LiaManik33
TS
LiaManik33
Kumpulan Cerpen ; Pulang Kampung



Doc. Pribadi

Enam tahun telah kutinggalkan kampung halaman. Mengikut di mana suami tinggal. Kini kami menetap di sebuah kota yang berjarak dua pulau dari desaku. Kota tempat kelahiran suami.

Kami dikaruniai sepasang buah cinta. Saat ini si Kakak berumur lima tahun dan si Adek berusia tiga tahun. Mereka adalah anugerah terindah yang dikirim Tuhan untukku. Hanya mereka berdua yang menemani hari-hariku ketika suami bekerja.

Suamiku seorang Dosen tetap di salah satu perguruan tinggi yang ada di kota ini. Gajinya sangat mencukupi untuk kebutuhan kami.

Setiap bulan, aku diberi jatah bulanan untuk mengurus keperluan hari-hari, uang jajan anak-anak, belanja bulanan dan juga keperluan di dapur. Dan untuk urusan yang lain, aku tak boleh ikut campur.

Uang yang diberi suamiku selalu habis sehari sebelum tanggal gajian. Hal itu membuatku tak bisa menabung walau hanya seratus ribu tiap bulan.

Suatu hari kuminta jatah untuk dilebihkan.

"Mas, bahan-bahan dapur sekarang pada naik, bisa dilebihkan uang belanjanya?"

"Nanti kalo kurang, bilang aja. Kalo sudah habis baru Mas kasih."

"Sebenarnya, aku juga mau nabung sendiri, Mas. Biar bisa nyicil buat tiket pulang kampung, udah lama aku gak pulang."

"Yah, sabarlah dulu. Kalo ada rezeki, kan pulang. Resiko tinggal jauh ya begitu. Harus sanggup gak pulang-pulang."

Hatiku nelangsa mendengar ucapannya. Jawaban yang sama keluar, setiap kali aku menyinggung soal pulang kampung.

Ingin sekali aku membalas ucapannya, hanya sifatnya yang tak mau mengalah selalu menghalangiku untuk bicara, khawatir berujung dengan pertengkaran yang membuatku akan lebih menderita.

Pernah kucoba dengan mengepres pengeluaran sebisa mungkin. Hasilnya aku bisa mengumpulkan uang tiga juta selama tiga tahun.

Kuutarakan niat pulang kampung saat lebaran, dan meminta ia untuk menambahkan ongkos tiket ketika menerima THR nanti, dengan senang hati ia menjawab iya. Namun ketika waktunya tiba, ia malah meminjam uang yang kutabung untuk keperluan kakaknya yang sakit. Sampai saat ini aku tak tahu kabar uang itu, karena tak pernah kembali di tanganku.

Rindu akan pulang kampung memuncak di hati. Setiap melihat iklan mudik yang di share di medsos ketika Ramadhan dan lebaran tiba, selalu kushare ulang, berharap suamiku melihat betapa inginnya aku pulang. Namun, lagi-lagi hasilnya nihil.

Setiap bulan Ramadhan tiba, ayah dan ibu di kampung selalu bertanya, "Pulang lebaran ini, Nak?" dan aku selalu menjawab dengan tangisan dan alasan mahalnya tiket. Setelah itu, ibu akan mendoakan agar aku mudah rezeki dan bisa pulang kampung bertemu dan berkumpul dengan sanak saudara.

Diantara enam anaknya, hanya aku yang tak pernah membersamai di saat lebaran sejak setelah menikah.

Sebenarnya, ada yang mengganjal di hati. Setiap kali aku ingin pulang, suamiku seperti berusaha untuk selalu menghalangi. Namun, jika aku mengabarkan ada salah satu keluarga yang sakit atau membutuhkan uang, ia tak ragu untuk memberikan bantuan dan langsung mentransfer uang.

Ketika selesai makan malam, kucoba berbicara pada suamiku.

"Mas, izinkan aku pulang, aku rindu pada keluarga, Mas."

"Asyik minta pulang ... Aja. Emangnya ada uang?"

"Gimana mau ada, lah uang tabunganku aja gak kembali."

"Emang uang tiga juta bisa buat mudik?"

"Kok gitu, sih, Mas? Yang mau kutemuin ini kan keluargaku, bukan orang lain. Aku ada karena mereka ada lebih dulu, Mas."

"Yah, namanya udah berkeluarga, ya begitu. Harus sanggup pisah dan gak pulang. Tanggung jawab kamu sekarang kan ada di aku. Kamu harusnya tau resiko menikah dan tinggal yang jauh dari orang tua."

