, Pakistan, Filipina Selatan, Malaysia, dan Singapura.

Terdapat pula warga keturunan Arab yang berasal dari negara-negara Timur Tengah dan Afrika lainnya di Indonesia, misalnya dari Mesir, Arab Saudi, Sudan atau Maroko; akan tetapi jumlahnya lebih sedikit daripada mereka yang berasal dari Hadramaut.


Lukisan tentang Ampel, kawasan Arab di Surabaya

Kaum Arab Hadrami yang datang ke Nusantara sebelum abad ke-18 telah berasimilasi penuh dengan penduduk lokal. Sebagai produk asimilasinya, banyak anak keturunannya yang menggunakan nama-nama lokal daripada nama-nama Arab. Hal tersebut yang menyebabkan Kaum Arab Hadrami yang berimigrasi ke Nusantara sebelum abad ke-18 sulit diidentifikasi, kecuali mereka yang memang memiliki hubungan historis dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Sebagai contoh asimilasi antara Kaum Arab Hadrami dengan Pribumi-Nusantara adalah pernikahan antara Syarif Abdullah Umdatuddin Azmatkhan (Raja Champa 1471 - 1478)[4] dengan Rara Santang (puteri Prabu Siliwangi) yang kemudian berputera Syarif Hidayatullah, dan menghasilkan anak keturunan dari Raja-raja Banten di ujung barat Pulau Jawa, umumnya mereka dapat diidentifikasi dengan gelar kebangsawanannya seperti Tubagus atau Ratu.

Sedangkan mereka yang datang setelah abad ke-18, lebih sedikit yang melakukan asimilasi sehingga lebih mudah diidentifikasi dengan marga-marga yang mereka bawa, seperti Assegaf, al-Aydrus, al-Attas, dan lainnya.

Kedatangan koloni Arab dari Hadramaut ke Indonesia diperkirakan terjadi dalam 3 gelombang utama.

Abad 9-11 Masehi
Catatan sejarah tertua adalah berdirinya Kerajaan Peureulak di Aceh Timur pada tanggal 1 Muharram 225 H (840 M). Hanya 2 abad setelah wafat Rasulullah, salah seorang keturunannya yaitu Sayyid Ali bin Muhammad Dibaj bin Ja'far Shadiq hijrah ke Negeri Perlak. Ia kemudian menikah dengan Makhdum Tansyuri, adik dari Syahir Nuwi dari Negeri tersebut. Dari pernikahan ini lahirlah Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah sebagai Raja pertama Kerajaan Peureulak (840 – 864). Catatan sejarah ini resmi dimiliki Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur dan dikuatkan dalam seminar sebagai makalah 'Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh' 10 Juli 1978 oleh (Alm.) Prof. Ali Hasyimi.

Abad 12-15 Masehi
Masa ini adalah masa kedatangan para datuk dari Walisongo yang dipelopori oleh keluarga besar Syekh Jamaluddin Akbar al-Husaini dari Gujarat yang masih keturunan Syekh Muhammad Shahib Mirbath dari Hadramaut. Ia besama putra-putranya berdakwah jauh ke seluruh pelosok Asia Tenggara hingga Nusantara dengan strategi utama menyebarluaskan Islam melalui pernikahan dengan penduduk setempat yang utamanya dari kalangan bangsawan Kerajaan Hindu.

Abad 17-19 Masehi
Abad ini adalah gelombang terakhir, ditandai dengan hijrah massalnya para Alawiyyin Hadramaut yang menyebarkan Islam sambil berdagang di Nusantara. Kaum pendatang terakhir ini dapat ditandai keturunannya hingga sekarang karena berbeda dengan pendahulunya, tidak banyak melakukan kimpoi campur dengan penduduk pribumi. Selain itu dapat ditandai dengan marga yang umum dikenal sekarang seperti al-Attas, Assegaf, al-Jufri, al-Aydrus, Shihab, Shahab, al-Haddad, al-Habsyi, dan lainnya. Hal ini dapat dimengerti karena marga-marga ini baru terbentuk belakangan. Tercatat dalam sejarah Hadramaut, marga tertua adalah as-Saqqaf (Assegaf) yang menjadi gelar bagi Syekh Abdurrahman bin Muhammad al-Mauladdawilah setelah ia wafat pada 731 H atau abad 14 - 15 M. Sedangkan marga-marga lain terbentuk bahkan lebih belakangan, umumnya pada abad 16. Biasanya nama marga diambil dari gelar seorang ulama setempat yang sangat dihormati.


Seorang Arab pada masa Hindia Belanda (litografi berdasarkan gambar oleh Auguste van Pers, 1854)

Berdasarkan taksiran pada 1366 H, jumlah mereka sekarang tidak kurang dari 70 ribu jiwa, Ini terdiri dari kurang lebih 200 marga. Bahkan menurut catatan Rabithah Alawiyah, setidaknya ada sekitar 1,2 juta orang Arab-Indonesia yang ‘berhak’ menyandang sebutan Habib. Mereka memiliki moyang yang berasal dari Yaman, khususnya Hadramaut. Habib di kalangan Arab-Indonesia adalah gelar bangsawan Timur Tengah yang secara khusus dinisbatkan terhadap keturunan Nabi Muhammad melalui Fatimah az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib.