"Apa cuma aku yang harus nanggung resiko itu, Mas? Harusnya, Mas juga tau resiko menikahi orang yang tinggalnya jauh dari kamu, Mas." Aku mulai emosi. Kabut di mata yang sedari tadi muncul menjatuhkan diri menjadi butiran bening.

"Udah pintar jawab sekarang, ya?"

"Mas kan tau, nikah itu bukan cuma sama anaknya, Mas. Tapi juga keluarganya. Aku rindu, Mas. Pengen pulang," jeritku histeris karena melihat yang diajak bicara berdiri dan berlalu meninggalkanku.

***

Pagi ini aku beraktivitas lebih cepat dari biasanya, setelah mengadu pada Sang Pembolalak Balik Hati di sepertiga malam, kulanjutkan dengan tilawah hingga menjelang subuh. Kupasrahkan semua masalah hanya pada-Nya. Berharap ada titik terang yang menyambut baik hari ini.

Kulihat wajahku di cermin, mata bengkak sebab menangis semalaman meninggalkan jejak yang tak bisa disembunyikan. Kulihat ke ruang kamar tidur anak-anak, ternyata tak kutemukan suamiku di sana. Berarti ia tak pulang satu malam ini. Tanpa sadar, butiran bening kembali jatuh di pipi. Kukuatkan hati dengan mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa.

Jam telah menunjukkan pukul tujuh pagi, tetapi suara mesin mobil belum juga terdengar di depan rumah.

Aku mulai gelisah karena suami tak pulang-pulang.

Sepuluh menit kemudian, suara yang kutunggu datang juga. Aku kembali beraktifitas seperti biasa. Melanjutkan cucian piring yang sempat tertunda. Egoku mulai menguasai, berharap suami yang menegur terlebih dahulu.

"Dik, duduk sini dulu," ucapnya pelan, membuat jantungku berdebar tak karuan.

Mimik wajahnya menyiratkan sesuatu yang tak bisa kubaca. Aku mulai menerka-nerka kemungkinan yang akan diucapnya. Namun, seketika itu kutepis dugaan-dugan negatif yang muncul.

"Ini tiketmu dan Sami pulang ke kampung."

Aku tersentak. Apa maksud suamiku dengan tiket ini? Mengusirkah atau apa maksudnya. Lalu kenapa hanya dengan Sami anak keduaku? Kebingunganku terbaca olehnya.

"Maafin aku, tadi ada telpon dari ibumu di kampung. Kasih kabar kalo subuh tadi ... Ayahmu meninggal, nomormu tak bisa dihubungi," ucap suamiku lirih nyaris tak terdengar. Ia menundukkan kepalanya.

"Inna lillaahi wa inna ilaihi rooji'uun, astaghfirullah, ya Allah ... Ayaaahhh ... Kenapa pergi sebelum kita bertemu, ayah?" Aku merintih, menangis seperti anak kecil.

Suamiku datang mendekap, berusaha menguatkanku.

"Yang kuat ya, Dik. Ini sudah takdir Allah. Maafkan Mas berlaku kasar tadi malam." Dielus-elusnya rambutku.


Aku tak bisa menahan sedih. Kakiku melemas seakan tak bisa menopang tubuhku untuk berdiri. Aku terkulai lemas di atas laintai.



"Kau tahu, Mas. Allah Pemilik skenario di dunia ini. Betapa mahal harga yang kubayar untuk memenuhi rindu yang memuncah ini. Memenuhi keinginanku untuk bisa pulang. Harus dibayar dengan perginya ayah, Mas." Aku masih tersedu-sedu. Sakit dan sesak menyatu di dada.

"Iya, maafkan Mas, ya. Nanti kita bicarakan lagi untuk pulang kampung selanjutnya. Sekarang bersiap-siaplah. Kau berangkat jam 9 ini. Biar Sania bersamaku selama kau pulang. Karena harga tiket lagi mahal, tidak cukup buat beli tiga tiket."

"Baiklah kalau begitu, Mas."

Ini kali pertama aku pulang kampung sejak menikah, semoga setelah ini akan ada lanjutan pulang kampung kedua, ketiga dan seterusnya.

Tamat.

Aqmalia S Manik

Palu, 01 Juni 2019







Diubah oleh LiaManik33 02-06-2019 11:09
nomoreliesanton2019827bukhorigan
bukhorigan dan 47 lainnya memberi reputasi
48
8.3K
120
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.