Mulai 1870 hingga setelah 1888
Pada tahun 1870 Terusan Suez mulai dibuka, sehingga kapal dari Eropa ke Timur termasuk Hindia Belanda bisa langsung melalui Suez. Kemudian pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara mulai dibangun tahun 1877 secara modern. Selanjutnya Koninklijke Paketvaart Maatschappij, sebuah perusahaan pelayaran Belanda dioperasikan tahun 1888 dengan rute Eropa - Hindia Belanda, sehingga memungkinkan orang-orang Marga Arab Hadramaut atau Arab Mesir datang ke Hindia Belanda, dan berangsur-angsur mulai tahun 1870 hingga setelah tahun 1888 terjadi migrasi orang Arab dan Mesir ke Hindia Belanda. Mereka tidak membawa keluarga, karena sesuai tradisi Arab, bahwa wanita tidak boleh bepergian apalagi sejauh ke Hindia Belanda naik kapal berhari-hari. Keturunan pertama yang lahir di Hindia Belanda misalnya adalah Abdurrahman Baswedan lahir di Surabaya 1908 (kakek Anies Baswedan) dan Syech Albar lahir Surabaya 1914 (ayah Ahmad Albar).


Arab-Indonesia sedang mengerjakan Batik

Saat ini diperkirakan jumlah keturunan Arab Hadramaut di Indonesia lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah mereka yang ada di tempat leluhurnya sendiri. Penduduk Hadramaut sendiri hanya sekitar 1,8 juta jiwa. Bahkan sejumlah marga yang di Hadramaut sendiri sudah punah (seperti Basyeiban dan Haneman) di Indonesia jumlahnya masih cukup banyak. Perkampungan Arab banyak tersebar di berbagai kota di Indonesia, misalnya di Jakarta (Pekojan), Bogor (Empang), Surakarta (Pasar Kliwon), Surabaya (Ampel), Gresik (Gapura), Malang (Jagalan), Cirebon (Panjunan),[27] Tegal (Kauman), Pekalongan (Sugihwaras), Mojokerto (Kauman), Yogyakarta (Kauman), Probolinggo (Diponegoro), Bondowoso, Palembang (Kampung Arab)[29] dan Banjarmasin (Kampung Arab), serta masih banyak lagi yang tersebar di kota-kota lainnya seperti Banda Aceh, Sigli, Medan, Lampung, Makasar, Gorontalo, Ambon, Mataram, Ampenan, Sumbawa, Dompu, Bima, Kupang, dan Papua.

Keturunan Arab Hadramaut di Indonesia, seperti negara asalnya Yaman, terdiri 2 kelompok besar yaitu kelompok Alawi, dan kelompok Qabili.


Tokoh dan peranan
Di Indonesia, sejak zaman dahulu telah banyak kaum keturunan Arab yang menjadi pejuang, ulama dan dai. Di antara para penyebar agama yang menonjol ialah Walisongo, yang diduga kuat (Van Den Berg, 1886) merupakan keturunan Arab Hadramaut dan atau merupakan murid-murid mereka. Kaum Arab Hadramaut yang datang sekitar abad 15 dan sebelumnya mempunyai perbedaan mendasar dengan mereka yang datang pada gelombang berikutnya (abad 18 dan sesudahnya). Sebagaimana disebutkan oleh Van Den Berg, kaum pendahulu ini banyak berasimilasi dengan penduduk asli, terutama dari keluarga kerajaan Hindu. Hal ini dilakukan dalam rangka mempercepat penyebaran agama Islam, sehingga keturunan mereka sudah hampir tak bisa dikenali sebagai keturunan Arab Hadramaut.

Di antara marga-marga Hadramaut yang pertama-tama ke Indonesia adalah keluarga Basyaiban, yaitu Sayyid Abdurrahman bin Abu Hafs Umar Basyaiban BaAlawi pada abad ke-17 Masehi.


Masjid bercorak Jawa di kawasan Arab di Semarang di sekitar tahun 1930

Pada zaman kejayaan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, beberapa keturunan Arab dirajakan oleh masyarakat setempat, antara lain di Jawa (Demak, Cirebon, Banten, dan Sumedang Larang), Sumatra (Peureulak, Aceh, Siak, Pelalawan, dan Riau-Lingga), hingga Kalimantan (Sambas, Pontianak, Mempawah, Kubu, Sabamban, dan Pasir). Selain itu, sejak lama pula banyak sekali keturunan Arab yang menjadi pedagang, dan mereka tersebar di berbagai penjuru kepulauan Indonesia.

Kaum Arab Hadramaut yang datang pada abad ke-18 dan sesudahnya, tidak banyak melakukan pernikahan dengan penduduk asli sebagaimana gelombang kedatangan yang sebelumnya. Mereka datang sudah membawa nama marga-marga yang terbentuk belakangan (sekitar abad 16-17). Keturunan kaum Arab Hadramaut yang datang belakangan ini, masih mudah dikenali melalui nama-nama khas marga mereka. Warga Arab-Indonesia sampai saat ini turut berperan aktif dalam bidang keagamaan Islam dan berbagai bidang kehidupan lainnya di Indonesia.

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Arab-Indonesia
Diubah oleh LordFaries4.0 26-07-2021 22:16
izhmashtomoe
pakisal212
fachri15
fachri15 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1.3K
4
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
Sejarah & Xenology
icon
6.5KThread10.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.